Share

2. Pulang

Hari Kamis menjadi hari yang paling dinanti-nanti Alena, karena Alva akan pulang kembali padanya. Alva sudah berangkat dari Berlin sejak Rabu pagi, dan akan tiba di Jogja hari Kamis, sekitar jam tiga sore. Penerbangan dari Berlin ke Jogja memang memakan waktu lumayan panjang, lebih dari 24 jam. Alena terus-menerus menghubungi Alva saat dia sedang transit, untuk menanyakan kabarnya. Rasanya Alena sudah tak sabar ingin segera berangkat menjemput Alva.

"Kamu takut aku hilang ya?" Alva menggodanya, ketika Alena menelepon lagi. 

Pesawat Alva sedang transit di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab. Setelah itu, pesawat akan langsung membawa Alva ke Jakarta, dan terakhir ke Jogja. Saat ini, sudah hampir tengah malam di Jogja. 

Alena tertawa. "Aku takut kamu lupa pulang..."

"Coba kamu pejamkan mata dan tidur... Besok, aku pasti udah sampai di Jogja," sambung Alva lagi.

"Aku nggak bisa tidur... Kamu lagi apa?"

"Ini lagi jalan-jalan di bandara Abu Dhabi."

"Enak ya kamu, malah jalan-jalan...," Alena pura-pura mengomel.

"Kamu mau aku bawain oleh-oleh apa?"

"Aku cuma mau kamu cepat pulang..."

"Tidurlah, Sayang...," ucap Alva dengan suara lembut. 

Alena tersipu. Untuk pertama kalinya, Alva memanggilnya 'Sayang' secara langsung!

"Udah malam... Besok kita ketemu ya...," sambung Alva.

Demi mendengar suara Alva yang lembut membujuknya, akhirnya Alena menyerah. "Ya udah... Aku mau tidur sekarang. Kamu juga istirahat ya, nanti di pesawat..."

"Iya... Good night, Alena..."

*

Kamis sore, sekitar jam setengah tiga, Alena bersama Papa dan Mama sudah menunggu di bandara Yogyakarta International Airport. Pesawat Alva akan mendarat sesaat lagi. Alena memakai dress batik selutut warna putih, bermotif bunga-bunga. Rambutnya dikepang sebagian di tengah. Ia sudah menyiapkan dandanannya untuk menyambut Alva, walaupun ia tahu, Alva tak pernah meributkan penampilannya. Kenapa ia merasa gugup dan berdebar-debar?

Pesawat yang membawa Alva sudah diumumkan mendarat. Sesaat lagi, ia bisa bertemu Alva. Alena terus-menerus menatap ke arah pintu kedatangan internasional. Mereka sudah menunggu di sana setengah jam lebih. Arus orang-orang yang berjalan keluar dari pintu kedatangan sudah mulai ramai.

"Sabar, Lena... Nanti juga pasti kelihatan," kata Papa sambil tersenyum. Mungkin Papa melihat Alena terus melongok ke pintu, mencari-cari menembus kerumunan orang.

Mama juga tertawa dan merangkul bahu Alena. "Pasti ketemu kok..."

Alena tersenyum malu. "Habis, udah setengah jam kok belum muncul juga..."

"Ya mungkin lagi nunggu bagasi...," sambung Mama lagi.

Arus keramaian sudah mulai berkurang. Sekarang, pintu kedatangan sudah terlihat jelas. Alena berusaha melihat ke dalam ruangan kedatangan internasional lewat pintu kaca.

Alva berjalan keluar dari pintu, sosoknya memang selalu tampak berbeda dari yang lainnya. Ia memakai kemeja lengan pendek berwarna abu-abu, dengan aksen hitam di bagian kerah, bahu, dan kancingnya. Tangannya menarik sebuah koper berukuran besar, dan bahunya menyandang ransel. Jaket hoodie berwarna putih tersampir di bahunya. Bagi Alena, Alva tampak lebih menarik, apa karena Alena sudah lama tidak melihatnya?

Alva sepertinya tak perlu waktu lama untuk menemukan Alena. Matanya sudah langsung tertuju lurus pada Alena. Alena tersenyum. Mama mengedikkan kepala, memberi tanda supaya Alena menghampiri Alva. Alena berjalan maju. Entah kenapa ia tiba-tiba merasa gugup, seolah ini pertama kalinya ia bertemu Alva.

Jarak di antara mereka semakin dekat. Alena setengah berlari ke arah Alva, sampai mereka berdiri berhadapan.

"Alva...," sapa Alena. Ia menatap Alva dengan penuh kerinduan.

Alva tersenyum memandangnya, senyuman yang sanggup membuat hati Alena meleleh. Alva mengulurkan tangannya dan memeluk Alena dengan lembut. Alena memejamkan matanya, menikmati kehangatan pelukan Alva. 

Beberapa detik kemudian, Alva melepaskan pelukannya, tapi tangannya masih merangkul pinggang Alena. Alena merasa wajahnya merona. Mereka saling berpandangan.

"Aku kangen...," Alva setengah berbisik. Tatapan matanya begitu hangat. 

Alena tertawa kecil. "Tumben kamu ada jenggotnya..." 

Wajah Alva sepertinya belum dicukur, ada rambut-rambut halus tipis di bawah hidung dan mulutnya, dan di sekitar dagunya, membuat ia terlihat seperti lebih dewasa.

"Aku belum sempat cukur. Kamu suka?" Alva memasang wajah jenakanya untuk menggoda Alena.

Alena tertawa lagi, sambil mencubit lengan Alva dengan gemas. Rasanya seperti cuma ada mereka berdua di situ, sampai Papa dan Mama menghampiri mereka.

"Om, Tante... Apa kabar?" sapa Alva dengan sopan.

Alena segera tersadar, ia cepat-cepat bergeser ke samping kiri Alva. Wajahnya memerah. Mereka tadi berpelukan di depan Papa dan Mama!

"Halo, Alva... Kamu sehat kan?" sapa Mama, sambil menyalami Alva dengan wajah ceria.

"Sehat, Tante. Makasih...," jawab Alva. 

"Waw, Alva...! Kamu kelihatan beda, kayak pria dewasa...," kata Papa sambil terkekeh. Ia merangkul bahu Alva. Alva sedikit lebih tinggi daripada Papa.

Alva tersenyum pada Papa. "Ini belum cukur dua hari, Om..."

"Keren kok... Tapi di sekolah nggak boleh ya, hehehe...," Papa terkekeh lagi. "Ayo, kita ngobrol di mobil aja."

"Iya, Alva pasti capek habis perjalanan panjang...," Mama menyambung.

"Iya, Om, Tante..." 

Alva menarik kopernya dengan tangan kanan, sedangkan tangan kirinya menggandeng tangan Alena. Mereka berjalan mengikuti Papa dan Mama ke arah tempat parkir mobil. Alena merasa hatinya begitu ringan, seolah melayang. Ia menggenggam tangan Alva dengan lebih erat. Alva sudah pulang kembali padanya.

Di mobil, mereka asyik mengobrol. Mama menanyakan kabar keluarga Alva di Jerman. Alva menyampaikan salam hangat dari Tante Clara dan Om Hanz. Ia juga sekilas menceritakan kondisi di Berlin, di sana sedang musim panas, dan ramai dengan turis.

Alena dan Alva duduk bersebelahan di kursi belakang mobil. Tangan Alva masih menggenggam tangan Alena, dan berkali-kali Alva menatapnya dengan pandangan penuh kehangatan. Alena merasa begitu bahagia. Mobil terus melaju menuju rumah Alva di Magelang.

Sampai di Magelang, Opa dan Oma sudah menunggu. Mereka jelas sangat merindukan Alva juga. Opa dan Oma memeluk Alva erat-erat saat bertemu. Lalu mengajak semuanya untuk makan malam bersama.

Suasana malam itu begitu akrab. Selesai makan, Alva membuka kopernya, mengeluarkan oleh-oleh yang dibawanya. Untuk Opa dan Oma, sepertinya sudah dititipkan khusus oleh Tante Clara, Alva membawakan mereka beberapa set pakaian dari Jerman. Kemudian untuk Papa, sebuah miniatur mobil VW Beetle berwarna hijau tua. Papa menerimanya dengan sangat gembira.

"Wah, Alva... Kamu tau aja Om suka mobil," komentar Papa sambil tertawa.

Untuk Mama, Alva membawakan sebuah piring keramik pajangan bergambarkan Tembok Berlin. Selain itu, ada juga dua kotak Lebkuchen, kue kering jahe khas Jerman, dan dua kotak Apfelstrudel, strudel apel khas Jerman, untuk Alena sekeluarga. Untuk Alena, Alva membawakan oleh-oleh coklat merk Ritter Sport, Alpia, dan Milka, masing-masing satu kotak. Serta satu lusin gantungan kunci dengan logo Berlin.

"Buat dibagi ke Karin sama teman-teman lain juga," kata Alva. 

Alena mengangguk sambil tersenyum. "Kamu borong ya, oleh-olehnya banyak banget...," komentar Alena.

Koper Alva lebih dari separuhnya berisi oleh-oleh, sisanya barulah barang-barang pribadinya.

"Aku emang nggak bawa banyak barang kok, biar bisa muat oleh-oleh."

"Pakaian kamu selama di sana gimana?" tanya Alena. 

"Ini udah cukup. Lagian, Mama juga udah siapin aku pakaian di sana, jadi nggak usah bawa banyak-banyak."

Alena terharu mendengarnya, Tante Clara pasti sudah sangat menantikan kedatangan Alva.

Mereka terus mengobrol dengan akrab, sampai waktu menunjukkan pukul delapan malam. Akhirnya, Papa berkata mereka harus pamit, mereka akan pergi ke rumah Om Andre. Alva mengantarkan mereka sampai ke pagar depan. Papa dan Mama sudah masuk ke mobil, tapi Alena masih mengobrol dengan Alva. 

"Besok pagi, aku mampir ke rumah Om Andre ya, sekalian bawain oleh-oleh buat Om...," ujar Alva.

Alena baru saja mau membuka mulutnya untuk menjawab.

"Nggak usah dijemput, aku bisa pinjam motor Opa," sambungnya dengan cepat, seolah bisa membaca pikiran Alena. Alena tersenyum.

"Ya udah, nanti aku bilang ke Papa sama Om... Makasih ya, buat oleh-olehnya. Daah, Alva...," ucap Alena sambil melambaikan tangan. 

Alva membalas lambaian tangannya. Mobil pun meluncur meninggalkan rumah Alva.

*

Esok paginya, sekitar jam sembilan, Alva sudah sampai di rumah Om Andre. Ia mengendarai motor Vespa tua milik Opa. Om Andre menyambut dengan gembira, apalagi ketika Alva memberikan oleh-oleh. Sebuah miniatur mobil VW Beetle seperti milik Papa, hanya berbeda warna, untuk Om Andre warna merah tua. Selain itu, Alva juga membawakan satu kotak coklat merk Ritter Sport, dan satu kotak kue kering Lebkuchen.

"Wah, Alva... Makasih banyak ya... Gimana liburan kamu di Berlin sana?" sambut Om Andre.

"Asyik, Om... Udah lama nggak pulang, banyak yang berubah," sahut Alva. 

Papa juga ikut bergabung dalam obrolan, mereka duduk bersantai di pendopo depan rumah. Setelah puas mengobrol tentang suasana dan liburan Alva di Berlin, Om Andre dan Papa membiarkan Alva dan Alena mengobrol berdua.

"Pasti udah banyak yang mau kalian bicarakan berdua," kata Papa sambil terkekeh. 

Alena tersipu malu. Om Andre juga tertawa, lalu ia dan Papa masuk ke dalam rumah.

Alena memandang Alva yang duduk di kursi kayu jati di seberangnya. Alva sudah bercukur, wajahnya kembali mulus, tanpa jenggot dan kumis halus.

"Kok dicukur sih? Aku kan masih pingin lihat kamu berjenggot...," goda Alena sambil tersenyum.

Alva menatapnya dengan mata bersinar. Tiba-tiba, ia berpindah tempat duduk ke samping Alena. Alena merasa jantungnya berdebar-debar, padahal Alva tidak melakukan apa-apa, hanya duduk dengan tenang di sampingnya. Alva membuka ranselnya. 

"Aku masih punya oleh-oleh buat kamu."

Alena terkejut. "Lho, kemarin kan udah..."

Alva menatapnya dengan lembut. "Kemarin, aku nggak enak karena ada orang lain. Semua oleh-oleh yang aku bawa kemarin itu dibeli Mama sama Om Hanz," ujarnya, sambil mengeluarkan sebuah bungkusan. "Kalau ini, aku beli pakai uangku sendiri..."

Alva membuka bungkusan kain itu. Isinya ternyata satu set pakaian musim dingin, terdiri dari sweater putih berkerah turtle neck, mantel musim dingin panjang berwarna coklat khaki dengan aksen bulu di bagian kerah, celana panjang warna hitam, sebuah topi trapper warna putih, sepasang sarung tangan warna abu-abu gelap, dan sepasang kaos kaki termal panjang warna abu-abu juga. Semuanya terbuat dari bahan wol tebal yang halus. 

Alena terpana melihatnya. "Alva... Kenapa beliin aku sebanyak ini?" ucapnya dengan suara pelan, ia merasa sungkan menerima pemberian itu.

"Aku ingat waktu di Dieng, kamu sempat kedinginan. Ini buat di Berlin nanti. Di sana kalau musim dingin, suhunya bisa lebih dingin lagi. Ya kamu harus beli lagi buat cadangan, tapi setidaknya udah punya satu set buat jaga-jaga," Alva menjawab dengan santai.

"Maksud aku... Aku nggak enak nerimanya, ini pasti mahal... Alva, kamu nggak usah beli yang mahal-mahal buat aku..." Alena menggelengkan kepalanya. 

Alva menatapnya dan tersenyum. Alva jadi lebih sering tersenyum sekarang, dan Alena senang melihatnya. "Waktu aku beli, ini lagi diskon kok... Kalau mau beli pakaian musim dingin, sebaiknya beli waktu musim panas, pasti jauh lebih murah."

Alena masih merasa sungkan. "Alva... Bukannya aku nggak berterima kasih, tapi jangan manjain aku... Kamu kan juga masih sekolah, sebaiknya uang tabungan kamu buat keperluan kamu aja...," kata Alena sambil memegang lengan Alva.

Alva balas menggenggam tangan Alena. "Aku pingin beliin kamu barang dengan uang hasil kerjaku sendiri. Ini nggak mahal kok... Lagian, masa aku nggak boleh beliin hadiah buat kekasihku?" ucap Alva dengan wajah menggodanya.

Wajah Alena memerah seketika mendengar ucapan Alva. Ia tersenyum. "Emangnya kamu udah kerja? Kok kamu bilang uang hasil kerja kamu?" 

Alva mengeluarkan ponselnya, lalu membuka sebuah situs di ponselnya. "Beberapa bulan belakangan ini, aku dapat ide buat jual foto-foto dari kameraku, ternyata lumayan laku di internet. Nih, lihat... Ada beberapa website yang aku join, hasilnya lumayan..." Alva memperlihatkan situs-situs tempat ia menjual foto hasil karyanya. 

Alena terpukau, ia tidak menyangka Alva sudah memiliki ide untuk mencari penghasilan dengan bakat fotografinya. Foto-foto yang ditawarkan Alva bervariasi, mulai dari foto pemandangan, objek wisata, benda-benda di alam, bahkan foto ketika pentas seni dan pentas drama musikal.

"Alva... Ini kan waktu pentas seni... Ini juga waktu teater kemarin...," celoteh Alena dengan nada heran, ia terus melihat-lihat. "Tapi, kok nggak ada foto aku?" tanya Alena sambil menatap Alva.

Alva balas menatap dengan lembut. "Kalau foto kamu itu buat arsip pribadi aku... Nggak dijual...," sahutnya.

Alena tertawa, tapi terus terang, ia semakin kagum dengan Alva. Alva sudah berpikiran dewasa dan mandiri, dan ia tampak bahagia sekarang. Alena merasa, justru ia yang lebih banyak belajar dari Alva.

"Makasih ya, Alva...," ucap Alena sambil tersenyum manis. 

Alva masih tetap menggenggam tangan Alena, tatapan matanya begitu hangat.

"Aku juga pingin cerita, tentang Studienkolleg sama universitas yang udah aku survey kemarin di Berlin. Sekalian diskusi sama Om dan Tante juga."

"Iya, boleh... Ayo, kita ke dalam aja, aku bilang ke Papa Mama ya...," ajak Alena. 

Ia memeluk bungkusan hadiah dari Alva di tangan kanannya. Mereka berdua masuk ke dalam rumah.

Pagi itu, Papa, Mama, Alena, dan Alva berdiskusi, membahas tentang pilihan universitas dan Studienkolleg di Berlin. Alva sudah melakukan tugas dengan baik, ia membawa banyak informasi.

"Kalau universitas yang ada dua-duanya, jurusan musik sama teater, itu cuma Universitat der Kunste. Universitas milik pemerintah, bagus banget, tapi saingannya juga ketat. Ini bisa jadi pilihan pertama," Alva sedang menerangkan, sambil menunjukkan brosur dan foto universitas yang dimaksud. "Buat jaga-jaga, kita tetap harus daftar universitas lain sebagai alternatif. Buat Alena, ada dua pilihan lain. Tapi keduanya nggak ada jurusan musik, jadi kita nggak bisa satu kampus, selain di Universitat der Kunste..."

Papa dan Mama mengangguk-angguk. 

"Nggak apa-apa, selama masih sama-sama di Berlin ya... Alva benar, kita tetap harus daftar di beberapa universitas, buat jaga-jaga kalau nggak keterima," komentar Papa. 

"Tapi pilihan pertama tetap fokus di Universitat der Kunste...," Mama yang menyambung.

"Iya, Om, Tante...," kata Alva, matanya beralih menatap Alena. "Alena juga punya beberapa pilihan untuk tempat tinggal. Mama sama Om Hanz sebenarnya udah nawarin untuk tinggal di rumah kami, maksudnya rumah Om Hanz. Tapi kalau kurang nyaman buat Alena, ada tiga pilihan lain..." 

Alva sangat memahami pemikiran Alena, tentu saja ia akan merasa sungkan untuk tinggal serumah dengan Alva, karena mereka belum punya ikatan yang resmi. Walaupun bagi budaya Barat mungkin bukan suatu masalah.

Papa dan Mama saling berpandangan. 

"Ya, sepertinya nggak enak ya, kalau merepotkan Tante Clara dan Om Hanz...Nggak elok juga kalau di budaya kita...," Papa yang menjawab. "Terima kasih buat tawarannya, Alva... Tapi menurut Om dan Tante, Alena sebaiknya tinggal di tempat lain aja, asal nggak terlalu jauh dari kamu," respon Papa sambil tersenyum.

Alva masih menatap Alena. "Iya, Om... Saya juga pikir begitu."

Alena tersenyum membalas tatapan Alva.

"Ada beberapa pilihan. Yang pertama di asrama, ini biasanya banyak banget buat mahasiswa. Yang kedua, bisa juga di flat atau apartemen, yang disewa bareng teman-teman lain. Atau ketiga, terus terang saya cenderung lebih nawarin yang ketiga ini..., Alena bisa tinggal sama Tante saya, adik almarhum Papa saya, namanya Tante Jenna. Dia tinggal sendiri di rumahnya, belum nikah, dan dia senang banget waktu ketemu saya lagi kemarin... Dia yang nawarin, supaya Alena bisa tinggal bareng dia. Rumahnya juga nggak terlalu jauh dari rumah kami," Alva menjelaskan panjang lebar.

Papa dan Mama saling berpandangan lagi.

Alva meneruskan, "Saya pikir..., ada banyak keuntungan, kalau Alena bisa tinggal di rumah Tante Jenna. Pertama, lebih hemat biaya tempat tinggal, jadi biayanya bisa dialihkan untuk keperluan yang lain. Kedua, bisa bantu-bantu Tante Jenna, karena Tante Jenna buka bakery kecil di rumahnya. Ketiga, lebih aman, dan untuk adaptasi juga lebih gampang, karena seperti tinggal di rumah sendiri. Terakhir, bisa memperdalam bahasa Jerman Alena juga, karena tinggal sama penduduk asli. Makanya, kenapa saya cenderung setuju pilihan yang ini..." Alva seperti sedang melakukan presentasi untuk meyakinkan Papa, Mama, dan Alena. Ia menjelaskan dengan suara jelas dan mantap. Sejenak, semuanya terdiam mendengarkan Alva. 

"Kamu yakin aku nggak ngerepotin Tante Jenna? Aku nggak enak kalau ngerepotin, Tante Jenna baik banget nawarin aku tempat tinggal, padahal belum kenal...," Alena mengutarakan isi hatinya dengan suara pelan.

"Tante Jenna emang orangnya baik banget kok, aku dari dulu dekat sama dia. Dia langsung nawarin, supaya kamu tinggal sama dia, begitu aku cerita tentang kamu. Aku rasa, dia juga berharap kamu tinggal sama dia, biar aku bisa tetap jaga kamu, dan aku jadi lebih sering ngunjungin dia... Nanti kalau udah di Berlin, aku kenalin ke Tante Jenna. Kamu bisa lihat sendiri, orangnya emang baik... Aku yakin, kalian pasti cepat cocok...," sahut Alva sambil memandang Alena dengan lembut.

Papa dan Mama saling berpandangan sambil tersenyum. 

"Baiklah, Alva... Om rasa itu emang pilihan terbaik. Biarpun nggak enak kalau sampai merepotkan, tapi kamu benar, emang banyak positifnya juga. Kami cuma mau Alena bisa aman dan nyaman tinggal di negeri yang jauh. Kalau tinggal sama orang yang udah kenal, pasti hati kami jadi lebih tenang juga...," akhirnya Papa memutuskan. 

Mama juga mengangguk setuju sambil membelai rambut Alena. Alena memandang Papa dan Mama, ia tidak mau menolak lagi, jika orang tuanya sudah setuju. Lalu ia beralih memandang Alva. Alva tetap memandangnya dari tadi. Alena tersenyum. Alva benar-benar melakukan tugasnya meyakinkan Papa dan Mama dengan sangat baik.

Mereka masih terus berdiskusi tentang syarat-syarat lain yang harus dipenuhi. Termasuk ujian Bahasa Jerman di Goethe Institute, rencananya dalam enam bulan ke depan. Mulai kelas XII ini, Alena harus mengikuti kursus bahasa Jerman lebih intensif lagi, supaya dapat lulus minimal level B2 sebagai syarat masuk ke Studienkolleg. 

Syarat-syarat lainnya juga tidak mudah, dan mereka berdua jelas harus bekerja keras lagi. Alena menarik nafas panjang. Ia tahu sejak awal, kalau keinginannya ini tidak mudah untuk diwujudkan. Tapi melihat betapa antusiasnya Alva, dan semua upaya yang ia lakukan untuk mereka berdua, Alena tahu, ia telah mengambil keputusan yang tepat.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status