Libur kenaikan kelas telah berakhir. Kembali ke sekolah berarti kembali ke kesibukan, dan kerja keras dimulai. Alena sangat gembira ketika dia dan Alva bisa tetap sekelas, mereka masuk ke kelas XII C sekarang. Sedangkan Karin dan Lucky berdua masuk ke kelas XII A.
Lucu juga pengaturannya bisa begitu pas, Alena membatin dalam hati. Dia dan Alva tidak lagi duduk bersebelahan, tapi yang penting mereka tetap sekelas.Karin agak memprotes setelah hari pertama masuk sekolah lagi, mereka sedang mengobrol berdua di kamar malam harinya."Ah, nggak seru... Aku nggak bisa pinjam PR kamu lagi, nggak bisa belajar bareng...," keluh Karin."Ya tetap bisa belajar bareng, Rin… Lagian, kamu harusnya senang, karena sekelas sama Lucky," Alena menanggapi."Iya, sih... Kamu juga sama Alva, nggak bisa dipisahin deh...," Karin terkikik. "Kayaknya, guru-guru nggak mau pasangan Alvalena yang paling populer di sekolah ini terpisah." Ia tertawa keras.Alena tersipu. "Apaan sih?" Karin mengambil coklat oleh-oleh dari Alva yang dibagikan Alena untuknya, dan menggigitnya. "Enak banget coklat ini... Betewe, kalau besok kamu udah di Jerman, jangan lupa sama aku ya. Kirimin aku coklat ini aja, aku udah senang banget kok...," canda Karin.Alena tertawa. "Kalau kamu udah putusin belum, mau kuliah di mana?" tanya Alena.Karin seperti berpikir sesaat. "Mama pingin aku coba ke UGM, tapi aku nggak yakin bisa masuk. Saingannya banyak. Makanya, aku juga pingin coba daftar ke Sanata Dharma, sama Atma Jaya.""Jurusannya apa? Kamu bilang masih mikir-mikir antara psikologi, atau sastra Inggris.""Iya, aku emang masih bingung nih... Ah, lihat nanti aja deh, mana yang keterima..." Karin mulai mengambil posisi berbaring di dipannya. "Andai aku juga bisa ke Jerman kayak kamu...," gumamnya sambil menguap dan memejamkan mata. Setelah itu, ia terdiam.Alena tersenyum sendiri. Andai saja Karin tahu, perjuangan dan kerja keras seperti apa yang harus dia dan Alva lalui. Bagian terberatnya bagi Alena, adalah terpisah jauh dengan Papa dan Mama.Kursus Bahasa Jerman juga sudah dimulai lagi. Alena sekarang mengambil kursus intensif tiga kali seminggu, hari Senin, Rabu, dan Jumat. Ia sudah berada di level A2, dan masih harus menyelesaikan dua level lagi, sebelum mengikuti ujian di Goethe Institute. Alva sudah menyelesaikan level B1, dan sekarang melanjutkan ke level B2. Untuk masuk ke Studienkolleg, mereka berusaha untuk mendapatkan sertifikat B2, supaya kemungkinan diterima menjadi lebih besar.
"Tapi kamu bukannya udah nggak ada masalah bahasa di Jerman? Buktinya, kamu bisa ngobrol sama Om Hanz, Tante Jenna, dan orang lain di Jerman dengan lancar...," tanya Alena pada Alva, waktu mereka sedang belajar Bahasa Jerman bersama di perpustakaan."Itu bahasa sehari-hari. Kalau bahasa akademik kan lebih kompleks. Kalau bisa, aku mau coba ujian level C1," jawab Alva. "Tapi kalau kamu, ikut ujian level B2 dulu nggak apa-apa, yang penting bisa masuk ke Studienkolleg. Nanti kalau udah di Jerman, pasti kemampuan bahasa kamu berkembang lagi, karena terbiasa sehari-hari."Alena mengangguk-angguk. Kesehariannya sekarang lebih banyak diisi dengan belajar, terutama belajar bahasa Jerman untuk persiapan ujian masuk Studienkolleg. Karena Alena dan Alva sama-sama mengambil jurusan di bidang seni, jadi ujian masuk Studienkolleg yang akan mereka ikuti hanya ujian Bahasa Jerman. Alena hanya mengambil satu subjek ekstrakurikuler di sekolah, supaya bisa mengatur waktu. Tentu saja, ia tetap memilih ekstrakurikuler teater. Dalam hati, ia sebenarnya rindu ingin bermain siter di ekstrakurikuler gamelan lagi.Alva sepertinya tahu, kalau Alena bosan dengan segala kesibukan dan persiapan mereka. Hari Jumat sore, setelah selesai kursus bahasa Jerman, dia mengajak Alena untuk bermain biola di tempat rahasia mereka, di atas rooftop gedung sekolah lama. Rasanya sudah lama sejak terakhir mereka menginjakkan kaki di tempat ini.Alena membawa biola tua milik Opanya, sedangkan Alva dengan biola milik Papanya. Alena baru menguasai dasar bermain biola, ia hanya bisa bermain beberapa melodi yang bertempo lambat. Tapi Alva tidak pernah bosan mengajarinya.
"Kayaknya aku emang nggak berbakat deh, nggak kayak kamu...," kata Alena sambil tertawa, waktu mereka berlatih berdua di atas rooftop. Ia berkali-kali membuat nada sumbang, dan mengulang permainannya."Jangan menyerah... Aku tahu kamu capek, tapi aku janji, aku pasti temanin kamu terus...," respon Alva sambil memandang Alena dengan lembut. Alena merasa kata-kata Alva tidak hanya ditujukan ke permainan biolanya, tapi ke semua proses yang sedang mereka jalani sekarang. Ia meletakkan biolanya perlahan-lahan, dan menatap Alva. Sesaat ia ragu-ragu. "Alva... Aku terus terang takut... Aku takut kalau kita nggak bisa bersama. Gimana kalau kamu keterima di Studienkolleg, tapi aku nggak? Artinya, aku mesti nunggu enam bulan lagi buat ngulang...," Alena mencurahkan ketakutannya selama ini.Sesaat, mereka berdua terdiam. Alva meletakkan biolanya juga, dan mendekati Alena. Matanya masih menatap dengan lembut."Kalau belum dicoba, kenapa harus takut? Kamu selama ini selalu rajin dan pantang menyerah, kamu juga pandai... Nggak mungkin nggak lulus," Alva berkata dengan suara lirih. "Aku… aku juga nggak tahu, kenapa kepikiran kayak gitu terus. Aku cuma takut, kalau nggak bisa sama-sama kamu..." Alena menundukkan kepalanya."Kamu mimpi buruk lagi?" tanya Alva, alisnya berkerut. Alena pernah menceritakan mimpi buruknya beberapa bulan yang lalu, mimpi bahwa ia ditinggal Alva ke Jerman, dan Alva tidak kembali lagi padanya. Alena menggeleng. "Nggak..."Alva mengulurkan tangannya dan menggenggam kedua tangan Alena. "Kalau gitu, kenapa mesti takut? Aku pasti selalu sama kamu, aku udah janji kan?"Alena mengangkat kepalanya, dan balas menatap Alva. Alva terlihat begitu tulus padanya. "Kalau kamu capek belajar, bilang aja. Kita bisa istirahat dulu, terus mulai lagi pelan-pelan. Kalau kamu mau berubah pikiran juga nggak apa-apa... Kita bisa kuliah di Jogja aja. Yang pasti, aku nggak akan ninggalin kamu. Aku nggak akan pernah menyerah untuk bersama kamu...," ucap Alva dengan suara tegas.Alena tertegun, ia menggelengkan kepalanya. "Nggak, Alva... Bukan gitu... Aku nggak berubah pikiran kok, aku nggak mau menyerah..." Ia menggenggam tangan Alva lebih erat lagi. "Maaf, aku...aku nggak tahu, kenapa berpikir negatif kayak gitu. Aku cuma takut kehilangan kamu...," ujar Alena dengan suara lirih.Alva masih tetap menatap. Perlahan, ia mendekat dan merengkuh Alena dalam pelukannya. Pelukan Alva selalu begitu hangat. Jantung Alena berdebar-debar. Alva membelai rambut Alena dengan penuh kasih sayang."Kamu cuma lagi capek aja... Makanya kamu jadi mikir yang macam-macam. Besok weekend, kita bisa istirahat. Kalau kamu mau, kita bisa jalan-jalan, biar pikiran kita fresh lagi...," hibur Alva. Suaranya begitu dekat di telinga Alena. Alena merasakan kehangatan di hatinya."Iya..., kayaknya ini gara-gara bosan dan capek... Tapi, kamu kayaknya nggak pernah merasa capek ya...," respon Alena sambil tersenyum.
Alva melonggarkan pelukannya, tangannya berpindah merangkul pinggang Alena. Mereka saling berpandangan."Aku pernah bilang kan, aku punya rahasia buat nambah semangat, tiap kali aku merasa capek..."Tatapan mata Alva begitu mesra, Alena merasa terbuai."Kamu rahasianya...," Alva setengah berbisik di dekat telinga Alena.Wajah Alena merona. Jantungnya berdetak makin kencang. Mata Alva berbinar. Alena tahu, itu artinya perasaan Alva sedang bergelora. Alva membelai pipi kanan Alena dengan tangan kirinya, dan mendekatkan wajahnya. Alena melingkarkan tangannya ke leher Alva. Bibir mereka saling bersentuhan. Alva mencium bibir Alena dengan lembut, dengan penuh gelora. Alva merengkuh Alena makin erat dalam pelukannya. Alena menyerah, ia tidak bisa menolak perasaan sayangnya pada Alva. Pelukan dan ciuman mereka begitu hangat, mungkin juga karena mereka telah saling memendam rindu sekian lama.Alena merasa ia seperti akan melayang saking bahagianya. Alva mencium bibir Alena sekali lagi, begitu hangat dan lembut. Kemudian ia melepaskan bibir Alena, dan beralih mencium pipi Alena, terus turun, mengecup dan membelai leher Alena di dekat telinga. Alena bisa merasakan hembusan nafas Alva di telinganya, jantungnya berdetak tidak karuan. Alva masih terus menciumi leher Alena, menikmati kulit yang halus dan sensitif itu. Mendadak ia mengangkat wajahnya, lalu menatap Alena. Alena bisa melihat gairah di mata Alva, tapi ia selalu menahan dirinya. Alva membelai pipi Alena lagi, lalu merangkul Alena dengan lembut ke dalam dekapannya. Mereka saling berpelukan, mencoba menenangkan detak jantung dan nafas mereka masing-masing yang saling berpacu. Alena menyandarkan kepalanya di dada Alva. Ia tahu, Alva tak bermaksud untuk bersikap tidak sopan, mereka hanya terbuai oleh hasrat sesaat."Aku sayang kamu, Alena...," ucap Alva dengan suara lirih. Ia membelai lembut rambut Alena."Aku juga sayang kamu, Alva..."Sepertinya romantisme mereka di atas rooftop memang sangat manjur. Alena merasa jauh lebih bersemangat lagi. Ia teringat kata-kata Alva, bahwa Alva tidak akan pernah menyerah untuk bisa bersama dirinya. Kalau begitu, Alena juga tidak boleh membiarkan dirinya kalah dengan rasa takut atau rasa lelahnya. Ia harus berjuang pula untuk bisa bersama Alva. Ia giat mencari contoh soal ujian Bahasa Jerman di Goethe Institute dan ujian masuk Studienkolleg melalui internet, lalu membahas dan mengerjakannya bersama Alva. Ia juga belajar bahasa Jerman melalui video-video tutorial di internet. Alva selalu menjadi rujukannya jika mengalami kesulitan. Alva juga sering mengajaknya berlatih bicara bahasa Jerman.
Di sekolah, siswa kelas XII makin sibuk mempersiapkan diri untuk menghadapi ujian akhir nasional. Mereka sering mendapat latihan soal dan tugas. Alena, Alva, Karin, dan Lucky belajar bersama di perpustakaan, setidaknya seminggu sekali untuk menyelesaikan tugas. Sebulan sekali, sekolah juga mengadakan try out untuk membiasakan para siswa dalam menghadapi ujian akhir.Alena tidak pernah mengeluh lagi, walaupun ia merasa jenuh. Biasanya ia akan mengajak Alva berjalan-jalan, dan Alva sudah tahu maksudnya. Alva akan memboncengnya berkeliling melihat-lihat suasana kota Bantul, kadang bisa lebih jauh jika waktunya memungkinkan. Malioboro masih menjadi tempat favorit mereka.Penerbangan dari Berlin ke Sicily memakan waktu kurang lebih dua jam. Sampai di bandara tujuan, mereka naik taksi ke penginapan, yang telah dibooking oleh Herr Newman untuk mereka. Ternyata, bukan hotel biasa yang dipilih Herr Newman, melainkan sebuah resort bintang lima. Staff resort membawa mereka ke sebuah kamar suite, yang terletak di lantai paling atas.Pada saat membuka pintu kamar, Alena terperangah. Kamar suite itu sangat luas, lebih tepatnya seperti sebuah unit apartemen. Ada ruang tamu, lengkap dengan seperangkat sofa kulit berwarna putih gading, dan sebuah TV berukuran besar, di bagian depan. Dari ruang tamu, terlihat pintu kaca di samping kanan ruang tamu, yang menuju ke balkon luas. Alena dan Alva menarik koper mereka masuk ke dalam kamar."Sayang, aku ke resepsionis bentar ya, ada yang mau dilengkapi...," kata Alva. "Kamu istirahat aja dulu..."Alena mengiyakan. Alva melangkah keluar, dan menutup pintu kamar.Alena menarik
Rombongan pengantin dan pengiringnya kembali ke resort sekitar jam sepuluh. Mereka berganti pakaian, bersiap-siap untuk acara resepsi sederhana, yang dimulai jam dua belas siang.Alena kembali ke kamar hotel, bersama ketiga teman bridesmaid-nya. Teman-teman Alena tampak sangat bersemangat."Gaun ini cocok banget kan sama kulitku, lihat nih...," komentar Zahara. Ia sudah berganti dengan gaun panjang warna hijau emerald. Gaun itu berpotongan A-line dengan panjang lengan setengah, dilengkapi dengan sepasang sepatu yang warnanya senada. Jill dan Marietta juga memakai pakaian yang seragam dengan Zahara."Cocok juga sama warna mataku...," celoteh Jill, ia memang memiliki bola mata berwarna hijau tua. "Eh, by the way, Christoph bola matanya juga hijau lho...," sambungnya lagi."Cieee… Yang lagi pendekatan...," ledek Marietta, sambil tertawa bersama Zahara. Wajah Jill tampak memerah."Serius, Jill? Kamu sama Christoph?" Alena bertanya dengan
Gereja sudah terlihat di depan mata. Gereja itu berdinding abu-abu muda, dengan arsitektur neoklasik, berdiri megah di tengah lapangan rumput yang tertutup salju putih, menara loncengnya menjulang tinggi di bagian tengah. Mobil limousine berhiaskan bunga mawar merah itu berhenti di dekat pintu depan gereja.Alena turun dari mobil, dibantu oleh Zahara. Alena melengkapi penampilannya dengan sepasang anting-anting batu ruby, dan sepasang sepatu high heels berwarna gold. Ia membawa buket bunga mawar berwarna merah burgundy di tangannya. Untuk berjaga dari cuaca dingin, kostumnya juga sudah dilengkapi scarf berbahan wol, tapi ia belum mengenakannya saat ini, karena ia ingin berjalan masuk ke gereja dengan gaun pengantin putih saja.Zahara membawakan scarf Alena. Ketiga bridesmaid juga membawa buket bunga yang sama dengan Alena, dan memakai scarf kain warna gold. Tema warna yang dipilih Alena dan Alva, untuk pemberkatan pernikahan mereka di gereja, memang merah b
Tanggal 17 Januari jatuh tepat di hari Sabtu.Alenaawalnya mengira, hari-H pernikahan akan menjadi hari yang sibuk, terburu-buru, dan penuh ketegangan. Tapi kenyataannya, pagi ini, segalanya berjalan dengan santai dan tenang. Mungkin karena suasana resort yang nyaman membuat semuanya terasa lebih rileks. Alena bangun jam setengah empat pagi, tapi lebih karena ia sudah tak bisa memejamkan matanya lagi, pikirannya terus membayangkan hari besar ini.Mama sengaja membawakan sarapan ke kamar sekitar jam empat, mungkin Mama mengerti, Alena pasti tak berselera untuk makan."Coba makan dikit, Lena... Kamu harus tetap makan, biarpun nggak selera," bujuk Mama, sambil menyodorkan piring berisi roti dan omelet."Mama... Aku deg-degan...," curhat Alena, ia tersenyum gugup.Mama merangkul Alena dengan penuh kasih. "Ya emang gitu rasanya... Itu artinya, kamu udah berharap buat hari ini kan...," ujar Mama, sambil m
Tanggal 15 Januari, Papa, Mama, Kak Evan, Om Andre, serta Opa dan Oma, tiba di Berlin. Opa dan Oma tinggal di rumah orang tua Alva, sedangkan keluarga Alena menginap bersama Alena di hotel, di daerah Kreuzberg, dekat dengan rumah orang tua Alva. Malamnya, Papa Hanz mengadakan makan malam bersama di restoran, yang terletak di hotel tersebut. Bagi Alena, ini adalah momen yang sangat jarang bisa terjadi, akhirnya keluarga besarnya bertemu dengan keluarga besar Alva.Pagi hari sebelum hari H, Alva menjemput keluarga Alena, untuk berkunjung ke apartemennya, dilanjutkan ke rumah orang tuanya. Mama Clara menjamu keluarga Alena dengan makan siang. Tante Jenna juga hadir. Untuk pertama kalinya, Alena melihat Papa Hanz dan Tante Jenna saling bertegur sapa dengan ramah. Mereka sepertinya sudah dapat melupakan semua kejadian di masa lampau, dan memulai hubungan baru sebagai saudara ipar.Jam tiga sore, kesibukan pun dimulai. Seluruh keluarga besar Alena dan Alva, sert
Alena dan Alva tiba di Bandara Berlin Brandenburg sekitar jam tiga, masih ada waktu satu setengah jam sebelum pesawat Luis lepas landas. Mereka mampir ke bagian informasi. Pesawat ke Paris jam setengah lima akan berangkat dari terminal 1, ke situlah Alena dan Alva pergi.Alena sebenarnya tidak yakin bisa bertemu Luis, karena suasana bandara yang begitu ramai, dan dia tidak tahu bagaimana menghubungi Luis. Ponselnya yang lama hilang waktu disekap Brigitte, dia belum menyimpan nomor Luis di ponsel barunya. Tetap saja, dia ingin mencoba peruntungannya.Mereka tiba di terminal 1, tapi tentu saja mereka tidak punya izin untuk masuk, mereka hanya bisa menunggu di depan area keberangkatan. Bagaimana jika Luis sudah berada di dalam ruang tunggu?Satu jam lagi pesawat akan berangkat. Suara dari ruang informasi sudah bergema berulang-ulang, meminta para penumpang pesawat Air France untuk masuk ke ruang tunggu bandara. Luis belum kelihatan.