Share

9. Studienkolleg

Alena sekarang belajar sendiri di Studienkolleg tanpa ditemani Alva. Kelasnya hanya berisi tiga puluh siswa. Ada lima siswa dari Indonesia, termasuk Alena sendiri. Mereka cukup akrab dengan Alena, tapi Alena juga berteman dengan teman-teman lain dari berbagai negara. Ada yang dari Amerika Latin, Asia Timur, Afrika, dan Asia Tenggara. 

Perasaan senasib yang membuat mereka semua mudah akrab, sama-sama jauh dari keluarga, demi melanjutkan kuliah di negara yang masih terasa asing. Sebagian besar teman-teman sekelas Alena tinggal di asrama mahasiswa, yang banyak terdapat di Berlin. Mereka sering bercerita perjuangan mereka beradaptasi dengan kehidupan baru di Berlin. Namun Alena memiliki Alva dan keluarganya, ia merasa ia harus lebih bersyukur, karena tidak perlu memulai dari nol, dan menjalani semuanya sendirian.

Alena hampir tiap hari menelepon Papa dan Mama, di awal-awal kedatangannya di Berlin. Ia teringat ketika ia harus berpisah dengan orang tuanya di bandara Jogja. Alena tak bisa menahan diri untuk tidak menangis. Ia memeluk Mama lama sekali. Mama terus membelai rambutnya untuk menenangkannya, walaupun Mama sendiri juga menangis. Papa juga memeluknya dan membisikkan nasihat di telinganya. Nasihat supaya ia menjaga diri, tekun belajar, dan tentu saja, tidak pernah melupakan Tuhan. 

Sekarang ia menelepon keluarganya sekitar dua atau tiga kali seminggu, selain karena ia sudah mulai terbiasa dengan kehidupan di Berlin, juga karena lebih disibukkan dengan belajar.

Seperti hari ini, setelah selesai pelajaran di kelas, Alena dan beberapa temannya belajar di perpustakaan untuk materi yang baru. Mereka harus selalu mempersiapkan diri sebelumnya, kemandirian dan disiplin memang sangat ditonjolkan dalam sistem pendidikan di Jerman.

"Aku sebenarnya bosan belajar terus kayak gini. Padahal ini lagi musim semi, kan enak banget kalau bisa jalan-jalan. Aku pingin ke klub malam...," celoteh Paula, seorang siswi dari Brazil. 

Ia memiliki wajah eksotis dan tubuh seksi, khas gadis Brazil. Kebetulan ia juga berniat untuk mendaftar ke Universitat der Kunste jurusan Teater, sama seperti Alena. Mungkin karena kesamaan tujuan itu yang membuat Paula sering mengikuti Alena ke mana-mana. 

Alena sebenarnya tak bermaksud untuk membeda-bedakan teman, tapi ia hanya merasa sifat Paula sangat berbeda dengannya. Mungkin karena budaya di negara asalnya, Paula sangat bebas dalam berpakaian maupun berbicara. Ia berani memakai pakaian terbuka, secara terang-terangan merayu teman cowok yang sekelas, atau cowok lain yang ditemuinya di mana pun, dan jelas bahwa ia tidak asing dengan kehidupan malam, seperti diskotik atau klub malam.

Ia pernah merayu Alva, sebelum akhirnya ia tahu Alva bersama Alena. Tapi Alena menghargai bahwa Paula punya rasa setia kawan yang tinggi, ia tak pernah mengganggu Alva lagi sejak saat itu. 

Alena sebenarnya juga bingung kenapa Paula senang bersamanya. Apakah Paula tidak merasa kalau mereka kurang cocok? Paula begitu cuek, blak-blakan, dan tak terlalu peduli sopan santun. Alena seringkali tidak menanggapi, jika temannya itu berkomentar yang kurang pantas. Tapi tetap saja Paula mau berada di dekatnya.

"Nanti weekend, kamu bisa sepuasnya jalan-jalan. Sekarang kan masih jadwal sekolah," Akiko yang menanggapi. Ia siswi dari Jepang yang berniat mengambil jurusan hukum. Akiko orangnya memang serius dan disiplin, mungkin karena itu, ia agak kesal mendengar kata-kata Paula.

"Ah, ini baru hari Selasa, kelamaan.. Kalau belajar terus, kepalaku pusing. Lagian, aku nggak ngajak kamu kok...," omel Paula sambil menatap sinis pada Akiko. Akiko hanya mendengus kesal.

"Aku belum pernah ke Zoologischer Garten. Katanya itu kebun binatang terbesar di Eropa ya?" Erlin mencoba menyarankan. Erlin adalah salah satu siswi dari Indonesia, asalnya dari Jakarta.

"Atau Grunewald Forest, kita bisa piknik di hutan," sambung Frans. 

Frans juga siswa dari Indonesia, tepatnya Surabaya. Frans sering bersama-sama Alena dan Alva, waktu Alva masih di Studienkolleg, ia sepertinya senang berteman dengan Alva. Sekarang setelah Alva lulus, Frans jadi sering berteman dengan Alena, tapi Alva sudah tahu dan ia tidak keberatan. Lagipula Frans teman yang baik, dan tidak punya maksud lain pada Alena. Frans bertubuh kurus dan berkacamata. 

"Buat apa nonton binatang, apalagi piknik? Payah... Emangnya di negara kalian nggak ada?" keluh Paula, ia memang sangat frontal dalam bicara. "Kalian harus coba ke klub KitKat... Di situ keren banget!" ia menyebutkan nama salah satu klub malam di Berlin.

Alena belum pernah mendengarnya, ya tentu saja dia juga tak tertarik untuk pergi ke situ. Tidak ada yang menanggapi Paula, mungkin mereka semua juga sama tidak tahunya dengan Alena. Paula sepertinya kesal, karena tidak ada yang merespon, ia memang sebenarnya kurang cocok dengan kelompok ini. Teman-teman Alena kebanyakan serius belajar dan masih polos.

"Eh, Alena... Kamu bisa ajak Alva ke KitKat juga kalau mau, kalau dia takut kamu macam-macam," Paula beralih bicara dengan Alena saja. Itu yang sering dilakukannya, jika teman-teman lain sudah mendiamkannya. "Kalian bisa nari telanjang berdua!" Paula tertawa dengan suara keras.

Alena baru mau menyuruhnya memelankan suara, tapi hampir semua orang di sekitar situ sudah menoleh dan memasang wajah marah.

"Ssshh….," suara desisan terdengar dari berbagai arah. Mereka memang sedang berada di perpustakaan yang diwajibkan menjaga ketenangan.

Paula langsung terlihat cemberut. Tapi ia berpura-pura cuek.

"Nggak bisa, Paula. Aku nggak suka ke klub," Alena akhirnya menjawab dengan suara pelan. 

"Kamu udah pacaran, tapi kok masih polos banget sih? Jangan-jangan, kamu juga belum pernah ciuman sama Alva?" Paula sudah mau tertawa lagi, tapi Akiko langsung menegur dengan wajah marah.

"Sssttt….," desis Akiko sambil melotot. 

Paula juga melototkan matanya, tapi akhirnya ia memilih diam saja. Alena merasa lega, Paula sudah tidak berceloteh yang macam-macam.

Tiba-tiba, Paula berdiri dan berjalan keluar dari perpustakaan, mungkin ia mencari teman lain yang lebih sependapat dengannya. Alena dan teman-temannya hanya saling berpandangan sambil mengangkat bahu. Mereka meneruskan belajar, kali ini tanpa ada gangguan lagi.

Malamnya, Alva menelepon Alena. Ia tidak bisa bertemu dengan Alena hari ini, jadwal kuliah dan kursusnya padat. Jarak dari Universitat der Kunste ke Studienkolleg juga tidak dekat, harus ditempuh dengan naik kereta. Tapi Alena sudah mengerti dan sering mengatakan kepada Alva, bahwa mereka memang tak harus bertemu setiap hari, yang penting tetap menjaga komunikasi. Akhir pekan atau hari liburlah yang menjadi waktu mereka bersama.

"Gimana kuliah hari ini?" Alena memulai bertanya.

"Tadi ada dosen yang tahu, kalau aku anak Papa. Dia manggil aku habis ngajar, terus dia ngajak aku join proyeknya dia. Belum tahu sih proyek apa, tapi aku bilang asal waktunya sesuai, aku mau ikut...," cerita Alva.

"Waw… Bagus dong, kamu udah ditawarin proyek dosen. Kayaknya kamu terkenal ya di kampus...," Alena menanggapi sambil tertawa.

"Kalau terkenal untuk yang baik nggak apa-apa kan...," sahut Alva dengan santai.

"Ya malah bagus banget, Alva... Kalau kursus kamu gimana?" tanya Alena lagi. 

"Lagi banyak tugas praktek aja. Makanya aku sering keliling naik sepeda, cari objek yang cocok."

"Oh…yang penting nggak ganggu kuliah kamu kan..."

"Nggak kok, masih santai. Kursusnya tinggal enam bulan lagi, habis itu aku dapat sertifikat, terus bisa mulai kerja freelance," jawab Alva.

Alena tersenyum dan mengiyakan. Alva benar-benar ingin cepat bekerja dan mandiri. Sepertinya itu juga sudah menjadi kebiasaan sebagian besar pemuda di Eropa, mereka cenderung sudah mandiri pada usia kuliah.

"Kalau kamu gimana hari ini?" giliran Alva yang bertanya.

"Tahu nggak, hari ini ada kejadian lucu. Masa Paula mau ngajak teman-teman ke klub malam? Kamu bisa kebayang kan, wajah Akiko waktu dengar itu..." Alena tertawa mengingat kejadian tadi siang di perpustakaan.

"Kamu masih sering sama Paula? Kalau aku lihat, kamu nggak nyaman kalau dekat dia...," Alva menanggapi. Alva memang sudah sangat memahami Alena, ia selalu punya penilaian yang tepat. "Aku sih yakin kamu nggak bakal terpengaruh sama dia, tapi hati-hati aja... Kadang kita nggak tahu alasan orang berteman sama kita. Biarpun udah jelas nggak cocok, tapi dia kayaknya tetap ngikutin kamu terus,"  Alva mengingatkan.

"Iya…tapi ya mau gimana? Aku nggak mungkin ngomong ke dia, kalau aku nggak nyaman berteman sama dia kan... Biasanya, aku nggak terlalu nanggapin juga, kalau dia udah mulai ngawur. Mungkin dia cuma nggak punya teman lain. Teman-teman lain juga kurang suka sama sikapnya," Alena bercerita panjang lebar. "Kata Erlin, dia kasar dan bawa pengaruh buruk..."

"Kamu emang selalu baik sama semua orang, kadang terlalu baik...," ucap Alva, suaranya terdengar lembut. "Itu yang buat aku makin sayang kamu..."

Alena tertawa kecil, hatinya terasa hangat. "Aku jadi kangen kamu...," katanya dengan nada manja.

"Aku juga kangen, Sayang... Besok Sabtu kita bisa ketemu," jawab Alva.

"Iya, Alva..."

Mereka masih terus mengobrol selama setengah jam, lalu mereka saling mengucapkan selamat istirahat, dan Alena pun menutup teleponnya.

*

Lima bulan kemudian, ujian FSP sudah di depan mata. Bagi Alena yang mengambil G-Kurs untuk masuk ke jurusan teater, ada tiga mata ujian yang harus diikutinya, yaitu Bahasa Jerman, Sejarah, dan mata ujian pilihan Geografi. Alena dan teman-temannya sudah tekun belajar dan mempersiapkan diri dengan baik.

Hari ini hari Jumat, hari terakhir ujian. Alena pulang lebih awal, jam sebelas siang dia sudah tiba di rumah Tante Jenna. Tante Jenna sedang duduk sendiri di kedainya sambil minum kopi. Sekarang sudah memasuki bulan Agustus, di Berlin sedang musim panas. Di tengah hari yang panas seperti ini, jarang ada pembeli yang datang sampai menjelang sore. 

"Wah, kamu pulang lebih cepat...," sambut Tante Jenna. "Gimana ujiannya?" 

"Lancar, Tante. Doakan ya, semoga aku lulus...," jawab Alena. 

"Pasti dong... Akhirnya, udah selesai juga ya Studienkolleg. Setelah ini, kamu mulai kuliah," kata Tante Jenna dengan nada riang.

Alena tersenyum. "Iya, Tante... Kalau dibandingkan teman-teman seangkatan aku di Indonesia, mereka udah kuliah semester dua, bentar lagi naik semester tiga."

"Nggak apa-apa...," komentar Tante Jenna sambil membelai rambut panjang Alena. "Kamu anak pintar, pasti kamu juga bisa cepat lulus kuliah dalam tiga tahun. Kalau jurusan musik sama teater, biasanya bisa lebih cepat."

"Iya, semoga ya, Tante..."

"Alva mau datang hari ini?" 

"Katanya nggak bisa, Tante. Dia juga lagi ujian semester hari ini, sampai sore. Besok baru kami ketemu," jawab Alena.

"Oh...," ujar Tante Jenna. "Kalau gitu, kamu mau ikut Tante nggak? Kita pergi ke satu tempat yuk..."

"Ke mana, Tante?" tanya Alena penasaran. 

Tante Jenna jarang mengajaknya pergi, ia lebih sering menghabiskan waktu di kedai, setahu Alena.

"Nanti kamu lihat." Tante Jenna tersenyum penuh rahasia.

*

Mereka tiba di depan sebuah bangunan bertingkat dua berwarna putih. Tulisan di depan bangunan dalam bahasa Jerman, jika diartikan adalah Klinik Glück, Pusat Rehabilitasi Kanker Untuk Anak. Alena memandang Tante Jenna dengan penuh tanda tanya, seolah meminta penjelasan. Tante Jenna tersenyum, lalu mulai bercerita.

Klinik itu adalah sebuah klinik non-profit, yang merawat anak-anak penderita kanker stadium awal dan penyintas kanker, mereka yang berhasil melawan kanker, tapi masih tetap membutuhkan terapi dan rehabilitasi. Karena sifatnya non-profit, klinik itu banyak mengandalkan bantuan dari para donatur, bahkan banyak staff klinik yang bekerja sukarela. Mungkin itulah sebabnya, klinik seringkali kekurangan tenaga staff, kerja sukarela sepertinya kurang menarik di zaman sekarang. Para pengurus klinik berjuang untuk bertahan dalam kondisi sulit. Tante Jenna berupaya memberikan apa yang bisa dilakukannya, ia menyumbangkan tenaga dan waktunya untuk menghibur anak-anak. 

Siang itu, Tante Jenna membawakan kue kering buatannya, yang telah ia bungkus per anak. Ada sekitar tiga puluh anak yang dirawat saat ini. Mereka sepertinya sudah sangat mengenal Tante Jenna, ia disambut dengan gembira, begitu pula oleh para staff klinik. 

Alena memandang anak-anak itu. Mereka sebagian besar kehilangan rambut di kepala mereka akibat efek kemoterapi. Tapi keceriaan dan semangat hidup terlihat di wajah-wajah polos mereka. Alena merasa terharu dan kagum dengan tindakan Tante Jenna. Selama ini, ia diam-diam membantu, tanpa pernah menggembar-gemborkan bantuannya. 

Tante Jenna membacakan cerita untuk anak-anak. Alena awalnya merasa bingung apa yang harus dilakukannya. Akhirnya, ia memilih untuk mengajak mereka menyanyi beberapa lagu anak-anak berbahasa Jerman yang ia tahu. Ternyata sering menonton video musik berbahasa Jerman di internet membawa keuntungan tersendiri bagi Alena. Anak-anak itu merespon dengan gembira, mereka dengan cepat menyukai Alena. Alena dan Tante Jenna terus menghibur mereka dengan cerita dan nyanyian. Anak-anak ikut bertepuk tangan dan bernyanyi bersama, wajah mereka terlihat begitu bersemangat. Pengalaman yang benar-benar baru bagi Alena.

*

Sabtu pagi, Alva mengajak Alena berjalan-jalan di pusat kota Berlin. Mereka naik kereta bawah tanah, yang populer dengan sebutan U-Bahn, dari stasiun terdekat dari rumah Tante Jenna, menuju kawasan Alexanderplatz.

Alexanderplatz berupa lapangan dan taman yang luas di tengah kota Berlin. Mereka berdua berjalan kaki dengan santai. Alva asyik memotret dengan kameranya.

Tidak jauh dari situ, terdapat Berliner Dom atau Gereja Katedral Berlin. Gereja berarsitektur indah itu sangat megah di mata Alena. Mereka berdua masuk ke dalam gereja untuk melihat-lihat. Suasana cukup ramai, banyak pengunjung lain. Musim panas memang waktu berkunjung yang sangat populer bagi para turis untuk menikmati kota Berlin.

Setelah itu, mereka berjalan bergandengan tangan menyusuri pinggir Sungai Spree. Cuaca hari ini begitu nyaman, tak terlalu panas. Dan hati Alena juga sangat bersemangat hari ini.

"Kamu juga suka lihat sungai?" tanya Alva tiba-tiba. Mungkin dia melihat wajah Alena yang ceria.

Alena tersenyum. "Aku suka objek wisata yang ada airnya... Nggak tahu, suka aja, kayaknya tenang gitu kalau lihat aliran air..."

Alva tersenyum mendengarnya. Ah, senyuman itu... Alena bisa puas hanya memandangi senyuman Alva sepanjang hari.

Mereka berhenti di tepi sungai yang tidak terlalu ramai, mengamati aliran sungai yang tenang. Alena tak bisa menahan diri, ia harus menceritakan tentang pengalamannya kemarin di Klinik Glück. Alva mendengarkan ceritanya dengan penuh perhatian.

"Aku kagum sama Tante Jenna...," Alena mengakhiri ceritanya. Matanya berbinar menatap permukaan air sungai yang jernih. Alva memandangnya.

"Tante Jenna memang baik banget... Aku selama ini malah nggak tahu, kalau dia sering bantu klinik itu," respon Alva. Ia seperti sedang berpikir. "Kamu bilang, klinik itu kekurangan staff?"

"Iya..., kata Tante Jenna, para staff sebagian besar sukarela, mungkin karena itu jumlahnya terbatas."

"Aku pernah baca di berita, itu emang jadi masalah di sebagian rumah sakit atau klinik di Berlin. Sebenarnya penyebabnya karena distribusi tenaga kesehatan yang nggak merata, mereka lebih banyak yang bekerja di luar Berlin. Onkel Hanz juga pernah cerita soal ini. Pemerintah harusnya kasih perhatian lebih untuk masalah ini," Alva menjelaskan panjang lebar. 

Alena memandang Alva sambil tersenyum. Alva memang selalu berpikir dewasa, dan punya penilaian yang kritis terhadap suatu masalah.

"Kalau kamu mau, kita bisa ke sana, biar kamu bisa lihat sendiri. Anak-anak itu semangat lho, mereka juga senang banget kalau ada yang hibur mereka...," Alena menawarkan dengan riang.

Wajah Alva tampak cerah, ia mengangguk setuju.

Sore sekitar jam tiga, Alena, Alva, dan Tante Jenna tiba di Klinik Glück. Alena mengatakan kepada Tante Jenna, bahwa Alva juga ingin ikut ke klinik, dan Tante Jenna menyambut dengan gembira. Tante Jenna dan Alena terlebih dulu membuat puding dan kue kering untuk anak-anak, kemudian mereka pun berangkat bersama-sama dengan bus. Alva membawa biolanya. 

Kedatangan mereka disambut dengan sukacita oleh anak-anak dan staff klinik. Apalagi ketika Alva memainkan biolanya untuk mengiringi Alena bernyanyi, anak-anak semuanya ikut menyanyi dengan semangat. Suasana menjadi akrab dan ceria. 

Setelah puas menyanyi, anak-anak itu minta dibacakan cerita oleh Alena dan Tante Jenna. Saat mereka sedang bercerita, Alena melihat Alva meninggalkan ruangan rekreasi itu bersama seorang staff klinik, mereka tampak mengobrol dengan serius. Alena melanjutkan ceritanya, tapi ia penasaran apa yang sedang dilakukan Alva.

Mereka menghabiskan waktu sekitar tiga jam di Klinik Glück, kemudian pulang kembali ke rumah Tante Jenna. Tante Jenna bersikeras, Alva harus ikut makan malam dulu di rumah. Mereka bertiga duduk di ruang duduk, yang merangkap ruang makan, di lantai dua rumah Tante Jenna. Tante Jenna hanya memasak ayam bakar madu, tapi mereka semua makan dengan lahap.

Setelah selesai makan dan mengobrol sebentar, Alva berpamitan pulang. Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Alena yang mengantarnya sampai ke pintu depan.

"Hati-hati ya, udah malam...," pesan Alena. 

Alva menuntun sepedanya. Ia tersenyum.

"Nggak usah kuatir. Kalau di Berlin, nggak ada istilah udah malam, kotanya hidup 24 jam. Di jalan tetap rame kok..."

"Iya sih... Tapi aman kan?"

"Aman…"

"Oya, tadi waktu kami lagi baca cerita, aku lihat kamu ngobrol sama staff klinik. Terus, kamu jalan keluar. Ke mana?" tanya Alena ingin tahu. 

"Aku cuma tanya-tanya, apa yang bisa dibantu. Tadi staff itu kenalin aku sama salah satu pengurus yayasan, aku pikir, mungkin Onkel Hanz tahu cara bantu mereka," jawab Alva.

Alena tersenyum. Alva selalu bertindak cepat dengan perbuatan nyata, bukan kata-kata. "Semoga ya...," kata Alena penuh harap.

Alva mendekat, merangkul pinggang Alena, dan mengecup keningnya dengan lembut. Itu sudah menjadi kebiasaan, setiap kali mereka bertemu atau berpisah. Alena memegang pipi Alva, memberikan belaian lembut dan senyum manisnya. Alva membalas senyumannya. Kemudian Alva naik ke sepedanya, dan mengayuhnya berlalu. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status