Di hari pertama kuliah ini, cuma ada tiga mata kuliah. Setelah semua kelas berakhir, Alena dan Jill pergi ke perpustakaan untuk mencari materi.
Jill seorang gadis bertubuh kurus tinggi, berambut pirang sebahu, dan bermata hijau. Orangnya selalu bicara blak-blakan, tapi bagi Alena, ia teman yang enak diajak diskusi. Mereka juga punya beberapa kesamaan, seperti senang belajar di perpustakaan. Mereka duduk di salah satu sudut bagian dalam perpustakaan, dekat jendela. Di sini, suasana lebih sepi, karena agak tersembunyi."Tadi yang duduk di samping kamu siapa sih?" Jill tiba-tiba bertanya."Itu Paula, dari Jurusan Akting. Dulu kami satu kelas, waktu di Studienkolleg," jawab Alena."Oh… Orangnya agak berisik ya...," keluh Jill terang-terangan. Alena tersenyum kecut, ternyata bukan hanya dia yang terganggu. Mereka masih terus membaca, sampai akhirnya Jill berkata, dia harus pulang lebih dulu. Alena sudah ada janji bertemu Alva sekitar jam satu. Sekarang masih jam dua belas kurang. Ia memutuskan untuk menunggu di perpustakaan. Alena berjalan menyusuri lorong-lorong rak buku yang menjulang sampai ke langit-langit. Perpustakaan Fakultas ini benar-benar memanjakan pecinta buku, dia bisa betah berlama-lama di sini.Setelah mengambil buku yang dibutuhkan, Alena berjalan kembali ke tempat duduknya tadi. Kepalanya masih menunduk membaca buku, sampai sebuah suara mengagetkannya.
"Alena Paramitha... Alena, bahasa Irlandia artinya gadis cantik. Paramitha, bahasa Sansekerta artinya kesempurnaan. Jadi, Alena Paramitha artinya gadis yang kecantikannya sempurna."Alena tersentak mendengar suara yang berasal dari belakangnya itu. Ia sengaja tidak mau menoleh, dan berharap bisa berada di tempat lain saja. Asisten dosen, yang bernama Luis itu, melangkah perlahan ke depan mejanya. Alena mengangkat wajahnya, pria itu sedang tersenyum menatapnya. Alena merasa kakinya jadi lemas, kenapa mereka bisa bertemu di sini?"Guten Tag, Herr Sanchez...," sapa Alena dengan suara pelan. Pria itu masih tersenyum lebar. "Panggil aja Luis, Alena... Kamu nggak ingat aku?" jawabnya dengan cepat. Ia langsung menarik kursi, dan duduk berhadapan dengan Alena. Matanya masih terus menatap, Alena tak bisa mengartikan tatapannya.Jadi dia memang Luis, yang pernah bertemu dengan Alena di Jogja! Ia sudah kelihatan agak berbeda, tubuhnya kekar seperti orang yang sering latihan di gym, dan wajahnya bercambang. Alena sesaat terdiam, tidak tahu harus berkata apa. "Bagaimana Anda bisa ada di sini?" akhirnya Alena bersuara, ia masih menggunakan bahasa yang formal."Aku juga mau tanya hal yang sama. Tapi oke, aku yang cerita duluan." Luis sebaliknya berbicara dengan bahasa Jerman yang informal, seperti dengan teman sebayanya."Setelah lulus dari ISI, aku balik ke Spanyol. Aku mau lanjut S2, dan pilihan pertamaku Universitat der Kunste. Jelas aja, siapa sih yang nggak mau kuliah di universitas seni terbesar di Eropa? Jadi aku ngelamar S2 ke sini, akhirnya diterima. Ini aku baru aja selesai S2, aku suka ngajar, aku ngelamar jadi asisten dosen. Voila! Akhirnya, aku jadi asisten Professor Moretti, dan...itu yang buat aku bisa ketemu kamu lagi...," Luis mengakhiri ceritanya dengan menyeringai lebar."Sekarang giliran kamu yang cerita, Alena Paramitha...," Luis sengaja memanggil nama lengkapnya. Alena mulai merasa tidak nyaman, tapi ia berusaha bersikap sewajar mungkin. "Aku dari dulu memang rencana kuliah di jurusan teater...," jawab Alena singkat.Luis memandang dengan alis terangkat, seolah menunggu cerita lebih lanjut. "Terus... Kamu pergi jauh banget dari Jogja, hampir separuh dunia, sampai ke Jerman, cuma karena itu?" tanya Luis dengan dahi berkerut.Alena mendadak mendapat ide, ide yang mungkin bisa membantu menjauhkan Luis darinya."Kekasihku, Alva, orang Berlin. Jadi aku ikut dia ke sini, supaya kami bisa selalu bersama. Dia kuliah di jurusan Musik, aku di jurusan Teater, di sini, di Universitat der Kunste," jawab Alena dengan tegas. Ia merasa jauh lebih berani sekarang.
Raut wajah Luis tampak berubah sesaat, keceriaannya hilang. Tapi sedetik kemudian, ia tersenyum lagi. "Oh... The violinist. Ya, aku masih ingat. Kalian masih pacaran? Kamu berkorban banyak ya, harus pergi jauh ninggalin Jogja," komentar Luis."Nggak kok..., yang penting kami bisa bersama. Lagipula, aku yang milih ikut dia, bukan dia yang minta. Alva udah lama ninggalin Berlin, udah saatnya dia pulang ke keluarganya," jawab Alena lagi. Dia merasa harus bicara dengan nada tegas, supaya Luis bisa menganggapnya serius.Luis tersenyum lagi. "Lucu banget ya, semua kebetulan ini... Aku kaget, waktu pertama kali lihat kamu di kelas tadi, makanya aku sengaja baca daftar nama, buat pastiin kalau ini emang kamu, Alena..." Luis mengalihkan pembicaraan.Jadi Luis sudah melihat dan mengenali dia sebelum mengabsen tadi? Alena berusaha menahan rasa kagetnya, dia tidak merespon. Rasanya sudah saatnya dia mencari alasan untuk pergi."Jadi, kamu tinggal di mana sekarang?" tanya Luis."Di rumah Tantenya Alva," jawab Alena dengan cepat.Luis mengerutkan dahinya lagi. "Kamu serumah sama pacarmu?" "Nggak, kita beda rumah. Tapi karena udah kenal dekat, aku tinggal sama Tantenya Alva. Biar lebih mudah adaptasi juga.""Di mana itu?""Agak jauh, di luar pusat kota."Luis tersenyum lebar. Sepertinya Luis tahu, Alena sengaja tidak mau mengatakan alamatnya."Aku tinggal di apartemen di daerah Schöneberg, nggak jauh dari sini," ia menyebutkan sendiri tempat tinggalnya tanpa ditanya. "Kamu udah sering keliling Berlin? Udah berapa lama kamu di Berlin? Oh, pasti kamu ikut Stud...mmm…," Luis seperti sedang mengingat-ingat."Studienkolleg. Iya, aku ikut Studienkolleg dulu setahun," ujar Alena. Alena mulai mengemasi bukunya. "Maaf, Herr Sanchez. Aku udah janji ketemu Alva," sambung Alena sambil berdiri dari kursinya. Luis ikut berdiri. "Astaga, Alena... Panggil aja Luis...," ia memprotes."Tapi di sini masih lingkungan kampus. Anda asisten dosen.""Aku nggak peduli. Orang-orang Berlin itu hidup bebas kok, mereka juga nggak terlalu peduli sopan santun."Alena menatap Luis. "Baiklah, Luis... Aku duluan ya...," pamit Alena, sambil berjalan ke rak buku untuk mengembalikan buku ke tempatnya. Luis ternyata masih mengikuti dia dari belakang. "Satu lagi, Alena... Kamu yakin, kamu nggak punya keturunan Latin? Karena makin dewasa, menurutku kamu makin mirip gadis Latin. Wajah kamu, mata kamu, dan tubuh kamu...." Luis terdiam sesaat. Alena sudah menaruh buku di rak. Ia menoleh, Luis ternyata berdiri dekat di belakangnya, seperti sedang memandangi dia dari atas sampai ke bawah. Alena tersentak kaget, tapi berusaha menguasai dirinya."Waktu aku lihat kamu di kelas tadi, kalaupun aku nggak kenal kamu sebelumnya di Jogja, aku tetap bakalan tertarik lagi sama kamu....," kata Luis dengan suara setengah berbisik. Ia tersenyum sambil menatap Alena. Walaupun ia memakai kacamata, Alena bisa melihat kilatan sinar di bola matanya. Alena mulai gelisah. Luis tidak berubah, tetap saja terang-terangan menunjukkan rasa tertarik pada dirinya, dan kali ini malah lebih berani lagi! Alena cepat-cepat melangkah menjauh, ia tak peduli, bahkan kalaupun Luis adalah dekannya! "Tschüss, Luis...," serunya sambil berjalan terus, tanpa menoleh lagi ke belakang.*
Alena berjalan ke gedung Fakultas Musik. Masih kurang setengah jam lagi dari jam satu, Alva pasti belum selesai kuliah. Alena mengambil ponselnya dan mengirim chat ke Alva, bahwa dia akan menunggu di luar gedung perpustakaan Fakultas Musik. Kemudian dia duduk di bangku taman, di samping perpustakaan, dari situ bisa terlihat pintu depan perpustakaan, jika Alva mencarinya. Sekarang adalah awal musim gugur, cuaca belum begitu dingin. Alena memakai jaket dan syal di luar blouse-nya untuk tetap merasa hangat.
Alena menghela nafas panjang. Hari ini terasa sangat tidak nyaman. Ia masih tak percaya semua kebetulan ini. Apakah dia harus cerita ke Alva? Tapi untuk apa? Jika dia cerita, seolah-olah Luis jadi begitu penting. Padahal Luis hanya pria yang tak sengaja bertemu dengan Alena di konser musik klasik, dan sekarang menjadi asisten dosennya. Alena juga tidak punya perasaan apa-apa pada Luis. Satu-satunya yang membuat dia tidak nyaman, adalah sikap Luis yang dengan agresif menunjukkan rasa tertarik, walaupun Alena sudah menyatakan dengan jelas bahwa ia bersama Alva.Alena menyibukkan diri dengan ponselnya, supaya tidak usah memikirkan kejadian hari ini. Tak lama kemudian, Alena melihat Alva berjalan ke arah perpustakaan, langkahnya agak terburu-buru. Alva memakai kemeja merah berlengan pendek, celana panjang warna hitam, dan menyandang ransel. Jaket hoodie-nya tersampir di bahu. Alena berdiri dan menyambut Alva dengan senyuman."Udah lama, Sayang?" tanya Alva begitu berada di hadapannya. "Kenapa kamu nunggu di sini? Aku bisa jemput kamu di perpus fakultas kamu." Alva merangkulnya dan mencium keningnya, sesuatu yang sangat disukai Alena."Nggak apa-apa, Alva... Aku pingin lihat suasana kampus kamu aja," sahut Alena sambil tersenyum. Ia merasa ini bukan tempat yang nyaman untuk bercerita.Alva menggandengnya dengan lembut. "Ayo kita ke kantin, ada yang mau aku ceritakan..."Wajah Alva terlihat cerah. Alena merasa bersemangat lagi. Mereka berdua berjalan ke arah kantin Fakultas Musik.Setelah mereka memesan makanan dan menempati tempat duduk, Alva mulai bercerita. "Kamu ingat ceritaku, ada dosen yang nawarin aku proyek? Tadi dia panggil aku, namanya Professor Meyer. Dia minta ide dari aku, proyek apa yang bisa dipentaskan musim panas tahun depan. Harus yang beda, katanya. Kalau oke, dia bersedia ajukan dana ke fakultas. Jadi aku tiba-tiba kepikiran, sesuatu yang bisa berguna buat Klinik Glück...," Alva berkata dengan antusias. "Aku pikir, kita bisa latih anak-anak di klinik untuk nyanyi dan main alat musik. Pastinya butuh bantuan teman-teman lain dari kelasku. Kita buat sebuah mini konser untuk menggalang dana, sekaligus promosi Klinik Glück. Aku udah tanya ke Onkel Hanz, yang dibutuhkan klinik yang kekurangan staff seperti Klinik Glück, adalah gimana caranya menarik perhatian pemerintah dan masyarakat. Sebenarnya pemerintah pasti punya dana dan tenaga. Tapi karena terlalu banyak klinik negeri dan swasta di mana-mana, kadang penyebaran bantuan jadi nggak merata. Makanya kita harus cari cara, supaya Klinik Glück jadi dikenal. Nanti dengan sendirinya, tenaga kesehatan yang tertarik juga akan sukarela membantu," Alva bercerita panjang lebar.Alena mendengarkan dengan penuh perhatian, makin ia mengetahui rencana Alva, makin ia mengagumi pemikiran dan niat baik Alva. Ternyata selama ini, Alva terus memikirkan bagaimana caranya membantu Klinik Glück keluar dari kesulitan, bukan hanya untuk sesaat, tapi seterusnya. "Kita cuma punya waktu sekitar enam sampai tujuh bulan buat latih anak-anak, harusnya cukup. Aku juga udah minta bantuan beberapa teman kelasku, mereka mau bantu. Sekarang yang aku butuhkan...dukungan dari kamu sama Tante Jenna," Alva mengakhiri ceritanya.Alena langsung menggenggam tangan Alva dengan lembut. "Alva, udah pasti aku dukung banget... Justru aku kagum, kamu selama ini ternyata mikirin terus gimana caranya bantu Klinik Glück ya..."Alva tersenyum dan membalas genggaman tangan Alena. "Ini buat kamu juga, Sayang..."Hati Alena terasa hangat mendengar kata-kata Alva. Hari yang tadinya terasa sangat tidak nyaman, berubah menjadi sangat menggembirakan. Ia tak sabar ingin segera memulai proyek ini dengan Alva, Tante Jenna, dan semua yang ada di Klinik Glück. Gangguan kecil seperti Luis tadi tidak ada artinya sama sekali.*
Alena, Alva, dan Tante Jenna berkunjung lagi ke Klinik Glück pada hari Sabtu. Sesuai dugaan Alena, sudah pasti pengurus klinik dan anak-anak menyambut dengan gembira seluruh rencana proyek Alva. Langkah berikutnya adalah menyusun jadwal latihan, dan mempersiapkan lagu dan alat musik.
Alva terus berkoordinasi dengan dosennya dan teman-temannya yang bersedia terlibat. Ia menjadi ketua proyek tersebut. Alva yang menyusun jadwal latihan, meminjam alat musik dari kampusnya, dan memilih susunan lagu yang akan dimainkan. Ia dan teman-temannya juga mengaransemen ulang lagu-lagunya, menyesuaikan dengan kemampuan vokal dan alat musik yang ada. Alena dan Tante Jenna membantu sebisa mungkin untuk melatih anak-anak bernyanyi. Mereka juga selalu membawakan konsumsi, untuk anak-anak dan semua yang terlibat dalam latihan, supaya mereka tetap bersemangat.Saat musim dingin tiba, latihan agak berkurang intensitasnya, karena cuaca yang kadang kurang mendukung mereka untuk pergi ke klinik pada sore hari. Seringkali, hujan atau salju turun di sore sampai malam hari. Jika sudah demikian, mereka biasanya hanya berlatih di hari libur atau Sabtu dan Minggu. Namun semuanya tetap antusias. Alena selalu terharu melihat bagaimana anak-anak, para staff klinik, dan para mahasiswa itu bisa bekerja sama dengan kompak, semuanya disatukan oleh tujuan yang sama.Penerbangan dari Berlin ke Sicily memakan waktu kurang lebih dua jam. Sampai di bandara tujuan, mereka naik taksi ke penginapan, yang telah dibooking oleh Herr Newman untuk mereka. Ternyata, bukan hotel biasa yang dipilih Herr Newman, melainkan sebuah resort bintang lima. Staff resort membawa mereka ke sebuah kamar suite, yang terletak di lantai paling atas.Pada saat membuka pintu kamar, Alena terperangah. Kamar suite itu sangat luas, lebih tepatnya seperti sebuah unit apartemen. Ada ruang tamu, lengkap dengan seperangkat sofa kulit berwarna putih gading, dan sebuah TV berukuran besar, di bagian depan. Dari ruang tamu, terlihat pintu kaca di samping kanan ruang tamu, yang menuju ke balkon luas. Alena dan Alva menarik koper mereka masuk ke dalam kamar."Sayang, aku ke resepsionis bentar ya, ada yang mau dilengkapi...," kata Alva. "Kamu istirahat aja dulu..."Alena mengiyakan. Alva melangkah keluar, dan menutup pintu kamar.Alena menarik
Rombongan pengantin dan pengiringnya kembali ke resort sekitar jam sepuluh. Mereka berganti pakaian, bersiap-siap untuk acara resepsi sederhana, yang dimulai jam dua belas siang.Alena kembali ke kamar hotel, bersama ketiga teman bridesmaid-nya. Teman-teman Alena tampak sangat bersemangat."Gaun ini cocok banget kan sama kulitku, lihat nih...," komentar Zahara. Ia sudah berganti dengan gaun panjang warna hijau emerald. Gaun itu berpotongan A-line dengan panjang lengan setengah, dilengkapi dengan sepasang sepatu yang warnanya senada. Jill dan Marietta juga memakai pakaian yang seragam dengan Zahara."Cocok juga sama warna mataku...," celoteh Jill, ia memang memiliki bola mata berwarna hijau tua. "Eh, by the way, Christoph bola matanya juga hijau lho...," sambungnya lagi."Cieee… Yang lagi pendekatan...," ledek Marietta, sambil tertawa bersama Zahara. Wajah Jill tampak memerah."Serius, Jill? Kamu sama Christoph?" Alena bertanya dengan
Gereja sudah terlihat di depan mata. Gereja itu berdinding abu-abu muda, dengan arsitektur neoklasik, berdiri megah di tengah lapangan rumput yang tertutup salju putih, menara loncengnya menjulang tinggi di bagian tengah. Mobil limousine berhiaskan bunga mawar merah itu berhenti di dekat pintu depan gereja.Alena turun dari mobil, dibantu oleh Zahara. Alena melengkapi penampilannya dengan sepasang anting-anting batu ruby, dan sepasang sepatu high heels berwarna gold. Ia membawa buket bunga mawar berwarna merah burgundy di tangannya. Untuk berjaga dari cuaca dingin, kostumnya juga sudah dilengkapi scarf berbahan wol, tapi ia belum mengenakannya saat ini, karena ia ingin berjalan masuk ke gereja dengan gaun pengantin putih saja.Zahara membawakan scarf Alena. Ketiga bridesmaid juga membawa buket bunga yang sama dengan Alena, dan memakai scarf kain warna gold. Tema warna yang dipilih Alena dan Alva, untuk pemberkatan pernikahan mereka di gereja, memang merah b
Tanggal 17 Januari jatuh tepat di hari Sabtu.Alenaawalnya mengira, hari-H pernikahan akan menjadi hari yang sibuk, terburu-buru, dan penuh ketegangan. Tapi kenyataannya, pagi ini, segalanya berjalan dengan santai dan tenang. Mungkin karena suasana resort yang nyaman membuat semuanya terasa lebih rileks. Alena bangun jam setengah empat pagi, tapi lebih karena ia sudah tak bisa memejamkan matanya lagi, pikirannya terus membayangkan hari besar ini.Mama sengaja membawakan sarapan ke kamar sekitar jam empat, mungkin Mama mengerti, Alena pasti tak berselera untuk makan."Coba makan dikit, Lena... Kamu harus tetap makan, biarpun nggak selera," bujuk Mama, sambil menyodorkan piring berisi roti dan omelet."Mama... Aku deg-degan...," curhat Alena, ia tersenyum gugup.Mama merangkul Alena dengan penuh kasih. "Ya emang gitu rasanya... Itu artinya, kamu udah berharap buat hari ini kan...," ujar Mama, sambil m
Tanggal 15 Januari, Papa, Mama, Kak Evan, Om Andre, serta Opa dan Oma, tiba di Berlin. Opa dan Oma tinggal di rumah orang tua Alva, sedangkan keluarga Alena menginap bersama Alena di hotel, di daerah Kreuzberg, dekat dengan rumah orang tua Alva. Malamnya, Papa Hanz mengadakan makan malam bersama di restoran, yang terletak di hotel tersebut. Bagi Alena, ini adalah momen yang sangat jarang bisa terjadi, akhirnya keluarga besarnya bertemu dengan keluarga besar Alva.Pagi hari sebelum hari H, Alva menjemput keluarga Alena, untuk berkunjung ke apartemennya, dilanjutkan ke rumah orang tuanya. Mama Clara menjamu keluarga Alena dengan makan siang. Tante Jenna juga hadir. Untuk pertama kalinya, Alena melihat Papa Hanz dan Tante Jenna saling bertegur sapa dengan ramah. Mereka sepertinya sudah dapat melupakan semua kejadian di masa lampau, dan memulai hubungan baru sebagai saudara ipar.Jam tiga sore, kesibukan pun dimulai. Seluruh keluarga besar Alena dan Alva, sert
Alena dan Alva tiba di Bandara Berlin Brandenburg sekitar jam tiga, masih ada waktu satu setengah jam sebelum pesawat Luis lepas landas. Mereka mampir ke bagian informasi. Pesawat ke Paris jam setengah lima akan berangkat dari terminal 1, ke situlah Alena dan Alva pergi.Alena sebenarnya tidak yakin bisa bertemu Luis, karena suasana bandara yang begitu ramai, dan dia tidak tahu bagaimana menghubungi Luis. Ponselnya yang lama hilang waktu disekap Brigitte, dia belum menyimpan nomor Luis di ponsel barunya. Tetap saja, dia ingin mencoba peruntungannya.Mereka tiba di terminal 1, tapi tentu saja mereka tidak punya izin untuk masuk, mereka hanya bisa menunggu di depan area keberangkatan. Bagaimana jika Luis sudah berada di dalam ruang tunggu?Satu jam lagi pesawat akan berangkat. Suara dari ruang informasi sudah bergema berulang-ulang, meminta para penumpang pesawat Air France untuk masuk ke ruang tunggu bandara. Luis belum kelihatan.
Alva mengemudikan mobilnya, mengikuti iringan tiga mobil polisi dan satu mobil tahanan yang ada di depannya, menyusuri jalan antar kota Hamburg dan Berlin. Hujan turun, membuat suasana bertambah gelap dan berkabut.Waktu sudah menunjukkan pukul lima sore lewat. Alena duduk di samping Alva. Alva berulang kali menoleh memandangnya, dan menggenggam tangannya, untuk memastikan ia baik-baik saja.Alva menceritakan semuanya pada Alena, dalam perjalanan pulang itu. Luis, yang masih dalam masa hukuman kerja sosial dan rehabilitasi, mendadak dihubungi oleh Paula. Sepertinya, Paula masih tidak bisa melupakan Luis, walaupun Paula memaki-makinya di depan Alena. Paula mengajak Luis untuk bekerja sama, menculik Alena lagi, untuk 'memberinya pelajaran terakhir', menurut istilah Paula. Mungkin Paula mengira, Luis pasti masih sakit hati dengan Alena. Paula berharap, Luis mau membalas dendam dan hasratnya yang belum terpenuhi pada Alena.Paula menceritakan semua rencananya
Alena membuka matanya perlahan. Gelap pekat. Lehernya terasa pegal, kaki dan tangannya kaku. Ia mendengar suara seperti mendengung di sekitarnya. Ketika matanya mulai beradaptasi dengan kegelapan di sekitarnya, ia mendapati dirinya terduduk di sebuah kursi kayu, tangan dan kakinya terikat kuat pada kursi, dan mulutnya dibebat dengan kain tebal.Alena meronta dan mengerang, tapi yang keluar dari mulutnya hanya suara teredam. Apa-apaan ini? Di mana dia? Siapa yang mengikatnya seperti ini? Kenapa? Berbagai pertanyaan muncul di benaknya dalam kepanikan itu. Jantungnya berdentum kuat.Alena teringat, hal terakhir yang dilakukannya adalah masuk ke dalam mobil Paula. Paula? Dia yang melakukan ini? Tapi kenapa? Dia tidak punya masalah dengan Paula.Alva... Alva pasti mencarinya sekarang, karena dia tak ada di tempat seharusnya Alva menjemputnya. Tapi, bagaimana caranya memberitahu Alva? Alena menolehkan kepalanya ke kiri dan kanan, mencari tasnya ya
Satu minggu setelah wawancara, Alva mendapat kabar gembira, pengajuan beasiswanya disetujui oleh Universitat der Kunste. Itu artinya, ia dapat melanjutkan program doktoralnya, dengan biaya pendidikan dan penelitian seluruhnya ditanggung oleh universitas, ditambah dengan uang saku perbulan. Selama menjalani program PhD, Alva belum dapat mengajar sebagai dosen, tapi ia bisa saja mengerjakan proyek, yang diberikan oleh para profesor di fakultasnya.Berita gembira itu disambut dengan bahagia oleh Alena dan seluruh keluarga Alva. Awalnya, Papa Hanz berniat mengadakan acara makan bersama di restoran lagi, seperti ketika mengangkat Alva sebagai anaknya. Tapi Alva menolak dengan halus, ia tidak ingin memberatkan Papa Hanz. Akhirnya, acara diganti dengan makan-makan sederhana di rumah orang tua Alva, pada hari Minggunya. Keluarga besar Papa Hanz dan Tante Jenna juga ikut hadir.Satu hal yang mengejutkan Alena adalah, Tante Jenna ternyata sudah dikenal baik oleh kelu