Share

Kelicikan dua benalu

Kosong? Kemana perginya? Untuk apa Mas Heru mengambil semua perhiasanku?

 Aku terkejut, saat mendapati bagian atas dalam brankas kosong. Di bagian atas adalah tempat untuk menyimpan perhiasan. Di sana, terdapat lima kotak perhiasan full set, dan tiga kotak kecil berisi cincin berlian. Kebanyakan, perhiasan yang kumiliki adalah berlian. Terus, ada juga beberapa perhiasan emas yang memang kuletakkan begitu saja tanpa kotaknya. Itu juga raib. Padahal kalau di total, jumlah keseluruhan perhiasanku itu bernilai miliaran rupiah. Untungnya, surat menyurat di bagian bawah dalam brankas masih ada dan lengkap. Sudah kulihat isi dalamnya, tidak ada yang berubah dan surat-suratnya kuteliti masih asli.

 Aku duduk melantai, dan tersandar ke dinding ruangan, memikirkan ini semua. Kuambil ponsel yang tergeletak di lantai, ingin menghubungi seseorang yang penting.

 "Halo, Pak Darwin? selamat siang. Maaf mengganggu. Ini saya Delia," sapaku saat pertama kali terhubung dengan seseorang di seberang sana.

 Dia Pak Darwin, pengacara yang sudah bertahun-tahun jadi pengacara keluargaku. Juga merupakan sahabat dekat almarhum Ayah.

 "Delia? Apa kabar? Lama tidak berjumpa. Saya dengar kemarin kamu lagi sakit. Maaf, saya belum bisa mengunjungimu karena banyak pekerjaan yang tidak bisa saya tinggal," jawabnya ramah.

 "Oh, nggak apa Pak. Begini, saya mau tanya, apa suami saya pernah menghubungi Bapak atau membahas hal penting tentang surat atau harta lainnya."

 "Pak Heru? Oh, iya ada. Kalau nggak salah sekitar sebulan yang lalu, dia minta waktu buat ketemu saya. Katanya mau bahas tentang surat kepemilikan butik."

 Degh. Butik? Buat apa?

 Selain perusahaan besar yang ditinggalkan oleh almarhum ayah, dan saat ini dikelola oleh Mas Heru. Aku sendiri juga memiliki harta pribadi berupa sebuah butik. Butik yang kubangun dengan jerih payah sendiri dan sampai hari ini, karena keadaan mata yang buta, maka semua urusan butik kuserahkan sama asistenku yang bernama Yumi. Memang sih, seharusnya setiap bulan, Yumi harus menyetorkan laporan keuangan dan keadaan butik. Namun entah kenapa, dua bulanan ini, dia tidak pernah menghubungiku dan aku juga lupa untuk menghubunginya. Aku terlalu fokus dengan kondisiku sendiri. Bayangkan, siapa yang tidak stres, kalau mata yang merupakan organ vital dalam hidupku tidak berfungsi dengan baik. Sehingga, urusan sekitar pun kulupakan begitu saja.

 "Hm … ada masalah apa dengan butik Pak?" tanyaku, dengan perasaan takut.

 "Kamu tidak tahu? Aneh? Kata Heru, dia ingin mengganti kepemilikan butik untuk sementara waktu karena kamu sakit, dan itu atas perintah darimu."

 Apa? Bisa-bisanya Mas Heru bertindak seperti itu. Ini benar-benar sudah keterlaluan. Apakah perusahaan Ayah itu belum cukup untuk dia urus, sehingga harus menambah bebannya dengan mengurus butikku?

 "Terus Bapak setuju?" Tanyaku lagi. Hatiku berdebar tak karuan rasa. 

 "Belum. Saya belum ada waktu. Rencananya dalam minggu ini kami mau ketemu." 

 Syukurlah. Itu artinya, butik masih aman.

 "Hm … begini Pak Darwin. Apa pun permintaan suami saya, entah mau bikin apa, merubah apa, yang berhubungan dengan harta saya, saya minta jangan dilakukan. Bapak tanya dulu sama saya, apakah saya mengizinkan atau tidak, dan Bapak harus ketemu sama saya langsung untuk urusan tersebut, saya tidak akan mewakilkan sama siapa pun kecuali saya sendiri yang bilang," ucapku memberi saran.

 "Oh, iya, tentu itu. Kemarin itu saya tanya Pak Heru, katanya sudah dapat izin dari kamu, berupa surat kuasa dan ada tanda tanganmu sendiri."

Hah! Kapan itu? Aku merasa tidak pernah menandatangani surat apa pun. Mas Heru memalsukannya. Itu pasti kertas kosong berupa tanda tanganku.

 "Bapak melihatnya?"

 "Iya, dia kirim lewat WA berupa foto, dan saya tidak dapat menyetujui hal tersebut. Setidaknya saya harus melihat langsung tanpa penghalang. Makanya dia minta bertemu."

 "Begini saja Pak, tolong tolak semua yang berhubungan dengan perubahan surat penting milik saya. Apa pun itu Pak. Tolong Bapak cek juga ke notaris, apakah ada perubahan kepemilikan dari harta perusahaan Angkasa group? Dan kita harus ketemu Pak. Kapan Bapak ada waktu, bisa hubungi saya secepatnya," pintaku.

 "Del, apa … terjadi sesuatu?" Tanyanya ragu. Sepertinya Pak Darwin baru menyadarinya.

 "Ya, sedikit Pak. To-long bantu saya ya," gumamku lirih. Suaraku bergetar menahan tangis. Kucoba menghela napas berkali-kali, untuk menetramkan isi hati.

 "Tentu Del, kamu 'kan anak sahabat saya, pastilah itu. Nanti saya cek jadwalnya dan secepatnya menghubungi kamu."

 "Iya, Pak terima kasih banyak. Maaf sudah mengganggu waktunya."

 "Oh, nggak apa. Nggak masalah. Itu memang sudah tugas saya. Kamu yang baik, jaga kesehatan."

 "Iya, Pak. Selamat siang."

 "Selamat siang," balasnya.

 Sambungan terputus.

 "Mas … mas, tega sekali sih kamu. Apa kamu nggak mencintaiku lagi? Apa selama ini, kamu cuma menginginkan hartaku saja? Rasanya perih, mengetahui suami yang sudah dua tahun hidup bersama, melakukan perbuatan sekeji itu. Apalagi sama istrinya sendiri. Istri yang sudah membantunya menaikan status sosialnya. Siapalah dia, Mas Heru. Cuma karyawan biasa, kesayangan almarhum Ayah. Andai Ayah tidak jatuh hati dengannya, mungkin dia tidak akan pernah menjodohkanku dengan Mas Heru. Di mata Ayah, dia adalah lelaki yang baik, pekerja keras, dan merupakan karyawan terbaiknya. Ayah sangat menyukai orang yang pekerja keras. Ayahku tidak pernah memandang status sosial seseorang. Dia selalu melihat dari hati. Kalau menurutnya orang itu baik, siapa pun dia, pasti akan menjadi poin plus buat Ayah.

 Pasti Ayah sedih di sana, melihat putri kesayangannya dititipkan sama orang yang salah. Tidak terasa air mataku jatuh menetes ke bawah. 

 'Ayah tidak salah, Mas Heru lah yang salah, sudah menyalahgunakan kepercayaan Ayah. Tenang saja disana Yah, Delia disini baik-baik saja.' kuhapus air mata yang membasahi pipi. Aku harus kuat. Aku harus secepatnya mengamankan harta warisan Ayah.

 Aku baru ingat, ayah mempunyai orang kepercayaan yang biasa mengurus urusan kantor dan rumah. Dilan. Aku harus menghubunginya.

 Mana nomornya? Dari tadi kugulir kontak nomor di ponsel, tidak ketemu nama Dilan. Aneh? Aku tidak merasa menghapus nomornya? Kenapa tidak ada di daftar kontakku?

 Aku segera membereskan map-map yang berserakan di lantai dan kuletakkan kembali ke dalam brankas. Kukunci brankas dengan mengganti nomor kode PIN yang lama dengan yang baru. Kode PIN yang tidak akan pernah dia tahu angkanya. Akan kubalas semua perbuatanmu, Mas.

 Segera, aku bergegas kembali ke dalam kamar. Ada yang harus kutemukan. Kubuka laci nakas di samping tempat tidur. Aku ingat, selalu menyimpan nomor penting dalam buku agenda. 

 Dapat, kubuka dan kucari nama Dilan dalam tulisan tanganku. Ini dia, ada. Syukurlah. Aku heran, sejak aku terbaring di rumah sakit, dia tidak pernah sama sekali mengunjungi ataupun menghubungiku. Sebelumnya, Dilan selalu rutin tiap bulan memberikan kabar tentang keadaan perusahaan. Namun entah kenapa, sejak kecelakaan waktu itu, dia seperti menghilang tanpa jejak.

 Kutekan nomornya dan tersambung.

 "Halo?" Sapaku.

 "Halo, Delia? Ini kamu Delia?" Jawabnya seperti tidak percaya.

 "Iya, Dilan. Ini aku Delia."

 "Ya Allah, syukur. Aku sudah beberapa kali menghubungimu, tapi tidak bisa. Sepertinya nomorku kamu blokir. Aku juga tidak bisa berkunjung ke rumahmu. Katanya, kamu tidak mau menemuiku. Kenapa? Apa aku ada melakukan kesalahan? Padahal banyak hal penting yang harus kuberitahukan kepadamu," ucapnya cepat tanpa jeda.

 "Tenang, santai Dil, kamu kenapa, ngomongnya nggak berhenti begitu. Aku masih di sini, Alhamdulillah dalam keadaan baik-baik saja. Aku tidak pernah memblokir nomormu. Justru aku heran, kenapa nomormu tidak ada di ponselku. Ya sudah, lupakan dulu. Memangnya ada hal penting apa yang ingin kamu sampaikan?"

 "Tentang kecelakaan mobil yang menimpamu waktu itu, ternyata,"

 "Ya, siapa?" sahutku, ketika kudengar ada yang mengetuk pintu kamar.

 "Ini saya, Bu." Mbok Yem. 

 "Iya , tunggu," sahutku.

 "Dil, nanti lagi kita sambung pembicaraan ini. Ada Mbok Yem di depan kamar. Tetap simpan nomorku, nanti biar aku saja yang menghubungiku. Dah."

 Sambungan kuputus tanpa menunggu jawaban dari Dilan. Aku segera ke depan pintu.

"Iya Mbok, ada apa?" Tanyaku, setelah pintu kubuka.

 "Di bawah ada dokter, Bu."

Dokter? Itu pasti dokter Richard. Tiap Minggu dia pasti datang mengecek keadaan mataku. Aku malas pergi ke rumah sakit karena merasa putus asa. Jadi dia yang mendatangiku ke sini, karena ingin tahu perkembangan hasil operasi kemarin. Itu pun atas perintah Mas Heru. Hari ini memang jadwal kunjungan darinya.

 "Dokter Richard?" Sahutku.

 "Bukan? Baru, Bu. Katanya penggantinya," jawab Mbok Yem.

 Hah! Keningku mengernyit mendengarnya. Baru? Siapa? Apa Mas Heru mengganti dokter Richard juga? Kenapa?

Komen (75)
goodnovel comment avatar
Tatik Sasmiasih
ceritanya bagus semangat membacanya
goodnovel comment avatar
Aly Alfy
lanjut ceritanya
goodnovel comment avatar
malautzy
keren ceritanya JD penasaran
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status