Baru enam bulan aku tidak dapat melihat dunia, rasanya banyak yang berubah di dalam rumah ini. Dari orang baru, hingga dekorasi di dalamnya. Kuamati setiap jengkal dari sisi rumah. Banyak dekorasi dan penempatan barang yang dirubah. Kata Mbok Yem, ini semua ulah Lastri. Heran, apa haknya di rumah ini. Dia hanya orang asing bergelar teman. Tidak seharusnya mengotak-atik isi dalam rumahku.
Aku juga mengamati bagaimana Dini dan Sari bekerja. Cukup bagus. Sejauh ini mereka cekatan dalam membersihkan rumah. Bahkan sampai tugas berkebun dikerjakan oleh mereka pula. Secara bergantian.
Taman belakang, yang dulu sering dikunjungi sebagai tempat favoritku, ternyata masih indah dan terawat dengan baik. Katanya Sari dan Dini yang merawatnya. Syukurlah. Tidak ada salahnya tetap mempekerjakan mereka di rumah ini.
***
Di taman ini, kuajak Mbok Lastri bicara berdua. situasi aman. Dua pengintai juga sudah dalam genggaman. Jadi, sekarang Mbok Yem tidak perlu khawatir untuk berlama-lama bersamaku.
"Mbok, sekarang ceritakan, apa saja yang terjadi di sini selama saya buta. Apa Lastri sering berkunjung ke rumah? Dan bagaimana sikap suami saya dan Lastri? Apakah mereka sering bermesraan seperti itu di belakang saya?"
Aku yakin Mbok Yem mengetahui semuanya. Yang membuatku bertanya-tanya, kenapa dia diam saja tanpa memberitahukan semua itu kepadaku? Aneh. Sangat janggal kalau memang dia berada di pihakku.
Kulihat Mbok Yem menghela napas dalam dan mengembuskan kasar sebelum memulai bicara.
"Seperti yang Ibu lihat kemarin. Begitulah mereka berdua. Saya tidak menyangka Pak Heru tega mengkhianati Ibu. Begitu juga Bu Lastri. Benar-benar jahat. Dia seperti gunting dalam selimut. Saya tahunya juga baru tiga bulanan ini, kok, Bu," jawab Mbok Yem.
"Mbok Yem yakin. Terus, apa Lastri sering menginap di sini tanpa sepengetahuan saya? Dan kenapa Mbok Yem diam saja, tidak pernah memberitahukan semua itu kepada saya?" Cecarku lagi.
Mbok Yem mengangguk, membenarkan keberadaan Lastri yang sering menginap di rumah ini. Lalu mengalirlah semua cerita yang membuatku lebih terbelalak, karena sulit untuk mempercayainya.
Kata Mbok Yem, Lastri sering sekali keluar masuk kamarku bersama Mas Heru. Mereka malah bebas, bermesraan di banyak tempat di rumah ini, apalagi jika aku berada di atas, atau di kamarku mengunci diri. Ya, moodku kadang naik-turun. Saat merasa putus asa, aku akan mengurung diri di kamar seharian. Namun ternyata itu malah membebaskan dua benalu bersenang-senang di rumah ini. Mbok Yem pun tidak berani memberitahu, karena diancam akan dipecat. Nasibnya akan sama seperti ketiga orang yang dipecat dari rumah ini, karena tidak mau tutup mulut.
"Kenapa Mbok Yem tidak berhenti saja, sama seperti mereka?"
Benarkan? Seharusnya begitu, bila memang berada di pihakku. Bukannya ikut diam, dan membiarkanku selama ini jadi orang bodoh di rumahku sendiri.
"Saya tetap di sini bukan karena takut dipecat. Keluarga Ibu sudah banyak membantu saya, makanya saya tetap setia mengabdi disini. Kalau saya pergi, siapa yang akan menjaga Ibu di rumah. Saya yakin, pasti ada waktunya dimana saya bisa memberitahukan semua kebusukan mereka kepada Ibu. Seperti saat ini. Saya yakin kebenaran pasti menang Bu, dan orang baik selalu dilindungi oleh Tuhan."
Aku jadi terharu mendengarnya. Benar kata Mbok Yem, andai dia tidak setia berada di dekatku. Entah apa yang terjadi. Aku hanya sendiri berada di dalam lingkaran orang-orang jahat.
"Sekarang apa rencana Ibu?" tanya Mbok Yem penasaran. Bingung melihatku cuma diam saja setelah mendengarkan semua ceritanya.
"Ada Mbok, ra-ha-sia," ucapku dengan tersenyum tipis. Aku berlalu pergi meninggalkan Mbok Yem sendirian di taman belakang.
Di benakku, sudah banyak rencana yang tersusun rapi untuk membalas pengkhianatan mereka. Tunggulah Mbok, nanti juga tahu.
Sekarang, hal pertama yang kulakukan adalah membeli perlengkapan CCTV, dan memasangnya di tempat strategis, di dalam rumah ini. Kalau mereka bisa menyuruh orang untuk memata-mataiku dan Mbok Yem, kenapa tidak kubalas dengan hal yang sama. Bedanya, cara mereka terlalu kuno, primitif. kenapa menyuruh orang, kalau ada yang lebih praktis, CCTV. Saat ini, kita hidup di era modern. Maka pergunakanlah. Tenaga mesin lebih mumpuni dan lebih dapat dipercaya dibanding tenaga manusia. Buktinya, Dini dan Sari saja dapat kutarik, untuk beralih mendukungku.
Segera saja, kubeli peralatan CCTV lewat pesan o****e. Sulit kalau harus keluar rumah dalam situasi seperti ini. Apalagi saat aku berpura buta. Itu lebih tidak memungkinkan.
Sambil menunggu kedatangan alat perekam tersebut, kulanjutkan dengan rencana kedua. Mencoba membuka kembali brankas yang terkunci. Tidak ada salahnya kan kucoba lagi. Siapa tahu kali ini berhasil. Kalau tidak, maka dengan terpaksa harus kubongkar paksa.
Sudah setengah jam berkutat di depan kotak besi, tetap saja tidak terbuka. Semuanya sia-sia. Tetap gagal. Lelah, memang seharusnya kupanggil ahlinya saja, otakku sudah buntu. Angka apa yang ada di benak Mas Heru untuk mengunci benda ini. Heran. Semua susunan nomor cantik sudah dicoba, dari tanggal ulang tahunnya, sampai keluarganya, tapi tidak ada yang cocok. Lalu apalagi?
Tunggu, apa mungkin tanggal ulang tahun Lastri ya?
Tidak, kepalaku menggeleng menolak hal tersebut. Rasanya mustahil sampai Mas Heru tahu atau memasukkan angka tersebut menjadi kode PIN ini. Tidak masuk diakal. Apakah segitu cintanya dia, hingga mengganti kode yang awalnya tanggal pernikahan kami menjadi tanggal ulang tahunnya Lastri?
Aku bahkan sampai duduk melantai, saking capeknya berdiri. Baik Mas, ini kesempatan terakhirku, andai itu benar, awas kau Mas! Bakalan tamat riwayatmu.
Kutekan nomor enam digit tersebut dengan begitu malas, lalu kuputar kuncinya.
Mataku terbuka lebar, melihat kotak besi di hadapanku ini terbuka.
Kugelengkan kepala dengan tersenyum getir. Pintu brankas terbuka dengan mudahnya. Sedangkan aku, dari semalam susah payah memikirkan angkanya, sampai kurang tidur dan ternyata kombinasi ajaib itu adalah kode PINnya. Bagus, Mas. Pilihan angkamu mengagetkanku. Namun ada yang tidak kalah kagetnya, yaitu isi di dalam brankas ini. Ternyata isinya ….
Kosong? Kemana perginya? Untuk apa Mas Heru mengambil semua perhiasanku?Aku terkejut, saat mendapati bagian atas dalam brankas kosong. Di bagian atas adalah tempat untuk menyimpan perhiasan. Di sana, terdapat lima kotak perhiasan full set, dan tiga kotak kecil berisi cincin berlian. Kebanyakan, perhiasan yang kumiliki adalah berlian. Terus, ada juga beberapa perhiasan emas yang memang kuletakkan begitu saja tanpa kotaknya. Itu juga raib. Padahal kalau di total, jumlah keseluruhan perhiasanku itu bernilai miliaran rupiah. Untungnya, surat menyurat di bagian bawah dalam brankas masih ada dan lengkap. Sudah kulihat isi dalamnya, tidak ada yang berubah dan surat-suratnya kuteliti masih asli.Aku duduk melantai, dan tersandar ke dinding ruangan, memikirkan ini semua. Kuambil ponsel yang tergeletak di lantai, ingin menghubungi seseorang yang penting."Halo, Pak Darwin? selamat siang. Maa
Aku menuruni tangga dengan pelan. Tongkat di tangan dan kacamata hitam tidak lupa kukenakan. Memang seperti inilah seharusnya penampilanku. Bukankah aku masih berpura buta?Saat di anak tangga terakhir, aku bisa melihat sosok laki-laki muda dengan kemeja biru langit duduk di sofa di ruang tengah. Kuhampiri dia dengan berjalan pelan. Dia menoleh ke arahku. Masih muda. Sepertinya seumuran denganku. Apa benar dia adalah dokter yang akan memeriksaku?"Selamat siang Bu Delia, saya Ryan, dokter yang akan memeriksa anda, menggantikan tugas dokter Richard," sapanya datar."Siang," jawabku."Silakan duduk," tawarku. Dia mengangguk dan segera menghempaskan bokongnya ke atas sofa."Mbok Yem, tolong
"Sudah lah Bu, jangan terlalu dipikirkan, Mbok Yakin, dokter Dian itu orangnya baik," ucap Mbok Yem sambil meletakkan sebuah cangkir berisi teh hangat ke atas meja, di samping tempat dudukku. "Ryan, Mbok. Bukan Dian," ucapku membenarkan. "Iya, salah dikit saja, Ryan," sanggah Mbok Yem, ikut duduk di sebelahku. "Tapi Bu, kalau Pak Heru nanya tentang CCTV gimana? 'kan ketahuan Bu. Wong saya lihat jelas sekali tuh alat ada dimana-mana." "Sengaja Mbok, saya mau lihat reaksinya nanti," jawabku. Aku yakin Mas Heru akan melakukan sesuatu setelah melihat banyak CCTV terpasang di rumah. Selain CCTV yang tampak terlihat, ada juga yang ukuran kecil terpasang di tempat tersembunyi, khususnya di dalam kamar baca--tempat Brankas tersimpan dan kamar tamu. Kurasa itu merupakan tempat favorit Mas Heru saat ini. &
Hari ini aku senang sekali. Rasanya malam tadi aku tertidur sangat nyenyak. Kulihat Mas Heru masih terlelap di tempat tidur, entah jam berapa dia berbaring di sampingku. Aku yakin pasti malam tadi dia susah tidur karena memikirkan kode PIN tersebut. Puas sekali menyaksikannya dalam kebingungan. Ini baru permulaan Mas, masih ada kejutan berikutnya.Aku ke bawah lebih awal. Kupinta Mbok Yem menyiapkan sarapan yang spesial pagi ini. Aku ingin menyambut tamu agung yang ingin berkunjung ke rumahku, sesuai dengan yang kudengar semalam. Lastri--dia akan datang kemari menemui suamiku, pasti untuk membahas kode PIN brankas yang tidak bisa dibuka. Lucu membayangkan mereka panik dan dalam kebingungan.Aku sudah berada di ruang makan. Duduk dengan santai sambil menikmati segelas teh hangat tanpa gula. Tidak perlu pemanis, karena hari ini bakalan menjadi hari yang manis untukku.
Aku dan Mbok Yem duduk dengan wajah tegang. Tangan kami saling menggenggam penuh kecemasan. Tidak disangka, Lastri yang kami kerjai pingsan, setelah lima kali keluar-masuk toilet. Sesekali kami saling lirik berbicara lewat tatapan mata. Aku yakin dosis yang Mbok Yem masukan ke makanan Lastri kecil, karena aku sendiri yang menakarnya. Seharusnya efeknya tidak sampai begini. Dia juga baru lima kali masuk toilet. Masa segitu saja sudah ko-it.Memang kentara sekali perubahan wajah Lastri setelah dia mengeluh sakit perut. Awalnya aku dan Mbok Yem menikmati kesakitannya, tapi lama-lama malah membuat kami cemas. Apalagi saat Lastri keluar dari toilet dengan wajah yang pucat. Warna merah wajahnya memudar.Lalu yang mengejutkan terjadi. Dia pingsan.***"Lastri, Lastri, kamu kenapa?" Mas Heru panik setelah Lastri yang
Mas, kita harus secepatnya ke rumah sakit. Aku nggak mau kenapa-napa sama anak kita," pinta Lastri setelah duduk di tepi ranjang."Kecilkan suaramu, aku nggak mau sampai terdengar oleh orang lain, apalagi Delia," jawab Mas Heru mengawasi pintu kamar."Aku yakin Mas, sakit perutku ini kerjaan Mbok Yem. Tadi saja, dia terlihat gugup saat kutuduh di depan kalian." Lastri bersungut kesal."Sudahlah Las, jangan nuduh Mbok Yem lagi. Sekarang bagaimana perutmu, masih sakit?" Mas Heru mengelus lembut perut Lastri."Sedikit. Aku capek, Mas, keluar masuk toilet terus," keluhnya sambil bersandar ke bahu Mas Heru."Ya sudah. Sekarang kita ke rumah sakit.Aku juga tidak mau kenapa-napa dengan kandunganmu. Semoga anak kita-baik saja, jangan lagi kamu keceplosan bicara begitu, aku
Aku membuka gorden jendela kamar, saat terdengar deru suara mobil Mas Heru memasuki halaman rumah. Kutengok arloji yang melingkar di pergelangan tangan dengan tersenyum, 'sepanik inikah kamu, Mas, hingga memutuskan pulang cepat ke rumah?' dapat kuhitung kalau dia menempuh jarak hanya dua puluh menit saja untuk sampai ke rumah. Padahal normalnya jarak dari rumah ke kantor dapat menghabiskan waktu empat puluh menit.Baik, Mas. Saatnya memberikanmu kejutan.Aku segera beranjak turun ke bawah, memutuskan untuk menyambutnya. Baru saja kakiku sampai di anak tangga terakhir, Mas Heru yang sudah berada di ruang tengah terpaku menatapku bergeming. Bahunya naik-turun dengan napas terengah."Mas Heru," seruku memanggilnya dengan seulas senyum terkembang.Dia masih berdiri menatapku dengan mata membulat sempur
Aku berjalan menghampiri seorang pemuda yang berdiri di samping Mbok Yem."Jadi kamu, orang yang dikirim untuk memperbaiki brankas saya?" tanyaku kepada pemuda tersebut."Iya, Bu," sahutnya mengangguk sopan."Baik, ikuti saya, kebetulan brankasnya ada di atas," ajakku dengan berjalan lebih dulu."Delia, tunggu." Mas Heru dengan cepat mencengkal lenganku."Kenapa lagi, Mas? Aku buru-buru. Nanti kita telat lo ke kantornya.""Kantor? Maksudmu ke butik? Ya sudah, kamu ke butik saja, biar Mas yang mengurus brankas kita." Matanya seketika berbinar."Bukan, Mas. Aku tidak ke butik tapi ke kantor kita. Perusahaan Angkasa group," jawabku lugas. Mata Mas Heru terbelalak kaget. Mulutnya menganga terbuka lebar.