Share

Kuat?

"Perempuan bisa tegar sambil  tersenyum padahal hatinya bergetar isakan getir yang disembunyikan. Sandaran pundak membuatnya kuat, dengarkan keluh kesahnya dan berikan kenyamanan agar dukanya tidak semakin melebar."

"Bang, aku takut!" bisik Haziya ketika dia hendak dibawa menuju ruang operasi untuk dikuret. Meski sudah dijelaskan berulang kali oleh dokter yang menanganinya, proses kuret hanya beberapa menit  dan Haziya akan diinfus sehingga tidak akan merasakan sakit. Namun, dia tetap saja diselimuti rasa takut. Ditambah emosional duka menerima kenyataan bahwa harus kehilangan bayi yang dinantinya lahir ke dunia beberapa bulan ke depan. Bahkan sebelum mereka tahu jenis kelamin sang janin. 

"Baca doa terus, Sayang. Abang, Mak dan ayah di luar bakal terus berdoa juga untukmu. Tenang, ya, insya Allah semua lancar dan dimudahkan." 

Shabir mengenggam tangan Haziya, mengelus pundak dengan lembut dan mengecup kepala sebelum mendorong kursi roda memasuki ruangan ICU. Di dalam dokter dan perawat sudah menunggu.�� 

***

"Sudah kubilang suruh ibumu bawa bantal dan tikar biar nggak usah beli lagi. Ini buang-buang duit saja." Omelan Bu Karni mengundang pening. Baru setengah jam yang lalu dia tersadar dari tidur sementara akibat obat bius. 

"Bu, dokter bilang tadi nggak perlu nginap makanya aku nggak suruh mereka bawain bantal. Mereka juga buru-buru langsung ke sini karena panik." Haziya menjelaskan agar tidak ada salah paham, tetapi Bu Karni masih saja mencak-mencak. 

"Sudah tahu anaknya di rumah sakit, jadi mertua sama saja dengan anak, melorotin uang mantunya."

"Astagfirullah, Bu, jangan berkata begitu." Kepala Haziya semakin pusing, ke mana Shabir dan kedua orang tuanya. Tadi ayah dan ibu meminta izin untuk ke kantin, sedangkan Shabir ingin mengurus beberapa hal setelah dipanggil oleh perawat. Haziya berharap salah satu dari mereka balik cepat supaya Bu Karni berhenti mengoceh. 

Drttt! 

Haziya segera mengambil ponsel di atas nakas, mengangkat panggilan yang sudah menyelamatkannya dari gerundel ibu mertua.

"Waalaikumsalam. Alhamdulillah baik, Azizah. Iya, ini masih di rumah sakit."

"Kamar berapa, Ziya? Ini aku sama Miska ke sana. Kamu mau dibawain apa? Buah-buahan?" 

"Nggak usah bawa apa-apa, nggak perlu repot. Iya, hati-hati, ya. Kamar Sakinah, nanti telepon saja biar Abang Shabir nunggu kalian di depan pintu."

"Oke, Ziya. Kami berangkat dulu. Wassalamu'alaikum," tutup Azizah di seberang.

"Waalaikumsalam."

Haziya bersyukur memiliki sahabat yang begitu peduli padanya, meski kuliah sudah setahun selesai, tetapi persahabatan mereka masih langgeng hingga sekarang. Kedua temannya belum menikah, mereka sering ke rumah untuk bersilaturahmi. Kadang juga ketiganya berpergian untuk sekadar jalan-jalan atau ke rumah makan, serta liburan. Haziya tidak dikekang oleh Shabir, lelaki itu penuh pengertian memberinya izin karena memaklumi kebosanan Haziya di rumah sendirian. 

Sejak menetap satu desa dengan Bu Karni dia hanya seminggu pernah menemani Shabir berjualan. Setelah dituduh oleh mertuanya suka mengambil uang, dan sampai sekarang Haziya dilarang untuk ke toko. Dia tidak mempermasalahkan, biarlah Shabir mencari nafkah dengan tenang, tanpa harus melihat dan mendengar pertengkaran dirinya dengan ibu. 
  
Shabir masuk ruangan sembari menenteng plastik. Dia berjalan ke samping Haziya, setelah bertanya keadaan istri dia langsung menaruh bawaannya berisi obat-obatan dan secarik kertas resep yang barusan ditebus di apotik untuk dibawa pulang. Besok pagi Haziya sudah diperbolehkan meninggalkan ruangan kalau tidak ada keluhan. 

Haziya bersyukur tidak harus berlama-lama di sini, perkataan Bu Karni sesaat sebelum Shabir masuk begitu menusuk. 

"Nggak usah manja, mau kamu Shabir nggak buka toko besok? Biaya inap di rumah sakit emang gratis, tapi buat beli makanan keluargamu itu merogoh uang anakku."

"Bu, mereka sudah menolak nggak ambil tadi, tapi Shabir yang maksa kasih," bela Haziya tidak terima orang tuanya dikatain yang bukan-bukan.

Haziya memejamkan mata untuk kembali istirahat. Begitu susah untuk terlelap, bayangan janin yang telah tiada kembali mengusik ketenangan. Meski sudah ditahan untuk tidak terisak, deburan ombak di ujung mata telah meronta. Ibu mana yang siap ikhlas berpisah dengan anaknya? Apalagi setelah penantian. Di mana letak keikhlasan melupakan ketika tiap saat dirinya selalu mengingat? 

"Sabar, ikhlaskan, Allah nggak akan memberi kesedihan tanpa kebahagiaan. Insya Allah dia bisa jadi tabungan akhirat untuk kalian berdua nanti." Nasihat Bu Laela sedikit menetramkan gemuruh yang pasang surut. 

***

Hampir dua Minggu Haziya kembali ke rumah ibu untuk proses penyembuhan. Selama di sana, dia begitu dimanjakan oleh orang tua. Rasa rindu yang begitu memuncak kala berjauhan dengan ibu dan ayah kini terobati sudah. Haziya hanya diperbolehkan melakukan kegiatan ringan, dan dilarang mengerjakan tugas rumah. 

Shabir tiga hari sekali menjenguk dan tidur di rumah mertua yang terletak di Asan Nicah itu, karena paginya dia harus buka toko pagi, pulang jam sembilan malam dan segera pulang ke rumah istri. 

"Makin gendut kamu, ya, kerjaannya pasti rebahan mulu."

"Alhamdulillah, Bu, aku mulai pulih kembali."

"Iyalah, nggak ngapa-ngapain di rumah sana makanya minta pulang. Anak manja," sinis Bu Karni seraya memasukkan buah-buahan yang dibeli oleh Bu Laela. 

Haziya tidak ingin meladeni, dia memilih ke ruang TV untuk menonton. Shabir sudah berangkat ke toko. 

"Tagihan listrik tinggi sukanya nonton terus!"

Allahu Akbar, mertuanya cocok duet sama ibu mertua di sinetron ikan terbang yang barusan ditontonnya sekilas sebelum iklan. Padahal Haziya tadi sudah mencuci piring setelah mereka makan, bahkan piring bekas Lathifah bersama kedua anaknya pun dicuci. Seharusnya mereka mengerti dan  berbelas kasihan akan kondisinya belum sepenuhnya stabil. Namun, bukannya ikut membantu Haziya malah menambah beban. 

"Iya, ibu mertuaku sayang. Ini aku matiin televisinya, ya," ujar Haziya gemas dan memilih mengalah saja. Dia masuk ke kamar mandi untuk memasukkan pakaian kotor ke dalam mesin cuci yang baru dibeli oleh Shabir. Jangan tanya berapa lama ocehan Bu Karni kepadanya ketuka tahu mesin warna putih abu-abu itu dibawa pulang oleh Shabir. 

"Buka jasa laundry saja biar balik modal. Uang jajan dia juga dipotong, cicilan seharga mesin harus balik sebelum bulan depan."

Sabarkan hati Haziya ketika kembali mengingat Bu Karni memerintahkan itu kepada anaknya tadi pagi. Haziya semakin bersedih ketika Shabir mengiyakan, padahal dia tidak memaksa suaminya itu untuk membeli. Kemarin ketika dia diantarkan oleh ayahnya ke sini, mesin cuci sudah ada di kamar mandi. Memang dulu pernah mengusulkan agar Shabir membelinya mesin cuci, tetapi ketika Shabir menyuruhnya bersabar dulu karena keuangan mereka belum begitu stabil, toko juga baru beberapa bulan buka, Haziya tidak lagi menyinggung perihal itu.

Haziya sebenarnya bisa merasakan perbedaan sikap yang ditunjukkan oleh Shabir kepadanya. Lelaki itu bahkan tidak membela dia ketika tadi pagi dimarahi Bu Karni karena bangun sedikit kesiangan, setelah salat subuh dia tertidur lagi efek gampang lelah melakukan perjalanan hampir sejam dari rumah ibunya,  sehingga makanan belum disajikan di atas meja makan. Seharusnya Shabir bisa mengerti, untuk hari ini saja mereka bisa membeli nasi di warung depan. Ah, sudahlah, suaminya memang jarang membela, kebanyakan hanya mengiyakan dan menuruti kemauan Bu Karni. 

"Jangan tiduran menunggu baju diperas, sana ke halaman belakang sudah mirip hutan saja!" teriak Bu Karni dari ruang televisi sedang menonton sinetron perkumpulan mertua diktator. 

"Latihan memerani tokohnya agar menjiwai para mertua penindas menantu," gerutu Haziya dalam hati seraya beranjak dari ranjang. Selama tidak di rumah ini, sampah tergeletak sembarang, begitu juga rumput liar mengotori perkarangan. Dia sendirian harus membersihkannya tanpa dibantu oleh mertua yang keasyikan sedang tertawa terbahak karena sinetron yang ditontonnya. 

"Kumenangis ... membayangkan ...." Soundtrack lagu dari sinetron tersebut mengiringi langkah Haziya menuju halaman belakang rumah. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status