Share

Luka

Penulis: ZB
last update Terakhir Diperbarui: 2021-04-29 06:01:37
"Jangan berharap lebih pada manusia. Peluk lukamu dengan doa. Bersihkan jiwamu dari dendam. Ikhlaskan segala keadaan dan serahkan semuanya kepada Pemilik Segala Alam.

"Bang, Abang mau ke mana? Ini masakan sudah adek siapin, Abang makan saja dulu," cegat Haziya ketika melihat Shabir hendak memegang ganggang pintu.

"Abang ke rumah ibu, Kakak Lathif katanya masak kuah pliek. Abang makan di sana saja. Jangan lupa kunci pintu," papar Shabir, kemudian menarik ganggang dan keluar menuju halaman depan. Segera mengenderai motor, menyisakan deru yang semakin menjauh dan meninggalkan Haziya berdiri kedinginan di teras seraya menatap kepergian suaminya untuk ke sekian kali. 

Haziya memang tidak pandai memasak, tetapi dia terus belajar cara masak yang benar. Mencatat resep dari ibu, juga menonton tutorial memasak dari YouTube supaya Shabir bisa makan masakan sehat di rumah. Namun, perjuangannya selalu menyiapkan hidangan jangankan mendapat pujian dari Shabir, malah suaminya tidak mau mencicipi. Jempol kembung karena terkena panci panas yang sudah diolesi odol menjadi bukti bagaimana pengorbanannya.

Haziya hanya bisa menghela napas, berbalik menyeret langkah lesu memasuki rumah dengan perasaan berkecamuk. Seminggu ini sudah dua malam Shabir tidak pulang, beralasan menginap di rumah ibu karena suami Lathifah tidak bisa pulang beberapa hari. Padahal Lathifah dan dua anaknya tidak sendirian di rumah, ada Bu Karni, sedangkan Haziya tidak punya siapa-siapa. Seharusnya, Shabir mengajaknya untuk ikut menginap di rumah ibu. 

Cuaca dahina begitu dingin, bahkan petrikor begitu menyengat.  Sama halnya dengan hubungan Haziya dengan Shabir sekarang. Meski dekat terasa selalu ada sekat. Dua bulan dilaluinya dalam kesedihan atas kehilangan janin, ditambah sikap Shabir semena-mena dan kurang perhatian semakin menabur luka. Asmaraloka terasa hambar dan tawar, tidak ada tawa maupun canda. Obrolan singkat dan lebih banyak jeda.

Tidak ada lagi sambutan sajak arunika, apalagi syair-syair pengantar tidur. Shabir lebih banyak menghabiskan waktu di luar rumah. Nafkah batin tidak pernah dirasakannya, setelah proses penyembuhan dua bulan hingga hampir tiga bulan ini. Haziya memaklumi karena kondisinya mungkin Shabir mengkhawatikannya jika buru-buru. Namun, nafkah lahir pun sekarang Shabir seakan melupannya. Hanya memberi uang mingguan seratus ribu, itu pun Haziya harus membeli bahan keperluan memasak. 

"Masak untuk sendiri saja, hematin uang itu. Jangan boros."

Haziya tidak pernah membeli baju ataupun barang tanpa sepengetahuan Shabir. Sehari-hari hanya di rumah tanpa bekerja, bergantung pada pemberian suami dan sesekali ibunya mengirimkan yang ditabungnya. 

"Bang, baru pulang?" sambut Haziya ketika Shabir masuk ke dalam kamar. "Mau makan?" Haziya sengaja belum sarapan pagi, menunggu kepulangan suami. 

"Nggak, Abang mau ke toko, sudah kesiangan. Kamu jangan malas-malasan di kamar, beresin halaman depan, rumput sudah panjang gitu." Shabir melenggang dalam kamar mandi.

"Baik, Bang." 

Rasa melilit perut semakin menjadi, Haziya berusaha berjalan memasuki kamar setelah membersihkan halaman depan. Keringat dingin bercucuran, bersyukur dia tidak terjatuh di lantai licin yang sudah dipelnya sebelum Shabir pulang. Haziya merogoh ponsel di dekat ranjang, menghubungi nomor Shabir. Beberapa kali suara operator terdengar, akhirnya suara Shabir mengudara di seberang. 

"Kenapa? Abang lagi di toko, banyak orang. Nanti saja."

"Tunggu, Bang. Perutku sakit, Abang bisa ...."

"Olesi minyak telon saja!" 

Tut. Panggilan terputus bersamaan air mata Haziya luruh.

"Assalammualaikum, Haziya kamu ada di rumah? Ini Ibu di luar, sudah ibu ketuk tapi nggak ada yang nyahut padahal pintunya terbuka. Apa kamu di dalam? Kamu kenapa menangis?" 

Haziya tidak bisa menjawab pertanyaan sang ibu yang menelponnya. 

"Ibu masuk ya sama ayah?" 

"Iya, Bu." Haziya menggigit bibir, menahan rasa kram di perut bawah. 

"Ya Allah, Nak, kamu kenapa?" Ibu berteriak cemas melihat Haziya menekuk badannya dekat ranjang.

"Di mana suamimu?" tanya ayah seraya membantunya duduk di kasur.

"Di toko, Yah. Perut Haziya sakit."

"Apa dia nggak bisa pulang? Ini kenapa wajahmu merah, kamu ditampar?" Ayah mengecek wajah anak perempuan sulungnya, menahan gejolak emosi menunggu jawaban Haziya. Bekas tamparan malam selumbari masih meninggalkan jejak padahal dia sudah mengompresnya. 

"Katakan yang jujur, Nak."

"Sudah, Yah, kita bawa Haziya ke rumah sakit dulu."

"Mana ponselmu?"

Haziya menyodorkan HP silver, kemudian ayahnya segera menghubungi Shabir.

"Kenapa lagi? Sudah kubilang aku sibuk, jangan menggangguku, pulang saja ke rumah ibumu jangan seperti anak kecil, sakit dikit nyusahin." Shabir mendengkus di seberang. 

"Dengan senang hati." Pak Burhan segera menutup ponsel dengan rahang keras, jika Shabir ada di hadapannya sudah  pasti dia akan memberi pelajaran.

"Bawa dia keluar, Bu. Ayah akan kemasi baju-baju Ziya dulu. Telpon Lidya untuk ke sini segera."

Haziya tidak bisa melarang ayahnya mengemasi pakaian di dalam lemari ke tas sandang. Memeluk ibu dengan menahan isakan tangis. 

Hati dan pikirannya butuh ketenangan, ditambah sakit perut yang sering muncul. Lebih baik tinggal bersama orang tua yang begitu memedulikanya.

***

Mata Haziya begitu berbinar-binar, pelangi di matanya melengkung setelah tiga bulan lamanya. Memakai gamis paling bagus di lemari, kemudian bercermin di depan kaca. Hanya tiga hari di rumah ibu, Shabir menjemputnya setelah meminta maaf kepada orang tuanya juga kepada dirinya. Haziya luluh. 

Sudah dua Minggu Haziya kembali ke rumah yang ditempatinya bersama Shabir. Bu Karni juga tidak terlalu mengekang dan menindasnya, Lathifah pun jarang ke rumah untuk sekadar mengambil lauk. Haziya sempat menaruh tanda tanya, tetapi dia berusaha berpikir positif. Mungkin mereka sudah menyadari kesalahan dan ingin memperbaiki hubungan agar lebih baik dan dekat kembali.

"Bu, kami pamit pergi main dulu ya ke Laweung mau makan mie sure. Ibu mau dibawa pulang?" tanya Haziya setelah menyalami Bu Karni.

"Nggak usah, kalian hati-hati," pesan Bu Karni. 

"Baik, Bu, Wassalamu'alaikum."

"Waalaikumsalam."

Haziya menaiki motor setelah dipakaikan helm oleh Shabir. Kendaraan roda dua itu melaju dan menghilang dari pandangan Bu Karni yang tertawa nyaring.

"Lihat dia tertawa!" ejek Bu Karni.

"Bodoh, ntar juga nangis lagi," timpal Lathifah ikut duduk di sebelah ibunya. Rencana mereka berjalan lancar.

***

"Bang, kita mau ke mana?" tanya Haziya heran ketika Shabir bukannya membelok ke kanan, malah ke arah kiri.

"Ini kita nggak jadi ke Laweung? Ke Tangse ya, Bang?"

Shabir mengangguk. "Sudah lama nggak makan ikan keureuling. Nggak apa-apa, 'kan?"

"Nggak apa-apa kok, Bang. Ziya juga suka ikan keureuling."

Haziya  mengeratkan pelukannya pada pinggang Shabir. Wajahnya begitu cerah, tersenyum bahagia. Mencoba berpikir positif, ke mana pun dia dibawa asal bersama Shabir dia tetap suka. Mereka sudah lama tidak liburan berdua. Haziya juga rindu hari-hari yang indah dilaluinya bersama sang suami. Pemandangan menakjubkan menari-nari dalam hayalannya.

"Kita ke rumahmu dulu, kemarin Abang ninggalin dompet di lemari."

Haziya tidak bertanya lebih lanjut ketika Shabir mengambil jalan menuju ke rumah orang tuanya. Tidak ada pikiran buruk.

"Kita masuk kamar dulu yuk, kamu bisa istirahat dulu juga."

Haziya menurut, pintu rumahnya tidak terkunci, hanya ada Fairus. Ibu dan ayah sedang keluar sebentar katanya.

"Kamu tunggu di sini ya, Abang mau isi bensin dulu di kios depan."

Haziya mengangguk, tidak terlintas di kepalanya kalau Shabir sedang berbohong. 


Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Suamiku Pengacaraku (Bahasa Indonesia)   Perpisahan Zaweel dan Haziya

    Miska menyiapkan segala keperluan untuk acara syukuran nanti malam di rumahnya. Sebagai seorang sahabat, dia senang akhirnya Haziya secara resmi berpisah dengan Shabir. Bahkan dia berencana untuk memperkenalkan Haziya dengan temannya yang masih single, nanti jika Haziya sudah terlihat lebih baik dan mulai membuka hati kembali.Namun, sebenarnya dia lebih suka jika Zaweel yang menjadi lelaki hebat untuk Haziya. Meskipun sikap Zaweel terkesan suka humoris, tetapi dia yakin jika Zaweel bisa melindungi sahabatnya dari gangguan mantan suami Haziya, apalagi dari tekanan Bu Karni, dan lain-lain.Miska sedikit tahu tentang perjodohan Zaweel dengan Safia, walaupun belum ada keputusan lebih lanjut. Monika pasti akan merencanakan perjodohan itu berjalan sesuai harapan mereka. Sekar dan Monika sudah bersahabat dan saling mengenal, serta keluarga mereka juga menjalin bisnis. Tentu saja bersatunya Zaweel dan Safia akan semakin meningkatkan hubungan persahabatan mereka.&n

  • Suamiku Pengacaraku (Bahasa Indonesia)   Keputusan Pengadilan

    Miska akan menginap di rumah Haziya malam ini, karena dia ingin menemani sahabatnya, serta akan ikut ke pengadilan besok. Sedangkan Zaweel sudah berpamitan sejak memasuki waktu ashar, dia shalat berjamaah di masjid terdekat bersama ayah Haziya. "Makasih ya Nak, kamu mau membantu putriku." "Sama-sama, Pak. Insya Allah besok kita pasti bisa menyudahi semua perkara ini." "Aamiin." "Kamu bakal balik ke Jakarta lagi setelah ini?" tanya Ayah Haziya ketika mereka menuju parkiran Masjid. "Iya, Pak, masih ada kerjaan di Jakarta," jawab Zaweel, dia juga enggan cepat balik ke kota karena merasa nyaman di sini. Namun, statusnya masih sebagai pengacara, dia harus profesional dan kembali melanjutkan profesinya. Ditambah perusahaan papanya yang juga membutuhkan dirinya. Meskipun dia tidak lagi bekerja di bidang pembela klien, Monika tidak akan membiarkannya menetap di Aceh. Zaweel harus menjadi penerus sang papa. "Semoga saja

  • Suamiku Pengacaraku (Bahasa Indonesia)   Zaweel Menepati Janjinya

    Haziya bersiap untuk ke rumah bimbingan belajar, dia akan mulai mengajar lagi hari ini. Miska menghubunginya ketika dia hendak ke Sigli."Assalamualaikum, kamu baik-baik saja, kan?" Miska terdengar khawatir di seberang. "Kenapa baru aktif nomornya?""Waalaikumsalam, Alhamdulillah baik-baik saja Miska. Maaf semalam lupa aktifkan ponsel," jawab Haziya jujur."Ada apa? Dia mencoba menghubungi kamu lagi makanya kamu harus matiin HP?"Tebakan Miska tepat sasaran, Haziya membenarkan karena dia tidak akan bisa membohongi sahabatnya yang sudah terlalu pandai membaca dirinya."Lelaki pecundang. Dia pasti mencoba menggelabui kamu lagi, pura-pura menyesal dan minta balikan padahal sudah punya istri baru. Ckck!" gerutu Miska kesal dengan sikap tak berpendirian Shabir."Masih banyak lelaki lain, jangan sampai kamu masuk ke lubang yang sama. Biarkan dia bersama Tante itu, nanti yang ada kamu malah dituduh sama Tante itu merebut sua

  • Suamiku Pengacaraku (Bahasa Indonesia)   Larangan Ayah Haziya

    Bu Laela berdiri di depan kompor, suasana hatinya berubah tidak karuan disebabkan kedatangan tamu tadi. Bahkan tadi dia sangat bersemangat untuk memasak rebung kala merah."Bu, biar aku saja yang masak. Ibu istirahat saja ke kamar!" saran Haziya meminta Bu Laela untuk tidak memaksakan diri memasak dalam keadaan tidak konsentrasi."Enggak apa-apa, Ibu bisa lanjutin. Kamu datang?" tanya Bu Laela seraya membuka penutup panci, memasukkan bumbu yang sudah dihaluskan untuk merebus ayam."Sekarang aku kembali harus dapat izin dari ayah dan ibu kalau mau ke mana saja, Bu. Jadi, aku bakal patuhi semua kata Ibu. Ibu jangan resah, aku enggak bakal datang tanpa izin dari kalian." Haziya tersenyum hangat memberikan ketenangan pada perempuan yang begitu disayanginya itu."Assalamualaikum, Bu!" Ayah Haziya masuk tergesa-gesa setelah mengucapkan salam. Dia langsung menuju dapur karena mencium aroma harum dari masakan yang sedang dimasak."Waalaikumsala

  • Suamiku Pengacaraku (Bahasa Indonesia)   Bu Karni Mengundang Haziya

    Bu Karni memandang mereka dengan senyum menyeringai, begitu juga dengan Vina di sebelahnya.Mengapa mereka datang ke sini?Suami Bu Laela sedang di luar, sedangkan Adil masih kecil tidak mungkin bisa kuat mengusir keduanya dari rumah. Bu Laela sendiri tidak mau membuat keributan yang menarik perhatian dari tetangga jika dia mengusir mereka."Ada apa?" ketus Bu Laela di tempatnya."Bu, kita duduk dulu yuk!" ajak Haziya. Dia bisa memahami ketidaksukaan Ibunya pada kehadiran Bu Karni, mantan besannya setelah perlakuan mereka terhadap Haziya selama ini. Namun, bagaimanapun mereka harus menghormati dan menghargai tamu."Ibu, sebentar ya aku ambilkan minum," tawar Haziya seraya membuat air untuk Bu Karni juga Vina. Sebagai tuan rumah dia harus menyajikan setidaknya minuman pada mereka, meskipun tamu tak diundang.&nbs

  • Suamiku Pengacaraku (Bahasa Indonesia)   Tamu Tak Diundang

    Lidya terpaksa harus kembali ke Lhokseumawe lagi sehari setelahnya. Haziya tidak ingin adiknya ketinggalan mata kuliah. Dia juga tidak mempermasalahkan jika Lidya tidak bisa hadir di persidangan keputusan nanti."Doakan saja Kakak, Dik. Kamu belajar yang rajin di sana, ya," pesan Haziya sebelum Lidya berangkat ke Lhokseumawe."Iya, Kak. Kabarin aku ya perkembangannya. Semoga dimudahkan dan Kakak bisa memulai hidup bahagia dengan baik.""Aamiin."Haziya memasukkan baju-baju ke dalam lemari setelah menyetrikanya. Dia berniat untuk istirahat sebentar sebelum masuk waktu shalat ashar.Namun, baru saja dia memejamkan mata, ponsel di atas nakas berdering yang menunjukkan nomor tak dikenal. Dia ragu mengangkatnya, karena khawatir jika panggilan tersebut dari Shabir, atau Vina.Haziya tidak mengangkatnya, tetapi penelepon tidak putus asa meskipun telah diabaikan hingga ke dua kali. Pada panggilan ke tiga

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status