Share

6. Sakit

Lindsay akhirnya memilih kue vanilla sebagai base, lalu sekarang giliran memilih pastry yang akan dihidangkan untuk tamu. Beberapa karyawan menata meja di depan kami dan meletakkan beberapa piring berisi pastry beraneka jenis.

"Rose, aku butuh bantuanmu. Ayo pilihkan dua puluh yang terbaik!" pinta Lindsay kepadaku dengan wajah merengek.

"Dua puluh? Jadi kau mau aku mencicipi semuanya?!" balasku tak percaya.

"Hehe, lalu bagaimana lagi?" tanyanya ulang sambil meringis.

"Langsung pilih saja! Aku sudah tak sanggup makan lagi!" omelku. Memang aku tak suka kue-kuean, jadi di bagian ini aku menyerah kalah.

"Oh ya? Kau bisa tak sanggup makan? Menarik!" bisik David di sampingku. Aku tak menengok ataupun membalas ucapannya, wajahku menatap lurus pada sebuah croissant cokelat di depanku.

"Kupikir-pikir.... Kau memang terlihat kurusan, kau diet ya?" lanjut David lagi. Aku bergeming, masih melipat tangan di atas meja dengan mata memandang lurus ke depan. "Kau lebih menarik kalau kurus, lanjutkan dietmu!" 

Aku tak kuat dan akhirnya menoleh ke arahnya dengan kesal. "Aku bukan diet untuk kurus! Tapi aku tak makan karena tak punya uang! Puas kau!"

There you go, hilang sudah my anger management. Hancur sudah mantra namaste yang sejak tadi kurapal berulang kali. David juga terlihat sedikit kaget dengan jawabanku dan ia menutup mulutnya, good... very good.

Pertemuan hari ini selesai, Lindsay berujung memilih pastry berdasar penampilannya, ia juga sepertinya agak enggan meminta tolong lagi kepadaku.

"Kita dinner dulu," ucap David dengan dingin, ia menyetir mobil dalam kecepatan tinggi. Aku diam, begitu juga dengan Lindsay. Kami terlarut dalam lamunan masing-masing. David memarkirkan mobilnya di sebuah restoran besar yang menjual menu all-vegan. Aku dengan setengah hati berjalan di belakang Lindsay. Apa David membawa kami ke restoran akibat ucapanku tadi?

"Eat! Aku yang bayar!" ucap David separuh memerintah. Raut wajahnya seakan ia sedang marah. Aku mengedik tak peduli. Mungkin ia sedang putus cinta lagi dengan para model kelas atas yang selingkuh dengan kakek-kakek tua? Ya, Lindsay pernah bercerita kepadaku bahwa kakaknya berubah menjadi super menyebalkan setelah ia putus dari Josephine, seorang model kelas atas yang ketahuan selingkuh dengan bangsawan Italia yang sudah tua bangka. Mungkin hal itu yang menghancurkan harga dirinya... berakibat ia hobi menghancurkan harga diriku? Kenapa aku yang jadi korban?

Lindsay memesan makanan dan aku mengopinya. Selama menunggu makanan datang, aku menesan sebuah lime drink dingin dan meneguknya. Sekali, dua kali aku merasakan nikmat dan segarnya minuman dingin itu, lalu diisapan ketiga tiba-tiba perutku terasa seperti ditusuk oleh belati tajam, sakit sekali. Aku meringis dan memegang perutku. Otomatis Lindsay dan David melihat gerakan tanganku plus raut wajahku yang kesakitan.

"Ada apa?" tanya Lindsay terlihat khawatir.

David diam, tapi wajahnya seperti sama khawatirnya dengan Lindsay.

"Aku tak tahu, sepertinya sakit perut, mungkin PMS?"

"No. Kau saat PMS tak sakit separah itu, pasti ada masalah dengan perutmu. Bagaimana Dave? Apa sebaiknya kita ke rumah sakit?" usul Lindsay.

Dave hanya mengangkat bahunya cuek. Ya, aku merasakan hal yang sama, aku berpikir ke rumah sakit bukan ide yang bagus.

"Aku baik-baik saja, Linds!" ucapku berusaha menghilangkan raut kesakitan dan memaksa tersenyum. Rasanya luar biasa sakit dan aku harus tersenyum... bayangkan betapa indahnya hidupku!

Lindsay bercerita tentang beberapa sahabat kami yang mengiriminya pesan dan bertanya kapan undangan akan diantar.

"Mereka hanya tahu berpesta tanpa tahu betapa sulitnya aku mempersiapkan segalanya!" omel Lindsay.

"Karena mereka tak kau libatkan, mereka beberapa kali memintaku membicarakan ini kepadamu, mereka siap membantu. Lagi pula... memang kau tak berencana mengundang mereka?"

"Ya. Aku akan mengundang mereka tentu... tapi ah, entahlah, aku menjadi sangat sensitif belakangan ini," keluhnya menyeka dahinya.

'Memang, aku sangat setuju! Kau menjadi sama menyebalkannya dengan kakakmu, Linds!' batinku. Selama menunggu makanan, David lebih memilih asyik dengan ponselnya, sementara aku membicarakan tentang lukisanku yang terjual tadi.

"Akhirnya aku punya uang sendiri! Aku sudah patah semangat waktu pameran sudah mau berakhir. Kalau lukisan itu tak terjual... mau makan apa aku minggu depan?" ucapku tersenyum lebar. Ada rasa lega dan bangga saat membicarakan lukisanku yang sudah terjual itu.

"Kenapa kau tak bilang kalau tak punya uang untuk makan? Kau tak menganggap aku temanmu ya?!" protes Lindsay menatapku kesal.

"Aku sudah dewasa ... dan sudah seharusnya mandiri," jawabku dengan tenang. Aku memang bukan orang yang beruang, tapi aku punya harga diri!

Pesanan akhirnya datang. Saat melihat banyak menu makanan yang tersaji di depanku saat ini, aku meneguk air ludah... apakah aku sanggup makan? Aku mencoba sesendok, dan detik berikutnya perutku protes lagi, rasanya lebih sakit berkali-kali lipat dari sebelumnya. Aku tak bisa menahan rintihan yang keluar dari mulutku. 

Menit selanjutnya aku merasa tubuhku melayang, seseorang mengangkatku. Wait, what? Mengangkatku?! Kenapa ia bisa mengangkatku? Apa tak berat? Aku melihat ke atas... wajah David dengan raut serius dan khawatir berjalan cepat menuju parkiran, di belakangnya Lindsay berjalan cepat berusaha menyusul.

"Straight to the hospital." Itu ucapan David yang terakhir kudengar sebelum aku kehilangan kesadaran.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Arjus Jhe
..................
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status