Kara mencoba mengatur napasnya, hatinya gondok bukan main. Salah satu kakinya tak bisa diam dan terus bergoyang karena menahan amarah saat wanita yang menyebabkan semua ini masih saja meneriakinya dengan berbagai umpatan.
“Bu, sabar, tenang dulu, kita bicara baik-baik dulu.” Seorang petugas polisi mencoba menenangkan kembali wanita itu. Ya, setelah menyiram Kara dengan air kopi dan menamparnya, tanpa babibu lagi, wanita itu langsung menyeret Kara ke pos polisi terdekat tanpa membiarkan Kara bicara atau membela diri.
“Bu, kalau Ibu gak tenang, gimana masalahnya selesai, kita dengar dulu penjelasan Mbak ini.” bujuk polisi itu lagi.
“Penjelasan? Apa yang keluar dari mulutnya pasti kebohongan, ngapain sih memperpanjang masalah, udah jelas dia penipu, perebut suami orang, masukin aja ke penjara, apa susahnya sih! Nyesel saya bawa dia ke sini, aturan saya bawa aja langsung ke polsek!” cerocosnya tak terima.
“Ya sabar dulu Bu, kalau terbukti nanti Ibu kami antar langsung ke polsek.” ucap petugas polisi yang memang hanya seorang petugas polisi lalu lintas.
Kara melirik ke arah wanita yang menyeretnya ke sini. Ia sudah tau masalahnya, Wanita ini pasti Istri Pacar Rumi yang salah mengira dirinya sebagai Rumi. Namun setaunya Rumi tak pernah berurusan dengan pria beristri, ia yakin Pria gempal tadi pasti sudah menipu Rumi dan mengatakan jika ia sudah tak beristri. Dasar Pria tua berengsek!
Kara menyibak rambut kusutnya lalu bangkit dan mengambil dompet dari saku belakang Jeansnya. Ia mengeluarkan KTP dan melemparkannya ke atas meja agas seluruh orang di ruangan sempit itu bisa melihatnya.
“Saya bukan orang yang Ibu cari, Ibu salah orang!” ketus Kara.
Wanita tua itu melirik sinis ke arah KTP kara lalu menyilangkan tangannya, “Namanya penipu ya pasti akalnya banyak, itu pasti KTP palsu. Pokoknya saya gak mau tau, bawa ini Perempuan laknat ke polsek, dia udah menghasut Suami saya untuk menjual hampir semua properti dan menggelapkan uangnya! masukin aja dia ke mobil tahanan pak! Jijik saya liat mukanya!”
Kara menggebrak meja dengan tangan kirinya, “Ayo! Saya juga akan laporin Ibu atas tindak penyerangan dan pencemaran nama baik ya!” tantang Kara. Ia sungguh bingung dan serba salah, ini jelas bukan salahnya, namun apakah ia harus menyerahkan Rumi begitu saja? Apalagi melihat betapa beringasnya wanita ini. Rumi bisa jadi juga korban.
“Tenang Bu, kita pastikan dulu kalau Mbak ini bukan Rumi seperti yang Ibu bilang tadi.” Lagi-lagi petugas itu kualahan dengan tingkah wanita yang seperti kerasukan itu.
“Bapak bisa liat kan, saya bukan Rumi.” jelas Kara ketus sambil menunjuk KTP-nya.
“Oke baik, jika Mbak bukan Rumi, lalu Mbak ini siapa? Apa hubungan Mbak dengan Rumi?”
Kara tak menjawab, ia mengalihkan pandangannya ke arah lain sambil melipat tangannya di dada.
“Nah nah tuh kan! Dia gak bisa jawab! Udah pak bawa aja ini penipu ke Polsek!”
“Mbak, saya sudah suruh teman saya ke Café tempat Mbak tadi, kalau Mbak gak mau kerja sama, masalahnya akan makin runyam, bisa-bisa Mbak beneran dibawa ke polsek.”
“Pak, saya bukan Rumi, Ibu ini cuma halu, siapa tau suaminya ada di rumah, lagi pula mana ada bukti saya nipu? Yang bapak liat sekarang apa? Siapa yang tersakiti? Saya!” Bela Kara sambil menggebrak meja untuk yang kesekian kalinya.
“Dasar Jalang! Masih berani bilang saya halu? Yang halu itu kamu! Kalo gak punya uang ya cari, jangan minta sama suami orang!” teriak wanita tua itu lagi sambil ikut-ikut menggebrak meja.
Dan selang beberapa detik kemudian masuk lah orang lain ke dalam pos polisi yang sempit itu. Seorang pria tinggi dengan setelan jas rapi yang terlihat sangat fit di tubuhnya.
“Siapa lagi ini?” tanya petugas polisi malas.
“Saya Pengacaranya Ibu Wilson.” Sahut Pria itu dingin sambil menyerahkan kartu namanya pada petugas polisi.
Wilson, Si Wanita pemarah itu langsung tersenyum angkuh dan mengangkat dagunya sedikit lebih tinggi saat Pengacaranya akhirnya datang.
Polisi itu mengangguk kecil setelah membaca kartu nama Pengacara itu. Ia mengenali firma hukum tempat pengacara itu berasal. Firma tempat berkumpulnya banyak pengacara handal yang memiliki banyak track record kemenangan di persidangan.
“Pak Dean, terima kasih sudah datang, maaf saya tidak bisa menunggu lagi, saya udah pengen nyeret wanita sialan ini ke penjara secepatnya.” ucapnya menggebu pada pengacaranya.
Pengacara bernama Dean itu hanya mengangguk kecil, ia lalu melihat ke arah Kara yang penampilannya kacau balau di tangan Kliennya.
“Jadi begini Pak, Ibu Wilson menuntut Mbak Rumi, eh maksud saya Mbak Kara ini karena kasus penggelapan uang bersama suaminya.” jelas polisi itu sabar pada pengacara.
Kara mendengus kasar, “Pak ceritain versi yang lengkap dong, bagian saya di guyur air kopi seember, ditampar dan diseret begitu aja ke sini mana?” sinis Kara sambil mengetukkan jarinya ke meja.
“Diam kamu! Masih berani ngomong?” bentak Wilson sambil memelototi Kara.
Kara bangun dari duduknya, lalu menatap tajam ke arah pengacara yang tinggi menjulang seperti manekin hidup itu.
“Bapak Pengacara yang terhormat, tolong jelasin ke klien anda kalau beliau ini salah orang, saya bukan orang yang dia maksud, dan saya mau menuntut balik atas penyerangan yang beliau lakukan kepada saya sehingga menimbulkan kerugian moral dan materi!” tutur Kara tegas dengan suara setenang mungkin.
Pengacara itu tak menjawab, ia hanya menghela napas kecil sambil membalas tatapan tajam Kara dengan tatapan yang datar.
“Nih, liat jelas-jelas nama saya bukan Rumi atau siapa lah itu!” Kara melemparkan KTP-nya begitu saja pada Dean yang langsung di lempar balik oleh Dean ke atas meja.
Tentu saja tingkah Dean membuat mata Kara melotot. Baru saja ia berpikir akhirnya ada orang waras di ruangan ini, tapi ternyata pengacara ini sama bodohnya dengan Wilson.
“Saya tau.” sahut Dean singkat yang membuat Kara kembali melotot. Wilson pun juga nampak terkejut mendengar jawaban Pengacaranya sendiri.
“Pak Dean? Apa maksudnya? Jangan percaya omongan Ular ini, dia jelas-jelas orangnya!” protes Wilson.
“Jadi gimana Pak Dean, apa kasusnya harus diselesaikan di polsek saja?” tanya Polisi yang sudah muak dengan drama yang seperti di sinetron yang sering di tonton Istrinya.
“Kasus ini akan diselesaikan dengan musyawarah terlebih dulu Pak, biar saya yang urus.” sahut Dean tenang lalu menarik lengan Wilson agar keluar bersamanya.
“Pak Dean, gimana sih, saya gak mau pergi, saya gak akan ngelepasin penipu itu!” Wilson menepis tangan Dean dengan cepat, namun Dean tak memedulikan penolakan Wilson, tenaganya tentu cukup untuk menarik paksa Wanita paruh baya itu ke arah mobilnya.
“Bu Wilson, tolong tenang dulu.” Dean setengah berbisik begitu sampai di depan mobilnya.
“Gimana saya bisa tenang, jelas-jelas penipu itu ada di depan mata!” teriaknya penuh emosi.
Dean menarik napas panjang lalu memegang kedua lengan Wilson dan menatapnya tepat ke arah manik matanya.
“Rumi, ada di mobil saya.” ucap Dean dengan suara yang ia buat setenang mungkin.
Kening Wilson langsung mengkerut, ia lalu menoleh ke arah mobil Dean untuk memastikan jika memang ada orang di mobil itu.
“Orang yang Ibu bawa tadi, bukan Rumi, dia temannya, Rumi memang pemilik Café itu, tapi itu bukan dia.” jelas Dean.
Wilson menutup mulutnya dengan kedua tangannya. Benarkah ia salah orang?
“Saya sudah bilang kan, jangan bertindak gegabah sebelum semua bukti terkumpul, kita masih menyelidiki siapa Rumi, sampai kita tau dan yakin siapa orangnya, kita jangan bertindak dulu. Sekarang apa Ibu lakukan? Ibu menyerang orang yang salah, bisa saja dia menuntut Ibu atas kasus penyerangan dan pencemaran nama baik.” tutur Dean sambil menahan gertakan giginya karena ia terlampau gregetan dengan kelakuan Kliennya yang main hakim sendiri.
“Bagaimana ini Pak Dean? Apa saya bisa masuk penjara?” tanyanya panik.
Dean menarik napas panjang, lalu memanggil supir Ibu Wilson agar bersiap-siap.
“Ibu sebaiknya kembali ke rumah, saya akan membawa Rumi ke kantor saya dan menginterogasinya, saya akan laporkan hasilnya pada Ibu nanti.”
“Kenapa gak bawa ke kantor polisi aja langsung?”
“Ibu Wilson, kita masih mengumpulkan bukti, kalau kita gegabah dan ternyata tuduhannya tidak terbukti, Ibu malah bisa dituntut balik.”
“Jadi menurut Pak Dean tuduhan saya tidak beralasan?”
“Pak tolong anter Ibu Wilson pulang.” ucap Dean pada Supir Wilson.
“Saya akan berusaha semaksimal mungkin menyelesaikan kasus Ibu, saya pastikan ibu bercerai dengan suami Ibu dan mendapatkan kembali properti-properti Ibu yang digelapkan oleh Suami Ibu, oke?” tegas Dean.
Wilson meremas rambutnya yang disasak tinggi dengan gemas, ia masih emosi, namun ia tau jika Dean adalah Pengacara yang kompeten. Ia pun akhirnya mengangguk pasrah dan kembali ke mobilnya.
Setelah menunggu mobil Wilson pergi dari hadapannya, Dean segera mengambil ponselnya dan menghubungi seseorang. Namun kegiatannya terhenti saat suara cempreng seseorang memanggilnya dari belakang.
“Woi! Pak Pengacara!” Kara berteriak dari pintu pos polisi sambil melambaikan tangannya.
Dean pun menoleh lalu mengusap keningnya, bagaimana bisa ia melupakan wanita itu?
Ia pun merapikan jasnya sebentar lalu berjalan menghampiri Kara yang berdiri dengan pose menantang seperti ingin ribut.
“Apa saya salah liat? Barusan Bapak menghilangkan begitu saja tersangka penyerangan?” sindir Kara sambil mendekatkan wajahnya.
Dean berdeham lalu merogoh sesuatu dari dalam kantung jasnya.
“Perkenalkan, saya Dean Kaivan Balin.” Dean menyerahkan kartu namanya pada Kara. Kara pun mengambil kartu nama itu lalu langsung melemparnya begitu saja, persis seperti yang Dean lakukan saat ia menyerahkan KTP-nya tadi.
Kening Dean langsung berkerut, angkuh sekali wanita ini.
“Ehm.. begini, Klien saya sepertinya sedikit salah paham ja―”
Belum selesai Dean bicara, Kara buru-buru memotongnya, “Sedikit? Apa gue keliatan kaya orang baik-baik aja sekarang?” ketus Kara yang sudah enggan menggunakan bahasa sopan pada Pengacara yang menganggap remeh kejadian ini.
“Pinjem HP lo!” pinta Kara tiba-tiba.
“Buat apa?”
“Kalo gue bawa HP gue pake Hp sendiri, cepet!” bentak Kara sambil memelototi Dean.
Dean mengehela napas kasar lalu memberikan ponselnya.
Kara pun mengambil ponsel itu dengan kasar lalu menekan icon kamera dan mulai memotret dirinya sendiri. Ia bahkan memotret wajahnya dari berbagai sisi, khusus untuk pipi lebam bekas tamparan, ia sedikit perbesar agar lebam merah itu jelas terlihat.
“Ngapain lo?” tanya Dean yang juga sudah malas menggunakan bahasa sopan pada Kara.
“Mengamankan bukti.” sahut Kara lalu mengirim foto itu ke nomor ponselnya sendiri yang tertinggal di Café Rumi.
Dean tersenyum sinis sambil geleng-geleng kepala.
“Heh! Kenapa lo nyuruh Ibu Singa itu pulang? Bukanya dia mau bawa gue ke polsek? Gue dengan senang hati melenggang ke kantor polisi asal tuh Ibu-ibu juga masuk penjara bareng gue!” oceh Kara.
Dean mendesah pelan lalu memasukan kedua tangannya ke saku celananya, “Jadi lo beneran gak takut masuk penjara?” tanya Dean yang terdengar sedikit menantang.
“Ya! Kenapa? Kan lo bilang tadi kalo si Ibu Singa salah orang, penipunya bukan gue!” tantang Kara balik.
“Ah… bukan lo, tapi dia temen lo kan? Rumi Kamila Putri, umur 27 tahun, lulusan Universitas Indonesia jurusan Sastra Inggris, tinggal di apartemen daerah Setia Budi, pernah menikah satu kali lalu bercerai karena Suaminya Selingkuh, dan baru hari ini buka bisnis Café di depan Stasiun Gambir.” deber Dean tenang.
Kara sedikit terperanjat, bagaimana bisa Pengacara ini tau profil Rumi? Apakah ia memang sudah menyelidiki Rumi sebelumnya?
“Kenapa? Masih mau nyangkal? Lo tau tindakan lo tadi yang mengelak dan pura-pura gak mengenal Rumi sama aja menghalangi penyelidikan? Apalagi kalau dia benar-benar terbukti melakukan penggelapan uang bersama Suami Bu Wilson.”
Kara menelan ludahnya yang tak banyak, “Heh! Udah gue bilang gue gak kenal Rumi, kalian salah orang!” elak Kara yang tak tau harus berbuat apa, yang jelas lebih baik ia merahasiakan keberadaan Rumi lebih dulu, ia akan menyelidiki bagaimana bisa semua tuduhan itu bisa datang kepada sahabatnya.
Dean tersenyum kecil, “Oke, kalau lo gak kenal Rumi, terus siapa cewek di mobil gue yang dari tadi nyebut-nyebut nama lo?” tanya Dean sambil melirik ke arah mobilnya.
Kara pun memicingkan matanya karena lampu di area parkir itu begitu redup, dan saat itulah ia bisa menangkap sosok Rumi yang sedang melambai ke arahnya dengan wajah sembab.
Kara mendecak kesal. Oh Shit!
Kara menarik Rumi ke dalam dapur begitu mereka sampai di Café milik Rumi. Ia langsung memojokkan Rumi di balik kulkas agar Sang Pengacara yang kini sedang duduk di area Café tak mendengar percakapan mereka.“Heh, sebenarnya ada apaan sih? Jelasin ke gue!” pekik Kara pelan.Rumi menatap penampilan Kara yang kacau akibat ulahnya lalu mulai menangis.“Dih malah nangis lagi, jawab gue!” sengit Kara gemas.“Sorry, harusnya gue langsung keluar belain lo, tapi Mas Fatur ngelarang dan malah nyuruh ngumpet.” jawab Rumi yang selalu takut pada Kara yang sedang marah, baginya Kara seperti penyihir yang bisa menelannya bulat-bulat.“Terus kenapa lo malah keluar! Udah bener-bener ngumpet!”“Tadi Gue sebenarnya udah mau pergi, tapi tuh orang keburu muncul, alhasil gue terpaksa ngaku.”Sebenarnya Rumi dan Fatur mendengar keributan Kara dan Wilson, dan mereka pun
Romlah : Apa bagusnya wanita itu Jamal? Begitu banyak wanita lain di dunia ini dan kamu memilih gadis kampung itu? (Berdiri sambil memegang kening) Jamal : Mami, Jamila adalah wanita yang baik, dia pasti akan menjadi menantu yang bisa mengangkat derajat keluarga kita. (Menatap Romlah dengan tatapan lirih dan sendu) Romlah : Persetan dengan derajat! Derajat dia saja jauh dibawah kita! Jamal : Mami Please, tolong sekali ini percaya pada Jamal, Jamal begitu mencintai Jamila. (merangkul lengan Romlah) Romlah : Kamu tau apa tentang cinta, Mami akan jodohkan kamu dengan keluarga terpandang di Depok, bukan dengan Jamila yang gak jelas asalnya! (Menepis tangan Jamal) Jamal : (Mulai menangis) Suara keripik kentang yang dikunyah Rumi terdengar jelas dari ruang tengah karena suasana rumah Kara sangat sunyi saat ini. Sementara matanya tak lepas dari layar TV yang tengah mem
Dean memarkir mobilnya tepat di depan Aprodite Café. Ia mengambil sebuah kotak dari kursi belakang mobilnya lalu turun dari mobil. Setelah itu ia berjalan ke arah pintu masuk dengan percaya diri.ia lega karena saat pintu terbuka, orang pertama yang ia lihat adalah orang yang ia cari. Apalagi orang itu kini sedang menatapnya dengan tatapan tak suka. Sesuai tebakannya.“Pak Dean?” Suara Rumi membuat Dean menoleh ke arah lain.“Selamat siang Mbak Rumi.” Sapa Dean ramah.“Ada apa ke sini? Apa ada masalah lagi?” tanya Rumi takut.“Ah, enggak, berkas Mbak Rumi kemarin udah saya serahkan ke pengadilan. Pak Fatur juga sudah di tangkap semalam, tinggal nunggu persidangan aja.” jelas DeanMata rumi langsung membulat saking kagetnya, “Beneran? Mas Fatur udah ketangkep?” tanyanya takpercaya.Dean mengangguk, “Ya, dia sembunyi di rumah temannya selama ini.”&ldq
Kara mematikan komputernya setelah merampungkan naskah untuk episode minggu depan. Setelah itu ia bergegas mandi karena hari ini ia akan pergi ke kantor Pengacara bernama Dean itu untuk mengembalikan uang sogokan yang diberikan Ibu Wilson. Sesuai pendiriannya, ia tak akan bergeming dengan semua tawaran Ibu Wilson sampai Rumi bisa dibebaskan dari kasus ini. Setelah tiga puluh menit bersiap, Kara pun keluar dari kamarnya lalu langsung menuju pintu keluar. Namun langkahnya terhenti sejenak karena ada telepon yang masuk. Ia melihat kata Ayah di layar ponselnya, maka ia pun langsung buru-buru mengangkatnya. “Ya Yah, kenapa?” “Kar, kamu lagi sibuk?” “Mau keluar sih, tapi gak apa-apa, kenapa Yah?” “Oh kamu mau pergi, yaudah nanti aja Ayah telepon lagi.” “Eh gak apa-apa Yah, ngomong aja.” “Sudah nanti aja, Ayah tutup teleponnya ya.” Sedetik kemudian sambungan telepon pun terputus, mes
Kara menghabiskan segelas air putih dingin dengan banyak es batu dalam waktu singkat untuk mendinginkan suhu tubuhnya yang terasa panas. Rumi yang melihat wajah suntuk Kara hanya bisa menunggu sampai Kara menceritakan kejadian apa yang baru saja ia alami sampai wajahnya semerah udang rebus. Pulang dari kantor Dean, Kara memang langsung pergi ke Aprodite Café. “Gila! Dasar orang gila, stress, psyco, preman!” rutuk Kara sambil menggenggam gelasnya dengan kuat. “Ada apalagi sih Kar? Lo abis berantem sama preman mana lagi?” tanya Rumi tak habis pikir. “Pengacara Berandalan itu lah, siapa lagi!” sahut Kara ketus. “Pak Dean? Lo beneran jadi balikin uang yang kemaren?” “Iya lah, ogah gue nerimanya!” Rumi mendesah berat, “Pasti lo ribut di sana kan?” “Gue dateng baik-baik ya, eh tau-tau dia bentak gue, ngancam mau masukin gue ke penjara lagi!” “Udah deh Kar lupain aja, biarin deh gue jadi saksi di persidangan, dari pada
Dean berjalan memasuki sebuah rumah mewah bergaya khas eropa lalu menuju ruang keluarga yang berada di bagian tengah rumah . Ia bisa melihat Kakeknya yang sedang duduk di kursi roda dan di sekelilingnya ada anak-anak dan menantunya.Dean pun segera bergabung dan memilih duduk di kursi yang jauh dengan Kakeknya. Lesmana Balin, Kakek Dean yang kini berusia hampir 70 tahun tersenyum lebar saat melihat lima Cicitnya yang berlarian di dalam ruangan luas itu sambil bercanda. Kakek tua itu memang sudah tak mampu berjalan sejak ia terserang stroke lima tahun lalu. Namun semangatnya masih kuat, ia bahkan masih berkontribusi pada semua Firma Hukum yang ia miliki. Alpha Law Firm hanyalah salah satu dari empat Firma Hukum yang ia punya, tiga Firma Hukum lainnya terdapat di Surabaya, Bali, dan Malaysia. "Jangan kencang-kencang larinya." titahnya pada seorang cicitnya yang baru berusia lima tahun. Lesmana memiliki empat orang anak, dan semuanya laki-laki, Ayah Dean ad
Dean membasuh wajahnya dengan air wastafel yang dingin berkali-kali untuk menyegarkan wajahnya. Ia tak bisa tidur dengan nyenyak semalam karena perkataan Kakeknya yang terus terngiang-ngiang di kepalanya. Mengapa Kakeknya menyuruhnya menikah tiba-tiba seperti ini.Apa Kakeknya pikir ia tak cukup dewasa sampai ia harus menikah terlebih dahulu? Apa kedewasaan bisa diukur jika orang itu sudah menikah? Hal ini justru semakin membuatnya malas berada di dalam keluarga ini, namun lagi-lagi ia teringat oleh Ibunya. Haruskah ia mengikuti perintah Kakeknya? Lagi pula bukankah Kakeknya akan memberikan salah satu Firma Hukum miliknya kepadanya? Dean menatap wajahnya yang basah lewat cermin yang ada di depannya. Pikirannya malah semakin kalut. Lebih baik ia segera mandi dan pergi bekerja, karena hari ini ia ada janji dengan Ibu Wilson yang akan datang ke kantornya. Sementara itu di waktu yang sama, Kara sedang memasukkan baju-baju Ayahnya ke dalam
Dean menarik selimutnya sampai setinggi leher. Lalu memandang langit-langit kamarnya yang gelap sambil mengatur ritme napasnya. Sudah beberapa hari ini ia tak bisa tidur nyenyak. Ia pun mencoba mengosongkan pikirannya agar bisa cepat terlelap. Namun bunyi dering telepon tiba-tiba memecah keheningan di kamarnya. Ia melihat kontak Hendra di layar ponselnya, apalagi yang akan dikatakan Pamannya kali ini? “Ya Om.” Sapa Dean. “Kamu hari ini kemana aja? kenapa gak ke kantor?” tanya Hendra langsung. “Meeting di luar sama klien.” “Selama itu? Berapa klien yang kamu temui? Bukanya Om udah bilang untuk mengurangi kasus yang kamu pegang.” “Om, bisa kita bicara besok aja? Saya lelah.” Ucap Dean dengan dengan suara lirih. “Eh tunggu-tunggu jangan di tutup dulu!” cegah Hendra cepat. “Apa lagi?” “Besok kamu pergi ke tempat yang Om suruh ya, ketemu sama kenalannya temen Om.”