Share

Part 3

Kara menarik Rumi ke dalam dapur begitu mereka sampai di Café milik Rumi. Ia langsung memojokkan Rumi di balik kulkas agar Sang Pengacara yang kini sedang duduk di area Café tak mendengar percakapan mereka.

“Heh, sebenarnya ada apaan sih? Jelasin ke gue!” pekik Kara pelan.

Rumi menatap penampilan Kara yang kacau akibat ulahnya lalu mulai menangis.

“Dih malah nangis lagi, jawab gue!” sengit Kara gemas.

Sorry, harusnya gue langsung keluar belain lo, tapi Mas Fatur ngelarang dan malah nyuruh ngumpet.” jawab Rumi yang selalu takut pada Kara yang sedang marah, baginya Kara seperti penyihir yang bisa menelannya bulat-bulat.

“Terus kenapa lo malah keluar! Udah bener-bener ngumpet!”

 “Tadi Gue sebenarnya udah mau pergi, tapi tuh orang keburu muncul, alhasil gue terpaksa ngaku.”

Sebenarnya Rumi dan Fatur mendengar keributan Kara dan Wilson, dan mereka pun memutuskan untuk bersembunyi di dalam, dan baru akan pergi saat Wilson sudah pergi. Dan saat kedaan sudah aman, Fatur pun pergi lebih dulu. Barulah selang 15 menit kemudian, Rumi menyusul pergi. Namun sialnya saat hendak pergi, Dean keburu menemukannya dan menghentikannya.

Dean sendiri sebelumnya sudah mendapat telepon dari Wilson yang mengatakan jika ia sudah menangkap wanita selingkuhan suaminya dengan tangannya sendiri. Itulah yang membuat Dean bergegas menyusul Wilson. Padahal sebelumnya ia sudah mewanti-wanti Wilson agar menahan diri dan tak bertindak gegabah, karena ia bahkan belum pernah menunjukan bukti-bukti hasil penyelidikannya selama ini. Makanya ia heran bagaimana Wilson bisa menangkap wanita itu jika wajahnya saja ia tidak tau.

Maka sebelum ke Pos Polisi, Dean sengaja melewati Café milik Rumi dan benar saja ia malah mendapati sosok Rumi baru akan masuk ke dalam mobil dan hendak pergi. Saat itu juga ia yakin jika kliennya pasti salah menangkap orang.

“Lo ngaku apa aja ama tuh orang? Lo gak ngomong macem-macem kan?”

“Ya ngaku kalo gue pacaran sama Mas Fatur.” lirih Rumi.

“Tapi lo gak ngaku kalo lo bawa kabur uang Istrinya tuh Om Buncit kan?”

“He? Bawa kabur uang?” Rumi malah bertanya balik.

Kara menghela napas kasar, benar saja, pasti ada yang tak beres dengan Pacar Rumi cabang Tangerang itu.

“Maksud lo apaan Kar? Uang apa?”

“Lo pikir masalahnya sebatas labrak-labrakan karena ketauan selingkuh? Istrinya nuduh lo gelapin uang hasil penjualan propertinya tau gak!”

What? Seriously? Denger Kar, demi Tuhan, gue bahkan baru tau kalau dia masih punya Istri, lo tau gue kan, gue jadi Janda gara-gara Suami gue diambil Pelakor, makanya gue selalu cari pacar yang udah gak ada Istrinya karena gue gak mau jadi Pelakor juga!”

“Itulah masalahnya sekarang! Istrinya ngancam bakal bawa ini ke pengadilan!”

“Terus gimana dong, beneran deh gue gak tau apa-apa!” Rumi mulai frustasi.

“EHM…”

Suara dehaman keras membuyarkan obrolan seru dua sahabat itu.

Kara pun langsung menarik Rumi ke area Café untuk menemui Dean. Namun sebelumnya ia mewanti-wanti Rumi agar tidak mengatakan hal-hal yang aneh yang justru bisa membahayakan dirinya.

Mata Dean pun mengikuti dua wanita yang baru saja keluar dari dapur sampai duduk di depannya.

“Kenapa? Baru liat orang kesiram air kopi seember?” tanya Kara sinis yang langsung disikut oleh Rumi. Kenapa Kara malah mengibarkan bendera perang, harusnya ia bersikap baik pada Pengacara ini, atau bahkan kalau perlu menjilatnya agar ia tak dituntut.

Dean tersenyum sinis lalu memperbaiki sikap duduknya dengan bersandar dan menyilangkan kakinya.

“Hm… Mbak Rumi, jelas mengakui hubungan dengan Bapak Fatur yang tak lain adalah Suami sah Ibu Wilson kan?” tanya Dean langsung.

Rumi tak menjawab, ia malah menatap Kara agar Kara membantunya menjawab.

“Mereka memang berhubungan, tapi hanya sebatas hubungan asmara, dia gak tau apa-apa soal penggelapan uang yang dibilang Ibu Singa tadi!” sahut Kara mewakili Rumi.

“Tolong hargai Klien saya, dia Ibu Wilson.” ucap Dean sabar sambil menggertakan giginya.

“Terserah!” ujar Kara malas.

“Gini aja, karena saat ini juga udah kelewat malam, Mbak Rumi, kita ketemu lagi besok, silakan datang ke kantor saya jam 10 pagi.” pinta Dean lalu memberikan kartu namanya langsung pada Rumi.

Dengan ragu Rumi mengambil kartu nama itu lalu mengangguk pelan.

“Jangan takut kalau memang anda merasa tidak bersalah, datang saja sendiri, jangan dulu menyewa pengacara, kita bicara dulu baik-baik.” ucap Dean tenang, beda sekali nada bicaranya saat bicara dengan Kara.

“Saya pamit, selamat malam.” pamit Dean lalu pergi.

Rumi dan Kara pun mengawasi dari balik jendela sampai mobil Sang Pengacara itu benar-benar pergi.

“Gimana dong Kar?” Rumi langsung berjongkok sambil menenggelamkan kepalanya di atas lutut.

“Aneh!” gumam Kara yang masih melihat ke luar jendela.

Rumi pun mendongak, “Apanya yang aneh?”

“Bagaimana bisa Pengacara ngomong gitu ke pihak lawan?” “Maksud lo?”

Kara mendecak malas atas ketelmian sahabatnya itu.

“Dia terlihat mau belain lo ketimbang nuntut lo, apa jangan-jangan itu trik liciknya buat ngejebak lo ya?”

“Ah lo jangan nakut-nakutin gue dong! Gue takut ah, gue gak mau pergi ke kantornya besok!”

“Lo harus dateng, kalo lo gak dateng nanti dia bisa kesini, mending datengnya sendiri, kalo bawa-bawa polisi gimana?”

“Aaaaah… dasar Fatur berengsek! Udah bohongin gue, fitnah gue juga lagi!” geram Rumi sambil mengepalkan tangannya kuat-kuat.

“Dia pasti terdesak karena ketauan selingkuh dan gelapin uang istrinya sendiri, makanya dia nyari kambing hitam buat disalahin.”

“Temenin gue dong Kar, lo tau kan kapasitas otak gue, mana bisa gue ngadepin orang yang urusannya udah sama hukum begitu, di tilang polisi pinggir jalan aja gue langsung gagu.”

“Ngegombal ke Om-om aja lo jago!” sindir Kara telak.

Bibir Rumi langsung mengerucut, “Please Kar lo harus bantuin gue.”

“Hhh… ya, besok gue temenin, kita jelasin semua besok ke mereka dengan bawa bukti-bukti data keuangan lo semenjak lo kenal sama Fatur.”

Rumi mengangguk pelan lalu mendesah berat, baru saja ia memulai bisnisnya, namun ia harus menutupnya sementara karena masalah ini.

***

Kara mencabut ponselnya yang sudah semalaman di isi daya, setelah itu ia mengirim pesan chat pada Sutradara untuk mengabarkan jika ia baru bisa mengirimkan naskahnya nanti malam.

Tak lupa ia juga mengabari Adiknya jika ia menginap di rumah Rumi semalam. Kara dan Gilang memang hanya tinggal berdua, Ayah mereka tinggal kampung halaman, tepatnya di Bandung sementara Ibu mereka sudah meninggal 15 tahun yang lalu.

“Udah siap?” tanya Kara  pada Rumi lalu meletakkan ponselnya ke dalam tas.

“Udah, yuk!” sahut Rumi. Mereka pun turun ke basement untuk mengambil mobil Rumi yang terparkir, setelah itu mereka melesat menuju ke sebuah gedung Firma Hukum yang memiliki nama ALPHA LAW FIRM.

Tak butuh waktu lama, hanya 40 menit, mobil Rumi sudah masuk ke pelataran parkir gedung tingkat delapan itu.

“Gue takut Kar.” Rumi mulai pesimis begitu mobilnya berhenti.

“Jangan takut, lo kan gak salah. Justru kita ke sini mau buktiin semuanya kan.”

“Iya sih, tapi mereka semua kan orang-orang pinter dan paham soal hukum, kalo mereka malah bikin gue bersalah gimana?”

“Udah lo santai aja, rileks.” ucap Kara enteng.

“Gue serius Kar, lo liat kan di TV banyak orang yang gak bersalah masuk penjara.”

“Kebanyakan nonton sinetron lo!”

“Kan lo juga yang bikin cerita sinetron.”

“Iya juga ya, ah udah lah cepet keluar, semakin cepet kita hadapi semakin cepet juga masalah ini selesai.” ajak Kara lalu keluar dari mobil.

Rumi pun berjalan mengekori Kara yang berjalan dengan percaya diri. Mereka menuju arah meja Resepsionis untuk bertanya bagaimana mereka bisa bertemu Si Pengacara Ibu Singa. Dan sepertinya pertemuan mereka memang sudah di jadwalkan, karena Resepsionis itu langsung mengantar mereka ke sebuah ruangan di lantai 4, yang di pintunya tertera papan nama Dean Kaivan Balin M.H..

Kara dan Rumi saling pandang sebelum mengetuk pintu itu, setelah itu Kara masuk lebih dulu baru diikuti Rumi.

Dean yang memang sudah menunggu kedatangan mereka berdua langsung mempersilakan kedua wanita itu duduk di sofa panjang yang ada di depan meja kerjanya.

 “Terima kasih Mbak Rumi sudah bersedia datang.” sapa Dean pada Rumi, namun ia sempat memperhatikan Kara sebentar, jadi ini wanita Singa yang rambut dan  tubuhnya penuh kopi semalam? Terlihat berbeda sekali jika dalam keadaan normal seperti ini.

“Sebentar, saya pesankan minum.” ujar Dean lalu berjalan ke mejanya dan berbicara dengan seseorang lewat telepon kantornya.

Rumi menyikut lengan Kara sambil berbisik agar Kara merubah posisi duduknya yang terlewat santai, bersandar dengan kaki menyilang dan tangan yang terlipat di atas dada. Namun tentu saja Kara tidak mengindahkannya.

“Baik, kita langsung saja ya, seperti yang Mbak Rumi tau, saya Pengacara yang ditunjuk Ibu Wilson untuk mengurus perceraiannya dengan Pak Fatur. Namun dalam proses perceraiannya dia juga menuntut suaminya karena suaminya diduga menggelapkan aset milik keluarga Ibu Wilson, yaitu gedung tempat klinik kecantikan, dan dua buah rumah yang ada di daerah Jakarta dan Bogor.” tutur Dean sambil melampirkan bukti sertifikat bangunan yang telah disita oleh pihak Bank.

Rumi menatap lembaran kertas di depannya yang berisi tulisan yang tak ia mengerti sama sekali. Bagaimana bisa ia dituduh menggelapkan semua ini?

“Ibu Wilson beranggapan jika Mbak Rumi menghasut Suaminya untuk menggadaikan semua sertifikat properti ini, dan melepas tanggung jawab pembayaran ke bank sampai semua bangunannya di sita oleh Bank.” tambah Dean.

“Tapi saya tidak ada hubungannya sama sekali, saya juga korban, saya bahkan gak tau kalau dia masih punya Istri.” jawab Rumi yang kedua telapak tangannya mulai dingin.

“Apa Mbak Rumi punya bukti?”

Rumi langsung mengeluarkan sebuah amplop dari tasnya, amplop yang berisi print semua rekening koran yang ia miliki. Kebetulan ia memang baru mengenal Fatur enam bulan yang lalu. Ia juga meyerahkan ponselnya pada Dean agar Dean mengecek mulai tanggal berapa ia berhubungan dengan Fatur yang berawal dari pertemuan tak sengaja di pernikahan teman SMP-nya.

Dean fokus sesaat untuk memeriksa bukti-bukti yang Rumi serahkan, memang ada beberapa transferan masuk yang berasal dari Fatur, namun hanya empat kali, dan semuanya dalam jumlah yang sedikit, masih dalam rentang 2-4 juta saja. Jumlah yang wajar karena Fatur selalu mengirimkan uang jika mereka akan bertemu dengan tujuan agar Rumi membeli baju baru atau pergi ke salon sebelum mereka pergi berkencan.

“Saya gak bohong, saya jawab sejujur-jujurnya, saya gak tau menau soal penggelapan uang yang dilakukan Mas Fatur, saya gak punya renening lain selain rekening-rekening ini.” tambah Rumi lagi.

“Apa Mbak Rumi udah coba hubungi Pak Fatur?”

“Sudah, tapi gak dijawab sejak kejadian kemarin.”

“Dasar berandal berengsek!” gumam Kara yang terdengar oleh Rumi dan Dean sampai keduanya menoleh ke arah Kara bersamaan.

“Kenapa? Gue gak liat tanda dilarang mengumpat di sini.” ucap Kara jutek.

Dean menghela napas perlahan untuk mencoba kembali fokus dan mengabaikan wanita barbar itu.

“Saya akan menyimpan semua berkas ini untuk saya pelajari lagi, tapi saya minta kerjasama Mbak Rumi, jika nantinya kesaksian Mbak Rumi diperlukan di persidangan.”

“Bukanya semua bukti itu udah cukup? Lepasin temen saya sekarang, dia gak ada sangkut pautnya sama sekali.” Kara mulai buka suara.

“Tetap saja, semua orang yang terlibat transaksi dengan Pak Fatur selama dia menggelapkan uang harus terlibat.” jelas Dean yang mau tak mau meladeni Kara.

“Ah, harus ada jaminan barangkali Si Berandal Fatur gak ditemukan jadi nanti tinggal mengkambinghitamkan salah satu saksi, begitu Pak Pengacara?” sinis Kara.

Dean lagi-lagi menghela napas, wanita ini memang selalu memancing emosinya.

“Saya dan tim saya akan berusaha sebaik mungkin agar tidak ada pihak yang dirugikan.” sahutnya tenang.

 “Kalo gitu kami bisa pergi kan Pak Dean?” tanya Rumi yang sudah merasa tak nyaman.

Dean mengangguk lalu berdiri, “Iya Mbak Rumi, nanti akan saya hubungi kembali, dan saya pastikan Ibu Wilson tidak akan menemui anda untuk sementara ini.” ucap Dean.

“Baik Pak, terima kasih.” Sahut Rumi lalu buru-buru menarik Kara keluar dari ruangan itu. Namun Kara tak bisa pergi begitu saja, ia malah berjalan menghampiri Dean untuk membisikkan sesuatu.

“Urusan Rumi dan Ibu Singa mungkin bisa selesai, tapi urusan Ibu Singa sama gue belum, kalau lo bisa bebasin temen gue dari kasus ini, gue gak akan nuntut Ibu Singa, tapi kalau temen gue tetep lo libatkan di kasus ini, gue akan cari pengacara buat ngelawan lo di pengadilan.” Bisik Kara tepat di depan wajah Dean.

Dean mengepalkan tangannya sampai urat di tangannya terlihat. Setelah itu ia memasang senyum terbaik yang bisa ia berikan sambil menggiring Kara ke arah pintu lalu nguncinya rapat-rapat agar Wanita Singa itu tak bisa masuk lagi.

“ARRRRRRGH!!!” pekik Dean pelan lalu menyambar sebotol air mineral dari kulkas kecil yang ada di sudut ruangannya dan menenggaknya hingga habis. Setelah itu menarik napas dalam-dalam sambil menghitung satu sampai lima dengan perlahan agar detak jantungnya normal kembali.

Sementara itu Kara dan Rumi sudah dalam perjalanan kembali menuju parkiran. Kara yang baru saja diusir begitu saja tentu saja masih mengumpati Dean yang terkesan tak menghargainya.

“Dasar Berandal! dikira gue ngancem doang kali, liat aja kalo terpaksa harus nyewa pengacara, gue bakal minta tolong Pak Sunil yang pasti punya kenalan Pengacara Mahal!” Kara komat-kamit di sepanjang perjalanan menuju mobil. Pak Sunil adalah Sutradara dari Sinetron kejar tayang yang naskahnya Kara kerjakan.

“Lo kenapa sih Kar, sewot mulu bawaannya.” Komentar Rumi.

“Gimana gue gak sewot tuh orang gak ngehargain gue. Gue pikir hari ini gue bakal dapet permintaan maaf dari tuh Ibu Singa, tapi mana? Nongol aja enggak!”

Rumi menghentikan langkahnya sejenak, “Maaf ya Kar, gara-gara gue lo jadi dapet perlakuan yang gak enak semalem.”

“Kenapa jadi lo yang minta maaf, yang salah tuh Istrinya Om Buncit sialan lo tuh!”

“Ya tapi kan tetep aja, harusnya gue yang disiram air kopi, bukan lo.” sesal Rumi.

Kara tersenyum kecil lalu menggandeng tangan Rumi agar berjalan kembali, “Biarin, seenggaknya ini bisa jadi jaminan biar lo gak keseret masalah penipuan Si Fatur.”

Rumi membalas senyum Kara, ia tau jika Kara  adalah orang terdepan yang akan membantunya karena ia sudah tak memiliki siapa-siapa lagi di sekitarnya. Keluarganya hanya tinggal Sang Nenek yang kini tinggal di Kampung halamannya di Semarang, sedangkan kedua orang tuanya sudah bercerai sejak ia masih SD dan sudah memiliki keluarga masing-masing tanpa memedulikan Rumi.

“Oke, sebagai penebus rasa bersalah gue, gimana kalo sekarang kita makan, gue yang traktir.”

“Pesen aja gimana? Gue harus pulang nih, mesti nyetor naskah.” tawar Kara.

“Oke! Setuju!”

Rumi dan Kara pun melangkah ringan masuk ke dalam mobil. Setidaknya mereka akan melupakan sejenak masalah ini untuk sementara waktu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status