Share

Bab 4

"Untung saja tadi dosen pembimbingmu masih mau menunggumu datang!" seru seorang pria yang menggendong tas ransel di punggungnya. Dia berjalan berdampingan dengan Amber di sisinya.

Pria jangkung itu bernama Oliver. Dia sudah berteman dengan Amber sejak mereka duduk di sekolah menengah atas. Keduanya akrab sejak dulu. Namun pertemanan mereka sudah tidak murni. Oliver menodainya dengan perasaan suka yang Amber tidak ketahui hingga saat ini.

"Iya ... iya ... bukannya aku sudah mengucapkan terima kasih tadi! Kepada temanmu saja kau pamrih sekali!" Amber mendengus pelan.

"Hey! Bukannya seperti itu!" Oliver tak berdaya. Padahal ingin sekali dia bilang bahwa ia sangat mengkhawatirkannya. Tapi dia tahu itu tidak mungkin dia ucapkan.

"Memangnya kau buat alasan apa sampai dia mau menungguku lama sekali?" Bagaimanapun juga Amber sedikit penasaran.

"Aku hanya bilang jika kucing peliharaanmu sedang melahirkan! Itu mudah sekali , kan?!" Begitu percaya diri Oliver menjelaskan. Padahal ada kebohongan yang  harus ia sembunyikan.

"Benarkah?" Amber mengernyit. Apakah ia terlihat seperti seorang gadis yang bisa dibodohi?! Amber tak percaya dengan alasan konyol itu.

"Kau tak percaya?!" Oliver maju, berjalan mundur di depan Amber lalu menjelaskan.

"Kau saja yang tidak tahu ! Dosen pembimbingmu itu adalah penyuka kucing. Bahkan dia memelihara selusin kucing di rumanya. Jadi aku berinisiatif mengatakan alasan itu padanya!"

"Darimana kau tahu?!" Amber masih menyelidiki mimik wajah lelaki itu. Ia menaikkan sudut alisnya sebelah.

"Aku mengikuti akun media sosialnya!" jawab lelaki yang masih berjalan mundur sekarang.

"Baiklah, aku percaya!" Amber melebarkan langkahnya kemudian menyalip Oliver.

"Hey, aku tidak berbohong!" hampir saja lelaki itu terjatuh karena terlalu cepat memutar tubuhnya. Ia tak sabar untuk menyusul Amber yang sudah berjalan lebih dulu. Sedangkan wanita itu masih tidak mempercayainya.

Lagipula ... memang Oliver tidak dapat mengatakan keadaan yang sebenarnya tadi. Tidak mungkin dia mengatakan bahwa dia telah memohon dengan susah payah agar dosen itu mau menunggu Amber. Bahkan pria itu rela diperintahkan ini dan itu oleh dosen itu. Tak apa, tidak masalah. Demi Amber dia rela melakukan apapun.

"Iya, iya, aku percaya! Terima kasih karena kau sudah menolongku, ya!" Amber tersenyum sangat lebar namun jelas wanita itu tidak ikhlas.

Apartemen yang sekarang menjadi tempatnya berteduh dari hujan dan panas letaknya tidak begitu jauh dari kampus. Hanya membutuhkan waktu 30 menit berjalan kaki. Makanya Amber merasa beruntung bisa mendapatkan tempat yang strategis seperti itu.

Sebuah ide datang mengetuk pintu masuk ke dalam jaringan otaknya. Ia menyeringai ketika mengingat rumah barunya yang masih berantakan itu.

"Kau-!" Dia menoleh dengan seringai yang tak luntur di bibir.

Tiba-tiba Oliver merasakan firasat buruk. Sambil terus berjalan dia bergidik merasakan kengerian yang akan datang.

"Bantu aku membereskan barang-barang!" Makin lebar pula seringai itu sampai membuat orang merinding dibuatnya.

"Oke!" Tapi sudut bibir Oliver berkedut. Ia merasa wanita itu akan memanfaatkannya dengan baik nanti.

"Anak baik!" Sambil berjinjit Amber mengelus puncak kepala Oliver dengan senyum lebar bahkan sampai ia memejamkan matanya.

Oliver tertegun. Saat ini, di matanya, Amber nampak begitu cantik meskipun wanita itu jarang merias wajah. Cemerlang di wajah Amber begitu menyilaukan matanya. Seperti banyak bunga-bunga berkilau di sekeliling wajahnya sehingga membuat Amber nampak begitu menawan di mata Oliver.

Dia, sejak dulu sudah menyukai wanita itu. Dan dia tidak berharap wanita itu untuk mengetahuinya. Begini saja sudah cukup. Memandangnya, bertemu dan melihat senyum cerianya setiap hari sudah merupakan anugerah terindah baginya.

Dan lagi, sebuah drama masa lalu telah membuat Amber tak ingin berhubungan dengan lelaki mana pun. Ini terkait dengan kakak perempuan Amber, Terra. Makanya wanita itu memilih untuk hidup mandiri. Padahal jika mau, kakaknya itu akan memberikan apapun yang Amber inginkan.

Semakin Amber berusaha keras, semakin besar pula kesempatan bagi Oliver untuk selalu berada di sisinya. Meskipun statusnya hanya seorang teman. Mengaguminya lalu mengerahkan tenaga untuk membantunya sudah merupakan anugerah tersendiri untuk pria itu.

"Hey! Ada apa dengan matamu?" Amber melambaikan tangannya di depan Oliver. Sambil tersenyum penuh ironi, ternyata lamunannya harus berhenti.

"Tidak ada!" Cepat ia mengubah ekspresi di wajahnya. Cukup tenang seperti air mengalir di sungai.

"Dasar orang aneh!" Amber menggerutu sambil menyamakan langkah mereka.

Beberapa waktu mereka mengobrol tentang apa saja. Berbicara ini itu dengan gurauan di tengahnya. Membuat pemandangan mereka berdua yang akrab menjadi bahan iri hati semua orang. Jika tidak mengenal mereka, mungkin akan mengira jika mereka berdua adalah pasangan kekasih. Sayangnya, itu hanyalah sebuah mimpi bagi Oliver saja saat ini.

"Aku harus mendapatkan pekerjaan secepatnya!" keluh Amber sambil mengerucutkan bibir. Kesal sendiri belum mendapatkan pekerjaan.

"Apakah pikiranmu hanya uang saja?! Heh! Kau baru sehari menganggur, bukan sebulan!" Oliver berdecak sambil menggelengkan kepala. Wanita ini apakah tidak bisa bersantai sedikit, pikirnya.

"Sehari pun sangat berharga bagiku! Hey, kau tahu! Para pengusaha yang kaya raya itu sangat menghargai waktu mereka bahkan jika hanya sejam saja. Tidak! Mungkin untuk beberapa menit sekali pun!"

"Makanya jangan sampai menyia-nyiakan waktu kita yang berharga ini! Kau mengerti?!" Amber selesai menggurui dengan wajah bijaksana.

"Tapi Kak Terra kan bisa .... " Oliver menghentikan dirinya sendiri untuk membuka mulutnya lebih lama lagi. Ia melupakan sesuatu hal yang penitng.

Meskipun Amber tahu bahwa fasilitas apapun bisa dimilikinya. Wanita itu tidak suka berbagi jarak dengan Terra. Dan lagi Amber merasa masih bisa menghidupi dirinya sendiri. Uang jajan yang selalu dikirim Terra pun tak pernah disentuhnya. Mungkin sudah menggunung di dalam tabungannya saat ini.

Hal itu pula yang membuat Oliver semakin menyukainya. Amber adalah sosok wanita kuat dan tangguh menurutnya. Dan apapun itu yang Amber putuskan untuk hidupnya, ia akan selalu mendukungnya.

"Hey, lihat! Ada lowongan pekerjaan di sini!" seru Oliver setelah tak sengaja melihat info yang ditempel di pintu masuk sebuah kedai kopi.

Suara Oliver yang bersemangat pun mengubah muram di wajahnya. Amber segera menoleh dan ikut membaca kalimat lengkap pada dinding berbahan kaca itu. Wanita itu pun kini sudah mengembalikan semangatnya lagi. Jika sudah berurusan dengan uang, maka moodnya akan seketika membaik.

Sekarang mereka sudah setengah jalan untuk sampai ke apartemen baru Amber. Makin bersemangatlah dia mengetahui di tempat ini terdapat hal yang dia cari.

Amber merasa jika tempat ini sangat cocok dan strategis untuknya bekerja nanti. Ia bisa menghemat waktu untuk pergi ke kampus ataupun pulang ke rumah. Diperkirakan ia akan sampai di rumah 15 menit lagi dari kedai kopi ini. Oh sungguh! Ia harus bisa diterima di tempat ini! Matanya nyala penuh tekad.

"Ayo kita masuk dan bertanya!" Amber menarik tangannya. Oliver yang belum siap pun hampir terjepit pintu karena langkahnya yang terseok-seok. Tenaga Amber memang sungguh luar biasa. Ia sampai kualahan untuk mengimbangi tenaga wanita itu. Amber bersemangat sekali!

Baru saja Oliver bisa berdiri tegap di tempatnya, dan Amber juga sedang mengedarkan pandangan untuk menentukan kepada siapa dia bertanya. Segerombolan mahasiswi masuk dengan brutal. Ada sekitar sepuluh orang gadis. Ketika masuk, mereka langsung menyerukan nama seseorang dengan  begitu histeris pula.

Namun Amber tidak dapat mendengarnya dengan jelas. Yang ada malahan tubuhnya terdorong tanpa sengaja oleh gelombang yang baru saja datang. Tubuhnya hampir tersungkur ke lantai. Beruntung Oliver masih sempat menariknya hingga ia masuk ke dalam dekapan pria itu.

Amber memandangi gadis-gadis itu dengan marah. Tidak tahu jika saat ini Oliver sedang menatapnya.

ade eka

selamat membaca teman-teman 😘

| Sukai

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status