Share

Bab 6

Ketika hari berubah malam, langit pun dihiasi rembulan. Hujan sudah reda, menyisahkan rintik-rintik kecil yang terjun melalui atap rumah.

Amber dan Oliver tengah menikmati pemandangan itu dengan segelas kopi di samping mereka. Keduanya duduk bersisian sambil menatap keluar pintu kaca yang sengaja Amber buka. Pintu kaca itu menjadi akses ke balkon kecil yang menghadap ke area parkir apatemennya.

"Akhirnya selesai juga!" Amber merentangkan tangannya ke atas meregangkan otot-ototnya.

Beberapa menit yang lalu, dia dan Oliver baru saja selesai membereskan rumah yang semula masih berantakan itu. Sekarang mereka sedang bersantai, mengistirahatkan diri sambil menikmati kopi.

"Memangnya kenapa kau tidak memakai jasa pindahan saja untuk membantumu membereskan barang-barang?" Oliver menyesap kopi di cangkirnya sambil melirik ketika bertanya.

"Sudah! Tapi kau tahu, kan, kalau aku pindah rumah tengah malam?! Jadi tidak tega rasanya aku mempekerjakan mereka sampai pagi. Jadi, aku meminta mereka pulang setelah meletakkan beberapa barang yang besar di tempatnya" jelas Amber santai, lalu menyesap kopinya juga.

"Kau tidak tega dengan mereka, tapi kau tega kepadaku! Huh ... sungguh keterlaluan sekali!" Oliver pura-pura mendengus kesal.

"Hey! Aku tahu aku selalu bisa mengandalkanmu!" Wanita itu menyenggol bahu temannya dengan tenaga sampai tubuh Oliver sedikit bergoyang.

Benar! Memang ini yang Oliver inginkan. Dia akan selalu bisa diandalkan kapan pun Amber memerlukannya. Dia akan bersabar samapi nanti Amber akan melihatnya sebagai seorang pria, bukan lagi hanya sebagai seorang teman.

Setelah menghabiskan isi cangkir kopi itu, Oliver pamit pulang. Sudah malam, dia ingin membiarkan Amber beristirahat dan mempersiapkan diri untuk melamar pekerjaan besok.

Oliver melambaikan tangannya pada Amber sampai pintu apartemen itu tertutup. Ketika ia membalikkan badan, matanya menangkap sosok pria yang masuk ke pintu di sebelah apartemen Amber.

Dari sudur pandangnya, Oliver melihat sisi kiri tubuh laki-laki itu. Nampak familiar menurutnya. Dia mengingat untuk beberapa saat, tapi tak menemukan jawaban. 

Jadi Oliver memutuskan untuk kembali ke tujuan utamanya. Dia berjalan ke arah tangga sambil menggelengkan kepala. Membiarkan hal yang tadi ia pikirkan buyar.

Benar saja, itu adalah Rainer yang baru saja pulang bekerja. Lelaki itu tinggal di sebelah kiri apartemen Amber. Saat masuk rumah, ia langsung duduk di tempat tidurnya. Melemparkan tasnya ke sembarang arah, lalu berniat mandi untuk menyegarkan diri.

Tapi kemudian ponselnya berdering.

Rainer kembali lagi setelah mencapai ambang pintu. Ia merogoh tasnya yang terlihat menyala dari luar. Karena di sanalah letak ponselnya berada.

Kakak!

Rainer mengernyit, menahan bingungnya sebelum mengangkat telepon dari kakaknya itu.

"Kakak!" Dia sudah meletakkan gawainya di dekat telinga.

"Bagaimana keadaanmu? Sudah sebulan ini kau tak memberi kabar?" tanya seorang pria dengan nada bersahabat yang tulus.

Dia adalah Fransisco Liam Finn. Kakak laki-laki Rainer yang selalu menyayanginya. Usia mereka terpaut 5 tahun. Jadi saat ini Liam sudah berumur 35 tahun. Dia merupakan lelaki berkeluarga dengan seorang istri dan satu orang putra.

"Adikmu ini seorang laki-laki, tapi Kakak bertanya seperti kepada adik perempuan!" sahut Rainer ketus sambil membanting bokongnya ke tempat tidur.

Terdengar gelak tawa renyah pada sambungan telepon itu. Liam puas tertawa. Dia memang tidak bisa menghentikan dirinya sendiri untuk terlalu memperhatikan adiknya itu. Kasih sayangnya sebagai kakak bisa dibilang terlalu berlebihan. Padahal adiknya itu sudah menginjak kepala tiga.

Apalagi setelah kejadian tujuh tahun yang lalu. Ia merasa harus lebih memperhatikan adiknya lagi. Liam tidak ingin kejadian seperti itu terulang kembali. Saat itu ia sebagai seorang kakak telah gagal melindungi adiknya sendiri. Dan kejadian itu juga merupakan suatu pukulan besar bagi keluarga mereka.

Membiarkan Rainer memilih jalannya sendiri tanpa bimbingan, membebaskannya memilih arah, ternyata adalah hal yang salah. Setelah kejadian itu, ia merasa harus meluruskan jalan adiknya. Ia tak akan membiarkan adiknya itu salah jalan lagi. Sebagai kakak, Liam merasa ini sudah merupakan tanggung jawabnya.

"Jika Kakak tidak menerima telepon dariku berarti aku baik-baik saja sekarang!" sambung Rainer dengan kekesalannya.

"Jadi kau baru akan menghubungiku saat kau memiliki masalah saja?!" ledek Liam begitu senang.

"Bagaimana kuliahmu?" tanyanya setelah berhenti tertawa. Lagipula tak ada sahutan lagi dari adiknya itu. Sepertinya Rainer benar-benar kesal.

"Baik!"

"Skripsimu?"

"Baik!"

"Pekerjaanmu?".

"Baik!"

"Tempat tinggalmu?"

"Baik!"

"Kenapa jawabanmu hanya itu-itu saja, heh?!" terdengar Liam menghela nafas.

"Karena aku tahu pertanyaan Kakak tidak akan hanya itu-itu saja!" timpal Rainer dan kembali menimbulkan gelak tawa dari mulut kakaknya.

"Cepat selesaikan kuliahmu lalu bantu aku mengurus perusahaan! Kau masih ingat janjimu, kan?" Mendengar pertanyaan itu wajah Rainer berubah serius. Dia menipiskan bibirnya.

"Ya, aku ingat!" jawabnya singkat.

Rainer telah berjanji kepada Liam untuk meneruskan kuliahnya. Tapi dengan syarat agar selama Rainer menjalani masa kuliahnya, ia dibiarkan hidup sesuai dengan keinginannya sendiri. Tanpa fasilitas mumpuni yang keluarganya bisa sediakan untuknya.

Liam dengan mudah menyetujui hal itu karena dia juga memiliki persyaratan, bahwa setelah kuliahnya selesai, Rainer harus kembali ke rumah dan mengurus perusahaan bersama dengan dirinya. Dengan begitu Liam akan mudah memantau adiknya itu.

Keduanya pun mencapai kesepakatan. Paling tidak, untuk beberapa tahun Rainer bisa menjalani hidup yang nyaman sesuai dengan keinginannya. Dan Liam pun akan dengan sabar menunggu.

Identitas Rainer memang tidak sesederhana itu. Dia bukanlah laki-laki biasa yang sedang menyelesaikan kuliahnya sambil bekerja paruh waktu. 

Rainer merupakan putra kedua dari sebuah keluarga ternama di negara ini. Kakaknya yang merupakan pewaris pun terlalu sibuk dan kewalahan, sehingga ia sangat menginginkan Rainer untuk membantunya. Jangan sampai perusahaan mereka dihabisi oleh tikus-tikus got yang rakus.

"Aku menunggumu menepati janjimu!" ujar Liam dengan nada serius.

"Ya, aku tahu!" Dan Rainer tahu bahwa saat ini kakaknya itu benar-benar memegang ucapannya. Ia pun tak mungkin mengingkari ucapannya sendiri sebagai pria.

"Ini pertanyaan terakhirku!" Suara Liam sedikit bergetar karena keraguan. Ia akhirnya berani membuka suara setelah lama hening membentang di antara mereka.

Rainer diam menunggu.

Liam menghela nafas dengan kasar sebelum mengajukan pertanyaannya, "Apakah kau masih memimpikan hal itu?"

Untuk beberapa saat Rainer terdiam. Dari ekspresinya, ia terlihat sedang memikirkan sesuatu.

"Kak!" Mendengar seruan Rainer, dada Liam terasa berdebar.

"Apakah mimpi itu berhubungan dengan masa laluku?" Rainer bertanya dengan suara yang begitu dalam.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status