Share

Bab VIII

Tepat jam 8 malam, Arsa akan menjemput Sia. Kemarin saat siang dia sudah mengelilingi rumah Sia beberapa kali, mencari jalan persembunyian keluar dari sana. Kalau lewat depan tidak akan mungkin bukan, maka dari itu dia mencari jalan keluar.

Terkesan gila memang tindakan Arsa yang mengajak Sia keluar dari rumahnya. Arsa sudah menunggu Sia, tepat di luar tembok besar belakang dekat taman rumahnya, disana memang terdapat lubang yang sepertinya akan dipakai untuk pembuangan sampah. 

Sia sudah bersiap untuk keluar dari sana, biasanya jam 8 adalah jadwal ia untuk tidur. Kebiasaannya memang seperti itu, tidak boleh tidur lewat dari pukul 9 malam. Berbeda sekali dengan Arsa yang selalu begadang tiap malam.

Setelah menurut Sia situasi di luar aman, ia keluar kamarnya dengan langkah pelan seperti mengendap-endap. Ia menutupi bajunya dengan hoodie, saat hendak ingin pergi ke dapur, suara kenop pintu terdengar.

"Mau kemana, sudah jam 8 malam," celetuk Brian, Papa nya. Suara tersebut membuat jantungnya berdegup kencang, seperti akan terlepas dari tempatnya.

Sia membalikkan badannya, "Ah itu Pa, Sia mau ngambil air putih. Bi Jami lupa bawa ke atas tadi, hehehe," ucapnya di akhiri dengan tawa renyah.

Brian mengangguk, "Ya udah, setelah itu langsung tidur. Papa masih banyak kerjaan," tutur Brian, setelah itu lelaki paruh baya tersebut masuk ke dalam ruang kerjanya.

Sia mengangguk, "Jangan lupa tidur ya, Pa!" pekiknya. Setelah cukup aman, Sia langsung melangkah cepat ke luar dari pintu belakang yang dekat dengan dapur. Ia lari dengan cepat sambil membawa sepatu dan tasnya.

Sampai di tempat tersebut, Arsa membantu Sia melewati lubang tersebut. Setelah melewati lubang itu, Sia tersenyum senang karena berhasil ke luar dari rumah ini, "Makasih ya, Sa," ucapnya diiringi senyum manis dari gadis itu.

Arsa mengacak rambut gadis di depannya, setelah itu beralih memasangkan sepatu Sia. Awalnya Sia sedikit terkejut dan menolak Arsa untuk memasangkan ia sepatu, tapi lelaki itu bersikeras untuk memasangkannya.

Setelah itu Arsa memasangkan helm ke Sia. Perlakuan Arsa sukses membuat jantung Sia di penuhi kupu-kupu serta bunga. Ia merasa dirinya adalah gadis paling beruntung yang dilayani seperti seorang ratu. 

"Bagaimana, sudah siap keliling memutari kota Bandung?" celetuknya, Sia mengangguk semangat.

Mereka berangkat, dengan di temani angin malam yang dingin dan juga tak lupa Sia yang memeluk Arsa dari belakang saat motor itu mulai melaju membawanya melihat indahnya kota Bandung saat malam tiba.

(....)

Arsa memberhentikan motornya di sebuah angkringan yang cukup ramai. Sia melihat sekitar, banyak pengunjung tempat ini dan tak lupa ada juga band yang melakukan Busking di dekat angkringan tersebut.

Tepukan pundak yang di berikan Arsa membuat Sia membuyarkan lamunannya dan menatap Arsa, "Kenapa ngelamun, baru pertama kali datang kesini?" tanya Arsa.

Sia mengangguk malu, ia tak pernah diajak ke tempat pinggir jalan seperti ini, "Iya, baru pertama kali," jawab Sia dengan senyum canggungnya.

"Mau ganti tempat?" Sia langsung menggeleng cepat.

"Enggak kok, ayo makan," ucapnya, ia segera turun dari motor Arsa dan melepaskan helm yang berada di kepalanya.

Arsa menggeleng sambil tersenyum menatap punggung gadis tersebut, "Ayo Sa, tunggu apa lagi?"

Ia menyusul gadis itu. Arsa menggenggam tangan Sia, setelah itu ia memesan beberapa makanan ringan dan menarik Sia untuk duduk di salah satu kursi kosong disana, "Gimana, ga sesuai ekspektasi yang lo mau ya," seru Arsa.

Sia mengangguk, "Mungkin, aku sangka kamu bakal bawa aku dinner di restoran ternama gitu," jawabnya. 

Arsa terkekeh kecil, "Sorry, gua ga suka tempat yang begitu. Gua lebih suka makanan pinggir jalan kayak gini, yang ramai."

Sia mengangguk sambil menatap sekeliling tempat itu, memang sangat berbeda saat makan di restoran yang terkesan mewah, elegan, dan juga yang sunyi. Ia lebih menyukai tempat seperti ini, benar-benar terasa dunia luarnya.

Tanpa menunggu lama, makanan ringan yang Arsa pesan datang juga. Pemilik angkringan tersebut sangat hapal dengan Arsa, karena lelaki itu sering sekali makan disini dengan teman-temannya, "Wah a'a Arsa pertama kali bawa teteh geulis begini, biasanya teh dengan babaturan, kayak a' Satria kitu," ucap Ibu-ibu yang sepertinya sudah memasuki kepala lima tersebut.

Arsa tersenyum lebar, "Iya Bu, calon saya ini," jawab Arsa, membuat Sia membelalakkan matanya.

"Waduh, calon istrinya ini teh. Ya ampun a' Arsa, udah mau nikah aja ini, ga jadi deh dijodohin dengan anak ibu hehe. Kalau gitu ibu permisi dulu, ga enak gangguin calon pasutri. Sok mangga di makan," tutur wanita paruh baya tersebut.

Wajah Sia sudah bersemu merah dibuat Arsa, "Apa sih, Sa," celetuk Sia memalingkan wajahnya.

"Kamu malu?" cetus Arsa, sial lelaki itu terlalu spontan, benar-benar membuatnya gila. Wajahnya seperti tomat, dengan cepat Sia menutupi wajahnya.

Arsa menertawainya, "Di makan, gua jamin makanan disini enak-enak, nih cobain," kata Arsa sambil menyodorkan satu makanan yang Sia tampak asing dengan itu.

Sia mengambilnya dari tangan Arsa, makanan itu baru pertama kali ia lihat, bentukannya saja membuatnya ragu untuk menyantap makanan itu, "Ini ga papa dimakan?" ucapnya.

Arsa mengangguk dan mengambil makanan yang sama dengan yang di pegang Sia, setelah itu ia melahapnya, "Enak, cobain aja. Pasti nanti lo ketagihan," ujarnya.

Sia memakannya walaupun sedikit ragu dengan makanan itu, setelah makanan itu ia telan, mata Sia berbinar dan mengacungi jempolnya, "Enak, ini kayak sate gitu," ungkap Sia.

"Namanya sate usus, ini usus ayam. Cobain yang lain, contohnya telur puyuh ini," tutur Arsa, Sia mengangguk dan menyantap makanan tersebut.

Ia menutup mulutnya, " ...Ewnak bwanget, Sa," ucapnya sambil mengunyah makanan tersebut.

"Telan dulu, baru ngomong," sahut Arsa sambil menyodorkan minuman kepada Sia.

Sia menelan semua makanannya dan meminum minuman yang diberikan Arsa kepadanya setelah itu ia dengan semangatnya, "Sumpah Sa, aku baru pertama kali kesini, makanan pinggir jalan ternyata enak banget. Padahal Papa sering banget melarang aku makan di pinggir jalan gini, karena katanya makanannya ga sehat dan ga berkualitas."

Arsa terkekeh, "Papa kamu ada betulnya, tapi kalau nyoba sekali-kali boleh lah. Kebanyakan makanan pinggir jalan seperti ini, lebih enak dibandingkan dengan restoran," ujarnya, Sia mengangguk setuju.

"Bagaimana wisata kulinernya, mau coba yang lain juga?" sambung Arsa. Gadis itu dengan semangat langsung mengangguk.

Arsa membelai rambut gadis di sampingnya ini, "Lelaki memang suka bikin baper ya," gumam Sia.

Lelaki itu menatap Sia, menanyakan kata yang keluar dari mulutnya barusan. Sia langsung menggeleng cepat, "Bukan apa-apa kok."

Setelah selesai dengan makanan ringan di angkringan, Arsa membawa Sia ke sebuah taman dekat yang berada di sana. Banyak makanan berjejeran, ia bisa memilihnya.

Sia menunjuk salah satu gerobak makanan ringan dan minuman yang berada di sana dan ia menarik Arsa agar cepat kesana, "Ini, kayaknya enak ya kan, Sa." 

Arsa mengangguk, gadis di depannya ini seperti turis baginya dan Arsa adalah pemandunya, tapi ia cukup senang mengajak gadis itu keluar, karena ia perlu memberitahu gadis itu seberapa indahnya dunia luar tanpa angan-angan dari orang tuanya.

Setelah membeli makanan yang di inginkannya, Sia mengajak Arsa untuk duduk di kursi taman yang berada di sana, "Sa, makasih ya," celetuknya.

"Buat? Makanan?" Sia mengangguk.

"Berkat kamu, aku bisa ngerasain makanan luar yang enak begini. Maaf ya mungkin bagi kamu aku seperti orang kampungan gini," tuturnya. 

Arsa tersenyum tipis, "Wajar lo kayak gini, bokap lo aja overprotektif sama lo, gimana mau tau dunia luar, santai sama gua," ujarnya.

Sia mengangguk, hening. Mereka sama-sama sibuk dengan pikiran masing-masing. Angin malam mulai menelusup masuk ke kulit. Gadis di sampingnya ini memakai rok pendek selutut, hoodie yang ia bawa tadi di pakai untuk menutupi roknya saat duduk. Arsa yang peka langsung melepas jaketnya dan menaruh di tubuh gadis itu.

"Eh, ga perlu Sa. Seharusnya kamu yang pakai, ini dingin loh, aku bisa pakai hoodie," katanya.

Arsa menggeleng, ia kembali melirik arjolinya, jam sudah menunjukkan pukul sepuluh, sudah dua jam berlalu dia membawa gadis itu keluar rumah, "Ayo pulang, udah jam sepuluh," cetus Arsa.

Sia menghela napas kasar, ia sebenarnya tak rela pulang cepat-cepat. Padahal baru beberapa menit ia menghabiskan sate usus, telor gulung, dan juga bajigur. Bagaimana waktu berlalu begitu cepat, ia memanyunkan bibirnya, "Masih jam sepuluh Sa, kita pulang jam sebelas aja ya," pintanya.

Arsa bangkit dan mengulurkan tangannya, "Besok lagi gua ajak ke tempat yang indah, perjalanan hari ini cukup sampai disini, besok kita mulai sesuatu yang berbeda. Kalau mengulur waktu lagi, nanti ketahuan bokap lo dan ga bisa jalan-jalan lagi, gimana?" tutur Arsa, mau tak mau Sia mengangguk dan menerima uluran tangan Arsa.

(...)

Mereka sampai, Sia turun dan Arsa membantunya membukakan pengait helm tersebut, "Besok janji ajak aku jalan-jalan kayak gini lagi," seru Sia. 

Arsa mengangguk, ia mengambil tangan Sia dan mulai menautkan jari kelingking mereka, "Udah janji kan."

Sia mengangguk, "Makasih banyak, Sa," ucapnya.

Arsa tersenyum gemas, "Makasih mulu lo, mending sekarang masuk dan tidur yang nyenyak. Jangan lupa mimpiin gua," cetus Arsa, Sia terkekeh kecil.

"Kayak anak-anak banget tau ga."

Arsa tertawa renyah, "Ya udah masuk, oh iya besok jangan pakai rok pendek lagi. Nanti kedinginan, gua yang repot," katanya.

Sia tersenyum, "Bi Jami ga sih yang repot, bukan kamu," jawabnya.

Arsa mengangguk, "Masuk sana," desaknya.

"Iya iya, bawel banget kayak Bi Jami," cetusnya.

Sia melangkahkan kakinya dan menundukkan kepalanya untuk masuk, tapi baru beberapa langkah ia ingat kalau jaket lelaki itu masih berada di pundaknya, ia membalikkan tubuhnya dan melepaskan jaket tersebut, "Kan, hampir kelupaan."

"Ga papa, bawa aja," ujar Arsa. Sia menggeleng dengan cepat.

"Kamu pulangnya ke dinginan nanti," sahutnya sambil kembali menaruh jaket tersebut ke belakang tubuh Arsa.

Posisi mereka sekarang seperti orang yang sedang berpelukan. Arsa dengan jahilnya memeluk tubuh gadis di depannya ini, "Kalau mau meluk ga usah alasan segala masangin jaket gini," cetusnya.

Sia terkejut dengan tindakan lelaki di depannya ini. Ia dapat menyium aroma tubuh lelaki tersebut. Sia tersenyum, setelah itu ia sadar dan langsung mendorong tubuh Arsa, "Kita ga pacaran, ga enak di lihat orang."

Arsa menatap Sia bingung, "Bukannya kita udah pacaran?" ungkapnya.

"Kapan?" tanya Sia.

"Waktu lo ngelike postinga gua. Itu buktinya lo suka sama gua dan juga waktu saat hujan, ga lihat bagaimana khawatirnya wajah lo ngeliat pacarnya babak belur, ga ingat?" 

Sia lantas menatap tajam Arsa dan langsung menggeleng cepat, "Engga, ngaco kamu. Udah ah aku mau masuk dulu," ucapnya, setelah itu pergi meninggalkan Arsa.

Arsa tersenyum geli melihatnya, setelah itu ia mendekat ke arah tembok tersebut, "Tidur yang nyenyak ya sayang. Good night," bisiknya, setelah itu ia menyalakan mesin motornya dan pergi meninggalkan Sia yang masih berada di sana masih mengatur detak jantungnya.

"Gombal," gumamnya. Wajah Sia tampak merah merona dibuat Arsa, rasanya ia sedang berada di atas langit. Benar-benar gila ia di buat Arsa, lelaki itu sukses memporak-porandakan hatinya.

to be continue.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status