Share

Bab IX

Author: nadjae
last update Last Updated: 2021-07-03 18:20:14

Brian mengusap wajahnya kasar. Johnny memberi beberapa informasi tentang Arsa yang sudah ia gali sampai ujung. Tentang kapan lelaki itu lahir, dari kasta mana lelaki itu berasal, teman-temannya, suku, agama, ras, sampai kesehatan lelaki itu.

Lelaki paruh baya itu sangat marah, bagaimana bisa lelaki pecandu alkohol dan memiliki penyakit kronis bisa mendekati anak gadisnya yang polos serta naif itu. 

"Siapa dokter yang menanganinya?" tanya Brian kepada Jhonny, ia sedang membaca beberapa lembar kata yang berisi biodata Arsa.

"Dr. Daniel Yogaswara, Tuan," jawabnya. 

Brian mengangguk dan bangkit sambil membawa kertas biodata itu, "Sediakan mobil, kita akan temui dokter Daniel," ucapnya. Johnny mengangguk setelah itu keluar dari ruang kerja Brian dengan tergesa-gesa.

Sia melihat Johnny yang keluar dari ruangan kerja Papanya, ia langsung melirik ke Bi Jami, "Papa belum berangkat kerja, Bi?" tanyanya.

Bi Jami mengangguk, "Belum Non," ucapnya. Sia manggut-manggut saja sambil memakan roti lapis yang disajikan oleh Bi Jami.

Sia jadi teringat tadi malam. Arsa, lelaki itu benar-benar sudah mengambil hatinya. Sia tersenyum malu dengan semburat merah muncul di wajahnya, "Lagi mikiran apa?" 

Gadis itu terkejut dan langsung menatap ke arah asal suara tersebut, ternyata Brian sedang duduk di depannya. Sia langsung menggeleng, "Buka apa-apa, Pa. Oh iya, Papa ga kerja?" celetuknya.

Lelaki di depannya ini menggeleng, "Papa kan CEO, anak buah Papa banyak, sayang kalau tidak dipakai," jawabnya, Sia menggeleng.

"Seharusnya jangan gitu, Pa. Walaupun Papa atasan, harusnya Papa tetap stand by di kantor," sahutnya. 

Brian tersenyum ke arah Sia, "Anak Papa sudah besar ternyata, bisa menasehati Papanya, bagaimana kalau nanti malam makan di luar, setuju?"

Sia tampak gelisah mendengar, "Hm, nanti aku kabarin lagi deh Pa, soalnya harus ada yang aku kerjain malam ini."

Brian tampak bingung saat melihat raut wajah Sia yang tampak berbeda seperti biasa. Biasanya gadis kecilnya ini sangat semangat diajak keluar olehnya, karena Brian tak sering mengajak Sia, dikarenakan pekerjaannya yang membuatnya tidak ada waktu bersama putrinya. Brian mengangguk, "Baiklah, nanti beritahu Papa kalau kamu setuju. Papa keluar dulu, ya sayang." 

Sia mengangguk. Brian bangkit dan memberi kecupan manis di dahi Sia, setelah itu mengacak rambut putrinya, "Hati-hati, Pa," ucap Sia. Brian mengangguk setelah itu pergi meninggalkan Sia.

(...)

Brian melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah sakit yang berada di pusat kota. Dengan berkas biodata yang berada di tangannya. Ia sudah menelepon Dokter Daniel yang kebetulan adalah kenalannya untuk bertemu di ruangan kerjanya. Ya, mereka saling kenal satu sama lain, karena satu sekolah menengah atas. 

Daniel sudah menunggu di koridor rumah sakit, menyambut Brian datang, sekaligus reuni kecil-kecilan, "Bagaimana kabarmu, sudah 33 tahun lebih tidak bertemu, bukan," celetuk Daniel sambil mengulurkan tangannya.

Brian mengangguk setuju dan menjabat tangan Daniel, "Kabarku baik, kita sudah menua sekarang, bukan lagi remaja yang urak-urakan dengan seragam yang tak tertata," jawabnya.

Daniel tertawa renyah membalasnya, "Oh iya kamu kesini untuk bertanya tentang pasienku bernama Arsa Putra Pangestu, ya."

"Benar, ada hal yang perlu aku tahu tentangnya," tutur Brian. Daniel mengajak Brian untuk berbicara di ruangannya, karena ini terkait informasi pribadi pasiennya.

Setelah sampai di ruangan Daniel, ia menyuruh Brian duduk di kursi yang berada di depannya dan mengambil beberapa berkas yang berada di rak sampingnya. Setelah itu memberikan berkas tersebut kepada Brian, "Arsa memiliki penyakit Hepatitis alkoholik sejak 5 tahun terakhir ini, ia juga sangat tertutup dengan keluarganya dan kemarin penyakitnya kambuh karena anak itu sangat keras kepala, kerjaannya tiap hari selalu mabuk, ya begitulah kehidupannya," tutur Daniel.

Brian membaca lembar demi lembar kertas yang berada di berkas tersebut, "Orang tuanya tidak tahu menahu tentang penyakit anak ini?"

Daniel mengangguk, "Ia enggan mengatakannya kepada keluarganya, karena menurutnya keluarganya tak menganggap dirinya, ia juga sering di siksa oleh ayahnya saat masih usia 10 tahun, maka dari itu terlihat dari hasil rontgen banyak tulang rusuk yang patah," kata Daniel sambil menunjuk gambar hasil rontgen tubuh Arsa.

"Tidak ada orang lain yang tahu menahu ia mengalami penyakit ini, cuma saya dan kamu. Saya harap kamu mampu merahasiakannya, karena kalau sampai penyakitnya di ketahui orang sekitar, ia akan marah besar," sambung Daniel.

Brian mengangguk, "Apa boleh saya bawa berkas ini?" tanyanya.

Daniel mengangguk dan tersenyum, "Oh iya, ada hubungan apa kamu dengannya?"

Brian memegang berkas tersebut, "Bukan apa-apa, hanya sebatas kenal. Kalau gitu saya pamit, ada kerjaan yang perlu saya kelarkan," ucapnya.

Brian keluar dari ruangan Daniel, tak lupa ia pamit dengan lelaki itu, "Kalau ada apa-apa jangan sungkan menelepon, Bri."

Lelaki itu tersenyum tipis setelah itu pergi sambil memberikan berkas tersebut ke Jhonny. Brian sedikit merasa iba terhadap bocah tersebut, bagaimanapun ia juga adalah manusia, tapi di satu sisi juga dia mempunyai perasaan kalau bocah ini hanya menjadikan putrinya mainannya, ia tak mau putrinya sama seperti perempuan yang telah disakiti oleh Arsa dan juga kalau misalnya lelaki muda itu pergi meninggalkan dunia, bagaimana nasib putrinya, ia akan terluka dan merasakan seperti yang ia rasakan dulu saat orang terkasihnya meninggalkan dunianya.

"Jhonny," panggil Brian.

Jhonny yang dipanggil langsung berdiri tepat di samping Brian, "Iya tuan."

"Cari tahu tentang latar belakang keluarganya Arsa, secepatnya," cetus Brian. Jhonny langsung mengangguk mengerti.

(...)

Sia sedikit menyesal karena Arsa menyuruh gadis itu untuk makan malam dengan Papanya, melainkan harus jalan-jalan bersama dengannya. Sebagai gantinya besok Arsa akan mengajak Sia jalan dengan waktu yang lebih lama lagi.

Ia pun bergegas bersiap memakai pakaian untuk makan malam bersama Papanya dengan dibantu oleh Bi Jami. Setelah ia bersiap, Sia turun ke bawah menuju ke teras dan sudah ada mobil yang sedang menunggunya. Brian tidak pulang, maka dari itu Sia langsung menyusul ke restoran yang Papanya tentukan dengan diantar oleh supirnya.

Sesampai di sana, Sia turun dan bergegas masuk mencari Papa nya. Saat masuk ke dalam restoran yang lumayan banyak pengunjung itu. Seseorang pelayan disana menghampiri Sia, "Nona Athanasia?" panggilnya.

Sia mengangguk, "Baiklah, ayo ikut saya, akan saya tunjukkan jalannya," sambung pelayan lelaki itu.

Mereka masuk ke dalam lift, pelayan tersebut menekan tombol angka 8. Setelah sampai di lantai 8, lelaki itu menunjukkan meja paling ujung dekat jendela dan terdapat Brian sedang menunggu putrinya dengan setelan dan jangan lupa wibawanya lelaki paruh baya yang sudah kepala lima itu.

Sia tersenyum lebar menatap Brian dan tak lupa berterima kasih kepada pelayan tersebut, ia langsung menghampiri Papa nya yang sedang termenung menatap jendela, "Pa, lagi ngelamunin apa sih?" celetuk Sia membuat lamunan Brian buyar.

Brian menatap Sia, "Sudah sampai, maaf akhir akhir ini Papa sedang tidak fokus," ujarnya.

"Pa, kalau papa lagi capek mending istirahat aja. Urusan kantor kan bisa sekertaris Papa yang bantu, om Johnny gitu," tutur Sia.

Brian mengangguk, "Kamu mirip seperti Mama mu, pasti dia sekarang lagi menatap kita," cetus Brian, nada pria itu melemah dengan pandangan teduh menahan tangisnya. Sia merasakan Papa nya sedang merindukan sosok Mama. Lelaki paruh baya itu terlalu sibuk dengan pekerjaannya dan mengurusi dirinya, sampai lupa mengistirahatkan tubuhnya yang perlahan-lahan sudah termakan usia.

"Pa," panggil Sia sambil menyentuh punggung tangan pria yang berjasa dalam hidupnya ini.

Brian memberikan senyuman hangat ke Sia. Sebenarnya ia tidak ingin memperlihatkan betapa lemahnya dirinya, "Maaf ya sayang, karena Papa makan malam kali ini terkesan tidak enak," ucapnya, Sia menggeleng seraya mengelus punggung tangan pria itu.

"Papa boleh kok curhat ke Sia, luapin aja semuanya Pa ke Sia, jangan dipendam sendiri begitu."

Brian mengangguk dan menepuk punggung tangan putrinya. Setelah itu makanan yang Brian pesan datang, mereka pun makan dengan khidmat.

"Akhir-akhir ini Sia tampak berbeda dari pada biasanya, ada apa sayang?" Sia menatap Brian dengan tersenyum canggung.

"Gatau Pa, sepertinya akhir-akhir ini Sia terasa jauh lebih baik ya?" 

Brian mengangguk, "Suasana hatimu sedang senang, sepertinya ada sesuatu ya?"

Sia menggeleng seraya tersenyum manis ke arah Brian, "Engga kok, Pa."

"Kalau ada sesuatu cerita aja ke Papa, misalnya tentang lelaki yang waktu itu. Apakah dia masih mendekatimu?" tanya Brian.

Sia langsung berhenti memotong steak daging yang dipesan itu, perasaan gelisah mulai menyelimutinya saat mendengar perkataan dari Papanya, dia tidak tahu harus menjawabnya. Gadis itu memilih diam, "Kamu masih berhubungan dengan lelaki itu kan, ga papa jujur saja sama Papa," cetus Brian.

Sia mengangguk dengan takut, "Tapi Papa jangan sakiti Arsa lagi ya, dia orang baik, Pa," pintanya.

Pria di depannya hanya tersenyum, "Lain kali tidak apa-apa diajak ke rumah jika dia berani," ujar Brian. 

Sia langsung membelalakkan matanya dan menutup mulutnya, "Serius, Pa. Ga bohong kan?" 

Brian mengangguk sambil terkekeh kecil melihat putrinya, "Kalau Sia senang, Papa juga begitu," tuturnya. Sia langsung bangkit dari kursinya dan memeluk tubuh Papanya itu.

"Oh iya, Pa. Aku izin ke toilet dulu ya," cetus Sia. Pria itu mengangguk.

Sia berjalan ke arah toilet, ponselnya bergetar, ia pun langsung mengambil ponselnya yang berada di sakunya.

BRUK

Sia jatuh terduduk, ia sedikit meringis, "Maaf saya tidak sengaja," celetuk seseorang tersebut yang mengulurkan tangannya ke Sia.

Sia menerima uluran tangan lelaki di depannya ini, "Kamu ga papa kan?" tanyanya. 

Gadis itu merapihkan roknya serta bajunya, "Ga papa kok, saya juga minta— Arsa?" Alangkah terkejutnya Sia melihat lelaki di depannya ini mirip orang yang ia kenal, siapa lagi kalau Arsa Putra Pangestu. 

Lelaki itu sedang berdiri dengan tatapan bingung, "Maaf, siapa ya?" 

Sia lantas menutup mulutnya, mereka benar-benar mirip, dari segi wajahnya, tapi sangat berbeda tatanan rambutnya, juga cara berpakaiannya, dan bedanya lelaki di depannya ini memakai kacamata, "Sekali lagi saya minta maaf, saya buru-buru. Maaf," cetus lelaki itu dan pergi meninggalkan Sia yang masih mengangga tak percaya.

"Sa!" panggil Sia yang merasa lelaki itu adalah Arsa yang sedang menyamar.

to be continue.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Athanasia   Epilog

    Hari ini tepat hari pemakaman Arsa, semua orang berduka dengan kepergian sosok laki-laki keras kepala itu. Begitu juga dengan gadis cantik bernama Athanasia, tak ada hentinya air mata mengalir membasahi pipi, ia begitu putus asa setelah kehilangan sosok yang sangat berarti bagi hidupnya.Pakaian serba hitam dan juga duka yang menyelimuti seluruh orang yang datang. Kepergian Arsa, menyebabkan kehilangan yang amat dalam bagi orang yang pernah mengenal baik dirinya.Tak seperti prespektif orang-orang yang menatap dirinya buruk. Pemakamannya cukup ramai didatangi banyak orang, karena Arsa terkenal baik dengan banyak orang, sampai tukang bersih-bersih komplek rumahnya saja mengenal baik dirinya.Diana sangat berduka atas kematian putranya, bukan hanya dirinya saja, begitu juga dengan orang yang selama ini dikenal arogan dan kejam oleh banyak orang—Tama, pria paruh baya itu tentu sangat berduka sampai dirinya hanya terdiam dengan tatapan kosong.Ath

  • Athanasia   Bab LX

    Dokter Daniel ke luar ruangan sambil melepaskan maskernya. Gibran, Radit dan Satria langsung menghampiri Daniel, sementara pria paruh baya itu menghela napas panjang. Tatapan matanya menjadi sendu, "Arsa masih bisa diselamatkan," ujar Daniel, mereka semua langsung bernapas lega mendengarnya.Diana dan Athanasia tersenyum bahagia mendengarnya, gadis itu melemparkan senyumnya ke Diana yang berada tepat di sampingnya. Wanita paruh baya itu membalasnya dengan senyuman tipis. Gorden jendela penutup ruang ICU kembali dibuka. Diana bangkit dari duduknya dan menatap kembali anaknya yang sedang terlelap di dalam ruangan."Saya memberikan obat penenang kepada Arsa. Gejala yang dirasakannya tadi cukup parah," tutur Daniel.Athanasia meletakkan tangannya di kaca sambil menatap nanar sang kekasih yang terbaring lemah di ranjang pasien. Rasa sesak di dadanya mulai berangsur membaik, dikarenakan Arsa sudah dalam kondisi baik dan juga langsung ditangani oleh Dokter.Ia k

  • Athanasia   Bab LIX

    Diana sampai di ruang ICU di sana Tama sudah duluan sampai dan sedang menunggu Diana untuk masuk bersama melihat anaknya. Mereka pun masuk bersama sambil memakai APD untuk masuk ke ruangan steril itu. Akibat karena pengunjungan dibatasi, maka hanya boleh kelurga yang menjenguk. Sementara Radit, Gibran, dan juga Satria hanya bisa menatap Arsa dari jendela.Tama masuk terlebih dahulu dengan APD yang lengkap dan disusul oleh Diana, kalau Arka ia sedang menyusun barang yang akan ia bawa ke London. Laki-laki itu akan terbang malam ini, kalau tidak ada halangan.Diana masuk, di sana mereka diarahkan oleh perawat. Arsa masih terbaring lemah, matanya berulang kali menerjap. Diana sedikit menekuk lututnya agar melihat sang putra lebih dekat. Manik mata Arsa menatap lamat ibundanya dengan lemah Arsa mengukir senyum tipis kepada Diana. "Arsa yang kuat ya, Nak. Bunda tahu anak Bunda satu ini anak yang kuat," cetus Diana sambil menggenggam erat tangan Arsa yang terasa dingin.

  • Athanasia   Bab LVIII

    Perasaan gusar menyelimuti ruang tunggu ICU. Mereka semua hanya bisa pasrah kepada Tuhan, doa selalu mereka panjatkan untuk Arsa yang sedang mempertaruhkan nyawanya. Tama selaku ayah Arsa hanya bisa menundukkan wajahnya.Semua yang berada di ruang tunggu terus menerus berdoa untuk Arsa yang berada di dalam. Diana menatap dari luar ICU keadaan anaknya, air matanya terus mengalir tanpa jeda. Ia selalu meminta kesempatan kedua kepada Tuhan untuk memperbaiki dirinya untuk adil dalam menyayangi kedua putra kembarnya.Saat Dokter Daniel ke luar ruang ICU, Tama langsung mendekatinya, "Saya berani bayar berapapun untuk kesehatan Arsa, saya akan berbuat apapun untuk anak saya," tuturnya kepada Daniel. Raut wajah panik terlihat dari Tama, tetapi pria paruh baya itu tak pernah mengeluarkan sedikitpun air matanya.Daniel menghela napas panjang, "Tentu saja saya berbuat sebaik mungkin yang saya bisa untuk memulihkan kondisi tubuh Arsa, tetapi tiap waktu kondisinya mulai menu

  • Athanasia   Bab LVII

    Arsa lupa akan janjinya dengan Athanasia, ia melirik jam dinding yang sudah menunjukkan pukul dua siang. Ia pun menyibakkan selimut yang menutupi dirinya dan bangkit dari ranjangnya. Saat kakinya sudah menapak di lantai, tiba-tiba nyeri perutnya menyerang, membuat sakit yang amat mendalam sampai membuat dirinya jatuh ke lantai. Arsa tentu meringis sembari memegang perutnya. Ia mencoba untuk bangun, tetapi kakinya seketika lemas di tempat. Ia mengerang kesakitan, Satria yang baru tiba langsung terkejut melihat sahabatnya itu. Ia berlari mendekat ke arah Arsa dan membantu laki-laki itu ke ranjangnya. "Arka, di mana?!" pekiknya khawatir yang melihat Arsa terus mengerang kesakitan. Di situasi seperti ini, tentu ia bingung harus berbuat apa. Arka datang dengan membawakan segelas susu hangat yang hendak ia berikan kepada Arsa. Laki-laki berkacamata yang baru menepati kakinya di depan pintu terkejut melihat Arsa tengah merintih kesakitan. Dengan cepat Arka men

  • Athanasia   Bab LVI

    Diana tengah menyusun barang serta pakaian yang akan dibawa oleh Arsa. Awalnya Arsa menolak untuk Diana yang memasuki barang-barangnya, tetapi Diana tetap bersikeras untuk melakukannya, Arsa pun mau tak mau menyerahkannya.Arka juga begitu, laki-laki berkacamata hari ini akan berangkat ke London pada pukul lima sore. Tak lupa sebelum pergi, ia akan berpamitan dengan Arsa terlebih dahulu.Diana telah selesai memasukkan semua keperluan Arsa di dalam koper warna hitam. Ia ke luar sambil menggeret koper tersebut. Ia melihat ke arah kamar Arka, putranya tengah memandang sebuah foto berbingkai, yang Diana tahu itu foto terakhir Arsa dan Arka punya.Kedua putranya waktu zaman sekolah dasar, mereka sangatlah dekat sampai tak pernah ingin dipisahkan, walau hanya sebentar. Sekarang mereka bagaikan air dan minyak, tak akan pernah bisa bersatu.Dengan langkah berat, Diana mengetuk pintu kamar Arka terlebih dahulu. Laki-laki berkacamata itu langsung menyembunyik

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status