Aku merasa seperti sedang bermimpi, sampai menyadari bahwa ini adalah sebuah kenyataan pahit yang harus aku telan dalam pernikahanku. Apa yang dilakukan Mas Edwin saat ini sudah kelewat batas dan aku harus bergerak cepat sebelum hal lebih buruk dari ini terjadi dalam rumah tanggaku. Semakin jam berputar cepat, semakin aku khawatir akan suamiku yang sudah cukup larut, tetapi belum juga pulang. Hal pertama yang aku lakukan adalah mencoba menghubungi nomor ponselnya. Sial! Ponsel itu bordering dari atas meja. Nampaknya Mas Edwin melupakan ponselnya.
Seketika aku menemukan ide. Segera aku turun dari ranjang, lalu meraih ponsel itu. Kutekan nomor yang biasa suamiku pakai sebagai pin ponselnya. Namun sayang, sepertinya Mas Edwin sudah mengganti pin ponselnya. Aku semakin gusar dengan mengacak-ngacak rambutku yang panjangnya sudah sebahu. Aku berjalan mondar-mandir di dalam kamar sembil menggigit kuku ibu jari karena rasa gugup sekaligus khawatir. &ld
"Jika kamu merasa berat dengan keadaan kamu yang masih perawan sampai saat ini, aku mengijinkanmu poliandri." Ria melotot mendengar ucapan suaminya. Secepat kilat ia duduk, lalu menarik tangan baju piyama Edwin."Mas, maksud kamu apa? Aku kamu suruh punya suami dua? Suami satu aja aku ngurus otaknya aja belum benar! Mikir dong, Mas! Jangan asal bicara. Memangnya istri kamu ini pelacur, bisa digilir seenaknya!" cecarku tak terima. Lelaki itu pun mendengkus kesal, lalu duduk sejajar denganku sambil berwajah masam. Ia mengacak-acak rambutnya dengan kuat."Jadi mau kamu apa, Ria? Bicara yang jelas. Jangan bertele-tele," katanya lagi padaku sambil melotot."Aku mau kamu berobat dan aku mau Bu Mila tidak perlu tinggal di sini. Dia bisa tetap kos di tempat lain. Aku gak suka ada wanita lain di rumah ini, selain Bik Isah dan aku, Mas!""Kamu egois! Dua-duanya maumu takkan aku penuhi. Aku tidak mau ke dokter dan aku tidak mau mengusir Bu Mi
Mobil Mas Edwin baru saja meninggalkan pekarangan rumah. Suamiku itu ke kantor sambil mengantar Raka ke sekolah, sekaligus menumpangi Bu Mila sampai di TK-nya. Sungguh pemandangan yang sangat manis dan harmonis antara ibu, anak, dan ayahnya. Jika ada orang yang melihat sekilas, tentulah takkan ada yang tahu, bahwa ketiganya orang yang tak memiliki garis keturunan sedarah.Aku mengintip dengan jengah dari jendela kamar. Beberapa foto sudah aku dapatkan saat mereka sarapan pagi bersama sambil bercengkrama, dan juga foto manis saat memasuki mobil barusan. Yah, buat jaga-jaga saja, siapa tahu suatu saat foto ini aku butuhkan.Mang Dirman segera menutup pintu pagar, lalu kembali ke pos jaganya. Suamiku yang paling anti menggunakan mobil ke kantor, pagi ini mendadak bersembangat. Apakah ia berniat untuk menikahi guru les Raka? Mau dia buka perawannya pakai apa? Tang? Martil? Mesin bor? Sungguh lucu suamiku ini. Aku terus saja bermonolog dengan gemas sekaligus kesal
"Terserah, kalau kamu mau ribut di sini, mari kita selesaikan di sini," ucapku dengan menahan geram. Kami semua, termasuk wanita yang bersama suamiku berada di ruang kepala sekolah. Keributan yang sengaja kubuat karena kesal bercampur amarah, telah mengakibatkan kami bertiga digiring ke kantor kepala sekolah.Aku tak ingin berdamai. Walau berkali-kali suamiku mengatakan bahwa aku salah paham. Tak mungkin aku jelaskan semua duduk persoalan pada pihak sekolah Raka'kan? Bisa malu lelaki itu jika mulut ini tak tahan untuk meneriakinya suami tak tahu diuntung."Kamu salah paham, Ria?" katanya lagi sambil memelas di depan wajahku. Namun aku bergeming, sengaja kubuang muka agar tak melihat wajah dramanya. Aku tahu ini semua hanya lakon saja. Begitu sampai di rumah bisa dipastikan pipiku merah terkena tamparannya."Begini, berhubung ini masalah rumah tangga, sebaiknya Bapak dan Ibu menyelesaikan di rumah saja. Tidak baik dan tak b
Aku menangis sejak kepergian Mas Edwin. Lelaki yang aku nikahi dengan dasar cinta sama cinta. Kami memadu kasih layaknya kebanyakan orang. Tidak terlalu intim, tidak juga renggang. Setahun saling mengenal membuat kami berkomitmen untuk meneruskan hubungan ke jenjang yang lebih serius. Aku mengetahui teman-temannya. Aku juga mengetahui lingkungan kerjanya yang saat itu sudah menjabat seorang manager di sebuah hotel bintang lima Jakarta.Dia lelaki baik, royal, dan bertanggung jawab. Meskipun jarang bersikap romantis, tetapi aku tahu lelaki itu mencintaiku. Sehingga aku berani mengangguk setuju saat Mas Edwin mengajakku menikah. Tak ada kecurigaan terlalu berlebihan terhadap lelaki itu, karena memang aku mengenal cukup baik semuanya. Termasuk keluarga besarnya.Namun kini yang terjadi di depan mataku, sebuah kenyataan yang tak pernah ada dalam benakku sebelumnya. Begitu banyak yang terjadi dalam beberapa hari ini. Bumi tempatku berpihak seak
Pagi ini, Bik Isah kembali muntah-muntah setelah membuka bungkusan yang ternyata berisi cacing. Tepatnya ulat bulu. Karena kaget, Bik Isah meneriakinya cacing. Bahkan kotak itu terlepas dari tangannya karena sangat geli dan jijik dengan banyaknya ulat bulu di dalam kotak.Aku pun berteriak histeria hingga Mang Dirman datang dan menyemprotkan ratusan ulat bulu itu dengan cairan pembunuh serangga. Aku berlari masuk ke dalam kamar, sedangkan Bik Isah muntah-muntah hingga tak bisa bangun lagi."Mang, ayo bawa Bik Isah ke dokter," seruku pada lelaki yang kini tengah menyiram tanamanku. Mang Dirman menoleh, kemudian mengangguk, lalu menangkap kunci mobil yang aku lemparkan ke tangannya.Selagi Mang Dirman memanaskan mobil, aku pun bersiap dengan memakai pakaian sederhana, tanpa make up. Kedua mataku masih bengkak, sisa menangis semalam. Hanya pelembab dan juga lipglos yang kuoles tipis.Mang Dirman sudah membawa
POV EdwinBenar-benar Ria mengerikan. Rekeningku dikuras habis olehnya. Hanya tersisa beberapa ratus ribu saja di dalamnya. Hal inilah yang membuatku merasa begitu kesal dan kecewa. Saat melapor pada ibu, bukannya dibela, aku malah disalahkan karena sudah mempercayai semua harta bendaku atas nama Maria. Aku pun tak bisa menyanggah karena ibu tak tahu keadaanku saat ini. Jika aku jujur, maka tamatlah riwayatku sebagai anak. Masalah Raka aku pun belum berani jujur. Sungguh hidup yang dipenuhi kebohongan kecil, ternyata akan mendatangkan kebohongan-kebohongan lainnya.“Jadi, malam ini kalian semua tidur di rumah ibu?” tanya ibuku dengan suara terdengar keberatan.“Iya, Bu. Besok, saya akan cari kontrakan untuk tinggal bersama Raka,” jawabku dengan lemas.“Trus, siapa yang menjaga Raka? Bu Mila? Apa Bu Mila bersedia menjadi
"Non, kalau ngantuk tidur duluan saja. Saya gak lama kok. Nanti juga balik. Ucapan Non barusan saya anggap tidak pernah ada ya? Kita tidak bisa main-main dengan pernikahan," ujar Mang Dirman padaku. Sungguh aku sangat malu ditegur seperti ini, tetapi hatiku mengatakan bahwa Mang Dirman bisa menolongku."Saya takut. Saya ikut saja ke rumah sakit, Mang. Tunggu, saya ganti baju dulu." Tanpa menunggu persetujuan darinya, langsung saja aku melangkah lebar menuju kamar, lalu menguncinya. Jantungku berdetak sangat cepat. Antara malu dan juga gugup. Lancang sekali aku bicara seperti itu pada lelaki dewasa seperti Mang Dirman. Semoga ia tidak mengundurkan diri karena ucapanku barusan.Sambil berganti pakaian, aku membuka laci lemari untuk melihat berkas lamaran yang pernah aku terima dari Pak Rahmat;lelaki yang membawa Mang Dirman bekerja di rumahku sebagai sopir dan penjaga rumah.Ya ampun, aku baru tahu ia memiliki nama yang bagu
"Woy, jangan kabur lu!" teriak Mang Dirman berusaha mengejar lelaki yang baru saja kabur dengan melompat tembok rumahku."Aargh ... Malang tolooong! Ulaaar! Toloong!" mendengar teriakkanku, Mang Dirman kembali lagi dan melotot melihat banyak ular."Allahu Akbar! Non, cepat telepon security! Saya tangkap semampu saya dulu!" Mang Dirman mendorongku menjauh hingga keluar pagar, sedangkan dia mendekat ke teras sambil mengambil batu dan juga sapu yang ada di halaman rumah. Dengan gemetar, aku memencet nomor keamanan perumahan dan memberitahu bahwa banyak ular di rumahku.Tak lama kemudian, dua petugas datang sambil membawa kayu panjang dan besar. Aku bergidik ngeri sendiri. Kakiku gemetar, rasa tak mampu untuk kuat menginjak bumi saat ini. Entah apa yang mereka lakukan di sana, aku tak berani melihatnya.Bunyi sirine mobil pemadam kebakaran pun datang mendekat. Hampir semua warga yang ada di dekat rumahku, kelu