Setelah berkata demikian, si bocah membalikkan tubuhnya hendak meninggalkan tempat itu. Mendadak suara cekikikan yang bernada mengejek mengurunkan langkahnya.
Si bocah segera menoleh ke arah datang suara cekikikan itu. Lihainya pula, begitu si bocah menengok, suara cekikikan itu berhenti. Si bocah mengamati setiap detail rimba dengan seksama yang disertai sikap waspada. Tetapi bayangan pun orang yang tertawa itu tak ada.
"Kikikikikiki...."
"Hmm...??"
Sontak si bocah menoleh ke belakang, dari mana suara cekikikan itu berpindah. Namun lagi-lagi suara cekikan itu berhenti mendadak. Si bocah benar-benar merasa dipermainkan oleh manusia misterius itu. Manusia itu bukan hanya mengeluarkan cekikikan ejekan saja, melainkan suara cekikikan dikirimkan dengan kekuatan tenaga dalam yang cukup tinggi, yang efeknya mampu menisik hingga ke dalam otak si bocah. Andaikata si bocah bukanlah seorang yang tidak memiliki ilmu kedigdayaan apa-apa, maka bisa dipastikan pembuluh-pembuluh darah dan jaringan saraf di otaknya sudah pecah dan putus akibat efek dari suara cekikikan yang mematikan itu.
"Hmmm! Sekali lagi aku harus berkata, bahwa kau benar-benar manusia pengecut dungu yang pernah kukenal!" berucap si bocah dengan suara datar sambil menahan rasa dongkol di hati.
"Haii haik haik haik haik...Dasar bocah bodoh! Memangnya kapan kaupernah mengenal manusia lain selain gurumu yang berkulit putih, berhidung pesek, dan bermata sipit itu, he! Haiii haik haik haik haik...!"
"Ah, buset...!" ucap si bocah kaget, dan serta-merta berbalik arah pandang lagi. Suara tertawa, yang disertai kata-kata yang berisi ejekan, itu telah berpindah lagi ke arahnya yang semula. Namun wujud orang itu lagi-lagi tidak tampak. Benar-benar seperti sesosok siluman.
"Hai, manusia aneh! Tampakkan dirimu!" membentak si bocah sembari berkacak kedua belah pinggangnya. "Siapakah kau sebenarnya? Darimana kautau tentang Ato-ku, heh...!"
"Haiiii...haik haik haik...Jelas aku mengenalnya, bocah. Siapa yang tak kenal dengan Hongli, seorang pendekar besar yang di negeri asalnya punya nama besar dengan julukan Wu Ying Jianke alias Pendekar Tanpa Bayangan? Bahkan siapa dirimu, riwayat hidupmu, dan mengapa kau diberi nama La Mudu, semuanya aku tau...! Haiiii haik haik haik..."
Lagi-lagi si bocah, alias La Mudu, dibuat lebih kaget luar biasa. Bukan hanya karena suara manusia misterius telah berpindah lagi dari arah belakangnya, tetapi karena manusia itu mengenal sang gurunya dan dirinya! Ketika ia membalikan tubuhnya, manusia misterius itu telah berdiri tegap, tak jauh dengan tempat ia berdiri. Akan tetapi si bocah alias La Mudu tidak mampu melihat dengan jelas sama sekali akan sosok dan wajahnya, karena orang itu telah melindungi seluruh tubuhnya dengan cahaya putih yang menyilaukan mata.
La Mudu benar-benar dibuat heran sekaligus terpukau terhadap manusia misterius di hadapannya. Di kepalanya mendengung seribu tanya, tentang siapakah gerakan dia? Selama ia hidup dan dibesarkan di Rimba Sorowua, tak pernah ia bertemu dengan manusia lain, kecuali dengan Ato Hongli. Setiap waktu ia hanya bercengkerama dengan laik-laki tua yang dipanggilnya dengan Ato kakek) itu. Artinya, hanya beliaulah yang tau nama dan dirinya. Tentu saja, La Mudu tidak habis pikir, mengapa manusia misterius yang berdiri di hadapannya dengan berselimut cahaya putih mengetahui dengan pasti nama Ato dan dirinya. Siapakah gerangan dia? Apakah dia adalah Ato yang sedang menyamar dan hendak 'bermain-main' dengannya? Tetapi, jika mendengar suaranya, jelas itu bukan suara dari orang yang sangat dikenal oleh La Mudu. Namun La Mudu bisa memastikan, jika manusia misterius di depannya adalah seorang laki-laki tua. Mungkin seumuran dengan Ato.
"Hai orang tua, siapakah dirimu sebenarnya? Dan apa tujuanmu mengganggu perjalananku?" bertanya La Mudu dengan suara tegas, pongah, sambil berdiri berkacak pinggang.
Ditanya demikian, laki-laki misterius di hadapannya malah menjawabnya dengan tertawa mirip ringkihan kuda. Lagi-lagi bukan suara tertawa biasa. Lalu kemudian berkata, "Jika pun aku memberitahumu tentang siapa diriku, tetap juga percuma, Mudu. Karena kau tidak pernah mengenal siapa pun di dunia ini, selain Ato sipitmu itu. Hmm, tujuanku tentu tak lain adalah menginginkan nyawamu, sebelum aku mencabut nyawa Ato-mu yang berwajah mirip punggung ketam yang direbus itu! Haiiiii...haik haik haik haik..."
"Huaa ha ha ha ha ha ha ha...," La Mudu tak kalah mengeluarkan tawanya. Sebuah tawa pongah, tapi juga mengandung kekuatan tenaga dalam yang tinggi. Lalu kemudian berkata, "Di samping aneh, pengecut, dan payah, ternyata kau juga adalah orang tua yang suka bermimpi! Jika kau memang memiliki ilmu lebih tinggi dari aku, lebih-lebih ilmu Ato-ku, mana mungkin kau menyembunyikan diri dari cahaya silap mata seperti itu. Atau kausangat malu karena mungkin wajahmu terlalu buruk untuk dipamerkan kepadaku? Huaaaa…ha ha ha ha ha...!"
"Jaga mulutmu! Dasar bocah kurang ajar!" Tampaknya si manusia misterius terpancing amarahnya oleh kata-kata La Mudu.
"Anak kecil seperti saya hanya hormat terhadap orang tua yang santun, tapi sama sekali tidak terhadap orang tua aneh, pengecut, usil, dan bermulut besar sepertimu, wahai kakek misterius...!" sahut La Mudu dengan memperlihatkan kepongahannya. Tak sedikit pun tersirat ketakutan sedikit pun di wajahnya.
Kemarahan si manusia misterius pun tak terbendung lagi demi disentil demikian pedas oleh La Mudu. "Bocah yang benar-benar tak tahu adab! Aku harus segera mencabut nyawamu, bocah!!
Habis berucap demikian, si manusia misterius pun mengeluarkan suara melengking tinggi yang mengandung kekuatan tenaga dalam tingkat tinggi, bersamaan dengan berputarnya tubuhnya. Mulanya putaran tubuhnya pelan, namun semakin lama semakin kencang laksana garing. Dan putaran tubuh itu seakan-akan menarik angin dari segala penjuru, yang kemudian berkumpul dan membentuk angin dahsyat laksana puting beliung. Saking kencangnya hempasan angin ciptaan itu, menjadikan rontok berhamburannya dedaunan dari pohon-pohon besar di sekitar itu. Nampaknya si manusia misterius benar-benar ingin menghancurkan tubuh La Mudu dengan kekuatan yang sangat besar.
Halnya La Mudu, menyaksikan peragaan ilmu tingkat tinggi dari si manusia misterius di depannya, agak menganga juga mulutnya karena takjub. Namun rasa panik atau keder tak sedikit pun tergambar di wajahnya.
"Orang ini benar-benar memiliki kesaktian yang sangat tinggi! Hmm, aku tidak boleh bertindak ceroboh!" membatin La Mudu.
Pada saat manusia misterius mendorong kedua tapak tangannya ke depan yang disertai lengkingan tinggi, gulungan angin yang sangat panas menderu dengan dahsyat ke arahnya, La Mudu yang telah siaga dengan serangan yang sangat mematikan itu, segera menyentakkan kaki kanannya ke bumi dan menyingkir di tempat itu sembari melepaskan serangan balasan berupa cahaya biru, yang kekuatannya setingkat dengan kekuatan serangan lawan.
Bummm...!!
Puncak Sorowua bergetar laksana dilanda gempa. Akibat gelombang angin dari ledakan itu, menjadikan pepohonan di sekitar itu seketika berguguran daunnya.
Saat keadaan kembali tenang, manusia misterius, dari balik cahaya putih yang melindunginya, wajahnya celingukan, mengamati dengan seksama keadaan di sekelilingnya.
"Ke mana si bocah nakal itu? " gumamnya. "Dia benar-benar telah menyerap dengan baik semua ilmu yang aku ajarkan. Bocah yang benar-benar luar biasa...! Tak percuma aku membesarkan dan mengangkatnya sebagai murid. Kau akan menjadi seorang pendekar besar, Mudu. Kau akan menggantikan diriku. Dan dengan tanganmu sendiri, kau akan menghacurkan riwayat para manusia iblis yang telah membunuh keluargamu dengan biadab!"
"Cissshh..."
Manusia misterius, yang sesungguhnya adalah Dato Hongli, tiba-tiba merasakan kepala dan punggungnya basah oleh siraman air yang hangat. Saat kepalanya diusap lalu menciumnya, maka merahlah wajahnya. Dengan serta merta ia mendongak ke atas. Di atas sebuah cabang pohon, tampak La Muda baru saja memasukkan kembali "burung"-nya ke balik celananya sambil cekikikan.
"Bocah kurang ajar! Orang tua dikencingi...!" geram sekali Dato Hongli. Dan tanpa membuang-buang waktu, satu larik cahaya biru yang disertai angin yang sangat panas ia kiblatkan ke atas.
Prakkkk...!!
Batang pohon bagian atas, tepat di mana La Mudu tadi bertengger, patah dan hancur. Namun sebelum cahaya barusan mencapai sasaran, La Mudu telah lebih dulu bergerak menghindar, dan tiba-tiba telah bertengger di cabang pohon yang berada di belakang Dato Hongli, dan kembali mengeluarkan cekikikan yang mengejek.
Saat Dato Hongli menoleh, dan langsung mengirimkan pukulan kembali. Tetapi baru saja pukulan berupa gumpalan cahaya panas sebesar kepala manusia itu dikiblatkan ke atas, La Mudu telah lebih dahulu mengirimkan serangannya berupa gumpalan cahaya panas yg sama. Duearrrr.....!! Satu ledakan yang cukup dahsyat pun terjadi di depan Dato Hongli. Dan Tak ayal, tubuh orang tua yang masih terus menyelimuti dirinya dengan cahay putih kemilau itu pun terpental ke belakang dan jatuh membanting pantat di atas reranting kering yang menumpuk. Dato Hongli merasakan sakit di bagian pinggangnya, sehingga mau tak mau harus meringis juga. Ia hendak mencoba mengatur kembali nafasnya dengan menyalurkan tenaga murni ke seluruh jaringan tubuhnya. Namun belum lagi ia melakukannya, tiba-tiba telinganya menangkap suara decakan seperti suara c
MARI KITA kembali dulu ke enam belas tahun yang silam... Desa Tanaru adalah sebuah desa yang cukup padat, berada di pesisir timur Pulau Sumbawa, yang letaknya berhadapan langsung dengan Pulau Sangiang. Sumber mata pencaharian warganya adalah berlaut. Namun mereka juga bercocok tanam dan beternak kerbau, kuda, dan kambing. Lahan sabana dan persawahan yang luas dan subur yang berada di belakang perkampungan, mendukung setiap usaha yang mereka lakukan. Maka tidaklah heran, jika desa Tanaru merupakan salah satu desa yang sangat makmur di negeri Babuju kala itu. Dan teknologi penangkapan ikan untuk ukuran saat itu pun cukup maju di desa ini, sehingga menghasilkan penangkapan yang berlimpah, lalu disuplay di pasar-pasar di kota raja. Ya, kedamaian dan kemakmuran benar-benar terkaruniakan kepada segenap warga desa Tanaru. Kondisi tersebut juga tak lepas dari sifat kepemimpinan galara (kepala desa) mereka, Jara Tawera alias Ompu
Saat matahari pagi telah menerangi jagat, kondisi bekas Desa Tanaru demikian mengenaskan. Mayat-mayat bergelimpangan di mana-mana. Dan kondisi mayat-mayat itu nyaris serupa, yaitu gosong bersama pemukiman mereka yang sudah menjadi abu. Kepulan dan sisa-sisa api masih terlihat menyala di sana sini. Dan, entah dari arah mana datangnya, tiba-tiba sesosok manusia yang berusia cukup lanjut, berkulit putih, bermata sipit, jenggot dan kumis panjang memutih laksana sutera, seputih rambutnya yang tergelung dan diikat dengan semacam pita putih yang cukup lebar dan panjang, telah berdiri di tengah-tengah bekas perkampungan itu. "Haiya...! Benar-benar manusia biadab La Afi Sangia! Aku benar-benar merasa berdosa telah memaafkannya dulu! Biadab keparat!" bergumam laki-laki tua berjubah putih yang tak lain adalah Dato Hongli itu geram, menggeleng-geleng pelan sembari mengusap-usap janggutn
Seorang laki-laki setengah baya yang diikuti oleh seorang wanita setengah baya memasuki kamar dan mendekati Jenderal Hongli. Tampaknya mereka adalah pasangan suami isteri pemilik rumah. "Syukurlah, Tuan sudah siuman," ucap si laki-laki dengan ramahnya. "Saya di mana? Maaf, Tuan berdua siapa?" bertanya Hongli, tentu dibantu dalam bentuk bahasa isyarat. Ia kebingungan. Bingung dengan keberadaan dirinya, lebih-lebih terhadap sepasang suami-istri dengan bahasanya yang sangat asing baginya. Namun karena dibantu dengan isyarat berupa gerakan-gerakan tangan, ia bisa menangkap dan membalas ucapan mereka. Ia berusaha bangun untuk sekedar menyandarkan tubuhnya di pada sandaran tempat tidur. Tapi kondisinya begitu lemah. Ia merasakan tulang-tulang di seluruh tubuhnya seolah-olah telah remuk. "Baiknya Tuan jangan banyak bergerak dulu, " ucap laki-laki itu lagi, sambil memberi isyarat pula, se
Malam hari, Hongli mengajak La Gunta untuk cerita-cerita di pinggir pantai. Bulan purnama menerangi jagat malam, memantulkan cahaya keperakan ke permukaan lautan. Api unggun dibuat untuk sekedar menghangatkan tubuh dari terpaan udara pantai. "Bagaimana perkembangan penggemblenganmu, Gunta?" "Yeah lumayanlah, Tuan. Cukuplah untuk sekedar membela diri, " sahut La Gunta seraya sekali-sekali memasukkan potongan-potongan kayu yang dikumpulkannya di sekitar pantai ke dalam api unggun. "Sekitar tiga purnama lagi kami sudah siap untuk digabungkan dalam barisan tamtama kerajaan, Tuan." "Guru gembleng kalian pendekar dari mana?" La Gunta mengambil tempat duduk agak di samping Hongli "Beliau pendekar khusus dari asi juga, Tuan. Namanya Dato Kandili. Beliau adalah pendekar terbaik dalam Kerajaan Tambora." (Asi = istana). "Hmmm.." Hongli mengangguk
Mungkin pendekar penguji utama merasa belum saatnya untuk melawan dengan senjata sejenis. Setiap tebasan kedua parang di arahkan ke bagian-bagian tubuhnya yang mematikan, maka dengan cepat pendekar penguji menghindari sembari mengiblatkan pukulan dan tendangan dengan kecepatan tinggi. Beberapa pukulan dan tendangannya pun telak dan keras mengenai tubuh pendekar berparang kembar hingga terlempar beberapa tombak ke belakang dan terduduk. Namun, dengan semangat kejawaraan sejati, pendekar bertubuh ceking itu segera mengumpulkan kembali tenaga dalamnya, dan kembali melakukan penyerangan dengan gerakan jurusnya yang lebih lihai dan dahsyat lagi. Namun, mungkin karena tak ingin memperpanjang waktu, pendekar uji utama pun menyambut serangan itu dengan mengarahkan kedua kepalanya ke depan. Pancingannya kena. Saat pendekar berparang kembar mengarahkan tebasan kepada kedua pergelangan tangan pendekar utama, dengan cepat pendekar penguji menarik
Pertarungan antara kedua pendekar adisakti itu pun berlangsung dahsyat. Pergerakan keduanya pun demikian cepatnya, sehingga sulit diikuti oleh pandangan mata awam.Namun sebagai seorang pendekar dengan julukan besar di negerinya, Hongli bisa melihat kemampuan lawannya. Dalam jurus-jurus awal, ia sengaja bertahan dulu terhadap serangan-serangan gencar lawannya dengan gerakan supercepat dan sengaja membuat bingung lawannya. Namun saat itu ia ingat dengan peraturan tarung itu, bahwa ia akan menghadapi pertarungan-pertarungan beberapa tingkat lagi dengan jumlah lawan yang bertingkat pula, yang tentu akan membutuhkan tenaga lebih. Jadi dia harus menghemat tenaga. Maka setelah lebih dari sepuluh jurusmenghindar ia peragakan, Hongli pun memperagakan jurus serangan yang sangat cepat, sehingga membuat serangan lawannya menemui udara kosong. Sampai pada suatu momen yang tepat, yang dibarengi dengan
Paduka Sangaji tersenyum bahagia menyambut calon pemangku panglima angkatan perang kerajaannya. Beliau merentangkan kedua tangannya lalu memeluk tubuh Hongli dengan penuh keyakinan. Sang Jenateke (putra mahkota), yang duduk setengah berbaring di sebuah kursi kebesarannya karena masih sakit di sebelah kursi kebesaran ayahnya, menyambutnya dengan senyuman mengembang sambil mengangkat jempolnya kepada calon penggantinya sementara sebelum merentangkan kedua tangannya. Hongli membungkukkan badanya dan memeluk tubuh sang Jenateka. Mungkin karena terlalu erat pelukan itu dan Hongli tak mengerti di bagian tubuh mana Sang Jenateke terluka, sehingga menjadikan sang pewaris tahta Kerajaan Tambora itu terdengar menjerit tertahan. "Oh, maafkan hamba, Yang Mulia Raja Muda," berucap Hongli terkejut dan merasa bersalah. "Tidak apa-apa...." "Hongli. Nama hamba Hon