Tak lama berselang, Ryu tiba di rumah. Kuma dan Shiro langsung berlarian menyambut kedatangannya. Senyum simpul terlihat di wajah Ryu yang lelah ketika melihat kedua anjingnya. Dia menyempatkan diri bercengkrama sejenak dengan keduanya sebelum akhirnya Ryu melangkahkan kakinya menuju ke tempat di mana Izumi kini tengah duduk. Ryu merebahkan dirinya di dekat Izumi dan menggunakan tasnya sebagai bantal. “Huah…, hari ini begitu melelahkan,” ucap Ryu.
Pandangan Izumi yang awalnya tertuju ke arah halaman kini berpindah menatapnya. “Otsukare!” balas Izumi. Pemuda itu tersenyum begitu samar, membuat wajahnya tak terlihat seperti sedang tersenyum.
Ryu mengangguk lalu mengubah posisinya menjadi duduk. "Semenjak Shiro tinggal di rumah ini, Kuma menjadi lebih periang." Ryu memberi komentar ketika melihat Kuma dan Shiro yang sedang bermain kejar-kejaran di tengah halaman. "Dia tak lagi merajuk ketika aku jarang mengajaknya keluar jalan-jalan," tambahnya sambil tertawa k
Izumi membuka kaca jendela kamarnya lebar-lebar agar angin bisa masuk mengurangi gerah yang dirasakannya. Saat ini Izumi sedang tak ingin menyalakan pendingin ruangan dan lebih memilih udara segar masuk ke dalam kamarnya. Angin sepoi-sepoi siang itu terasa cukup sejuk. Izumi lantas membawa kursi belajarnya ke tepi jendela dan duduk di sana sambil membaca buku ditemani oleh musik yang mengalun melalui earphone yang terpasang di telinganya. Entah karena sejuknya angin yang terus menerpa wajahnya atau karena suara musiknya, lambat laun kedua kelopak mata Izumi mulai terasa berat. Dia tak lagi berkonsentrasi pada buku yang sedang dia baca. Dalam kondisi setengah sadar, Izumi bangkit dari kursinya dan langsung menjatuhkan diri di atas tempat tidurnya. Tak butuh waktu lama pemuda itu langsung terlelap sepenuhnya ke alam mimpi.Begitu terbangun matahari kini bersinar keemasan di ufuk barat dan tak lagi seterik sebelumnya pertanda hari sudah sore. Izumi menggeliat pelan lalu
Saat mereka tengah asyik berbincang, mendadak langit yang tadi cerah berubah menjadi gelap. Angin berhembus kencang dan gerimis turun secara tiba-tiba. Izumi, Makoto, dan Tsubaki pun serempak beranjak ke beranda untuk berteduh. Beberapa saat kemudian terdengar suara gerbang yang dibuka dengan terburu-buru. Ryu berlari kecil menuju mereka menghindari gerimis yang turun semakin deras diikuti oleh Kuma dan Shiro di belakangnya. “Haah, safe~ untungnya hujan baru turun ketika kami hampir sampai di rumah,” ucap Ryu sedikit terengah. Sementara Tsubaki dan Makoto masuk ke dalam rumah, Izumi dan Ryu tetap tinggal di beranda depan, menikmati waktu sore melihat hujan yang turun membasahi bumi. Angin sesekali berhembus menghantarkan udara yang terasa cukup dingin di kulit. Namun Izumi dan Ryu hanya bergeming. Izumi menarik napas dalam-dalam, menghirup aroma tanah yang basah oleh hujan. “Sepertinya akhir-akhir hujan semakin sering turun,” kata Ryu memecahka
Selepas makan malam, Makoto kembali menyinggung rencana piknik yang sempat dia utarakan tadi sore kepada Ryu. Pemuda itu tak banyak berbicara dan hanya mengatakan, “awas saja kalau Tou-san membatalkannya di saat-saat terakhir,” membuat Makoto meringis pelan mendengarnya. “Kau masih dendam dengan Tou-san perihal waktu itu? Padahal itu sudah lama,” ujar Makoto. Ryu hanya mengangkat bahu lalu melengang keluar meninggalkan ruang makan. Izumi ikut pamit menyusul Ryu. Beberapa saat yang lalu Ryu sempat meminta Izumi membantunya menyelesaikan tugas sekolahnya dan diapun mengiyakannya. Kali ini mereka belajar di kamar Ryu. Itu pertama kalinya Izumi masuk ke dalam kamar saudara tirinya. Suasana kamar Ryu sedikit berbeda dengan Izumi. Seluruh bagian dinding di ruangan itu ditempeli stiker dinding berwarna terang, seolah menggambarkan kepribadian Ryu yang ceria. Hampir tiga perempat bagian dindingnya juga ditempeli dengan berbagai poster tim basket dan sepak b
“Haruki-kun.” “Haru.” Izumi membuka kedua matanya dan yang pertama kali terlihat olehnya adalah dua pasang mata yang berbeda warna, lavender dan obsidian, menatapnya dengan wajah penuh senyum. Izumi mengerjapkan matanya bingung. Berpikir bahwa itu hanyalah mimpi belaka, Izumi kembali memejamkan matanya. Namun sentuhan tangan yang mengusap kepalanya saat itu terasa begitu nyata. Mau tak mau membuat Izumi membuka matanya kembali. “Masih mengantuk? Ayo bangun. Hari ini kita akan melihat hanami.” Hanami? Bukankah ini sudah musim panas? pikir Izumi. Dengan segala kebingungannya, Izumi bangkit dari tidurnya. Dia mengucek matanya seolah ingin kembali memastikan kalau semuanya bukan hanya ilusi semata. Saat itu Izumi menyadari ada yang aneh dengan tubuhnya. Tangannya terasa lebih kecil dan jari-jarinya terlihat lebih pendek dari sebelumnya. “Eh, tanganku kenapa menjadi kecil begini?” ucap Izumi. Ternyata tak hanya tangannya,
Izumi tersentak dan membuka matanya dengan paksa. Mimpi yang baru saja dia alami, terasa begitu membekas membuat hatinya kembali berdenyut nyeri saat mengingat suara tangisan dirinya yang lain. Tangisan itu terdengar begitu pilu dan putus asa. Izumi menyeka kedua matanya dan mendapati jejak air mata yang belum sepenuhnya mengering di sana. “Eh, kenapa aku juga menangis?” lirih Izumi pada dirinya sendiri. Izumi lantas bangun dan mengedarkan pandangan sekeliling ruangan. Pandangannya sempat berhenti pada jam yang tergantung di dinding. Dalam keremangan Izumi melihat jam itu masih menunjukkan pukul enam pagi kurang sepuluh menit. Dilihatnya Ryu masih tertidur pulas beralaskan futon yang digelar tak jauh dari tempat tidurnya. “Seharusnya dia membangunkanku agar tak perlu tidur di bawah seperti itu,” Izumi kembali bergumam. Dia beranjak turun dari tempat tidurnya dan merapikan selimut milik Ryu seperti semula. “Arigatou, Ryuzaki-kun,” ucap Izumi pada pe
Izumi berjalan menuju loker untuk mengganti sepatunya. Sampai di area loker kelas 3-A dia bertemu dengan Kaito yang sedang mengganti sepatunya. “Ohayou, Izumi,” sapa Kaito. “Ohayou.” Izumi membuka lokernya, mengganti sepatu kets hitamnya dengan uwabaki putih yang diwajibkan oleh sekolah. Baru setelah itu dia naik menuju kelas bersama Kaito. “Oi, kau baik-baik saja? Wajahmu kelihatan sedikit pucat,” komentar Kaito. “Aku baik-baik saja. Mungkin karena semalam aku kurang tidur saja.” “Eh, begitu. Aku juga sama. Semalam suara hujannya berisik sekali, ditambah suara petir yang menggelegar. Aku bahkan tak bisa memejamkan mata sama sekali. Kuharap di jam pertama tidak ada ulangan mendadak dari Fuyuko-Sensei,” kata Kaito penuh harap. Izumi mengerutkan kening mendengar ucapan Kaito. Dia pikir semalam hanya hujan deras saja. Petir? Apa aku sudah tertidur sehingga tak mendengarnya? pikir Izumi. Mendadak dalam hati ada sedikit rasa tak nyaman yang mengganjal di sana. Pemuda itu menarik nap
Izumi membuka matanya. Sosok gadis berambut silver panjang yang mengenakan seragam olahraga berdiri di hadapannya. “Fujihara-san?” ucap Izumi pelan. Fujihara Yuki, gadis itu, duduk di samping Izumi. “Senpai, daijoubu? Aku sempat melihatmu menggigil tadi. Apa kau demam? Permisi sebentar.” Tanpa Izumi sempat mengatakan apapun, tangan Yuki sudah berada di kening Izumi. Sedangkan tangan gadis itu yang satunya lagi memegang keningnya sendiri. “Sepertinya Senpai sedikit demam,” ucap Yuki sembari menurunkan tangannya dari kening Izumi. “Apa tidak apa-apa jika Senpai diam di sini? Mau kubantu ke UKS?” lanjut Yuki. Izumi menggelengkan kepalanya, kembali menolak orang kedua yang menawarkan bantuan padanya. “Aku akan baik-baik saja setelah beristirahat sebentar,” balas Izumi meski itu bertentangan dengan kehendak tubuhnya setelah itu. Izumi terbatuk, mengerang pelan sambil memegang kepalanya. Saat itulah dia baru menyadari kalau suhu tubuhnya terasa sedikit lebih panas dari biasanya. “Senpai?
[… dokter bilang dia akan baik-baik saja setelah beristirahat dua atau tiga hari ini. Saat ini dia masih belum sadar. Kurasa malam ini aku akan menginap di sini untuk berjaga-jaga…] [… tolong beritahu Ryu-kun agar tak perlu khawatir … arigatou, Makoto-san …] Sayup-sayup suara itu mengusik pendengaran Izumi. Dia membuka mata perlahan. Ruangan bercat putih, aroma disinfektan yang menguar memenuhi udara, cukup memberitahu Izumi di mana dirinya berada saat ini. Iris obsidiannya bergulir lemah mengitari seisi ruangan dan berhenti pada sosok yang berdiri tak jauh dari ranjang tempatnya berbaring. Sosok itu—Tsubaki, terlihat baru saja mengakhiri percakapannya dengan orang yang dia telepon. Wanita itu membalikkan badan menghampirinya dan Izumi bisa melihat rasa lega yang terpancar dari kedua irisnya ketika melihat dirinya sudah terbangun. Tsubaki menarik sebuah kursi mendekat ke sebelah ranjang Izumi lalu duduk di sana. Tangan wanita itu terulur mengelus kepalanya dengan lembut. “Izumi-kun