Share

Seseorang yang Mengubah Pola Pikirku

            Elisabeth pov.

            “Selamat pagi tuan muda.” Aku tersenyum lebar. Sepagi ini dia sudah bangun dan duduk di tepi tempat tidur. Seperti biasa, dia hanya menoleh padaku dengan tidak begitu antusias.

            Aku beranjak mematikan lilin aromatherapi yang berada di sudut kamar lalu membuka jendela. Cuaca sedang bagus hari ini, dan aku berniat mengajaknya untuk berjalan-jalan disekitar rumah. kata ibu udara pagi cocok untuk kesehatan.

            “Apakah tuan muda siap untuk berjalan-jalan pagi?” tanyaku lantas mengambil sebuah mantel berwarna hitam dari dalam almari.

            “jalan-jalan?” dia menoleh.

            “Iyap!”

            “Aku tak pernah jalan-jalan pagi.”

            “Maka dari itu, mulai sekarang aku akan mengajak anda berjalan-jalan pagi.” Aku memakaikan mantel itu padanya. “Udara di luar cukup dingin, jadi anda harus memakai mantel ini agar hangat.” Dia memasukkan tangannya pada lengan mantel lembut itu. “kalau sampai anda terkena flu, pasti nenek akan marah padaku.”

            Dia tak menjawab, matanya hanya mengikuti gerak-gerikku mengambil kursi roda di sudut ruangan. Aku membantunya naik ke atas kursi, lantas mulai mendorongnya keluar dari kamar.

            Tubuhnya yang pucat terlihat begitu jelas saat kami berada di bawah sinar matahari. Berkali-kali kulihat dia memicingkan mata, mencoba menyesuaikan pupilnya karena matahari pagi begitu silau menembus matanya.

            “Apa anda merasa tidak nyaman?” aku mengentikan doronganku.

            “Tidak.” Gelengnya.

            “Baiklah, kita lanjutkan perjalanan kita ke kebuh depan ya....” aku kembali mendorongnya perlahan. beberapa kali kami bertemu dengan pelayan yang melintas. Mereka tampak terkejut, kemudian aku tahu mereka juga mulai berbisik-bisik di belakang kami. Aku tidak tahu apa yang mereka bicarakan, namun aku yakin jika mereka sedang membicarakan Adrian. Siapa lagi?

            “Aku ingin berhenti di situ.” Adrian tiba-tiba menunjuk sebuah bangku panjang di tengah taman. Bangku itu biasanya digunakan untuk memberi makan merpati-merpati.

            Kami berdua duduk berdampingan di bangku. Aku meliriknya, melihat ekspresi wajahnya yang terlihat dingin. Terbersit keinginanku untuk mengajaknya memberi makan merpati-merpati kelaparan itu. Mereka bergerombol, lalu mengepakkan sayap saling menjauhi, namun tak berselang lama kembali bergerombol lagi.

            “Mari kita coba.” Aku mengambil segengam biji-bijian, meninggikan tanganku dan membuka telapak tanganku lebar-lebar. Tak berapa lama kemudian muncul dua ekor merpati bertenger di pergelangan tanganku dan memakan biji-bijian itu dengan lahap.

            “Mau coba?” tanyaku kemudian saat kulihat ekor matanya memperhatikanku.

            Adrian mengangguk pelan.

            Aku melakukan hal yang sama seperti tadi, memberikan sedikit biji-bijian di telapak tanganya agar merpati-merpati itu kembali datang.

            “Lihat tuan muda, merpati-merpati itu menyukaimu!” pekikku girang. Tiga ekor merpati sekaligus bertenger di tangan Adrian dengan nyaman. Mereka tampak acuh memakan biji-bijian di tangan pria itu.

            Adrian tersenyum kecil. Perlahan ia terlihat mengendurkan tangannya yang tadi sempat kaku. Aku bisa melihatnya melakukan hal ini dengan nyaman, apalagi senyum itu, oh….aku begitu bahagia melihatnya tersenyum.

*****

            Adrian pov.

            Mungkin dia punya sebuah sihir. Dia bisa dengan mudahnya menggerakkan hatiku untuk mengikuti apa yang diinginkannya. Seperti pagi ini.

            Aku tak terbiasa berjalan-jalan di taman sepagi ini. Karena aku tak pernah meminta, dan tak ada juga yang mengajakku. Ternyata udara pagi itu menyenangkan, meskipun dinginnya tak begitu bersahabat. Namun sejujurnya aku senang bisa berada di luar rumah, sambil memberi makan merpati seperti ini. Aku ingat, dulu sebelum kondisiku memburuk tempat ini adalah favoritku. Aku bisa berada disini selama berjam-jam bersama seseorang. Tapi entah siapa, mungkin nenek, mama atau papaku.

            Aku bisa melihat jika mata itu penuh cahaya dan kebahagiaan. Untuk kedua kalinya, aku kembali diam-diam mencuri pandang ke arahnya. Melihat dari jarak dekat hidung mancung yang terbingkai dengan garis wajah yang sempurna seperti itu. bulu matanya lentik, dengan mata yang cantik seperti mata burung merpati.

            “Mau coba?” lagi-lagi dia membuatku mengangguk tanpa kuminta.

            Semenit kemudian, dengan bantuannya aku sudah mengangkat lenganku. Mempersilakan merpati-merpati cantik itu memakan biji-bijian yang aku berikan. Lalu entah mengapa aku tiba-tiba merasa geli dan sebuah senyum hadir begitu saja di bibirku. Senyum tipis yang terkesan kaku. Entahlah, sudah dua tahun aku tak pernah tersenyum. Jangankan tersenyum, merasakan bahagia saja tidak.

            Aku tahu, ada sesuatu yang disembunyikan nenek dariku. Aku mengingat semuanya, bahkan kecelakaan di Korea waktu itu. hanya saja ada sesuatu yang janggal, aku melupakan sesuatu. Tapi apa? Siapa dan bagaimana? Jelas aku tahu, bahwa di masa lalu aku jatuh cinta dengan seseorang. Tapi aku juga tak tahu siapa itu. Hanya saja terkadang aku menitikkan air mata setiap melihat tembok kosong di kamarku, atau melihat piringan hitam yang berdebu di dalam lemariku. Ada satu nama yang sering terngiang di telingaku. Lily.....sebuah nama yang indah. Nama itu begitu asing, namun aku selalu ingin menyebutnya di bibirku. Lucu sekali.....

            “Tuan muda, mari kita masuk ke dalam.” Suara Elisabeth membuyarkan lamunanku.

            Aku mengangguk, melepaskan merpati-merpati itu membubung tinggi di udara sebelum akhirnya bertenger di sebuah ranting pohon yang mulai merangas.

            “Besok kita lakukan lagi ya.....” katanya sambil mendorong kursiku. Sedetik kemudia aku mendengar suara nyanyiannya. Ave Maria yang begitu merdu.

            “El.....” panggilku pelan.

            “Iya tuan.” Jawabnya. “Apa anda terganggu dengan suara saya? Maafkan saya, hanya saja....”

            “Panggil aku Adrian saja.” kataku kemudian. Aneh, kenapa aku perlu membahas hal ini.

            “A...apa...?”

            “Aku tidak nyaman dengan panggilan TUAN MUDA.”

            Kudengar dia tertawa kecil.

            “Baiklaaah....” jawabnya santai. “Adrian, mari kita masuk. Karena sudah waktunya kamu mandi.....” ia menjeda kalimatnya bersamaan dengan tubuhnya yang sudah menunduk ke arahku. “Bagaimana, apa aku pantas memanggilmu dengan nama Adrian?” senyumnya mengembang.

Aku mengangguk.

“Kalau begitu, Adrian…apakah kita bisa berteman?”

Aku menaikkan alisku.

“Kalau kamu diam berarti jawabannya adalah iya.”

Sekali lagi, sebuah senyum tipis kembali muncul di bibirku. Kalau kebahagiaan memang menular, mungkin sekarang aku memang sedang berbahagia.

‘Teman’.

Sepertinya aku menyukai hal itu.

*****

           

           

           

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status