Adrian POV.
“Lihatlah…. Indah sekali pemandangan malam di sini….” Aku mengelus rambutnya yang tergerai lurus melebihi bahu. Rambut warna brown itu terlihat meliuk-liuk di tiup angin malam.
“Iya, aku menyukai musim panas dan pemandangan dia atas balkon ini. Namun aku lebih menyukaimu.” Ia mengeratkan tangannya di lenganku.
Aku menggeser tubuhku dan kini kami saling berhadapan. “Lilly…..” aku meremas pipinya gemas. Dia tertawa, lalu mencubit hidungku.
“Apa? Kamu ingin mengatakan bahwa kamu mencintaiku kan? Ayolah…katakana saja!”
aku mengangguk, sebelum akhirnya tawa kami berderai dan kembali menatap pemandangan malam di atas balkon lalu ia menidurkan kepalanya di bahuku.
“Apa kamu bahagia bersamaku?” tanyaku kemudian.
“Sangat.”
“Jadi apa rencanamu selanjutnya?” tanyaku kemudian. Wangi lavender menguar dari r
Elisabeth POV.Aku mengucapkan ribuan syukur ketika matanya terbuka pagi ini. Setelah dari kemarin ia tak sadarkan diri. Bergegas aku bangun dari posisiku, menghalau capek yang mendera badanku sejak kemarin. Bahkan aku baru bisa tidur satu jam lalu, sebab semalaman ia terus mengigau dan aku tak kuasa untuk tak memperhatikannya dan tak menangisinya. Aku merasakan jika kedua mataku terasa panas, ini pasti bengkak.“Adrian….kamu sudah bangun.” Aku tersenyum penuh syukur.Pria itu tidak segera menjawab, ia hanya memperhatikanku dengan sorot mata penuh makna.“Apa…kamu ingin sesuatu? Minum barangkali?” Aku bergegas meninggalkan tempatku. Namun sebelum aku berhasil melangkahkan kaki, tangannya sudah menahanku.Aku menoleh.“Kenapa tidak mengatakan padaku?” suaranya terdengar jelas dan juga dingin. Dadaku tiba-tiba terasa ngilu. Adrian tak pernah sedingin ini padaku.“Mengatakan apa?&rd
ELisaabeth POV.Aku terbangun di pagi buta ketika isi perutku mendesak-desak ingin keluar. Langsung, aku melompat dari atas kasur lalu membuka pintu kamar mandi dengan tergesa. Dan ketika baru saja tubuhku berjongkok di sisi kloset, semua yang mendesak di perutku itu langung tumpah ruah. Namun karena sejak kemarin aku tidk nafsu makan, muntahan yang keluar hanya berupa air. Dan itu bahkan cukup membuatku lemas.Tiba-tiba saja sebuaha telapak tangan mengurut-urut punggungku. Tanpa menoleh pun aku sudah tahu jika itu Rebbecca. Rupanya kegaduhanku melompat dari tempat tidur dan membuka pintu kamar mandi sembarangan tadi berhasil membuatnya terbangun. Memang rumah ini kecil, jadi setiap aku tidur di sini, aku selalu berbagi ranjang dengan Rebecca.“Apa kamu sudah memberitahunya?” tanya Rebecca kemudian, ketika aku sudah selesai membilas kloset dan kini sedang membungkuk di depan wastafel sambil membersihkan mulutku.Aku tercenung beberapa saat, me
Adrian POV.“El, aku ingin makan—“ kalimatku terhenti ketika menyadari jika wanita yang berdiri menyusun buah di atas nakas itu adalah Margareth.“Apa ada yang ingin anda makan tuan muda?” dia menoleh dengan senyum samarnya.Aku menggeleng.“Lupakan.” Dengusku lalu menarik selimutku dengan malas. Sudah lebih dari seminggu aku terkurung di di rumah sakit ini. Entah itu nenek atau dokter Antony tetap memintaku untuk tinggal meskipun aku memaksa pulang.“Anda merindukan Elisabeth?” tanya MArgareth kemudian.Aku pura-pura tak mendengar. Sejujurnya aku sering memimpikan gadis itu. bagaimanapun juga, meskipun merasa sudah berkhianat kepada Lilly, aku tetap tak bisa melupakan Elisabeth begitu saja. Aku mencintainya, itulah hal yang tak bisa hatiku bohongi. Dia adalah seorang gadis yang sudah merubah warna abu-abu di hidupku menjadi lebih berwarna. Meskipun ada satu hal yang membuatku kecewa pada
Elisabeth POV.Aku menghentikan taxi yang ku tumpangi setelah menyeka air mataku yang tak berhenti jatuh sejak dari rumah sakit tadi. Setelah memastikan penampilanku sedikit lebih baik, aku segera turun setelah membayar sejumlah uang pada sopir tersebut.Aku pulang sendirian, Rebecca tiba-tiba memintaku untuk pulang lebih dulu karena ada urusan. Entah apa urusan yang membuatnya sampai tega memintaku naik taxi sendirian, padahal aku sedang hamil muda. Tapi aku yakin ini pasti urusan tentang pria yang dikencaninya.Taxi baru saja menderu meninggalkanku ketika pandanganku tertuju pada seseorang yang berdiri di seberang jalan. Pria itu menatapku dengan raut datar sekaligus sendu.“Elisabeth.” Panggilnya pelan.Aku menarik nafas dalam. Sejujurnya ada hal yang ingin sekali aku lakukan pada pria itu dan mungkin inilah saat yang tepat. Aku mengayunkan langkah dengan sedikit terburu dan….PLak!Sebuah tamparan keras da
Elisabeth POV.Sebuah tangan mengelus perutku dengan lembut sebelum akhirnya sebuah kecupan mendarat di keningku.“Apakah kamu yakin tidak merasa lelah setelah seharian berdiri?” Adrian menatapku dengan sungguh-sungguh.Aku menggeleng. Meskipun ku akui kakiku sedikit pegal karena acara pesta pernikahan kami tadi siang yang mengharuskanku mengenakan heels hampir seharian ditambah dengan kondisi hamil, namun semua itu tidak menyurutkan keinginanku untuk bercumbu sepuasnya malam ini dengannya. Seorang pria tampan yang kini menjadi suamiku.“Aku baik-baik saja….” jawabku setengah berbisik dengan nada menggoda.Adrian mengulas senyum. Dengan pelan ia mengangkat tubuh ringanku dan menjatuhkannya di atas kasur dengan gerakan lembut.“Aku tidak mau anakku terusik.” Dalihnya yang ku sambut dengan tawa kecil.“Terserah…namun malam ini aku begitu menginginkanmu.” Aku menoleh kearah je
“Baiklah....aku menerima lamaranmu...” suara itu begitu merdu terdengar di telingaku. Membuat tubuhku yang sudah merasa menggigil ini tiba-tiba terasa menghangat. “Benarkah?!” aku melebarkan senyum. Takut jika apa yang baru saja kudengar salah karena deru ombak ditambah angin ini sangat menganggu pendengaranku. Dia mengangguk, kembali memperlihatkan senyum bulan sabitnya yang mempesona. Aku menarik nafas lega. Akhirnya setelah beberapa kali mengajaknya menikah, tepat sore ini di sebuah pantai di kota Busan, Korea Selatan, dia menerima lamaranku. Tak menunggu waktu, kuraih jemari lentiknya dan kupakaikan sebuah cincin bermata biru safir itu di jari manisnya. Jari itu tampak terlihat semakin cantik
Hawa dingin langsung menyapaku tatkala aku baru saja turun dari pesawat pagi ini. bandara Budapest Ferihegy terlihat megah dan bersih, tak banyak berubah dari kedatanganku setahun yang lalu. Ya, biasanya aku akan datang kemari setahun sekali, untuk memperingati ulangtahun mama dengan Andreas—papa tiriku. Namun belum genap setahun, aku sudah haru kembali ke sini dan meninggalkan semua aktifitasku di Jakarta. Itu dikarenakan mamaku sakit. Itulah kabar yang aku dapat dari Rebecca—sepupuku kemarin. “Ada penyumbatan di jantung tante Lita. Dia membutuhkan operasi segera.” Kata gadis itu dari balik tetepon dan tentu saja
Adrian pov. Apa kalian pernah mendengar bernafas tapi tak hidup? Mungkin inilah yang tengah aku rasakan selama dua tahun terakhir ini. jika memang hidup selalu dipenuhi oleh berbagai macam keajaiban, mungkin aku sedang menunggu hal itu. karena setelah semua kejadian itu, bagiku hidup adalah bencana. Aku selalu berusaha untuk mengakhiri ini semua, namun mungkin Tuhan terlalu baik padaku. Karena semakin aku mencoba, jiwaku selalu terselamatkan. Jika nenek selalu merapal doa tiap malam di kamar dinginnya nan gelap agar aku sembuh, aku juga melakukan hal yang sama namun dengan permintaan yang berbeda, yaitu aku selalu memohon pada Tuhan jika hidupku tak berarti, ambil saja karena aku sudah tak butuh itu semua. Aku tahu jika aku sakit, tapi bukan ragaku. Melainkan is