Share

7. Harapan

Rumah megah bergaya Eropa klasik itu terlihat lengang. Mobil Tara memasuki halaman luas dengan bunga everglow menyambut sepanjang pagar. Di tengah halaman ada sebuah kolam dikelilingi beraneka ragam bunga anggrek dan mawar. Dulu Rosa suka sekali menghabiskan waktu merawat bunga-bunga. Sekarang kegiatan itu diambil alih asisten rumah tangga sepenuhnya. Di samping pohon palem yang berjajar ada bonsai kesayangan Frans, ayah Tara. Bonsai-bonsai itu ditata rapi dan selalu dipangkas secara teratur oleh Mang Kus sang tukang kebun.

Tara keluar dari mobil disambut oleh angin yang bertiup memainkan rambutnya yang diikat ekor kuda. Dia segera masuk ke dalam rumah. Sepi. Hanya ada Mbak Ina yang membersihkan meja ruang tamu.

"Belum pada pulang, Mbak?" Tara meletakkan ranselnya sembarang.

"Den Brian belum, Non, tapi kalau Den Alex sudah. Sekarang lagi di kamar."

"Ya sudah, Mbak. Oh, iya, untuk makan malam aku mau tumis kangkung dan telur setengah matang seperti biasa."

"Baik, Non. Segera mbak buatkan." Mbak Ina langsung menyudahi pekerjaannya kemudian menuju dapur untuk memasak. Tara suka makan sayur dan buah. Dia selalu berusaha menjaga berat badannya agar tetap ideal. 

Tujuan Tara adalah kamar Alexandra. Dia ingin meminta penjelasan kakaknya soal Brian kemarin malam.

Pintu kamar terbuka, kakaknya terlihat sedang duduk di karpet sambil memainkan gitar.

"Katanya mau ke sekolahku?" tagih Tara yang masih ingat janji Alex.

"Maaf, Sayang, kakak ada urusan tadi."

Sebuah bantal berbentuk donat diraih Tara, lalu duduk bersila di dekat kakaknya.

"Jadi apa keputusan Kak Brian?"

"Dia tetap ingin menyerahkan hak asuhmu ke mama."

Tara membuang napas berat. Dia sudah tidak mempunyai harapan lagi.

"Baiklah ... akan segera aku kemasi barang-barangku ...." Tara bersiap bangkit hendak menuju kamarnya tapi Alex segera menahan tangannya.

"Aku akan melawan Brian," ucap Alex menatap mata Tara tajam. Tara sendiri bingung sekaligus merasa aneh mendengar Alex tidak memanggil Brian dengan sebutan 'Kak'.

"Ada apa? Apa yang sedang terjadi, Kak?"

"Semalam aku berusaha membujuk Brian. Tapi dia tetap ingin kamu tinggal sama mama karena aku tidak mampu jadi contoh yang baik untukmu. Dia mengataiku. bahkan kakakmu yang sempurna itu kemarin menyebut kita sampah. Iya, kita memang sampah, parasit, tidak berguna, be--"

"Kak!" potong Tara. Dia tidak tahan lagi mendengarnya. Saat dia sedang bimbang dan terpuruk kedua kakaknya malah bertengkar. Tara hanya ingin diperhatikan tapi mereka berdua malah saling lempar tanggung jawab! Dadanya serasa ditindih beban berkilo-kilo, sesak sekali. "Aku harus bagaimana?! Aku hanya punya kalian sekarang!" teriaknya sambil terisak-isak. 

Alex segera merengkuh kepala Tara ke dalam dadanya. Dia mengusap-usap belakang kepala adiknya itu. 

"Papa meninggal tiga tahun lalu! Mama sedang asyik dengan anak barunya, Kak Brian sibuk dengan perusahaan, dan Kakak sendiri jarang ada di rumah. Menurutmu aku harus bagaimana, Kak?!" Tara terengah-engah habis mengatakan itu. Hidungnya kembang kempis, air mata tak berhenti meleleh di pipinya yang mulus.

"Sssttt .... Aku ada di sini sekarang. Aku tidak akan kemana-mana lagi, Tara." Alex mencoba menenangkan.

"Bohong!" teriak Tara, dia mendorong bahu Alex yang tadi masih memeluknya. "Kalian semua egois! 

"Tara ...."

"Kakak tahu saat aku berlatih memainkan baton semalaman? Tidak ada yang bangga saat drumbandku juara. Mang Kus yang selalu datang mengambilkan raportku, kalian ke mana? Aku jadi pemeran utama di pentas seni sekolah, apa kamu datang melihatku?! Tidak! Karena aku tidak penting bagi kalian!"

Saat itu juga hati Alex remuk. Dia tidak menyadari bahwa adik perempuan kesayangannya selama ini sangat menderita. Saat Tara kesepian dia justru bersenang-senang dengan temannya.

"Maafkan, Kakak, Tara ...."

"Dan sejujurnya tadi aku menunggumu di sekolah. Kamu berjanji menemuiku. Kamu bilang akan menjelaskan semuanya. Aku menunggu ... aku berharap Kakak datang, tersenyum lalu melambaikan tangan kepadaku. Mengajakku makan bersama sambil cerita. Tapi itu tidak akan terjadi, bukan?"

"Sayang, maaf .... aku--" Tara menampik tangan Alex saat mencoba menghapus air matanya. Dia berdiri lalu beranjak meninggalkan kakaknya di kamar.

"Tara! Kamu mau ke mana?"

Pikiran Tara benar-benar kusut. Hatinya serasa ingin meledak sekarang. Tangisnya juga tidak bisa berhenti. Dia berlari menuruni anak tangga kemudian menyambar kunci mobil yang tergeletak di meja ruang tamu.

"Tara! Jangan pergi!"

Dia tidak peduli dengan panggilan kakaknya. Tara masuk ke dalam mobil. Terlihat Alex berlari-lari dari belakang mengejarnya, segera dia menginjak gas lalu pergi meninggalkan rumah dengan memacu mobil secepat mungkin.

Alex kalang kabut, motornya sedang di bengkel. Dia tidak bisa membiarkan Tara menyetir dalam keadaan seperti itu, tapi juga tidak mungkin mengejarnya dengan berlari.

"Aarrghhh! Alex menjambak rambutnya sendiri. Dia kembali masuk ke dalam rumah untuk mengambil handphone-nya lalu menghubungi Tara.

Tut ... Tut ....

"Ayo Tara angkat," kata Alex geram, mondar-mandir di dalam kamar. Sudah tiga kali dia mencoba menghubungi, tetap tidak diangkat.

***

Di dalam mobil Tara masih menangis. Dia terus menyetir tanpa tujuan pasti. Merasa kelelahan dan lapar akhirnya dia memutuskan untuk berhenti di pom bensin. 

"Sial!" umpatnya, dia baru sadar tidak membawa uang sama sekali. Beruntung dia menemukan uang receh dari dalam mobilnya. Itu cukup untuk sekadar membeli roti dan air mineral. Sambil makan dia mengeluarkan handphone dari saku. Ada banyak sekali panggilan tidak terjawab dari Alex, pasti kakaknya sedang khawatir sekarang.

Tara mencoba menghubungi Maria. Dia berencana menginap malam ini.

"Kamu di rumah?" tanya Tara tanpa basa-basi setelah panggilannya tersambung.

'Tidak. Habis dari mall aku diajak ke rumah Oma. Kenapa?'

"Aku mau ke rumahmu. Baliknya kapan?"

'Aduh, di rumah tidak ada orang. Besok kan libur, jadi aku menginap di rumah Oma. Ada apa sih?'

Tara sampai lupa besok hari libur nasional. 

"Tidak ada apa-apa. Hanya ingin menginap saja, lagi malas di rumah," jawab Tara bohong. Dia tidak mau merusak liburan Maria. "Ya sudah, aku tutup teleponnya. Bye," ucapnya mengakhiri pembicaraan.

Terlintas untuk menginap di rumah Antoni, tapi segera Tara urungkan niatnya mengingat temannya yang satu itu sangat genit. Tidur serumah dengan Antoni sama saja masuk ke kandang macan.

"Nathan ... iya Nathan," gumam Tara. Jarinya langsung mencari nama Nathan di handphone-nya. 

"Nat, kamu di rumah?"

'Rumah? Kos maksudmu?'

Nathan tinggal di kos karena dia adalah perantau. Sekolahnya dibiayai salah satu saudaranya yang kaya karena dia yatim piatu. Belakangan dia kos sendiri karena tidak betah tinggal bersama keluarga saudaranya yang terus-terusan memanfaatkan tenaganya. Peringkatnya anjlok. Akhirnya Nathan memilih untuk keluar dari rumah yang mewah itu daripada semakin tertekan.

"Iya. Di kos maksudku."

'Ada. Kenapa memangnya?'

"Aku menginap di situ, ya?"

'Hah?! Apa?!' Nathan kaget, hampir tidak percaya apa yang baru saja dia dengar.

"Pokoknya aku ke situ sekarang." Tara memutuskan telepon tanpa menunggu persetujuan dari Nathan. Setidaknya ada tempat untuk dituju, begitu pikir Tara. Dia yakin Nathan tidak akan berani macam-macam padanya. Dia tahu benar sifat Nathan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status