Share

6. Diskusi

Bel tanda pelajaran berakhir berdering nyaring. Siswa berhamburan keluar kelas seperti tawanan yang baru saja bebas. Tara keluar ruang laboratorium Kimia dengan muka kusut, begitu juga dengan ketiga temannya. Praktikum titrasi oksireduksimetri membuat mereka pusing tujuh keliling. Beruntung mereka berempat tidak jadi satu kelompok. Kalau itu terjadi kelompok mereka akan menjadi kelompok dengan nilai terburuk.

"Praktikumnya sih menyenangkan, cuma ngikutin langkah-langkah yang disuruh Pak Abu. Tapi soalnya itu loh, susah sekali seperti mengalahkan Benteng Takeshi." Antoni bersungut-sungut.

"Memangnya kamu mikir? Bukannya kamu hanya titip nama saja?" sindir Nathan. Dia jarang bicara, tapi sekalinya bicara kata-katanya setajam pisau. 

"Sebagai siswa yang baik, aku tetap berusaha berkontribusi ke kelompokku."

"Kontribusimu cukup dengan diam dan tidak membuat rusuh," sahut Tara. Dia hafal benar kelakuan Antoni yang tidak pernah serius.

"Jadi bagaimana?" Maria mengalihkan pembicaraan, dia sudah muak membahas Kimia di luar jam pelajaran.

"Soal Tara sama Deva?"

"Iya, Nathan. Kamu yang paling bijak, tolong beri usul atau ide lain mungkin."

"Sebenernya aku tidak setuju. Terlalu beresiko. Sudah kelas XII jangan main-main lagi. Dulu Tara pacaran sama Kevin karena cari popularitas, kalau sekarang tingkatannya lebih tinggi. Menyangkut masa depan Tara."

"Aku juga tidak setuju kamu pacaran dengan Deva. Sama aku saja, lebih tampan dan kaya," goda Antoni. Disambut dengan toyoran ke kepalanya oleh Nathan.

Keempat sahabat tersebut duduk berdiskusi di bawah pohon ketapang, menikmati cemilan dan minuman kaleng. 

"Kamu sendiri keberatan tidak pacaran sama Deva?" tanya Maria ke Tara.

"Aku tidak keberatan sama sekali meski dia bukan tipeku. Lebih baik pacaran dengannya daripada tinggal di rumah mama."

"Kamu bicara begitu seolah-olah Deva bisa membuat nilaimu benar-benar naik," sela Nathan.

"Kamu tidak sedang cemburu, kan?"

"Tentu saja tidak."

"Lalu soal pesan yang mengatakan bahwa kamu sayang sama aku itu apa maksudnya?"

"Aku hanya khawatir saja. Kamu terlihat sangat frustrasi saat mendapat nilai nol kemarin," sanggah Nathan. Tapi dalam hati kecilnya dia mengakui, dia sangat sayang Tara.

Antoni sibuk mengunyah makanannya, sedangkan Maria hanya menyimak percakapan antara Tara dan Nathan. Dia menarik benang merah, bahwa Nathan sangat mengkhawatirkan keadaan Tara. Saat sedang serius mendengarkan perdebatan, mata Maria menangkap pemandangan menarik. Deva terlihat mengejar-ngejar seorang siswi. Sepertinya mereka bertengkar.

"Aku harus bagaimana lagi, Bella?"

"Tidak. Tidak usah melakukan apa pun lagi. Tetap saja seperti itu, sibuk dengan buku-bukumu. Jangan hiraukan aku!"

Suara mereka terdengar sayup-sayup. Deva mengejar Bella yang sudah masuk ke mobil, meninggalkannya sendirian di tengah terik matahari. Laki-laki berkulit terang itu terlihat sangat putus asa.

"Jadi itu pacarnya. Sepertinya tidak asing," gumam Tara.

"Mereka pacaran?" tanya Maria.

"Mungkin. Kemarin Deva meminta saran hadiah apa yang cocok untuk seorang perempuan dan mungkin gadis itu yang dia maksud."

"Itu namanya Bella. Anak kelas X yang terobsesi ingin jadi seperti kamu." Antoni menambahkan informasi.

"Kamu kenal?"

"Semua yang berhubungan dengan siswi cantik di sekolah ini, Antoni pasti tahu. Lagi pula sudah jadi rahasia umum, kok," ujarnya bangga. "Perhatikan gayanya, rambut bahkan sepatunya, mirip sekali dengan punya Tara."

"Aku jadi tak enak harus merebut Deva darinya ...."

"Kamu buta, ya? Jelas gadis yang bernama Bella itu tidak ada rasa dengan Deva," sahut Nathan. Intuisinya jarang sekali meleset.

"Jadi boleh?"

Nathan salah tingkah dimintai persetujuan oleh Tara seolah dia adalah orang yang spesial. Tara masih menunggu. Mata mereka bertemu beberapa detik cukup membuat perut Nathan terasa aneh, seperti puluhan kupu-kupu berterbangan di dalamnya.

"Boleh. Tapi dengan syarat, kalau sudah pintar ajarin kita-kita," jawab Antoni mewakili.

"Setuju. Aku tidak mau kalau kamu pindah sekolah." Maria memeluk Tara, mengusap punggungnya dengan sayang. "Calon adik iparku."

"Hahaha!"

Mereka berempat kompak terbahak. Dahulu Maria memang pernah suka dengan Brian. Sikap Brian yang dewasa membuatnya kagum. Dia menceritakan perasaannya pada Tara. Alih-alih mendapat dukungan, Tara malah memberi peringatan agar tidak menyukai kakaknya. Soalnya Brian adalah tipe manusia yang mementingkan karir di atas segalanya.

"Kamu masih menyukai Brian, Maria?" Nathan penasaran. Itu sudah dua tahun lalu.

Maria tidak segera menjawab. Dia sengaja begitu agar semua penasaran. Sejujurnya perasaannya kepada Brian sekarang tidak penting lagi. Dia juga tidak akan siap kalau menjadi pacarnya yang sangat sibuk.

"Kalau perasaanmu sama Kak Brian sudah hilang, aku siap menggantikannya, Maria."

Plak!

Lengan Antoni sontak langsung dicubit Nathan, disusul oleh Tara dan Maria. Mereka bertiga berebut mencubit dan menggelitik cowok mata keranjang tersebut. 

"Hahaha ... Hei stop! Aku bisa ngompol di sini."

Bukannya mereda Nathan semakin gencar menggelitik pinggang Antoni. Tanpa sengaja tangan Antoni mendorongnya sampai menimpa Tara yang berada di samping.

Lagi-lagi mata mereka beradu. Kali ini lebih dekat sampai Nathan bisa merasakan hembusan napas gadis berparas dewi ini di wajahnya. Dia membeku. Otaknya mungkin ikut terlempar entah ke mana karena sekarang dia hanya diam sembari tangannya menapak tanah menahan tubuh.

Maria menarik lengan Nathan. "Mau sampai kapan mandangin Tara? Kasihan dia ketindih."

"Ehm ... sepertinya ada yang mulai ada rasa." Antoni tidak melanjutkan ocehannya karena langsung ditatap tajam oleh Nathan. 

"Aku tidak apa-apa," ujar Tara sambil membersihkan rumput-rumput yang menempel di seragamnya. "Kalian tidak ada acara?"

"Aku jam lima nanti ada les." Nathan berusaha mencairkan suasana agar tidak canggung.

"Ya sudah kita pulang saja, aku ada janji dengan Kak Alex. Kalian bagaimana?" tanya Tara pada Maria dan Antoni.

"Kita mau ke mall, mau beli sepatu. Iya, kan, Antoni?"

"Aku sih hanya cuci mata. Siapa tahu bertemu dengan kembarannya Tara."

"Kalau Tara punya kembaran, dia juga tidak mau sama kamu."

Tara hanya tersenyum melihat tingkah kedua temannya. Ingin sekali bisa berlama-lama di sekolah, menghabiskan waktu bersama Maria, Antoni dan Nathan. Tapi Kakaknya pasti akan marah kalau dia pulang terlalu sore. 

Keempat sahabat itu berpencar. Antoni dan Maria berboncengan, Nathan naik ojek online, sedangkan Tara mengendarai mobil kesayangannya. Langit menuju senja berwarna kemerahan mengantar mereka ke rumah masing-masing. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status