Share

Bab 8. Syarat

“Dompetmu...,” sahut Langit disabar-sabarkan.

“Oh, eh, biar aku sendiri, sekalian ambil bunga....” 

Bumi tersadar berkata-kata agak panjang dan tiba-tiba Langit mengunci mulutnya dengan jari telunjuk.

“Stt, aku pingin anterin ke sini. Nggak boleh?” kalimat Langit yang tepat di telinga Bumi membuatnya merinding. Tubuhnya mundur lagi. Ia tak ingin kejadian barusan terulang kembali. Sungguh tatapan Langit kadang membuatnya murka, tapi juga benci. Herannya, kenapa ia tak mampu menolaknya?

“Terserah, deh...” itulah yang akhirnya keluar dari mulut Bumi. Jawaban membuat Langit tersenyum di atas angin.

“Oke, aku pulang dulu, jaga dirimu baik-baik,” kata Langit pelan tapi tegas. Disambut anggukan Bumi. 

Keduanya menuju garasi. Dengan cepat Langit mengeluarkan KLX, memakai helm dan melajukan motor segera setelah melambaikan tangan ke Bumi. Malam merayap, gerimis mulai turun lagi.

@@@

Langit POV

Kejadian di ruko membuat hatiku terpenjara sempurna. Dara memang belum sepenuhnya kulupakan, tapi kebekuan dan sikap dingin Bumi mampu memunculkan keingintahuanku akan gadis manis itu. Bibir mungilnya ketika kulumat dan cara lembut dia menghadapi ciuman mautku serta tubuhnya yang menegang ketika bersentuhan denganku. Aku tahu tubuhnya tak bisa menolak. Tapi ada sesuatu dalam dirinya yang membuatnya ingin menolak, meski tak bisa. Aku merasakannya. 

“Argg...!” teriakanku toh tak membuatnya ke sini menemani malamku, bukan? Terlalu berharap hal yang berlebihan. Baru sehari ini aku kenal, dengan berbagai hal serba tak terduga. Telah sebegitu berani aku menciumnya? Cowok macam apa aku, huh! Yang kutahu, aku mulai menyukainya. Menyukainya? 

Besok pagi sekali, aku akan mengembalikan dompetnya. Ini salah satu caraku agar ada alasan untuk ke tempatnya. Ia sendirian di ruko. Kemana orang tuanya? Kenapa? Haruskah bertanya pada Pakde Tejo? Ada misteri di sana.

Malam ini, aku harus cek semua email perusahaan yang masuk. Hingga besok bisa leluasa ke tempat Bumi.

@@@

Author POV

Namun, itulah yang terjadi. Rencana tidak seperti harapan yang diharapkan. Hari berikutnya, Langit mulai sibuk dengan segala acara dadakan, yang mau tak mau harus diselesaikan. Pagi sekali, Pakde Tejo sudah memberitahu Langit panenan alpukat yang bermasalah karena pembelinya ada masalah dengan bank. Akan mempengaruhi pembayaran. 

Sebetulnya bukan tugas utamanya, tapi, tinggal di desa seperti ini, seorang CEO sepertinya hanya label semata. Toh, semua harus diselesaikannya sendirian. Langit mendesah, mengumpat, tapi tetap membereskan semua dengan sebaik-baiknya. Tak ada gunanya mengumpat atau menunda pekerjaan, akhirnya akan bermuara kembali kepadanya. Sungguh, Langit harus bersahabat dengan keadaan, pekerjaan dan kekosongan hatinya. 

Setelah menyelesaikannya, Langit ditelepon papanya harus cek tentang perkebunan krisan yang sekarang mulai beranjak membaik penjualannya. Setelah turun dan oleng karena adanya pandemi yang belum selesai keberadaannya.

Mau tak mau, Langit sibuk sampai tak bisa memikirkan hal lain. Bagaimanapun ia diberi kepercayaan oleh papanya dan tak boleh menyia-nyiakanya.

Sore hari, ketika pulang dari mengecek kebun krisan di beberapa tempat, Langit baru tersadar akan janjinya pada Bumi. Diselonjorkannya kaki di sofa ruang tengah. Mengeluarkan ponsel dan mencoba telpon lewat WA Bumi. Tidak diangkat. Diulangnya beberapa kali. Tetap saja tidak diangkat.

“Sh*t,” umpat Langit lalu berdiri mondar mandir. Kenapa juga harus lupa? Tadi Pakde Tejo juga terlalu sibuk. Langit sampai tak ingat bertanya akan Bumi padanya, motor Bumi, ponsel Bumi! Saking sibuknya? Keluh Langit tak habis pikir dengan dirinya sendiri.

Digantinya menelpon seseorang.

“Pakde?”

“....”

“Motor Bumi sudah diantar?”

“....”

“Ponsel?”

“....”

“Oh baiklah. Jadi sudah beres, ya?”

“....”

“Bebankan semuanya ke aku.”

Atau, haruskah ia membelikan motor baru untuk Bumi? Motor? Terlalu murah. Mobil! Otak Langit berputar hebat.

“....”

“Baik.”

Ditutupnya ponsel itu. Artinya, Bumi sudah mendapatkan ponselnya kembali. Langit bergegas membersihkan diri. Besok, ia ingin ke tempat Bumi. Dompet Bumi, ia telah berjanji ingin mengembalikannya.

Tapi yang terjadi di hari berikutnya adalah kesibukan yang menyita semua waktunya. Dari pagi hingga sore, cek kebun secara langsung. Membenahi yang perlu dibenahi. Hingga sore menderap dan malam menyapa. Meskipun dialah sang pemilik, Langit tidak dengan mudah meninggalkan pekerjaan. Di awal ini harus membuatnya lebih berjuang memajukan perusahaan yang telah dipasrahkan papa kepadanya. 

Hanya desahan Langit saja tiap telepon bahkan video call tak pernah diangkat Bumi. Berpesan melalui WA juga hanya centang biru dua. Bumi tetap bergeming, dingin, kembali tak tersentuh olehnya. Iapun tak pernah melihat Bumi mampir ke rumah Pakde Tejo. Padahal Langit selalu ingat malam itu. Malam ia benar-benar merasa dekat dengan Bumi. Kenapa Bumi?

@@@

Akhirnya, setelah sekian hari berlalu tanpa ia mampu bergerak sedikitpun untuk Bumi, pekerjaan mulai terkondisikan dengan baik. Sore itu, setelah bersahabat dengan kerjaan yang menggunung, Langit duduk sejenak di ruang tengah.

“Tehnya Mas Langit,” kata Bude Siti dari dapur yang disambut senyum kecil Langit. Diletakkannya secangkir teh itu di meja depan sofa. Bersama pisang goreng yang masih mengepul.

“Makasih.”

Bude Siti hanya mengangguk.

“Apa Bumi tadi ke sini?” tanya Langit.

“Mboten Mas Langit. Tumben juga. Biasanya anak itu wira wiri ke sini tiap hari. Ini kok berhari-hari tidak mampir. Nggak ambil bunga juga. Apa masuk angin ya katanya kapan hari kehujanan barengan Mas Langit?” terdengar nada khawatir suara Bude Siti.

“Waktu itu baik saja, sih,” sahut Langit tanpa cerita kalau saking capeknya Bumi pingsan.

“Baikah, mungkin dia sibuk.”

“Bisa jadi,” Langit mengangguk mengiyakan. “Eh sebenarnya Bumi itu anaknya siapa Bude?”

“Mimi itu anak kakaknya Mas Tejo. Sebenanya Mimi dulu tinggal di Semarang. Tapi karena ... eng... dia ditinggal calon suaminya, jadi....” Bude Siti menghentikan kalimatnya. Tampak sekali keraguan untuk melanjutkannya.

“Ditinggal calon suaminya?” Langit terhenyak.

Anggukan Bude Siti sukses membuat Langit melongo sempurna.

“Nggih.”

“Sudah lama?” keingintauan Langit tak terbendung lagi.

“Lumayanlah,” sahut Bude Siti cepat.

Jawaban itu mampu melunakkan netra Langit beberapa saat. Hembusan nafasnya tajam terasa. 

“Terus?” tanya Langit setelah beberapa saat mematung.

“Mimi kecewa sekali, entahlah kenapa calonnya membatalkan pernikahan. Malu kan sekeluarga. Akhirnya daripada stres Bumi diminta Mas Tejo ke sini. Bumi juga keluar dari pekerjaannya.”

“Oh....”

“Hanya saja, ia tak mau tinggal di rumah bareng Bude. Akhirnya dibelikan ruko sama papanya. Untuk jualan bunga sekaligus tempat tinggal Mimi.”

“Oh,” kembali Langit ber ohhh panjang sembari manggut-manggut. Tak disangka kisah Mimi sebelas dua belas dengannya. Iapun merasakan hal yang sama. Betapa sakitnya. Tanpa sengaja, sengalan nafasnya terdengar keras. 

“Makanya Bumi pendiam.” Langit berbicara pelan.

“Sebetulnya Mimi itu anak yang ceria dan menyenangkan. Setelah kejadian itu, ia jadi tertutup. Sekarang sudah mendingan Mas Langit. Anaknya sudah bisa senyum, bahkan tertawa.” 

“Begitu, ya?” tukas Langit. Baginya Bumi tetap sosok yang dingin.

“Sepertinya dia sekarang gemar menulis kembali. Sibuk sama laptopnya. Bude juga tak tahu Mas Langit. Tapi, Bude sering lihat kalau pas mampir rukonya, Mimi sedang sibuk ngetik sambil nungguin tokonya. Kalau bude tanya, katanya lagi sibuk dikejar det.. det....” 

“Deadline?” Lanjut langit.

“Nah, itu dia Mas, beneran Mas Langit. Bude ora ngerti boso Londo ngono kui,” Bude Siti terkekeh sendiri. Yang artinya dia tak mengerti bahasa luar seperti itu, diikuti senyum Langit.

“Yowes ya Mas Langit, Bude tak balik, sik,” kata Bude Siti sambil mengangguk sedikit ke arah Langit.

“O, ya, Bude, habis ini tolong siapin makan malam. Aku mau pergi nanti,” ujar Langit sebelum Bude Siti berlalu.

“Baik, Mas Langit,” sahut Bude Siti lalu mengangguk dan segera berlalu melalui dapur menuju pintu belakang untuk kembali ke rumah.

@@@

Malam beringsut mendekat, kabut memekat, pelan dan pasti. Gerimis mengundang. Langit sudah makan malam setelah tadi ia pesan ke Bude Siti ingin makan lebih awal. Ia ingin segera menemui Bumi. Gadis yang telah menyita seluruh perhatiannya.

Dalam mobil, langit ditemani lagi lawas Sting, Fields of Gold.

“You’ll remember me, when the west wind moves. Upon the fields of barley. You’ll forget the sun in his jealous sky. As we walk in fields of gold....” Langit lirih bergumam.

Lagu dengan ritme enak didengar di telinga. Gerimis sudah berganti hujan menderas. Di lereng pegunungan seperti ini, hampir tiap sore setelah kabut, rintik gerimis selalu menjadi teman setia. Apalagi di musim hujan. 

Tak butuh waktu lama, Langit sampai di ruko Bumi. Mobil dibawanya langsung melewati belakang. Parkir tepat di depan garasi ruko Bumi. Terlihat pintu garasi tertutup. 

Mesin mobil dimatikan dan keluar dari CRV. Berlari ke sudut garasi agar tak terkena rintik air. Diambilnya ponsel dan mulai menekan nomor Bumi. Namun diurungkannya. Terdapat bel berbentuk lonceng tepat di samping pintu garasi. Ia membunyikannya.

Sekali, hening.

Dua kali, sepi.

Tiga kali.

Terdengar suara langkah kaki mendekat. Mengintip dari lubang kecil di pintu. Kemudian dibukanya pintu garasi. Kepala Bumi muncul begitu saja.

“Hmmm.” 

Langit melihat sebal. Bukannya dibuka lebar malah di hmm doang?

“Boleh aku masuk?” 

Hanya pintu yang dibuka lebih lebar, menyilakan Langit masuk ke dalam. Pintu garasi ditutup Bumi kembali. Baru terpampang jelas begitu manisnya Bumi dengan baju kesehariannya. Hanya memakai kemeja gombreng lebar hingga tampaknya ia tak memakai bawahan. Langit melotot dibuatnya. Rambutnya digerai berantakan begitu saja. Ya ampun, mau dari posisi manapun juga Bumi tetaplah gadis yang madu. Langit menelan salivanya berkali-kali.

Terlihat kaku, Langit tak menuju dalam. Bumi yang berjalan terlebih dahulu menuju pintu yang berhubungan dengan dapur menghentkan langkah, menoleh ke belakang.

“Beneran aku boleh masuk?” 

Pertanyaan Langit sedikit menggoda.

“Atau mas Langit mau pulang?”

 Jawaban sekaligus pertanyaan itu mampu menggumpalkan kekesalan buat Langit. Namun ditahannya. Nih, cewek, bisa sejutek itu? Langit benar-benar tak habis pikir.

“Hei,” Langit tak tahan lagi. Ditariknya lengan Bumi mendekat ke tubuhnya. Bumi menegang beberapa saat. Kemudian mundur beberapa senti. Bukannya diam, Langit terus mendekat hingga Bumi terus mundur sampai ke pintu dapur yang terbuka.

“Stop, deh,” ujarnya perlahan menahan dada Langit. Suaranya bergetar tak karuan.

“Haha....” Langit terbahak. Kena deh, Bumi. Mulut Bumi mengerucut. Ia tak menyangka Langit mempermainkannya. Sial!

“Pasti kamu udah mikir macam-macam, kan?”

“Huh!” 

Bukannya marah, Langit makin terbahak. Diacaknya rambut Bumi pelan. Awalnya ragu, ketika Bumi tetap diam dengan wajah cemberut, Langit terus mengacaknya. Lalu, senyap menggantung. Ditatapnya wajah Bumi yang langsung melengos dan masuk ke dapur mungil, langsung ke kiri menuju ruang tengah. Langit mengikutinya masih menahan tawa. 

Keduanya duduk di sofa. Laptop Bumi hidup di atas meja kecil. Sepertinya Bumi sedang sibuk.

“Ehm, kopi?” tanya Bumi pelan.

“Wedang jahe aja kayak kamu,” tunjuk Langit ke mug di samping laptop. Ada wedang jahe masih mengepul di sana.

Bumi mengangguk langsung ke dapur membuatkan wedang jahe. Sedangkan Langit, tanpa sengaja menatap layar laptop yang masih menyala. Melihatnya sekilas. Lebih jelas. Ada beberapa foto di sana. Dan ia tertumpu pada seseorang. Dahi langit berkerut. Kedua alisnya terlihat hampir menyatu.  

“Mas,” suara Bumi mengejutkan Langit. Ia menyodorkan mug berisi wedang jahe yang panas mengepul.

“Makasih,” sahut Langit dan langsung menerima kemudian meminumnya perlahan. 

Bumi duduk di karpet, menggeser kursor segera. Hanya tampilan layar menu bergambar Bumi memegang mawar dan krisan. Maduuuu.

“Harumnya,” puji Langit untuk wedang jahe Bumi.

“Hmmm,” dehem Bumi jutek. 

“Haha, kenapa suka wedang jahe?”

“Harum.”

“Itu saja?”

“Hangat.”

Jeduerrr! Suara petir tanpa prolog. Tubuh Bumi sampai terlonjak kaget. Langit segera menaruh mug di samping wedang jahe Bumi.

Pet!

Mati lampu. Hanya nyala layar laptop menerangi ruangan. Bumi dan Langit saling melirik. Tak berapa lama, hujan tercurah semakin deras. Petir menyambar tiada henti. Langit segera menyalakan senter ponsel. Sedangkan Bumi sibuk mematikan laptopnya, dalam diam. Mengambil ponsel yang berada di samping laptop, lalu mendesis lirih.

“Kenapa?” 

“Low bat,” sahut Bumi lirih. “Entar kuambil lilin.”

Bumi beranjak ke dapur, diikuti Langit dengan senter ponselnya. Lilin yang berada di laci itu dinyalakanya di atas meja makan. Kemudian dibawa kembali ke meja tengah.

Keduanya duduk di sofa dalam diam. Sesekali, Bumi menarik nafas panjang. Netra Langit memperhatikan dalam bayang besar lilin yang menerangi. Terlihat manis sekali dalam keremangan hanya bersinarkan nyala lilin begini. Kelihatannya, Bumi melamun.

“Kamu nggak takut tinggal sendiri? Mati lampu gini?” Langit memulai pembicaraan. Tetap tanpa jawaban.

“Bumi,” disentuhnya pundak Bumi.

“Ya?”

Ya Tuhan, cewek ini, masih sempat melamun ada aku di sampingnya? Rutuk Langit tak habis pikir.

“Kamu tak takut tinggal sendiri...?” ulangnya sekali lagi.

Bumi hanya menggelengkan kepala. Senyap makin menggantung. Detak jantung Langit seperti kuda berkejaran di lapangan. Ada apa dengan dirinya?

“Bawa dompetku?” tanya Bumi akhirnya. Disambut Langit dengan menepuk jidatnya beberapa kali. Mata Bumi membelalak.

“Nggak bawa?” cecarnya ketus.

“Ehm....”

“Mas,” netra Bumi menajam. Bukannya menjawab, Langit menatap intens mata Bumi, terus dan mengungkung wajah Bumi dengan kedua tangannya.

“Kubawa.”

Badan Bumi mundur. Mencoba menarik tangan Langit ke bawah. Bukannya melepas, tapi malah membuat Langit makin mengungkung wajahnya. Dimajukannya wajah tampan itu persis di wajah Bumi. Sampai hidung kedunya berhimpitan.

“Aku pasti kasih ke kamu tapi ada syaratnya,” desis Langit parau.

@@@

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status