Terdapat adegan dewasa, ya.
Selamat membaca.
“Kau menyukainya?” tanya Langit. Tak bergeming.
“Bumi!”
“Aku nggak tahu,” jawab Bumi, tapi ia mengeratkan pelukan Langit.
“Kita pacaran!” tegas Langit yang langsung membuat Bumi merenggangkan pelukan.
“Mas.” Bumi hendak protes. Tapi telunjuk Langit segera menutup mulut mungilnya.
“Nggak ada penolakan!”
Digandengnya tangan Bumi menuju meja makan.
“Kita makan dulu, aku lapar menahan diri lihat kamu,” ujar Langit kembali menatap Bumi tanpa kedip. Mau tak mau Bumi ikut duduk, berpangku tangan bingung. Ia masih kenyang dan merasa canggung dengan kejadian barusan.
“Temenein aku saja,” pinta Langit, akhirnya Bumi mengangguk. Menatap gerak gerik Langit saat mengambil nasi, mengambil lauk, lalapan dan sambal. Kemudian makan dengan semangat. Kadang, Lang
Author POV Langit terus terlelap, sedangkan Bumi duduk lesehan di karpet dan mulai serius mengetik. Sesekali ia menoleh ke Langit, kemudian fokus lagi ke laptop. Mata yang berat membuatnya mulai tak fokus. Diselesaikannya 2 buah artikel dan langsung dikirim melalui email. “Done,” bisiknya segera mematikan laptop. Melihat layar ponsel dan membalas beberapa chat dengan cepat. Dingin yang menyeruak membuatnya sedikit menarik selimut besar yang dipakai Langit. Menutupi tubuh dan matanya mulai terpejam. Dengan kepala disandarkan di sofa, tepat di bagian pinggang Langit. Kakinya berselonjor begitu saja. Tak butuh lama, Bumi langsung tertidur nyenyak, dengan posisi tak enak yang nyaman saja dalam kondisi ngantuk berat. Menjelang mentari muncul, kebekuan hadir tanpa ampun. Netra Langit membuka perlahan. Awalnya biasa saja, kemudian menatap nanar sekeliling, tampak berpikir jernih, menyatukan nyawa. Melihat ke samping kanan, dan melotot mendapa
Tatapan itu, membuat Langit tak karuan, ia ingat waktu Bumi pingsan dan lemas saat kehujanan di awal mereka kenalan.“Udah sarapan?”Menggeleng.“Ya ampun Bumi!”Gegas Langit berdiri.“Kamu di sini aja, nggak boleh kemana-mana,” titah Langit tegas. Kemudian keluar tanpa mengucap sapatah katapun lagi. Terdengar suara KLX membelah keheningan pagi menuju siang. Sebetulnya Bumi ingin bertanya, tapi tak mampu mengeluarkan suara sedikitpun. Entahlah kenapa tubuhnya mendadak menggigil. Dinaikkannya kaki ke atas sofa, duduk bersila dengan tangan memeluk bantal sofa kecil yang ada di sana.Tak berapa lama, suara KLX terdengar kembali. Langit datang membawa bungkusan dan ditaruhnya di meja ruang TV. Memandang Bumi khawatir.“Kau pucat sekali, Bumi, makan, ya,” katanya dengan punggung tangan ditaruh ke kening Bumi. Hangat. Bumi diam saja.“Tak apa, paling karena
“Maksudnya?” tanya Bumi bingung.“Kamu punya musuh?” tanya Langit lebih jelas.Bumi tampak berpikir sambil menatap Langit masih kebingungan kemudian menggelengkan kepala.“Beneran?” Langit memastikan.“Musuh?” Bumi bergumam sendiri, menggelengkan kepala lagi. Rasa-rasanya ia tak pernah memiliki musuh. Aneh sekali pertanyaan Langit.“Baiklah kalau begitu,” kata Langit tersenyum. Diusapnya pipi gadis eksotis itu lembut. Bumi menjauhkan wajahnya, membuat Langit tertawa.“Udah makan?” tanya Langit penuh perhatian.Drrttt, drttt. Langit membuka ponselnya.“....”“Dicantel depan?”“....”“Oke, oke, makasih.”“....”Langit menutup ponsel.“Aku pesan makanan, tak suruh taruh d
Ada adegan dewasanya, ya.Bijak yuk memilih bacaan. Selamat membaca.“Ya,” sahut suara itu tak kalah pelan.Bumi mematung. Kenapa lelaki itu datang kembali, setelah kemarin ke ruko, ketemu di minimarket dan sekarang? Dihelanya nafas kuat-kuat, lalu menghembuskannya pelan. Raga sudah tahu rukonya, entahlah ia tahu darimana. Namun, tak perlu dipertanyakan, banyak cara, lagipula Bumi tak berniat sama sekali untuk lenyap. Ia hanya ingin menjauh, dan menghindar. Ia dulu, sempat menjadi bagian dari Raga, jadi kenapa harus panik jika bertemu lelaki itu? Karena gagal nikah, karena belum mampu memaafkan, karena belum bisa melupakan?Tak diperhatikannya ketika Raga telah melewati sisi kecil dan berada tepat di depannya, menatap sepenuhnya.“Maaf, mengganggumu,” kata Raga masih dengan tatapan intensnya ke Bumi. Bumi mendongak, menatap mata elang itu sesaat. Tuhan, bagaimanapun juga ia masih m
Bumi menoleh, melotot kesal. Bagaimanapun juga pikirannya jadi kemana-mana. Minuman enak?“Haha, mau?” kembali Langit menarik tangan lengan Bumi, Bumi mengabaikan terus berjalan ke dispenser mengambil air minum dan meneguknya beberapa teguk. Langit menunggu di sampingya.“Kau mau bilang kita tak ada komitmen?” tanya Langit.Lirikan Bumi tepat di mata Langit, kemudian mengerling. Ah, dia tak ingin larut dalam kesedihan, tak mau!Namun kerlingan mata itu, ya ampun, hanya begitu saja mampu membuat Langit berpikiran liar kembali. Madu banget di hadapannya gadis eksotis ini.“Atau kau takut berkomitmen?” Langit bertanya lebih tegas.Kembali Bumi melirik, meneguk air putih kembali. Sedangkan Langit malah melihat bagian bawah leher Bumi, kemeja Bumi masih terlepas, masih terpampang jelas di sana, membuat gai**h Langit muncul kembali. Merasa dilihat, Bumi terkesiap, menaruh gelas dan menutup kedua sisi
Langit mengantar Bumi dan ia sebenarnya tak ingin langsung pulang, tapi Bumi harus menyelesaikan beberapa tulisannya. “Jadi aku harus langsung balik?” tanya Langit sedikit kecewa. Dilepaskannya helm Bumi dan keduanya berada di depan garasi belakang ruko. “Hmmm,” sahut Bumi berdehem. “Baiklah,” kata Langit setelah beberapa saat berpikir. “Jaga dirimu baik-baik,” lanjut Langit kemudian mengacak rambut Bumi dan segera bersiap di atas KLX. “Bye,” ucap Langit disertai lambaian tangan ke Bumi dan dibalas lambaian tangan serta senyuman madu. Dibukanya pintu garasi, Bumi masuk dan segera menutupnya kembali. Hari ini dia merasakan kesedihan tapi juga kegembiraan membuncah. Karena Langit? @@@ Desau angin pagi masih kentara sekali ketika Bumi bangun keesokan harinya. Rencananya hari ini ia akan ke pasar tradisional, memasak kemudian mengambil bunga krisan dan mawar ke tempat Pakde Tejo. Dengan daster batik selutut, di
“Apa-apaan kau?” Langit bergerak cepat mendekat, menarik Raga untuk berdiri. Sebuah pukulan mengena telak di wajah tanpa bisa dielak Raga.“Arg!” Raga terpukul mundur, mengusap ujung bibirnya, menahan murka.“Mas!” Bumi berdiri susah payah, mencoba berdiri di antara Langit dan Raga. Menoleh ke keduanya dengan bingung.Sedangkan Raga, tak terima, mendekat Langit ingin membalas. Waspada, Langit pasang kuda-kuda. Nafasnya memburu tak beraturan.“Hentikan, Mas, hentikan Raga!” teriak Bumi bingung dan jengkel jadi satu.“Minggir,” seru Langit ke Bumi, mencoba menarik gadis itu untuk minggir.“Aduh.” Bumi meringis, melihat ke sikunya yang terluka, bagian lengan terdapat sobek sedikit membuat Langit ternganga.“Kenapa kau?” tanyanya memegang lengan Bumi, mengamatinya dengan jelas. Sedangkan Raga, dengan su
Aroma rambut Bumi semakin meluapkan Langit memeluk kencang pinggang gadis semampai itu. Hingga Bumi merenggangkan kalungan tangan di lehar. Menarik wajah dari Langit.“Apakah kita akan seperti ini terus?” tanyanya dengan mata berkabut dan nafas memburu.“Menurutmu?” Langit ganti bertanya tak paham, matanya penuh kabut, lebih malah. Dieratkannya pelukan yang sempat berjeda.“Kita,” jawab Bumi lirih. Ia semakin merenggangkan kalungan tangan, turun ke pinggang Langit.“Maumu kayak apa?” Langit menundukkan wajah, menatap lekat wajah madu itu setiap incinya. Dipahatkannya lekat dalam ingatan.Hanya gelengan kepala jawaban Bumi, makin merenggangkan pelukan. Dalam diam, keduanya saling bertatapan. Tak lama, Bumi mengalihkan pandangan ke sudut lain, menghirup nafas dalam-dalam. Ada bagian lain dari hatinya yang belum sembuh. Ia tak ingin Langit berharap begitu banya padanya