Share

Scene 2

Jam terbangnya masih tiga puluh menit, di dalam sebuah restoran di bandara Internasional John F. Kennedy Althea duduk dengan satu nampan penuh burger keju dan segelas cola. Itu cukup mencolok, beberapa pengunjung yang kebetulan lewat di mejanya sampai menatapnya takjub. Apa karena porsi makannya yang tak biasa? Ayolah! Burger ekstrak keju adalah makanan paling enak di dunia, semua orang harus mencobanya. Lagi pula, dirinya hanya makan enam bungkus saja. Ini sedikit, biasanya ia bisa makan lebih dari ini. Sungguh pencapaian yang sangat wah, kalau dirinya punya waktu luang ingin sekali ia mengikuti acara makan burger keju terbanyak yang sempat diadakan di Central Park beberapa bulan yang lalu. Sayangnya ia tidak memiliki waktu untuk itu, padahal event tersebut adalah sebuah kesempatan emas untuk dirinya mendapatkan burger keju gratis. Hah... Memikirkannya saja sudah membuat Althea galau. 

Penampilan Althea hari ini sangat simpel, hanya memakai kemeja polos biru tidak di kancing dengan dalaman kaos abu-abu bertuliskan Baby Bear, lengan panjang kemeja di gulung hingga siku, di pergelangan tangan kiri melingkar sebuah arloji yang memiliki kesan vintage kental, celana jeans hitam melekat pas ditubuh bagian bawahnya, sepatu trekking berwarna hitam biru melekat gagah di kedua kakinya, dan rambut cokelatnya di kuncir kuda. Cukup sederhana. 

“Ho... Lihat siapa yang sedang makan di sini?” Tanya seseorang, Althea mendongakkan kepalanya. Seorang pemuda berambut cokelat pucat berdiri di depannya dengan wajah merendahkan.

“Oh, selamat siang Sir. Kruger.” Sapa Althea menampilkan senyum paksa yang terlihat mengerikan.

“Apa anda baru saja kembali dari tugas?” Tanya Althea basa basi, pemuda itu adalah James Kruger, usianya satu tahun lebih tua dari Althea. Seorang jurnalis di divisi pemberitaan satu. 

“Ku dengar, kau akan di tempatkan di negara konflik, apa itu benar?” Tanya James, ia menarik kursi di depan Althea. Gadus yang memiliki manik mata emerald itu menatap heran, kenapa James bisa tahu berita itu padahal ia baru saja sampai dari tugas meliputnya di Inggris. 

“Tentu saja aku tau berita itu, aku punya banyak koneksi. Dan, apa yang kau lakukan sampai Mr. Vierlicht memberimu job ini?” Seakan bisa mengetahui keheranan Althea, James terus bertanya tanpa memberi jeda. Althea menautkan alisnya, binar matanya tampak tak terima dengan perkataan terakhir James.

“Apa maksudmu?” Tanya Althea, James menopang dagu panjangnya menggunakan satu tangan. Bibirnya menyeringai tajam. 

“Kenapa kau pura-pura tidak tau Erdritter, bukankah kau juga melakukan hal yang sama seperti saat melakukan tes magang. Nona curang, kau pasti menggunakan nama keluargamu itu. Benarkan, Erdritter?” Pemuda berdagu panjang ini benar-benar menguji kesabarannya, bisakah setiap kali bertemu ia tidak membuat Althea naik darah. 

“Itu tidak ada hubungannya dengan nama keluarga Kruger, asalkan kau tau. Begitu juga dengan job untuk di daerah konflik, jika kau ingin sekali meliput disana silakan saja dengan senang hati aku mundur. Karena masih banyak hal di dunia ini untuk di liput selain peperangan,” 

“Kau bisa minta langsung pada direktur dan aku akan mengirimkan resi penolakan padanya dan merekomendasikan kau sebagai pengganti, apa itu cukup untuk membuatmu tak mengganggu ku?” Althea tidak bisa mengalah pada kalimat James yang membuatnya kesal, mau bagaimanapun ia tidak salah. 

“Haha... Hebat sekali ya Erdritter, apa mungkin kau di tiduri dulu oleh Mr. Vierlicht agar dapat posisi ini dan kau bisa melakukan apapun di Sunburn. Sungguh memalukan, jalang.” Althea memejamkan matanya erat berusaha meredam rasa marahnya, ini tempat umum. Ia tau James hanya memancing amarahnya, ia tidak boleh terpancing. 

“Kruger, kita sudahi saja pembicaraan tak berguna ini. Apapun yang aku katakan pasti tidak akan terdengar seperti sebuah pembelaan yang benar di telingamu, aku menyerah untuk terus berdebat denganmu.” Althea mengambil dua sisa burger kejunya, mengambil tas ransel serta jaketnya lalu berjalan keluar dari restoran meninggalkan James yang tampak kesal.

BRAK

James memukul mejanya keras, hingga beberapa pengunjung dan pelayan tampak terkejut “Hanya karena punya beking bagus dan dengan mudahnya masuk Sunburn, dia besar kepala sekali.” Geramnya.

Althea tidak paham dengan orang-orang seperti James, perjalanan karirnya sebagai jurnalis di Sunburn benar-benar tidak mulus. Dengan mudahnya mereka menarik kesimpulan sesederhana itu padahal ia juga sama-sama berjuang seperti yang lain, sama-sama ikut merasakan kesulitan masa magang. Bukannya ia ingin beradu nasib dengan semua orang di perusahaan tapi saat dirinya masuk Sunburn ada banyak tekanan yang ia dapat. Tak banyak karyawan yang bisa di jadikan kawan olehnya di tempat itu, hanya ada beberapa saja. 

Hari ini Althea  memiliki jadwal kunjungan ke sebuah negara, bukan karena dirinya orang penting untuk negara ini. Ia hanyalah seorang jurnalis yang terlalu mencintai kamera, tapi bukan berarti segala sesuatu di depan matanya akan segera langsung ia tangkap atau abadikan begitu saja. Mungkin ia adalah tipe pemilih dalam menentukan objek seperti apa yang layak untuk masuk ke dalam memori kameranya, baik itu gambar maupun video. Ia cukup cermat dan sensitive terhadap pemilihan objek apalagi jika itu untuk di sebar luaskan melalui media televisi, radio, dan internet. Althea harus sangat selektif, meskipun dia membagi liputan dalam dua kelompok; hitam dan putih.

Setelah puas mengisi perut ( meski berakhir dengan mood buruk ) Althea bergegas untuk check-in karena sebentar lagi pesawatnya akan segera berangkat, sebenarnya ia tidak tau tempat mana yang harus ia kunjungi di Indonesia. Mrs. Clinton hanya menugaskannya di negara tersebut dan membebaskannya untuk memilih daerah mana yang akan ia liput, dan sekarang ia bingung harus ke daerah mana. Indonesia itu luas, ia harus segera memutuskan kemana ia akan berkelana mencari berita. Tunggu dulu! Mrs. Clinton tidak mengatakan apapun soal tujuan pesawat yang di tumpanginya, sial... Althea lupa bertanya dan tidak melihat tiketnya terlebih dahulu, sekarang ia sudah berada di dalam pesawat yang benar saja. Rasanya ia memang harus merutuki diri sendiri yang terkadang pelupa ini. Benar-benar sial.

“Permisi tuan,” Althea berusaha bertanya pada salah satu penumpang yang duduk di sebelahnya, seorang pria tua.

“Ya?” 

“Kalau boleh tahu, kemana tujuan pesawat ini?” Tanya Althea, pria tua itu tampak heran pada gadis pemilik rupa yang tidak bisa di remehkan ini. Kenapa bisa ada orang yang naik pesawat tidak tau tujuannya kemana, pria tua itu menatap Althea penuh selidik. Merasa di curigai oleh si pria tua, Althea nyengir kuda.

“Anda tidak perlu curiga begitu tuan, saya adalah seorang jurnalis. Tadi saya tidak sempat melihat kemana pesawat ini akan terbang, atasan saya yang membelikan tiketnya dan saya lupa tidak menanyakan.” Jelas Althea, pria tua itu semakin menatap curiga si gadis. Althea meringis kecil, di keluarkan nya kartu identitasnya sebagai seorang jurnalis. Si pria tua tampak terkejut melihat logo Sunburn pada tanda pengenal itu.

“Kau jurnalis Sunburn?!” Kagetnya, Althea tersenyum kaku.

“B-begitulah hehe.” Jawab Althea terkekeh kikuk.

“Kau pasti jurnalis yang sangat berbakat ya, di usia semuda ini?” Ujarnya sambil membolak-balik tanda pengenalnya. 

“J-jadi tuan, kemana pesawat ini akan terbang?” 

“Kau tau Yogyakarta, Indonesia?” Althea berpikir sejenak, sebelum pergi tadi malam ia sempat selancar di internet untuk mengetahui berbagai macam kota di Indonesia dan sepertinya ia juga membaca tentang Yogyakarta. Beruntung! Dari artikel yang di bacanya kota itu sangat bagus dan ia juga bertanya pada Mr. Graham, beliau juga merekomendasikannya. Ia tak sabar hal menarik apa yang akan menunggunya disana.

“Terima kasih untuk informasinya, tuan.” 

“Tentu itu tidak gratis anak muda.” Pak tua itu menyeringai.

“Hah?” Apa ia harus bayar untuk informasi yang baru saja di dapat, pak tua itu menyodorkan ponsel pintarnya. 

“Sebagai bayaran maukah kau berfoto denganku, kapan lagi aku bisa bertemu dengan jurnalis dari Sunburn.” Pintanya, Althea tertawa kecil. Astaga ia pikir pak tua ini akan meminta bayaran hal-hal aneh, ternyata hanya berupa foto.

“Tentu saja tuan, dengan senang hati.” Althea menyanggupi permintaan si pria tua, setelah berswafoto. Pramugari mengingatkan kalau pesawat akan segera lepas landas meninggalkan bandara Internasional John F. Kennedy. 

°°° 

Mrs. Clinton membawa langkahnya terburu-buru, pagi tadi Clara datang ke ruangannya dengan membawa surat pemberitahuan tentang Althea yang akan bertugas ke negara konflik setelah pekerjaannya di Indonesia selesai. Tentu saja dirinya terkejut, Althea adalah asetnya untuk divisi pemberitaan yang di pimpinnya saat ini. Ia tidak bisa membayangkan jika sesuatu yang buruk terjadi pada Althea itu. 

“Apa maksud anda memberikan job pada Althea Erdritter ke negara konflik, bukankah masih ada jurnalis yang lebih senior?!” Mrs. Clinton tidak bisa menahan amarahnya ketika berhadapan langsung dengan Hanz Vierlicht.

“Saya tertarik dengan caranya meliput berita, saya kerap mendengar dari beberapa karyawan divisi pemberitaan tiga kalau Althea Erdritter adalah jurnalis yang bisa membedakan liputan hitam dan putih. Jarang-jarang sekali ada jurnalis yang seperti itu bukan? Dan lagi, melihat setiap liputannya itu sangat menarik dari segi angle gambar, itu menonjolkan objek yang di rekam ataupun di foto olehnya. Jika, ia bisa mengambil liputan hitam dan putih di Medan perang tentu itu akan semakin menambah ketenaran Sunburn bukan?” 

Mrs. Clinton menggeram, pria ini sudah gila! 

“Sunburn sudah terkenal sejak lama, mungkin apa yang Althea lakukan tidak akan berpengaruh sama sekali pada Sunburn. Dia hanyalah jurnalis yang melakukan apa yang di kehendaki oleh hatinya sendiri, kau tidak bisa mengaturnya seperti boneka walaupun kau atasannya sekalipun. Gadis itu memiliki aspirasinya sendiri, aku sangat minta tolong padamu Hanz jangan membuat aset berharga seperti Althea tidak nyaman di Sunburn.” Meninggalkan sopan santunnya pada Hanz, Mrs. Clinton memohon, pria pirang itu tampak menimbang-nimbang perkataan wanita di depannya ini. 

“Tenang saja Clarence, aku tidak akan melakukan hal buruk pada Althea. Dia hanya ku tempatkan di negara konflik, aku merasa setiap kali anak itu datang ke kantor seperti orang tertekan saja. Aku berpikir dengan menempatkannya disana akan membuatnya sedikit rileks, kau tidak perlu khawatir jurnalis se-jenius Althea tidak akan ku lepas begitu saja.” 

BLETAK

Clarence melemparkan high heels nya ke kepala Hanz, wanita itu tampak sangat emosi “Kau sangat bodoh, Hanz! Mengirimnya meliput peperangan?! Bagaimana kalau nanti Althea pulang hanya tinggal nama, sialan?!” Bentaknya, Hanz terdiam. Ia menatap Clarence dengan mata membulat sempurna.

“Aku tidak memikirkan itu!” 

BLETAK

Satu lagi high heels melayang ke kepala pirang Hanz, “Atasan bodoh! Itu sama saja kau mengirim karyawan mu ke malaikat maut! Sebenarnya apa yang ada dalam kepalamu itu? Apa kau mengganti otakmu dengan potongan kentang goreng?! Segera tarik dia sebelum terlambat!” 

“Aku tidak bisa, datanya sudah ku berikan pada militer.” 

“Kau benar-benar bodoh!” Pekik Clarence nyaris melemparkan kursi pada Hanz yang kini berwajah pucat.

Clarence sepertinya perlu menggantung bos bodohnya ini di atas obor patung Liberti.

°°°

Hujan deras mengguyur kota Yogyakarta malam ini, sudah satu jam sejak pesawat yang di tumpangi Althea dari New York. Gadis itu masih berada di emperan bandar udara internasional Adisutjipto, melihat jarum pada arloji silvernya yang sudah menunjuk pukul delapan malam membuat Althea menghembuskan napas lelah. Ia ingin segera sampai ke villa, perjalanan sejauh 16.335 km dari new York ke Yogyakarta membuatnya ingin segera berjumpa dengan tempat tidur. Hujan belum juga reda sejak tadi, manik emerald bergulir pada sebuah taksi yang terparkir tak jauh darinya. 

Althea mengetuk kaca mobil taksi tersebut, si pengendara menurunkan kacanya “Excus me.” 

(Permisi.)

“Yes miss, can i help you?”  Tanya sang supir, wow... Althea cukup takjub, ternyata pria ini bisa juga bahasa Inggris.

(Ya nona, bisakah aku membantumu?)

“can I go in, here cold.” Pinta Althea, meski sudah memakai jaket tetap saja ia kedinginan. Pria yang terlihat sudah beruban banyak itu mengangguk mempersilakan Althea masuk ke dalam mobilnya. 

(Bisakah aku masuk, di sini dingin.) 

“I didn’t think that Indonesia now  the rainy season.” Althea melupakan penelusurannya mengenai cuaca di tempat yang akan di singgahi, salahkan atasan pirangnya yang telah membuat Althea pusing

(Aku tidak berpikir kalau Indonesia saat ini sedang musim hujan)

“This year, some province in Indonesia are indeed in the rainy season, miss.” Sahut si sopir, Althea menganggukkan kepalanya mengerti. Gadis cokelat itu merogoh saku jaketnya, mengeluarkan secarik kertas dari dalam sana dan memberikannya pada pria tua di balik kemudi. 

(Tahun ini, beberapa provinsi di Indonesia memang sedang musim hujan,nona)

“please, carry me to this address.” 

(Tolong, bawa aku ke alamat ini)

Pria tua yang mengenakan kemeja biru itu tersenyum ramah sembari menerima secarik kertas dari gadis cantik ini, tanpa mengatakan kalimat apapun lagi. Taksi yang di tumpangi Althea melaju meninggalkan bandara. 

“From which country you come, miss?” Tanya sang sopir di sela hening perjalanan mereka.

( Dari negara mana anda datang, nona?) 

“New York, America.” Jawab Althea sambil tersenyum. 

“Welcome to Indonesian, miss.” Sambutnya membuat Althea menyunggingkan senyumnya lebih lebar lagi.

“Thank you, sir.” Jawab Althea.

Membutuhkan waktu tiga puluh menit untuk sampai ke alamat yang diberikan Althea pada sang sopir taksi, hujan telah berhenti hanya menyisakan rintik-rintik samar. Setelah membayar pemuda tinggi tersebut bergegas turun dan berjalan memasuki wilayah villa. Seorang penjaga villa menyambut Althea dengan ramah, untuk kesan pertama yang ia temui di negara yang di sebut sebagai paru-paru dunia ini cukup bagus. 

Villa milik Mrs. Clinton terlihat minimalis, hampir seluruh bangunan terbuat dari kayu jati yang di poles dengan pernis cokelat. Ada beberapa ukiran di kusen pintu dan jendela, halamannya cukup luas. Beberapa semak-semak tumbuh teratur, sepertinya penjaga villa ini sangat baik menjaga keasrian tempat ini. Althea meletakkan tas ranselnya, membiarkan tubuh lelahnya duduk pasrah di atas kursi kayu. Kepalanya agak pusing sekarang, ia kelelahan. 

Althea memejamkan matanya guna menghilangkan rasa pusing sebelum ia membersihkan diri dan benar-benar beristirahat di atas kasur, belum ada sepuluh menit ia tidur dering ponsel mengganggunya. Tanpa melihat id si penelepon, Althea mengangkatnya. 

Suara wanita menyapa indera pendengarnya, “Althea, kau sudah sampai?” 

“Ya, aku sudah sampai beberapa menit yang lalu.” Jawab Althea, terdengar ucapan syukur dari wanita yang menjadi atasannya di divisi pemberitaan tiga.

“Tadi Kruger mengacau di ruangan Mr. Vierlicht, dia bilang kalian bertemu di bandara.” 

Althea tidak ingin mengingat hal itu, ia membenarkan posisi duduknya. “Ya, kami memang bertemu. Dia terlihat kesal padaku karena tugas yang di beri Mr. Vierlicht, kalau bisa saya ingin mengajukan resi penolakan pada beliau.” 

“Kau akan menyerah begitu saja, Althea? Kalau kau menyerah justru itu akan membuat si jambul ayam merasa menang dan benar, aku tau kau juga bekerja keras untuk pekerjaan ini bukan?” 

“Saya hanya memilih jalur aman, jika langkahku justru membuat orang seperti Kruger mengganas lebih baik begini.” 

“Aku menolak keras pengajuan resi itu, Mr. Vierlicht sudah menunjukmu. Data sudah di kirim ke pihak militer, tidak bisa di tarik kembali.” 

Hela napas Althea makin berat saja. “Saya tau ini akan terjadi, Mrs. Jika Kruger tetap ngotot ingin mengambil job itu, bisakah saya mendapatkan pekerjaan tanpa harus kembali ke kantor Sunburn?” 

Tidak ada balasan dari seberang, sepertinya wanita berambut silver itu sedang menimbang-nimbang permintaan Althea.

 “Kau sudah lelah bekerja di Sunburn, kau baru saja memulai karir mu.” 

“Tidak, saya belum lelah. Hanya saja mungkin saya perlu waktu untuk kembali memberi laporan ke kantor, anda pasti paham betul dengan karyawan di Sunburn. Saya hanya menghindari konflik di dalam perusahaan.” Althea menatap lampu di atasnya yang bersinar remang, pikirannya melanglang buana entah kemana.

“Kau lari dari kenyataan Althea, kau membiarkan mereka hidup dengan spekulasi tentang dirimu yang salah.” Sebuah ucapan lirih dari wanita yang sudah Althea anggap sebagai kakaknya. Ikatan rambut terlepas, helaian cokelat yang lepek karena terbasahi air hujan menggerai jatuh melewati pundak. 

“Mrs. Clinton, ada kalanya seseorang harus lari untuk menyiapkan mental agar bisa menghadapi kenyataan. Dan, saya sedang berada di fase itu. Anda tidak perlu khawatir, jika sudah saatnya saya akan kembali dan menghadapi mereka yang berspekulasi buruk tentang saya.” Althea hanya bisa memberikan kalimat penenang itu, mengatakan kalau semuanya berada dalam kendali dirinya.

“Saya tutup telponnya.” Ucap Althea karena merasa tidak ada balasan dari Mrs. Clinton, sambungan telepon terputus. Althea berdiri dari duduknya, menarik tas carrier abu-abunya dari kursi sebelah. Ia membawa langkahnya masuk kedalam kamar. Althea merasa harus hibernasi untuk memulihkan pikiran, hati, serta fisiknya. 

°°°

“Sir, ini data jurnalis yang akan melakukan liputan di perbatasan.” Seorang pria pirang berkumis tipis di atas bibirnya memberikan sebuah map pada pria berwajah Asia yang duduk di balik meja kerjanya.

“Ku harap bukan jurnalis cengeng yang akan meliput.” Ucapnya, pria pirang berpangkat letnan itu tersenyum geli sambil menggosok bawah hidungnya.

“Anda tidak perlu khawatir Sir, jurnalis yang di kirim berasal dari media informasi terpercaya. CNN, Sunburn, Tew York Times, dan tiga perusahaan media lain. Jurnalis mereka tidak akan mengecewakan.” 

°°°

BERSAMBUNG

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status