Share

Bab 3 Kejutan

Desember 2000

Matari memakai sarung tangan ekskul panahnya saat Abdi mendekat. Saat itu ekskul panahan akan mulai beberapa saat lagi.

“Lo lagi sibuk, Ri? Ekskulnya belum mulai kan?” tanya Abdi sambil memperhatikan Matari.

Matari merapikan anak panahnya dengan cepat. Pembina ekskul, Pak Adnan sudah tampak mengumpulkan peserta ekskul di kejauhan.

“Elo nggak main bola?” tanya Matari, tanpa menjawab pertanyaan Abdi sebelumnya.

“Minta nomor rumah lo dong, Ri.” jawab Abdi sambil mengambil bolpoinnya dari saku celana biru tuanyanya.

“Hah? Buat apaan? Tumbennn…” sahut Matari heran.

“Enggak, cuma mau nanyain soal mading.” kata Abdi.

Matari mengerutkan keningnya, kemudian menyebutkan nomor telepon rumahnya dengan cepat. “Udah ya, gue ekskul dulu.”

**************************************************************************

Keesokan harinya Matari tidak masuk sekolah. Malam sebelumnya dia demam setelah ekskul panahan selesai.

Seperti biasa, Eyang Putri memarahinya namun belakangan, tetap menyuruh Mbok Kalis merawatnya dengan sungguh-sungguh. Membawakan makanan, membuatkan bubur, memijat dan mengerokinya dengan pelan-pelan.

Menjelang siang, Eyang Putri tidak terdengar suaranya. Matari tahu, biasanya siang hari di minggu ketiga, setiap bulan, Eyang Putri pergi arisan. Arisannya sih sore, tapi Eyang Putri selalu membantu siapapun yang mendapat giliran rumahnya dipakai untuk arisan. Entah menyiapkan kue, membuatkan gelas-gelas berisi teh, merapikan dan menyapu rumah dan lain sebagainya.

Dan saat itulah Tante Dina masuk ke kamarnya bersama Sandra. Matari ingat, ini hari Jumat, Sandra sudah pulang lebih awal.

“Gimana, masih sakit, Nak?” tanya Tante Dina lembut, mendekati kasur tempat Matari tiduran.

“Lumayan, Tante.”

“Coba Tante cek suhu kamu ya. Kalau besok masih demam, kita ke dokter. Nanti Tante yang setirin. Besok kan Sabtu, Tante nggak kerja.” kata Tante Dina.

Tante Dina mengecek suhu dengan cekatan. Hal yang sudah biasa dilakukannya karena selama ini selalau mengurus Om Budi yang telah menderita diabetes bertahun-tahun. Om Budi sendiri masih terbaring lemah di kamar utama.

“Masih di angka 39. Kamu nggak papa? Apa yang dirasain? Kamu mau makan apa? Nanti biar Tante dan Sandra cariin.” kata Tante Dina lagi.

Matari cuma tersenyum lemah. “Nggak pengen apa-apa, Tante. Nanti biar Mbok Kalis aja yang antar.”

“Nggak bisa begitu, woi. Mendingan nurut nyokap gue deh, Ri. Justru Papa bisa dititipin ke Mbok Kalis sebentar. Papa udah baikan kok. Palingan seminggu lagi Papa bisa masuk kerja lagi ya, Ma?”

Tante Dina cuma tersenyum. “Nggak papa, Ri. Besok pagi kalau masih demam, Tante anter ke dokter. Nanti biar Tante yang bantu bilang sama Eyang.”

Matari cuma mengangguk pasrah.

Setelah berbasa-basi sebentar Tante Dina keluar dari kamar tidur Matari. Beliau selalu datang saat makan siang, mengecek keadaan suaminya. Kemudian kembali ke kantor lagi.

Sandra kemudian langsung tiduran dengan seenaknya di sebelah Matari sambil mengambil majalah An*ka Yess! milik Bulan dan membacanya sekilas-sekilas.

“Gue heran sama Eyang Putri ya, sekarang dia emosional banget ya? Dulu, tiap kali cuma main ke sini atau lebaran kayanya dia jarang marah tuh. Tapi sejak gue tinggal ama dia. Baru tahu gue kalo nada bicaranya tinggi juga. Apalagi kalau ngomong sama Mama. Sadis banget. Mentang-mentang sama menantu. Kesel banget gue.” kata Sandra membuka pembicaraan.

“Gue kan biasa ya makan depan tv sambil kakinya naik. Karena di rumah Mama juga nggak ngomel gue makan depan tv kaya gitu. Si Eyang Putri marah banget, katanya cewek harus tahu sopan santun. Anjiiirrrr, ini kan gue ya nggak bakalan bersikap kaya gitu kalau ada tamu atau di luar rumah.”

Matari terkekeh. “Makanya, gue selama ini, cuma mau makan kalau pas malam aja di rumah. Selain itu paling-paling hari minggu aja gue yang ikutin table manner. Tapi ini rahasia ya.”

“Eyang Putri kenapa sih, Ri?”

“Nggak tahu juga gue. Mungkin sejak kedatangan gue ama Bulan jadi kaya gitu. Kalau pas lebaran ya mungkin dia karena seneng, anak-anaknya pada pulang. Semua orang melayani dia. Mungkin lho yaaaa….”

“Jangan ngomong gitu dong. Nggak ada yang mau kali nyokap lo pergi secepet itu.”

“Yaaa, sama yang kaya lo rasain dulu. Gue pun merasa kalau pas dulu Eyang Putri baik banget. Apalagi pas masih ada Eyang Kakung. Inget nggak, dia kan hobi masak masakan Belanda, dulu jaman masih ada Eyang Kakung sering banget bikinin poffertjesdan kroket belandanya, rasanya juarak banget! Sekarang? Boro-boro. Masak sayur yang gampang aja ngomel-ngomel. Padahal Mbok Kalis banyak bantuin tuh.”

“Bener! Bener banget. Eyang Putri beda banget. Udah gitu gue kan sering kesiangan karena malam begadang nonton bola nemenin Papa, dia marah-marah. Papa sampe ngebentak Eyang Putri kemarin itu.”

“Oya?”

“Iyah. Dia bilang gini: Bu, udah biarin aja, namanya anak-anak masih labil. Kita yang dewasa harus pelan-pelan membimbing. Padahal Papa masih sakit tuh, ngebentak emaknya kaya gitu coba?”

“Trus?”

“Eyang Putri mana berani sama Papa. Tapi kalau Papa tidur ya marah-marah lagi. Elo sih ekskul mulu.”

“Maklum lagi sibuk. Eyang itu kalau gue sibuk karena acara sekolahan ngga protes. Makanya gue pun sering makan siang di sekolah aja. Males, kalau makan siang di rumah suka diomelin, katanya makan kok bunyi ngecap cap cap? Apa tuh cewek makan kok duduknya ngangkang? Hadehhhh, setreesss gue…”

“Kabur lu yeee…?”

“Ya elu kenapa ngga nongkrong, biasanya anak pramuka SEJATI kan lu!”

“Mana bisa, Papa lagi kaya gitu. Gue sadar dirilah.”

“Eh, lupa. Iya sih…”

“Ekskul lu masih panahan?”

“Masih. Sebenarnya Eyang agak kurang suka. Agak ya, gue bilang. Karena Eyang Kakung dulu hobi panahan juga, makanya dia nggak terlalu protes. Untung gue nggak gabung ekskul basket. Pasti bakalan diomelin karena bisa bikin itemlah, bau asem lah, keringatanlah dan lain-lain.”

“Bukannya panahan tu panas-panas juga ya?”

“Kagak, di sekolah gue di indoor sih. Soalnya lapangannya sering dipake anak basket ama anak sepakbola. Belom ekskul paskib nyempil Latihan.”

“Ada kejuaraannya nggak sih?”

“Ada. Tapi biasanya anak senior yang diikutin. Gue masih pemula sih. Tapi asik kok.”

“Ya, ya, ya… Udah, lo istirahat dulu. Nggak usah peduliin gue di sini.”

Matari tersenyum. Kemudian memejamkan matanya. Ada sedikit rasa senang di hatinya semenjak kehadiran Sandra. Mungkin karena seusia, jadi dia cukup bisa nyambung dengan berbagai macam topik anak seusia mereka.

***

Hari Sabtu pagi, Matari masih demam, meskipun sudah turun di kisaran 38 derajat. Untuk itu, Matari masih izin sakit di sekolahnya. Tante Dina mengantarkan dirinya ke dokter. Eyang Putri ikut serta.

Menjelang siang, Matari sudah merasa jauh lebih baik dan memutuskan untuk duduk di halaman belakang sambil memperhatikan ikan-ikan koi di kolam.

“Neng, udah baikan?” tanya Mbok Kalis sambil memberi makan ikan koi kesayangan Eyang.

“Lumayan, Mbok. Tinggal pusing sedikit. Tadi di kamar keringatnya keluar semua. Jadi cari angin di sini.”

“Kemarin siang, ada anak laki pakai seragam SMP deh, Neng, lewat di depan rumah, terus nanya sama Mbok, kan si Mbok lagi kebetulan abis dari warung. Nanya beneran rumahnya Matari Ayulaksmi Soedjojo bukan?”

“Oh ya? Kaya apa anaknya Mbok?”

“Lupa, Neng. Ya kaya anak laki seumuran Neng aja, hahahah.”

Matari menggeleng-gelengkan kepalanya, antara kesal dan geli dengan jawaban polos Mbok Kalis. “Trus nggak disuruh masuk?”

“Nggak, Neng, kayanya nggak berani kali sama Eyang. Tapi dia sempet tanya sakit apa? Si mbok jawab aja demam, meriang, nggak enak badan.”

“Trus?”

“Udah, kaya orang bingung gitu sih. Dua orang anak laki sebenernya. Cuma yang satu diem aja.”

Matari bingung dan sama sekali tidak punya pikiran siapa yang datang menanyakannya. Apalagi Mbok Kalis tidak benar-benar hapal ciri-cirinya.

***************************************************************************

Hari Minggu sore, Matari meminta izin pada Eyangnya untuk memakai telepon menanyakan PR untuk hari Senin, mengingat hari Jumat dan Sabtu dia tidak masuk sekolah.

“Jangan lama-lama ya.” Kata Eyang Putri.

“Yaelah yang, kaya interlokal aja. Paling sesama DKI.” Timpal Sandra dari depan tv.

“Heiii, ini berlaku buat kamu juga. Semua orang di rumah ini. Pokoknya tagihan telepon nggak boleh di atas 100RIBU, titik!” sahut Eyang Putri.

“Yang, justru kaya kita-kita ini telepon sejam juga masih murah. Temen-temen kita kan area sini semuanya. Kalau Eyang Putri, telepon Tante Marini aja bisa sejam, Banjarmasin tuh. Belum ke Om Wiryo, kadang nelepon ke HPnya.” tandas Sandra lagi.

“Kamu ya, jawab terus. Hei, sejam murah juga kalau keseringan jadi mahal. Emang kalian udah bisa menghasilkan uang sendiri? Bobok aja masih pada ditemenin.” kata Eyang Putri lagi.

“Enak aja, Sandra mah kalo di rumah tidur sendiri, Yang. Di sini doang aja bareng-bareng.” Sahut Sandra lagi.

“Sudah, SANDRA! CUKUP! Kasihan tuh si Matari mau nelepon temennya nanya PR jadi lihat kamu berantem dulu.” kata Tante Dina.

“Kasih tahu, Din, anakmu. Pasti sifat jelek nurun dari Mamanya ya? Anakku semuanya nurut.”

“Eyang Putri, sudah. Sudah. Kasihan tuh si Matari, sampe diem bengong gitu. Matari, ini kunci gembok teleponnya. Jangan lama-lama ya.” ujar Tante Dina.

Pada sekitar tahun 2000an, telepon rumah biasanya bisa dikunci atau ditambahkan kotak aklirik lengkap dengan gembok, agar pemilik dan anggota keluarganya tidak bisa leluasa menekan tombol nomor untuk menghubungi orang lain dan mengontrol pengeluaran telepon rumah yang bisa membengkak. Beda dengan jaman sekarang hampir semua orang punya telepon pribadi yaitu handphone.

“Halo? Lisa, sorry, besok ada PR nggak?” tanya Matari saat Lisa sudah mengangkat teleponnya.

Meskipun Lisa tidak pintar dalam mata pelajaran apapun, ingatan dia untuk tugas dan PR cukup baik. Hanya tidak pernah bisa mengerjakannya saja.

“IPS Sejarah, buka halaman 31, di situ ada essay itu dikerjakan. Terus Bahasa Indonesia di LKS (Lembar Kerja Siswa) dari hal 11 sampe 12. Semua.” Sahut Lisa.

“Banyak banget, Lis. Lu udah?”

“Belom. Lagi make kutek gue. Ntar aja, nunggu mood. Lu gimana, udah baikan? Besok masuk?”

“InshaAllah masuk, tapi kayanya sih nggak ikut upacara dulu.”

“Ikut dong, gue lagi mau dateng bulan. Nyeri. Ke UKS aja yuk?”

“Gue sih ada surat dokter. Lo emang bisa ngeles ke Bu Jen, penjaga UKS?”

“Nggak bisa, dia galak. Hmmm ya udah deh, gue tidur cepet aja kalau gitu.”

“PR lo?”

“Kerjain sebisanya aja. Besok datang pagi, mau nyontek punya Haidar.”

Haidar adalah anak paling pintar serta rajin di kelas mereka. Dan selalu datang paling pagi. Dan tidak pernah pelit berbagi jawaban PR.

“Gue juga deh.”

“Ya ampun, lo aja kemarin rangking 3. Masih mau nyontek?”

“Otak gue mampet banget, Lis. Gara-gara sakit.”

“Gue sih mampet terus, Ri, hehehe.”

“Matari, nggak usah banyak bercanda! Besok di kelas juga ketemu.” Suara Eyang Putri mengagetkan Matari.

“Udah, udah, tutup aja. Ntar panjang urusannya, Ri.” kata Lisa akhirnya yang sepertinya mendengar hardikan Eyang Putri.

“Iya, udah dulu ya, Lis. Thank you infonya.”

***************************************************************************

Senin itu, meskipun mendung dan hampir pasti akan hujan, upacara tetap berlangsung. Ruang UKS sudah penuh dengan anak sakit. Maklum, musim sakit FLU. Maka, Matari akhirnya hanya duduk di bangku panjang depan kelasnya. Wajahnya tampak pucat, setiap guru yang sedang keliling untuk patroli apakah ada anak yang diam-diam tidak ikut upacara, tidak perlu lagi menanyakan alasannya. Bahkan mereka menawarkan untuk menunggu di ruang Pramuka saja yang ada kasurnya. Namun Matari enggan, ruang Pramuka terkenal angker dan gelap.

Jaketnya dirapatkan. Udara Jakarta pagi itu begitu dingin baginya.

Setengah jam berlalu. Suara riuh di kejauhan menandakan upacara telah selesai. Beberapa anak mulai berlalu lalang melewatinya. Beberapa menanyakan keadaannya. Beberapa duduk di sebelahnya.

Sampai akhirnya Lisa datang.

“Aduh, kemarin lo nggak masuk dua hari. Sekarang gantian si Thea.”

“Lagi musim, Lis.” kata Gilang, wakil ketua kelas mereka. “Hari ini ada 3 anak yang nggak masuk. Thea, Rifki dan Opan. Semua sakit.”

“Lo masih pucet gitu, yakin mau lanjut sampe siang?” tanya Lisa pada Matari.

“Gue kalau di rumah tuh tambah sakit. Eyang marah-marah mulu. Bisa nggak sembuh-sembuh gue.” sahut Matari disambut derai tawa Lisa.

Abdi tiba-tiba datang mendekat. Menyerahkan susu kotak kecil pada Matari.

“Nih, buat lo.” kata Abdi sambil menyerahkan susu itu.

“Ciyeee, Abdi….” kata Gilang diikuti beberapa anak lain.

“Bukan, bukan dari gue. Sumpah!”

Matari tampak bingung sambil menerima susu itu. “Oke, makasih ya. Tapi dari siapa, Di?”

“Sumpah! Bukan gue. Kalian kok ngeliatinnya gitu sih.”

“Heiiii, kan elo juga kemarin Sabtu nanyain Matari udah masuk belum?” sahut Gilang sambil tersenyum jahil.

“Tapi bukan gue yang nanya. Gue cuma bantuin orang.” timpal Abdi sambil berbalik ke kelasnya.

“Eits, tunggu dulu, jagoan. Kasih tahu dong, siapa yang ngasih?” tanya Lisa sambil berusaha menghalangi Abdi.

“Nggak bisa sekarang. Nanti kalau udah saatnya gue kasih tahu deh, janji!” kata Abdi sambil berlalu cepat-cepat.

Lisa duduk di sebelah Matari yang tampak bingung. “Wah, gue yang wira-wiri di majalah Gadis, elo duluan yang ada pemuja rahasia.”

Matari menatap Lisa dengan bingung. “Hahaha, siapa ya, Lis?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status