Share

Bab 4 Abdi dan Iko

Matari menatap ruang ekskul Mading yang sepi seperti biasanya. Hanya ada Kak Citra yang sedang mengobrol dengan Kak Nana. Kak Seno tak terlihat di manapun. Bahkan Echa.

“Itu dia, Matari. Gimana Ri? Denger-denger lo abis sakit ya?” tanya Kak Citra.

“Si Seno pake bilang Matari kecapekan ngurus mading. Kita jadi enggak enak. Maap ya, Ri. Gue sekarang udah nggak akan bolos ekskul lagi, kok.”

Matari tersenyum. “Bukan, Kak. Emang lagi drop aja.”

“Oh iya, tadi Abdi nitipin ini buat lo. Roti sama susu kotak. Duh, enaknyaaaaa punya temen baik banget.” kata Kak Citra.

Matari menatap merk susu kotak yang sama yang diberikan Abdi hari Senin kemarin lusa. Roti yang diberikan pun roti yang bukan dibeli di koperasi atau kantin sekolah. Orang yang memberikannya pasti terlalu niat sampai membeli produk di luar sekolah.

“Sekarang Abdinya mana, Kak?” tanya Matari lagi.

“Udah main bola lagi tu. Nih tadi datang cuma nitip tas doang sama makanan buat lo itu.” sahut Kak Citra.

“Sendirian?”

“Enggak. Sama temen deketnya itu lho. Gue enggak tahu namanya. Yang sering sama dia.”

Matari mengangguk paham. Kemudian memasukkan roti dan susunya ke dalam tasnya sendiri.

***************************************************************************

Pulang ekskul, Abdi masih tak tampak kehadirannya. Matari memutuskan pulang. Sudah terlalu sore. Dia tidak mungkin hanya menunggu Abdi untuk menanyakan perihal susu tempo hari.

Dia berjalan pelan melewati lapangan bola. Abdi tampak ada di sana dengan anak-anak ekskul bola.

Matari akhirnya menunggu di pinggir lapangan dan mencari kesempatan untuk memanggil Abdi.

“Kata Pito, lo manggil gue?” tanya Abdi sambil menghampiri Matari di tepi lapangan.

Matari menatap Abdi. “Di, lo bisa kasih tahu nggak, ada apa dengan susu ini?”

“Hmmm, nggak bisa, Mat. Terlalu dini kalo sekarang.”

“Kenapa? Ini dari lo?”

Abdi menggeleng. Kemudian terengah-engah menatap sekilas ke team sepakbolanya.

“Terus, kalo bukan lo siapa?”

“Gue juga kesel dititipin gini, takut lo salah sangka. Tapi itu bukan dari gue. Udah deh, itu yang terakhir. Gue nggak mau dititipin lagi.”

“Lagi? Maksud lo bakalan ada lagi?”

Abdi mengangkat bahu. “Nggak tahu. Tapi gue nggak bisa kasih tahu sekarang itu dari siapa. Sorry ya, Mat. Udah ya, gue balik lagi. Udah sore, lo mendingan pulang daripada dicariin Eyang Putri lo deh.”

Matari menatap Abdi yang kembali ke lapangan. Di lapangan itu cukup banyak anak lelaki yang dikenalnya. Hampir semua dikenalnya. Dan dia sama sekali tidak memiliki petunjuk siapakah yang memberikannya susu dan roti. Apakah ada diantara mereka?

Kepopuleran Lisa sebagai G*dis Sampul tentu membuat dirinya cukup dikenal juga. Apalagi Thea juga menonjol di ekskul Basket. Dirinya tak lebih dari petugas mading. Namun petugas mading yang populer karena bergaul bersama anak-anak populer.

Lisa selalu mampu dengan pesonanya membuat orang-orang menoleh. Wajahnya blasteran arab dan Indonesia. Masih ada sedikit darah Inggris mengalir pula di sana. Rambutnya kecokelatan dan hidungnya mancung. Namun hampir semua orang di sekolahnya tahu, Lisa tidak pernah cukup pintar dalam bidang mata pelajaran apapun.

Thea, tinggi badannya hanya rata-rata. Namun dia tegas dan galak. Keangkuhannya bahkan terlihat saat dia berjalan. Dia sangat cocok jadi ketua kelas atau kapten tim apapun. Kecerdasannya rata-rata. Biasa saja. Rangking 15 dari 40 siswa sudah lumayan memuaskannya. Menjadi pemimpin sesuatu hal adalah salah satu cita-citanya. Nilai akademis belakangan.

Matari sendiri adalah gadis berwajah Jawa namun telah melebur dengan ibukota. Matanya bulat, hidungnya tidak mancung, tapi tidak pula sepesek itu. Bibirnya tipis. Wajahnya bulat namun tirus. Rambutnya bergelombang tanpa harus ke salon. Dan tentu saja tindikan diam-diam di telinga kanan atasnya adalah pencapaian pemberontakannya yang sedikit-sedikit pada Eyang Putrinya.

Matari bingung, jika ada cowok yang menaruh perhatian padanya, apakah benar-benar serius? Tidak salah orangkah? Bukan demi mendapatkan perhatian Lisa? Atau Thea?

**************************************************************************

Hari Sabtu Ayahnya datang membawa sepeda. Dia bilang itu hadiah jalan sehat. Karena Matari jalan kaki selama ini, Ayahnya akhirnya memberikannya pada Matari sebagai kompensasi agar bisa lebih cepat berangkat sekolah.

“Kalau mau coba, jangan jauh-jauh ya. Jangan keluar kompleks.” kata Ayahnya kemudian.

Matari berbinar. Dituntunnya sepedanya keluar rumah secara santai.

Baru beberapa kali mengayuh, tanpa disadarinya dia kehilangan keseimbangan dan terjatuh begitu keras.

“Kamu nggak papa?” suara seorang cowok di dekatnya.

Matari meringis menyadari luka dilututnya tanpa memedulikan cowok yang datang di dekatnya.

“Ke rumah saya dulu, yuk.” kata cowok itu.

Matari tampak bingung antara ingin menghargai ajakannya atau tidak enak karena baru bertemu saat itu.

“Nggak papa, kita tetanggaan kok, Ri. Saya rumah warna cream itu, yang ada pohon anggurnya. Nama saya Iko.”

“Kamu kenal saya?”

“Mama sih yang kenal sama Eyang kamu. Hehehe. Yuk masuk. Maaaa… ada cucunya Eyang Poer ni.”

Seorang wanita cantik berusia 40an keluar. Sebenarnya Matari tidak asing dengan wajahnya. Cukup familiar. Mungkin karena teman satu arisan Eyang Putri. Pasti beberapa kali pernah mampir ke rumah.

“Astaughfirullah, kamu habis jatuh, Ri?” tanya Tante itu saat melihat luka Matari.

“Sepeda kamu rantainya agak miring tuh, saya benerin dulu ya. Kamu biar dibantu Mama dulu buat ngebersihin lukanya.” kata Iko sambil masuk ke dalam.

Iko keluar lagi sambil membawa kotak P3K dan kotak perkakasnya yang berwarna abu-abu.

“Kamu tahu nggak nama saya siapa?” tanya Tante itu ramah sambil membersihkan luka Matari dengan air dan kapas.

“Nggak tahu, Tante. Hmm… Maaf ya. Saya jarang bergaul ke lingkungan sekitar.” sahut Matari sopan.

Dia sadar, rumah besar ini hanya berjarak 100 meter dari rumahnya sendiri.

“Nggak papa. Santai aja. Namanya ABG mah. Iko aja juga nggak kenal siapa-siapa. Kecuali keluarga Eyang kamu. Soalnya pernah ngomelin dia gara-gara parkir motor sembarangan di depan rumah kalian. Waktu kejadian apa ya tu, Ko? Udah lama banget kan…”

“Itu lho, Ma, waktu Iko mau fotokopi di deket rumah Eyang Poer. Kan lagi rame depan kios itu, Ma. Ya Iko parkirin aja di depan rumah Eyang Poer. Kan mereka nggak ada mobil keluar masuk, lagian kalo ada pun masih bisa lewat kok, Ma. Abis gitu diomelin dah. Galak bener Eyang kamu ya?”

“Hush, kamu nih. Masa ngomong gitu di depan cucunya? Kenalin ya, nama saya Indira. Kamu boleh panggil saya Tante Indira. Saya tahu banyak soal kamu. Eyang kamu sering cerita soal kamu dan Rembulan ya, kakak kamu. Sebenarnya Rembulan itu kakak kelasnya Iko sekarang. Tapi Iko nggak pernah berani nyapa. Soalnya nggak kenal. Apalagi kata dia neneknya galak.”

Matari meringis sambil melihat ke arah Iko yang sedang mengecek sepedanya. Iko tersenyum padanya. Rambut ikal Iko tampak bergerak tak beraturan ditiup angin sore hari.

“Makasih ya Kak, udah ditolongin. Makasih ya Tante, maaaf repotin. Jujur saya nggak tahu Eyang Putri kalau di luar arisannya sama siapa aja. Cuma emang wajah Tante cukup familiar sih.”

“Panggil gue Iko aja. Nggak usah kakak-kakakan. Kak Bulan sih masih gue panggil KAK karena dia senior gue hahahah.”

Matari cuma terkekeh mendengar omongan Iko. Dia tampak mahir membetulkan sepeda barunya.

“Iya emang kalau mau berangkat arisan kadang-kadang Tante sama Bu Aris suka nyamperin Eyang. Cuma Eyang sering udah berangkat duluan.”

“Eyang kan selalu bantu siap-siap sama yang rumahnya giliran buat arisan, Tante. Katanya kalau kita banyak ngebantu nanti mau minta tolong bantuan ke rumah tetangga manapun nggak sungkan-sungkan.”

“Betul kata Eyang kamu, Ri. Tante setuju. Nih, tinggal di plester terus kelar kok ya. Besok diangin-anginkan ya jangan ditutup plester terus. Biar cepet kering. Ini sementara aja biar ga kena infeksi. Ada alat P3K kan di rumah? Revanol punya nggak?”

“Kayanya masih ada sih Tante.”

“Maklum ya, Ri. Mama saya tuh pensiunan perawat. Jadi kalo hal kaya ginian udah biasa banget. Persediaan di rumah juga cukup untuk ngerawat luka orang sekompleks. Hahahaa…”

“Ihhh, Iko nih ya, suka banget ngeledekin Mamanya. Kamu nanti kalo udah kenal dia juga bakalan diledekin terus sama dia. Sering-sering main ke sini ya. Yah, walaupun umur kalian jaraknya cukup jauh, tapi Iko nih di sekitar sini nggak punya teman sama sekali. Minimal temen buat sepedaan. Daripada kelayapan terus naik motor.”

“Iya, Tante. Makasih ya. Sepedanya nggak papa kan, Ko?”

“Nggak papa. Masih baru ya? Tadi cuma rantainya agak miring aja. Mungkin gara-gara jatuh tadi itu lho, Ri.”

“Iya, dikasih bokap. Menang undian jalan sehat di kantornya. Trus karena dia nggak pake ya dikasih ke gue.” kata Matari sambil mendekat ke arah sepedanya sambil terpincang-pincang.

“Hmmm, kayanya sakit banget tu, Ko. Kamu antar ya ke rumah Eyang Poer. Bisa kan? Jalan kaki aja, biar Matari ngelemesin otot-ototnya juga.”

“Yah Mama, aku ada janji sama Kamal ni mau ke Gramed.” sahut Iko.

“Langsung aja ketemu di Gramed dari sini kan tinggal naik angkot sekali. Nanti Mama jemput.” kata Tante Indira tegas.

“Angkot? Nggak keren, Ma.”

“Ya udah, kalo gitu berarti hari ini terakhir naik motor ya. Besok kuncinya Mama sita.”

“Mamaaaa… tega banget…”

“Makanya anterin Matari dong. Dia mana bisa nuntun sepeda pincang gitu.”

“Hhhhh, iya, iya. Ri, tunggu dulu ya, gue kasih kabar temen gue dulu buat ketemuan langsung di Gramed.”

Iko berlalu masuk ke dalam dan terdengar menelepon dengan telepon rumah. Tante Indira cuma bisa geleng-geleng kepala.

**************************************************************************

“Jadi, lo masih ada kakak sebenarnya, Ko?” tanya Matari saat Iko bercerita sikap Mamanya mengenai dirinya naik kendaraan bermotor disebabkan karena kakaknya meninggal akibat naik kendaraan bermotor juga.

“Iya, walaupun udah lama banget kejadiannya. Cuma Mama tuh nggak mau terulang. Anaknya sekarang tinggal gue doang. Abang gue udah tenang di alam sana. Mama nggak suka gue ikut jejak abang naik motor juga. Sebenarnya gue ini sudah 17 tahun walopun kelas 1 SMA. Motor selama ini cuma buat pulang pergi ke sekolah aja. Gue nggak ikut balap liar kok kaya Abang gue. Gue tahu resikonya.”

Matari hanya mengangguk. “Iya, gue tahu nggak enak rasanya kehilangan orang yang kita sayang secepat itu.”

Iko menepuk bahu Matari dengan lembut. “Iya, Ri. Gue kehilangan saudara aja, setahunan kemudian gue baru bisa move on. Entah gimana rasanya kehilangan Mama. Makanya, lo kalau mau main ke rumah, main aja. Nyokap gue pasti seneng tuh ada anak cewek main. Ajak dong Kak Bulan. Tapi dia agak di luar jangkauan gue sih.”

“Maksudnya?”

“Lo tahu nggak, Kak Bulan kalo di sekolah itu kan masuk ke paskib inti sekolah tuh. Geng mereka itu yang nguasain sekolah selain anak cheers dan basket. Kakak lo emang sekeren itu. Cuma dia memang kurang berbaur sama rakyat jelata kaya gue.”

“Jelata apaan sih, Ko? Rumah lo aja lebih gede dan bagus daripada rumah gue.”

“Hahaha, gue lupa lo masih SMP. Jadi di sekolah gue, gerombolan kaya Kak Bulan itu untouchable, alias geng kelas atas. Dihormati siapapun, dihargai guru, selalu di sapa security. Semua orang kenal ama mereka. Gue kan nggak masuk geng mana pun. Nah makanya gue suka nyebut diri gue rakyat jelata kalo di sekolah. Ekskul gue aja cuma outdoor activity.”

“Naik gunung gitu?”

“Bisaaaa… tapi gue nggak milih yang itu. Gue milih sepeda BMX aja barengan anak-anak skaters.”

“Keren amat ya ekskul-ekskul di SMA. Jadi pengen buru-buru SMA.”

“Hahaha, gue malah pengen buru-buru kuliah.”

“Assalamualaikum, Eyang Putri…”

“Walaikumsalam. Loh kamu jatuh? Bimaaaaa, ini loh anak perempuanmu….!”

Ayah Matari keluar. “Kenapa sih, Bu? Loh, Matari?”

“Iya, Yah. Tadi jatuh di depan rumah Tante Indira. Ditolongin sama keluarga mereka. Terus anaknya, Iko antar aku ke sini.”

“Kok manggilnya nggak sopan gitu, Ri? Kamu jauh lebih muda dibanding Iko, kan?” tanya Eyang lagi.

“Ah, nggak papa, Eyang. Saya yang minta dia buat manggil nama aja, kok.” timpal Iko segera.

“Hmmm, jangan kaya gitu. Panggilnya pakek Abang atau Kakak atau Mas terserah kamu. Eyang Putri nggak suka ya kalo nggak sopan gitu.”

“Sudahlah, Bu. Bukan saatnya ngurusin nama panggilan orang. Makasih ya, Iko, salam buat Mama Papamu ya. Maaf merepotkan.” potong Ayah.

“Nggak masalah kok, Om. Oke, saya permisi dulu ya. Ini ada bungkusan obat-obatan buat Matari. Tadi Mama yang kasih, takutnya di rumah Eyang stoknya kurang.”

“Makasih banyak ya I…. Kak Iko…” kata Matari sambil tersenyum lebar.

Iko membalas senyuman itu pada Matari. Deg! Jantung Matari pun berdegup lebih cepat. Mendadak dia merasa malu melihat wajah Iko. Senyuman yang tadi dilihatnya biasa saja menjadi tampak tidak biasa.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status