Share

1. Kabar mengejutkan

Dengan tangan yang gemetar, Fathia meraih benda kecil panjang yang beberapa menit lalu ia simpan di dekat wastafel. Ia cemas akan hasil yang dikeluarkan benda itu. Semoga sesuai dengan harapannya. Semoga kecurigaannya tidak terbukti.

Hatinya terasa terhempas, dunianya seakan berhenti, harapannya hancur detik itu juga saat matanya menangkap dua garis merah dari benda yang di raihnya itu. Kecurigaanya tentang apa yang terjadi, terbukti detik itu juga.

Tubuhnya bergetar hebat. Pada akhirnya ia terduduk di dekat wastafel, saking lemasnya. Ini bukan hal yang diharapkannya. Jujur saja ia belum siap menjadi ibu, meskipun kini usianya sudah menginjak 24 tahun. Ia tahu ini salahnya, tapi ia tidak mengira akan sampai di titik ini.

"Tuhan, kenapa harus seperti ini? Aku belum siap, belum siap." Ucapnya lirih, isak tangis keluar begitu saja tanpa bisa ia tahan.

Semakin lama, tangisnya semakin menderas. Semuanya terlalu mendadak dan membuatnya bingung. Apa yang harus dilakukannya sekarang?

Fathia mencoba untuk tenang, menarik nafasnya dalam-dalam dan mencoba menghembuskannya secara perlahan. Hampir lima menit ia mencoba menenangkan dirinya sendiri, setelahnya ia mencoba bangkit dengan berpegangan ke sisi wastafel dan meraih benda kecil bernama testpack itu, kemudian mulai melangkah keluar dari kamar mandi.

Ia segera mengambil ponselnya yang tergeletak di atas kasur, lalu segera mendial nomor seseorang.

"Hallo! Andi...andi,"

"Iya, kenapa ada apa?"

"A..andi, a..a...aku hamil." Air matanya kembali turun tanpa bisa ia cegah, sesaat setelah memberitahukan berita tersebut kepada pacarnya, Andy.

"Fa, jangan bercanda deh. Pinter banget aktingnya, bisa pake nangis segala. Sekarang cepetan kamu mau ngomong apa nelpon aku? Aku lagi kerja soalnya."

"Tapi aku gak bohong ndi, aku beneran hamil. Gimana ini? Aku belum siap untuk jadi ibu."

"Kok bisa? Kamu selalu minum pil pencegah kan? Atau kamu sengaja?"

"Kok kamu ngomongnya gitu? Kalau aku sengaja, ngapain aku nangis sama panik kayak gini?"

"Udahlah, nanti kita bicarain sepulang aku ngantor. Di kafe biasa."

Baru saja Fathia ingin menyela, sambungan telpon malah terputus. Tangannya kembali bergerak cepat mendial nomor yang sama, namun hanya suara operator yang membalas, menyatakan nomor yang ditelpon tidak aktif.

Panik, bingung, amarah, semua bercampur aduk di benak Fathia. Ia meraih boneka panda besar yang tak jauh darinya, lalu dipeluknya boneka itu dan menumpahkan isak tangisnya di sana.

"Tuhan, kenapa begini?"

***

Fathia beberapa kali melirik jam tangan yang melingkar di lengan kirinya. Sudah satu jam ia menunggu di kafe yang Andi janjikan, namun pria itu belum menunjukan batang hidungnya sama sekali.

Secercah harapan sedikit menyeruak di hati Fathia, saat melihat pria yang ditunggunya, sudah berada di hadapannya.

"Gugurkan janin itu, Fa." Ujar Andi to the point, membuat secercah harapan yang menyeruak di hati Fathia redup tanpa bisa dicegah. 

"Kita diskusikan dulu semuanya, jangan mengambil keputusan secara sepihak." Fathia mencoba berbicara pelan, supaya semuanya bisa dibahas dan tersampaikan.

"Mau diskusi kayak gimana? Itu emang jalan satu-satunya. Anak ini sebuah kesalahan, jadi kita gak perlu mempertahankannya."

Hatinya kecewa luar biasa, Fathia menatap Andi dengan mata yang mulai berkaca.

"Anak ini anugerah, bukan kesalahan, gak sepantasnya kamu ngomong gitu. Sekarang mungkin waktu yang tepat untuk kita berumah tangga. Kita diskusikan semuanya ke orangtua kita, ya." Fathia mencoba bersabar dan tenang saat menyampaikan pendapatnya. Ia teramat tahu karakter Andi seperti apa, terpancing sedikit akan marah meskipun hal sepele, apalagi ini masalah besar.

Fathia mengerenyit bingung saat Andi melemparkan sebuah amplop putih berukuran sedang, ia segera membuka amplop tersebut dan membacanya.

"Aku belum siap untuk berumah tangga, untuk menjadi ayah, Fa. Dan itu, surat pindah tugas dari kantor. Aku di pindah tugaskan ke cabang lain."

"Ya kita bisa memulai semuanya dari awal, di daerah kantor baru kamu."

"Gak bisa. Persyaratan dari kantor, aku gak boleh nikah. Jadi lebih baik kita berakhir di sini, kamu gugurkan anak itu, sudah selesai."

Fathia menggelengkan kepalanya tak percaya, tanpa terencana, tangannya sudah melayang menampar pria brengsek yang berada di depannya ini.

"Kamu bilang sudah selesai?! Semuanya gak segampang apa yang kamu bilang. Setelah kamu ngerusak aku, gak mau bertanggungjawab, kamu mau akhiri hubungan ini gitu aja? Brengsek banget!"

"Ya terus kamu maunya gimana, hah?! Aku dipindah tugas ke Singapur. Kamu sendiri tahu kan segimana usahanya aku buat sampai di titik ini? Kalau kita menikah, aku harus melepas karirku, memulai semuanya dari awal, itu ga gampang Fa. Kamu mikir ke situ gak?!"

Fathia terlonjak kaget saat Andi menggebrak meja kafe cukup kencang, menimbulkan bisikan-bisikan dan tatapan orang-orang yang ada di kafe ini.

"Aku tahu itu, tapi saran kamu pun bukan hal yang baik. Aku harus gimana? Harus gimana?"

Fathia tak peduli ia menjadi tontonan gratis orang-orang, menjadi drama dan mengemis tanggung-jawab kepada pria brengsek yang ada di hadapannya ini. Ia menyesal telah menyerahkan semuanya kepada pria brengsek, yang sialnya sangat ia sayangi dan cintai.

"Intinya aku gak bisa. Sekarang terserah kamu mau gimana pun, aku gak peduli. Semuanya berakhir, aku gak ada urusan lagi sama kamu."

"Aku akan bilang semuanya ke orangtua kamu!" Ujar Fathia dengan nada tinggi saat ia melihat Andi mulai melangkah untuk keluar kafe.

Seperti dugaan yang ditakutkannya, pria itu tetap berjalan meninggalkannya. Tak peduli dengan isak tangis dan hancurnya ia saat ini.

"Ya Allah, aku harus apa?" Tanyanya lirih. Tubuhnya ambruk begitu saja. Semua rasa sakit, kecewa, amarah, benci, teraduk menjadi satu, mengoyakan hatinya.

*

Satu minggu sudah berlalu dari pertama kali Fathia mendapati dirinya hamil. Setelah menenangkan diri dan mengecek kandungannya ke dokter, akhirnya hari ini ia memberanikan diri untuk membicarakan semuanya kepada keluarganya. Meskipun ia ragu dengan reaksi keluarganya, namun mau tidak mau ia harus membicarakan semuanya. Kebetulan hari ini orangtua dan kedua adiknya sedang berkumpul di ruang keluarga.

"Mah, pah, ada yang ingin Fathia bicarakan." Ujar Fathia, setelah beberapa menit tadi ia hanya diam dengan pemikirannya sendiri.

"Ada apa? Kok kayaknya serius banget?" Tanya sang Mamah.

Fathia mencoba menarik nafas dan menghembuskannya dengan perlahan, jujur saja berat sekali untuk membeberkan semuanya.

"Ngomong ya ngomong aja sih, kak." Ujar Rio, adiknya yang pertama. Fathia memiliki dua adik dan satu kakak.

"Fathia hamil."

Keheningan melanda ruangan keluarga itu. Semua yang ada di sana, mencoba mencerna ucapan yang Fathia lontarkan.

"Kak jangan bercanda deh, gak lucu tahu bercandaan kayak gitu."

Fathia segera menggelengkan kepalanya, menyangkal ucapan Nadia, sang adik bungsu.

"Kakak gak bercanda, Nad. Ini buktinya." Fathia mengeluarkan testpack dan foto usg yang sedari tadi disembunyikannya. Hatinya sudah kalut luar biasa, apalagi orangtuanya belum memberikan reaksi apapun.

"Ya Allah, yang papah takutin terjadi juga. Berkali-kali papah ingetin kamu untuk pacaran secara sehat sama Andi, kamu malah ngelangkah sejauh itu. Astagfirullah."

"Abang gak nyangka kamu bertindak sejauh itu, Thia."

Fathia hanya bisa menundukan kepalanya dalam. Jujur saja ia sangat malu untuk menghadapi keluarganya saat ini, tapi mau bagaimana, hanya mereka orang terdekat yang Fathia punya.

"Mamah gak mau nyalahin kamu. Kamu melakukannya secara sadar dan ini pilihan kamu sendiri. Berani bertindak, berani terima resikonya. Kamu udah kasih tahu Andi?"

Fathia menganggukan kepalanya.

"Terus Andi mau bertanggung-jawab kan? Dia bersedia menikahi kamu?" Tanya sang papah, yang kemudian dijawab gelengan kepala oleh Fathia.

"Maksud kamu apa? Andi gak mau tanggung-jawab? Tolong bicara Thia, jelasin semuanya."

"Satu minggu lalu, aku menjelaskan semuanya ke Andi, tetapi dia malah meminta menggugurkan kandungan Thia dan mengakhiri hubungan kita." Fathia menggigit bibirnya dalam, ia semakin takut dengan reaksi keluarganya, juga dengan pemikirannya yang semakin memperkeruh perasaannya.

"Astagfirullah. Kalian itu udah berbuat dosa, dengan kalian gugurin anak yang gak berdosa itu udah salah sekali! Papah gagal mendidik kamu."

"Thia gak punya pemikiran seperti itu, Pah. Itu hanya permintaan Andi. Fathia akan mempertahankannya."

"Ya terus kamu mau gimana? Andi gak mau tanggung-jawab, sedangkan perut kamu akan terus membesar seiring berjalannya waktu. Mau kamu digunjingin sama tetangga?!"

"Radi, tolong pelanin suaranya sedikit. Fathia butuh dukungan dari kita, jangan memojokannya."

"Mah, yang dilakukan abang wajar, itu karena kelakuan mereka berdua. Sekarang mau gimana? Yang ngelakuin salah dia, tapi yang nanggung malu dan gunjingan ya kita."

"Sekarang abang diam, mamah mau bicara."

"Sekarang keputusan kamu kayak gimana?"

Fathia memandang wajah sang Mamah, air matanya semakin mengalir deras saat melihat wajah sang Mamah. Terdapat rasa kecewa yang seperti di tahan, di kedua bola mata sang Mamah yang sedang ditatapnya.

"Fathia tetap mau minta tanggung-jawab Andi, Mah."

"Bego lo dek! Udah tahu dia gak mau tanggung-jawab, ngapain masih mau ngemis tanggung-jawab ke cowok brengsek kayak gitu." Radi tak bisa menahan umpatannya saat mendengar ucapan sang adik. Ingin rasanya ia menghabisi Andi, jika perlu sampai nyawanya juga habis.

"Ya terus aku harus gimana bang? Aku gak mungkin dan gak akan kuat kalau harus nanggung semua ini sendirian."

Isakan yang keluar dari bibir Fathia semakin terdengar keras saat sang Mamah memeluknya erat.

"Nanti mamah dan Papah akan antar kamu ke keluarga Andi, kita diskusikan semuanya, ya."

Bersambung

(Selesai ditulis pada hari Sabtu, 04 september 2021, pukul 23.11)

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status