Fathia hanya bisa terdiam di tempatnya. Pikiran dan hatinya berkecamuk bingung memikirkan hal tersebut.
Sampai beberapa menit berlalu, keheningan melanda di ruang tamu keluarga Ardi. Mereka menunggu sedikit jawaban dari Fathia.
"Ini cukup berat untuk saya. Tetapi pada akhirnya, mungkin saya akan mencoba mendekati Adnan, sebelum akhirnya nanti saya akan memutuskan untuk menerimanya atau tidak."
Wajah-wajah tegang yang sedari tadi terpasang di wajah orang-orang yang berada di ruangan ini, akhirnya sedikit meluruh juga ketika mendengar penuturan Fathia.
Semoga saat ini, apa yang diucapkannya adalah hal yang tepat. Walaupun sepertinya Fathia harus sedikit mengikis harga dirinya, karena ia yang harus berjuang untuk mendekati Adnan.
Kenapa pada akhirnya Fathia mau untuk mencoba mendekati Adnan? Karena ia berpikir Adnan adalah pria baik, yang terlihat polos dan berbeda dari pria di luaran sana. Mungkin saja pria itu akan menjadi suami dan ayah yang baik jika diberi pengertian dan pemahaman yang sesuai untuk dia cerna. Ya kita lihat saja ke depannya, apakah Fathia mampu untuk menjadi orang terdekat Adnan, dan apakah Adnan mampu untuk mengakrabkan diri dengan 'orang asing'? Hanya Tuhan dan takdirnya, yang akan menjawab semuanya.
***
Fathia beberapa kali melirik pria yang ada di sampingnya. Matanya tak lepas menatap pria yang sedari tadi malah sibuk menatap kolam ikan yang tak jauh dari gazebo yang mereka tempati.
Fathia akui kalau soal fisik, Adnan memiliki proporsi tubuh yang cukup dan wajah yang tampan. Ia terlihat 'normal' ketika sedang diam, namun akan terlihat 'berbeda' ketika ia dipancing atau diajak berbicara.
"Kita mulai dari awal, ya. Namaku Fathia." Ucap Fathia sembari memulai pembicaraan, tak lupa dengan sodoran tangannya.
Setelah beberapa puluh detik, tak ada sahutan apapun dari Adnan. Pada akhirnya Fathia kembali menarik sodoran tangannya. Ia harus mulai membaca tentang Autis spektrum itu seperti apa, bagaimana cara pendekatan terhadap penderitanya.
Sedangkan Adnan, masih terfokus untuk melihat ikan-ikan yang berenang ke sana ke mari di kolam yang berukuran 1 x 3 meter itu. Ia memang akan terfokus kepada suatu hal yang memang menurutnya menarik, dan fokusnya tak akan bisa terganggu walaupun diganggu sedemikian rupa. Kecuali jika memang ia sudah merasa risih akan hal yang mengganggu fokusnya, ia akan kesal dan berakhir tantrum. Jadi rasanya Fathia harus mengetahui hal tersebut, supaya nantinya Adnan tidak mudah tantrum.
"Oh iya, aku denger katanya kamu jago melukis, ya. Kalau boleh aku mau dong lihat lukisan kamu, dan diajarin ngelukis, kayaknya seru deh."
Setelah berpikir, akhirnya Fathia tahu harus membicarakan apa. Setidaknya Fathia sedikit tahu bahwa pria yang ada di sampingnya ini sangat senang melukis. Di dinding rumah Adnan, banyak sekali lukisan hasil pria itu yang terpajang. Bahkan dulu Andi pernah bercerita bahwa dia iri dan kesal karena orangtuanya sangat mendukung hal yang disenangi Adnan, sampai dibuatkan ruangan khusus untuk melukis, supaya Adnan bisa fokus menekuni bakat dan kesenangannya.
"Diajarin melukis?"
Fathia sedikit menyunggingkan senyumnya saat mendengar Adnan menyahutinya, walaupun kalimat tanya. Rencananya sedikit berhasil untuk memulai pembicaraan dengan Adnan.
"Iya, Fathia mau diajarin melukis. Kata Andi, kamu jago banget melukis. Boleh ya?"
"Eum... boleh. Nanti datang saja ke rumahku, kita melukis di sana."
"Melukis itu menyenangkan ya? Sepertinya wajah kamu terlihat bahagia sekali ketika mendengar kata melukis."
Fathia semakin menyunggingkan senyumnya saat mendapati Adnan tengah menatapnya, apalagi senyum yang tersemat di bibir pria itu terlihat manis. Ah andai saja Adnan 'normal', mungkin Fathia akan mudah jatuh cinta dan mungkin malah beruntung mendapatkan pria itu. Tetapi namanya manusia, pasti memiliki kekurangan di setiap kelebihannya.
"Ya, melukis sangat-sangat menyenangkan. Besok kamu datang saja ke rumahku, kita melukis bersama."
Fathia menganggukan kepalanya, mengiyakan pernyataan Adnan.
"Baik kalau begitu. Jadi sekarang aku temanmu?" Tanya Fathia sembari menyodorkan jari kelingkingnya, berniat membuat janji dengan Adnan.
Adnan terdiam beberapa saat menatap jari kelingking Fathia. Tentu saja ia tahu Fathia bukan orang baru di hidupnya. Ia mengingat beberapa kali wanita itu pernah bertemu dengannya di rumah, walaupun tidak pernah mengobrol seperti ini. Ia berpikir sejenak, apakah ia mau menerima Fathia untuk menjadi temannya.
"Boleh deh."
***
"Adnannya ada, tante?" Tanya Fathia saat pintu yang ia ketuk terbuka.
Hari ini Fathia mencoba memulai semuanya. Ia mencoba membuka hati, dan mencoba berteman terlebih dahulu dengan Adnan. Bukan hal yang mudah memang, tetapi ia harus mencobanya, sebelum hasil akhirnya akan ia putuskan, sesuai dengan hasil akhir bagaimana hubungannya dengan Adnan nanti.
"Silahkan masuk dulu, nak. Adnan ada di studio lukisnya. Mau duduk dulu atau langsung nemuin Adnan?"
"Langsung aja tante."
Setelah dipersilahkan, Fathia mulai mengekori Arini yang membawanya mendekati ruangan yang ada di dekat tangga.
"Adnan, ada Fathia nih." Ujar Arini sembari membuka pintu ruangan tersebut, dan menampakan Adnan yang terlihat serius dengan kanvas di depannya, dan kuas cat yang dipegangnya.
Fathia terdiam sebentar di tempat ia berpijak, saat melihat lukisan-lukisan yang ada di studio Adnan, lebih mencengangkan daripada yang di pajang di dinding rumah. Ingin rasanya ia membawa pulang salah satu dari beberapa lukisan yang berjajar di lantai itu.
Fathia kemudian menatap paperbag yang dibawanya, tiba-tiba saja ia merasa minder dengan apa yang dibawanya.
Awalnya Fathia berniat membawa dua kanvas dan beberapa merek cat, mulai dari water base sampai oil base karena ia kurang mengetahui Adnan memakai cat dengan jenis apa, ternyata saat melihat isi studionya, malah dipojok ruangan sudah terdapat lemari khusus untuk persedian melukis, lengkap mulai dari Kanvas, cat dengan berbagai merek yang bahkan Fathia tidak pernah melihat sebelumnya, dan beberapa alat lainnya yang tidak bisa ia sebutkan itu apa. Jujur saja Fathia kaget melihat lengkapnya lemari itu, karena ia pun beberapa kali pernah melukis hanya untuk menghilangkan stress.
"Kamu bawa apa?"
Fathia mengerejapkan matanya, lalu menyadari bahwa Adnan yang tadi dilihatnya sedang fokus, sudah berada di hadapannya. Ia bahkan tidak menyadari bahwa Arini sudah hilang entah pergi ke mana.
"I..ini, kanvas sama cat. Tapi kayaknya cat sama peralatan lukis kamu lebih lengkap deh, salah banget ya aku bawa ginian."
Adnan terkekeh kecil melihat Fathia yang terlihat agak gugup, menurutnya, gadis itu terlihat lucu karena bertingkah demikian.
"Gak papa, makasih ya. Gimana kalau kita pakai aja buat ngelukis bareng. Di halaman belakang aja yuk ngelukisnya." Ajak Adnan dengan nada yang riang.
Tanpa menjawab, Fathia hanya bisa mengekori kemana Adnan berjalan. Ia sudah tahu sebenarnya ke tempat mana yang Adnan tuju, halaman belakang yang dilengkapi kolam renang yang cukup luas dengan taman bunga di sisi kirinya. Hah, dahulu ia sering sekali untuk duduk di pinggir kolam renang dengan kaki yang tercelup ke kolam renang, kemudian mengobrolkan hal apapun dengan Andi. Jadi flashback sendiri kan, padahal sekarang di depannya bukan lagi Andi, tetapi orang yang berbeda. Dia, Adnan.
Fathia hanya terdiam di tempatnya, memperhatikan Adnan yang sedang mempersiapkan dan merapihkan peralatan lukisnya. Pria itu memilih spot melukis di dekat taman bunga, lebih tepatnya di gazebo.
"Kamu bisa duduk di sini."
Fathia hanya menganggukan kepalanya, kemudian mulai melangkahkan kakinya untuk duduk di tempat yang Adnan tunjuk, di sebelah pria itu.
"Mana kanvas sama catnya?"
Fathia segera menyodorkan paperbag yang dibawanya. Ia hanya duduk diam sembari memperhatikan Adnan yang mulai menautkan kanvas ke penyangga lukisan, dan membuka satu persatu cat dari kemasannya, kemudian menuangkan cat tersebut ke palet.
Suasana tiba-tiba hening, tak ada lagi yang berbicara. Hanya terdengar goresan kuas yang mulai diayunkan Adnan di atas kanvas.
"Kapan-kapan, aku minta kamu buat melukis wajah aku, ya." Ujar Fathia, tangannya sembari sibuk menyiapkan alat lukis yang akan digunakannya.
Fathia menolehkan kepalanya ke arah Adnan, saat menyadari bahwa pria itu tidak menanggapi ucapannya. Yah sudahlah, ia harus sabar akan kekurangan Adnan yang satu itu, terfokus pada satu hal yang teramat menarik untuknya, sampai tidak bisa diganggu ataupun diajak ngobrol.
Awalnya Fathia mengira semuanya akan terasa mudah untuk mendekati Adnan, karena pria itu tertawa di pertemuan pertamanya setelah menjadi teman, tetapi ternyata ya seperti inilah ujungnya. Fathia seperti melukis sendirian, saking fokus dan diamnya pria itu saat sedang melukis.
Bersambung
(Selesai ditulis pada hari selasa, 07 september 2021, pukul 18.40 wib).
"Kamu maunya gimana? Proses semua kejadian ini lewat jalur hukum dan serahkan bukti-bukti ke pihak berwajib, atau mungkin ada pemikiran kamu tersendiri mau diapakan Andi? Ya meskipun dia putra Ibu, Ibu gak akan membela apapun yang kamu lakukan untuk dia sebagai hukuman atas hal yang dilakukannya."Fathia terdiam mencerna ucapan Ibu mertuanya. Walaupun matanya menatap Thalia yang tengah terlelap di ranjang rumah sakit, tetapi fokusnya terbagi. Hatinya tentu saja sakit melihat putrinya harus dirawat seperti ini, tetapi ia juga sedikit penasaran, apa alasan Andi sampai melakukan penculikan terhadap putri kandungnya sendiri. Walaupun memang sakit hatinya masih mendera karena penolakan tanggung-jawab yang pria itu berikan ketika ia baru mengetahui bahwa ia mengandung, tetapi pada kenyataannya Fathia akan tetap mempertemukan Andi dan Thalia, jika pria itu meminta izin dengan cara baik-baik. Fathia juga tidak akan melarang Thalia bertemu ayah kandungnya. Tetapi setelah kejadian ini, kemungki
Dengan berlari sekuat tenaga aku menyusuri lorong rumah sakit, untuk mencari ruangan di mana bunda berada.Hari ini aku dikabari Ayah bahwa Bunda melahirkan. Tentu saja tanpa menunda waktu, aku langsung bergegas untuk meminta izin supaya bisa menjenguk bunda, padahal aku baru saja selesai melakukan latihan. Bahkan aku baru menyadari bahwa aku masih menggunakan jersey penuh keringat dan lepek yang ku pakai saat latihan. Saking senang mendengar kabar tersebut dan buru-buru menuju ke rumah sakit, aku agak lupa untuk membersihkan tubuh dan mengganti pakaian. Agak ceroboh, Bunda pun pasti marah melihatku yang masih menggunakan jersey badminton, tapi mau bagaimana lagi karena aku sudah sampai di rumah sakit. Mungkin aku akan mengirim pesan kepada Tyla atau Tyna untuk membawa pakaian ganti untukku jika salah satu di antara mereka ada yang masih dir rumah.Aku langsung melambaikan tanganku beberapa kali saat melihat Ayah tengah berdiri di depan salah satu ruang rawat bersama Tyla dan suaminya
Ku tatap lekat foto yang terpajang rapih di samping televisi itu. Tatap matanya, senyumannya, raut wajahnya, suara lembutnya, masih melekat dengan indah di di pikiran dan hatiku hingga detik ini. Haah, rasanya aku sangat merindukan dia, untuk setiap detik waktu yang ku punya.Dengan segala keterbatasannya, dia sosok yang teramat sempurna untuk hidupku. Beberapa orang terdekatku sering kali menceritakannya. Menceritakan tentang tingkahnya, dan kisahnya.Tuhan, aku bersyukur sekali memiliki dia di dalam hidupku, sampai detik ini dan selamanya. Tuhan, terima kasih telah menghadirkan sosoknya di hidupku. Aku teramat beruntung memilikinya. Biarpun orang lain memandang sosoknya berbeda, merendahkannya, tetapi aku hanya bisa beryukur dan terus bersyukur memilikinya."Hei! Kok malah melamun sih? Kamu kangen, ya?"Aku terkesiap saat mendengar suara seseorang yang bertanya di samping tubuhku."Eh, bunda. Iya, aku kangen banget." Jawabku agak parau. Tak terasa air mataku mengalir di tengah lamun
"Kalau Adnan lelah, istirahat saja ya di kamar, nanti waktunya makan siang Fathia bangunkan."Adnan hanya menganggukan kepalanya kemudian langsung memasuki rumah.Fathia baru saja pulang ke rumah setelah mengantar Adnan ke Psikolog. Seperti dugaannya, kata Psikolog yang menangani Adnan, serious emotional distrubance atau gangguan emosi yang terjadi pada Adnan sudah mulai teratasi, walaupun katanya kadang masih sedikit mengganggu Adnan karena beberapa kali Adnan masih mengabaikan Thalia karena ada rasa trauma kehilangan. Adnan takut jika ia terlalu dekat dengan Thalia, di mana saat dia teramat sayang kepada Thalia dan ingin terus berada di dekat Thalia, Thalia kembali hilang dari jangkauan, jadi beberapa kali Adnan kadang menghindar jika ketakutan itu hinggap.Sebenarnya Fathia juga bingung kenapa Adnan bisa berpikiran sampai sejauh itu, apalagi dengan asd yang diidapnya, tapi ya mungkin memang Tuhan sudah menggariskan takdir Adnan seperti itu.Enam bulan waktu berjalan terasa lambat b
Hari demi hari fisioterapi yang dilakukan Adnan semakin menunjukan hasil, pelan tapi pasti. Adnan setidaknya sudah tidak perlu menggunakan bantuan kruk untuk berjalan, ya walaupun langkahnya masih pelan, kaku, dan sedikit pincang tetapi itu sudah menunjukan perubahan. Hanya saja pemulihannya memang sedikit lebih lambat karena Adnan mudah sekali lelah, terlihat ketara dari nafasnya dikarenakan efek pembengkakan jantungnya. Kurang lebih sudah lima bulan Adnan menjalani fisioterapi di rumah.Lima bulan ini untuk Fathia adalah lima bulan ter-hectic yang pernah dirasakan dalam hidupnya. Harus mengantar Adnan check up ke rumah sakit, konsultasi ke Psikolog, menemani suaminya itu fisioterapi, belum lagi Thalia yang semakin hari sudah semakin mengerti bahwa putrinya itu ingin selalu berada di dekatnya dan kadang menangis ketika ia harus meninggalkan Thalia bersama bi Tati karena harus mengurusi Adnan. Sejujurnya Fathia sedikit tidak terlalu memperhatikan perkembangan putrinya, padahal kalau k
Fathia hanya bisa ikut meringis saat mendengar suara ringisan Adnan yang sedang melakukan fisioterapi untuk penyembuhan tangan dan kaki kanannya.Hampir setiap hari Fathia mendatangkan fisioterapi profesional yang disarankan dokter, supaya proses penyembuhan Adnan lebih cepat. Ia juga ingin secepatnya melihat Adnan kembali melukis apapun yang diimajinasikannya.Waktu sudah berjalan hampir tiga bulan. Tangan Adnan pun sudah tidak memakai arm sling dan perkembangannya sudah lebih baik daripada kaki, hanya saja untuk membantunya berjalan Adnan masih memerlukan kruk."Tolong sudah, ini Sakit!"Fathia sedikit kaget mendengar Adnan yang meninggikan suaranya, tetapi tentu saja ia tidak boleh kalah dengan suara Adnan yang seperti itu. Dia harus terbiasa, meskipun di bulan ini sudah beberapa kali Adnan terlihat marah seperti itu, tetapi ia tetap saja masih kaget."Tidak boleh seperti itu, ini juga untuk kesembuhan Adnan. Adnan diam ya, nurut sama fisioterapisnya."Fathia menatap Adnan intens s