"Bagaimana bisa aku terus melangkah disaat semua itu terjadi?”
**
“Semua pria selalu mengatakan hal yang sama. Aku tahu itu,” balasku tanpa menatap wajahnya.
Aku lalu mencoba pergi, tapi pria ini mencekal lenganku. Ia takkan melepasku jika terus begini. Apa yang harus kulakukan? Padahal ini sudah waktunya masuk ke kelas?
“Beri aku kesempatan, baru aku akan melakukan!”
Lagi-lagi dia mengatakan hal yang aneh, memangnya kesempatan apa yang harus kuberikan?
“Kesempatan? Aku tidak paham. Memangnya apa yang bisa kau tunjukkan? Rasa sayangmu kepadaku? Atau sesuatu yang lain?” balasku yang terkesan meremehkan.
“Apa kau bisa memegang kata-kataku? Aku hanya ingin mendengarnya,” celetuknya yang masih belum menyerah.
“Baiklah. Aku bisa memegang kata-katamu. Jadi apa yang mau kau katakan?” balasku yang terus melirik jarum jam.
Aku benar-benar telat hanya karena berbicara dengannya. Apa lebih baik aku bolos dan mengikuti pelajaran jam selanjutnya?
“Kau akan menyukaiku! Pegang kata-kata itu!”
Aku terdiam sejenak setelah mendengar ucapannya yang mendadak. Aku jelas merasa bingung dan aneh bersamaan. Mengapa selalu saja perkataannya mengarah kepadaku? Mengapa tidak pada dirinya sendiri?
“Emm … kau ingin aku memegangnya saja kan? Ok kalau begitu.”
“Tidak! Aku akan membuktikannya juga. Setelah itu, kau takkan lepas dariku.”
Ucapannya begitu berani dan mampu membuat sudut bibirku terangkat. Sungguh, ini sangat menyenangkan. Aku suka dengan kepribadiannya.
“Bisakah aku bertanya sesuatu padamu?” ucapku yang masih belum beranjak dari posisi.
“Apa? Aku akan menjawab semua pertanyaanmu,” jawabnya dengan senang hati.
“Apa kau melakukan ini ke semua cewek? Atau hanya diriku saja?”
“Aku melakukannya hanya pada dirimu saja. Kau puas?”
Ia menjawabnya dengan tegas, seakan itu memang benar dan tidak ada kebohongan yang ditutupi. Tapi, haruskah aku langsung percaya? Karena semua orang bisa saja melakukan hal yang sama. Apalagi dimatanya sekarang, ia sedang mengejar Wanita yang diinginkan, pasti ia takkan membongkar kedoknya Bersama Wanita lain.
“Baiklah. Aku puas mendengarnya. Jadi, apa kita bisa Kembali ke kelas masing-masing?” tanyaku yang malas terus berada di toilet.
“Kau tahu kan, sekarang Guru-guru sudah pada masuk ke kelas. Bagaimana jika kita membolos saja?” tawarnya dengan muka santai.
Sejujurnya itu terdengar seru, tapi aku takut jika ia malah membawa masalah lagi seperti kemarin. Aku mungkin akan beradu mulut dengan Ibu.
“Aku tidak bisa terus bolos seperti ini, Ibuku akan memarahiku jika ketahuan. Mungkin aku akan meminta izin untuk masuk ke kelas,” balasku.
“Apa kau ingin terkena masalah? Itu hanya akan membuat Ibumu mengetahuinya. Lebih baik tetap diam dan para Guru takkan menyadarinya.” Nasehat Nicky yang membuatku terhasut.
Lalu, apa yang harus kulakukan? Ikut bolos bersamanya? Seperti kemarin? Tapi aku takut dia membawaku pulang lagi.
“Hei! Kenapa kau suka sekali berpikir? Apa otakmu tidak capek?” tanyanya yang sadar aku sedang melamun.
“Ah, aku sama sekali tidak berpikir kok! Lagi pula jika kita membolos, kau mau mengajakku kemana?”
“Kemana pun.”
Aku hanya diam mendengarnya sebelum ia menggandeng tanganku dan mengajakku keluar toilet.
“Hei! Kita mau kemana? Kenapa kau terus mengajakku tanpa berbicara apa pun?” tanya yang kesal.
“Sudahlah, ikuti saja.”
“Tapi kan katamu ta–“
“Jangan berisik!”
Aku pun diam dan mengikutinya meski aku bisa melepas tangannya dengan kasar, aku enggan melakukannya. Kuharap pria ini tidak membawaku ke tempat yang aneh.
“Kau kemana saja?” tanya suara itu Ketika kami sampai ke kantin.
Suara yang sangat kukenal, yaitu Alexi. Mengapa gadis ini juga ada disini? Tapi untung saja hanya ada Alexi disini, karena kupikir Liza juga akan berada bersamanya.
“Aku baru menemukan temanmu di toilet,” ujar Nicky yang setelah itu melepaskan gandengannya dan menuju bangku kantin yang kosong.
Wah, pria ini sama sekali tidak mengajakku untuk duduk bersamanya? Dia malah membiarkanku berdiri begitu saja. Lalu, mengapa pula Alexi menatapku dengan tajam? Apa ia kesal karena Nicky membawaku kesini?
“Aku tidak menyangka kau juga bisa bolos,” ucap Alexi yang sedikit tersenyum, namun tetap dingin.
Sungguh, gadis ini benar-benar tidak menyukaiku dekat dengan sepupunya. Memangnya siapa yang mau ikut mengganggu hubungan kalian? Aku bahkan tidak tertarik.
“Hei! Duduklah dan pesan sesuatu! Aku tahu kau belum makan,” suruh Nicky kepadaku.
“Emm … aku sedang tidak nafsu,” balasku.
“Alexi! Belikan camilan!” perintah Nicky yang membuat Alexi langsung berhenti memainkan ponselnya.
Gadis itu lalu pergi setelah menerima uang dari Nicky. Sejujurnya aku tidak tahu, apa Nicky memang sengaja menyuruh Alexi? Atau ia sudah sering menyuruh-nyuruh seperti ini?
“Hei! Apa kau akan terus berdiri disitu?” tanya Nicky yang sadar aku masih berada diposisiku semula.
Aku pun beranjak ke bangku kosong yang jaraknya agak jauh dari Nicky. Aku memang sengaja memilih tempat yang jauh supaya bisa memberi sedikit ruang kepada kedua saudara sepupu itu.
“Aku tidak mengerti, kenapa kau pergi ke bangku lain dari pada ke sebelahku? Apa kau sengaja?” tanya Nicky yang sudah duduk disebelahku.
“Hah … kenapa kau terus mengikutiku? Aku kan hanya ingin duduk sendiri,” keluhku.
“Kenapa kau ingin sendiri jika aku dan Alexi ada bersamamu?”
“Karena aku tak nyaman.”
“Pada Alexi?”
“Entah.”
Aku lalu memilih diam karena Alexi sudah datang dengan beberapa snack ditangannya. Apa dia mendengar pembicaraan kami? Semoga saja tidak.
“Makanlah cemilannnya, aku tidak menerima penolakan,” ucap Nicky dengan senyum manisnya.
“Emm … tapi ak–“
“Jangan banyak bicara!”
Aku pun mengunyah snack yang ia suapkan ke mulutku. Dan sekarang, Alexi terus menatap kami. Entah apa yang sedang ia pikirkan, aku hanya tak ingin ia salah paham.
“Oh ya, kudengar ada pertandingan basket. Apa kau akan ikut?” tanya Alexi pada Nicky yang sedang fokus memainkan game di ponselnya.
“Mungkin. Kenapa? Kau mau bertanya siapa saja yang ikut?”
“Ssstt … diamlah!”
Aku tidak mengerti apa yang kedua orang ini bicarakan? Memangnya ada pertandingan basket? Atau aku terlalu lama berada di kelas sampai tidak pernah membaca pengumuman yang ada di papan?
“Tenang, aku pasti akan memberitahumu jika dia ikut.”
“Janji?”
“Janji.”
Sekarang aku mengerti, mengapa mereka begitu mirip. Padahal mereka bukanlah saudara kandung. Tapi, aku sangat iri.
“Hei! Kau sudah kenyang ya? Kenapa tidak makan lagi?” tanya Nicky yang lagi-lagi menyuruhku untuk melahap semua makanan di meja.
“Kenapa kau tidak makan juga? Kenapa terus menyuruhku?” balasku yang kesal.
“Aku kan hanya mau melihatmu makan dengan baik, kenapa kau terus mengomel?”
“Aku kan bilang sedang tidak nafsu makan.”
“Tapi kau harus tetap makan.”
Ah … pria ini terus saja membalas. Kapan dia akan berhenti dan mengalah kepadaku?
“Kalian sangat cocok,” ucap Alexi yang langsung membuatku melotot tak percaya kearahnya.
“What?”
"Aku kesal, karena aku merasa iri.”**“Kau benar. Aku dan gadis pemarah ini sangat cocok,” ungkap Nicky yang malah setuju dengan pendapat Alexi.Aku pun hanya bergidik ngeri dengan ungkapannya. Memang darimana kami terlihat cocok? Dari kaca pembesar?“Lalu, apa kalian akan jadian?” tanya Alexi yang semakin membuatku terdiam.Aku yakin, Alexi memang sengaja memancing kami berdua. Ia pasti ingin tahu sejauh mana hubungan kita. Padahal, aku dan Nicky sama sekali tidak akan sampai kearah sana. Semoga, Nicky tidak menjawab pertanyaan Alexi.“Mungkin,” balas Nicky yang langsung mengerutkan keningku.“Memangnya apa yang salah jika kita jadian? Aku bahkan menginginkan itu setelah Tamara menerimaku,” lanjutnya sambil melirikku.Aku tidak percaya, dia terus berbicara
"Ini catatan terakhirku. Nanti aku akan Kembali lagi.”**“Tom! Hentikan geli!” pintaku saat tangannya itu terus menggelitikku.“Tidak mau!” balasnya dengan nada seperti anak kecil.Tapi, aku tidak tahan dan langsung memaksa tangannya untuk diam. Setidaknya untuk beberapa menit aku bisa berhenti tertawa. Namun, kenapa pria dihadapanku ini malah memasang wajah sedih? Padahal aku tidak melakukan hal yang buruk. Dasar manja!“Kenapa? Kau marah?” godaku sambil menyentuh pipinya dengan lembut.“Kau sih!”“Apa lagi?” tanyaku balik.Tapi bukannya menjawab, ia langsung memelukku Kembali. Sama seperti dulu, Ketika ia kesal, ia akan memelukku dan aku menepuk punggungnya. Akhirnya, kita Kembali Bersama, meski ada kain tipis yang memisahkan. Setidaknya, peras
Aneka makanan mengisi meja makan yang kala itu masih kosong dan beberapa lilin ikut menghiasi suasana. Lalu, makan malam pun dimulai.“Paman! Apa kau suka dagingnya?” tanyaku yang tak sabar.“Ya, aku suka. Kau membuatnya sangat lezat,” puji Paman yang membuatku langsung tersenyum gembira.Ah … leganya mendengar Paman menyukai masakanku. Aku menjadi lebih antusias untuk mempelajari resep-resep baru agar bisa memasakan makanan yang lebih enak.“Dagingnya terlalu banyak lada,” keluh Ibu disaat aku baru saja senang.Lagi-lagi, ia memprotes masakanku ini. Padahal, aku tidak meminta pendapatnya. Mengapa dia terus berkomentar?“Emm … apa tidak enak, Mom?” tanyaku balik.“Ya.”“Jasmine, jangan bicara seperti itu!” Protes Paman Harisson membelaku.Aku pun hanya bisa diam dari pada ikut campur dan menimbulkan masalah. Lagi pula,
Aku menatap jam tanganku, menunggu kapan Alexi akan selesai berbincang dan memakan makan siangnya. Karena ini sudah terlalu lama dan aku tidak memiliki banyak waktu untuk menunggu.“Kau bosan?” tanya Nicky yang selalu saja tepat sasaran.“Tidak.”“Bohong!”Astaga, pria ini mulai lagi. Kenapa dia selalu saja tak percaya dengan perkataanku? Aku kan hanya ingin dia berhenti bicara.“Bagaimana jika kita keluar dan mencari udara segar?” tawarnya yang membuat semua mata tertuju kepadaku.“Tidak, aku ingin disini saja,” balasku yang sama sekali tidak berniat.“Ayolah! Kau kan bosan.”Astaga, kapan ia akan menyerah dan membiarkanku untuk tenang? Aku bahkan menjadi pusat perhatian atas suaranya yang lantang.“Pergilah Tam! Aku tahu kau bosan,” timpal Alexi yang mendukung supaya aku pergi Bersama Nicky.Ah … aku benar-benar menyesal s
"Maaf,” ucapku sesuai yang diinginkan.Bagaimana? Ia senang? Kalau tidak aku bisa mengulanginya sampai ribuan kali. Dan membuatnya bosan. Bukankah itu hal yang bagus?“Tam, kau tidak tulus,” keluh Sandra yang tidak puas.Baiklah, dia memang benar. Lagi pula, mana mungkin aku bisa mengatakan sesuatu yang tulus? Apa lagi untuknya. Seharusnya, ia sadar diri untuk tidak memaksaku. Karena semua akan sia-sia.“Maaf, aku tidak akan menyakitimu lagi,” ucapku dengan wajah yang penuh penyesalan.Padahal, itu semua hanya pura-pura dan dia terlalu bodoh untuk memahaminya.“Terima kasih, Tam. Aku senang. Kau bisa Kembali lagi menjadi dirimu. Mulai sekarang, tetaplah seperti ini!”Wah wah, apa dia sedang menasehatiku? Apa dia berpikir dirinya lebih baik? Dasar! Lihat saja nanti! Aku akan membuatmu m
Ibu memakirkan mobilnya di tepi jalan lalu keluar untuk membeli minuman. Matanya masih begitu sembab dan terkadang mengeluarkan air mata. Aku heran, kenapa dia begitu sedih? Padahal aku tidak merasa demikian.Ring! Ring!Ponsel Ibu berbunyi, apa yang harus kulakukan? Apa kujawab saja? Tapi, bagaimana jika itu telepon penting? Aku takut tidak bisa menyampaikan pesannya dengan baik dan membuat Ibu kesusahan.Ring! Ring!Astaga, sepertinya aku harus mengangkatnya. Tapi nomor siapa ini? Aku sama sekali tidak mengenalinya dan Ibu tidak memberikan nama diatasnya.“Halo?” sapaku lebih dulu setelah mengangkatnya.“Apakah ini nomor Ibu Jasmine?” sahut suara itu dan terdengar seperti seorang pria.“Ya, anda siapa ya?”“Oh, apa Ibu lupa saya? Saya pria yang pernah anda temui
Paman menuangkan susu ke gelasku. Membiarkanku untuk minum lebih dulu. Namun, aku menolak dan memberikan gelasku kepada Sandra. Karena aku berpikir seorang tamu harus dilayani pertama kali.“Jadi, kau tidak memberitahu Ibumu kau disini?” tanya Ibu pada Sandra.“Tidak.”Wow, bukankah dia terlalu nekat? Bagaimana jika Ibunya khawatir? Apa dia tak peduli? Oh! Kurasa tidak! Ibunya kan tidak peduli. Dan bisa dibilang dia sengaja kesini untuk mendapat perhatian Ibuku. Licik sekali.“Baiklah, Tante akan memberitahunya nanti. Sekarang habiskan makananmu!”“Dan kau juga, Tam!” sambung Ibu yang langsung kuiyakan.Paman lalu membuka pembicaraan baru dan aku malas menimpalinya. Mungkin, hanya Ibu yang tertarik membalasnya. Karena aku dan Sandra fokus menghabiskan sarapan.“Oh ya, bagaimana j
"Hei, Tam! Kenapa kau tidak bergabung dengan kami? Kami sedang membicarakan hal yang menyenangkan,” ajak Alexi.Namun, aku tidak menggubrisnya dan asik memasang earphone ke telinga. Lagi pula, mereka sama sekali tidak membutuhkan kehadiranku. Buktinya, mereka tetap asik berbincang. Jadi, untuk apa aku bergabung?Lalu, kenapa Alexi bertindak seolah-olah tidak terjadi apa pun? Padahal kami baru bertengkar kemarin. Apa secepat itu ia melupakan sesuatu? Benar-benar aneh.“Tam, nanti kau mau ikut makan siang Bersama?” tanya Liza yang langsung kujawab gelengan.“Kenapa?” timpal Alexi yang selalu hadir.“Aku … diet.”Lagi-lagi aku memberi alasan yang sama. Serasa tidak ada alasan lain dikepalaku. Tapi, biarlah! Biarkan mereka muak dan membiarkanku pergi. Lalu, suruh Sandra untuk berhenti menatapku? Memangnya aku tonto