Siapa yang dahaga liburan juga, nih? 😁
"Not now," ucapku setengah berbisik seraya menahan wajah Arsya dengan jemariku. Bukan bermaksud menolak cumbunya, hanya saja aku takut akan reaksiku sendiri. Masih kuingat bagaimana bayang-bayang perselingkuhan ayah muncul di kepalaku saat Arsya pertama kali menciumku beberapa waktu lalu. Pening dan sesak yang membuatku luruh. Tak lucu rasanya kalau aku pingsan lagi kali ini dan Arsya akan menggendongku hingga ke hotel. Tanpa berkata apa pun, aku berbalik dan berjalan menjauh. Menyusuri bulir-bulir pasir yang terasa hangat di kaki. Arsya menyusulku di belakang. Matahari sudah meninggi. Arsya masih ingin mengajakku berkelana, tetapi aku menolak. Usai berbelanja cenderamata di beberapa toko, kami kembali ke hotel. Selama perjalanan, kami hanya saling berdiam diri. Setibanya di hotel, aku langsung membersihkan diri karena badanku terasa lengket oleh keringat. Melihatku masih tak bersemangat, Arsya memesan makanan dan kami menikmati hidangan makan siang di unit kamar hotel saja. Selanju
Pagar-pagar pembatas mengelilingi sebuah lokasi proyek konstruksi. Sedangkan lalu lintas di sekitarnya berjalan normal. Dua orang pria muda yang mengenakan helm pengaman memasuki lokasi proyek. Azkaa menemani Arsya yang ingin mengunjungi salah satu proyek pembangunan flyover oleh Mahawira Contractors di kawasan Jakarta Selatan. Tujuan Arsya adalah melihat secara langsung kondisi alat-alat berat proyek karena perusahaan yang dipimpinnya—PT. Vibrant Indo Manufacture—adalah pemasok bagi Mahawira Contractors. Kedatangan mereka siang itu segera disambut oleh mandor yang sedang mengawasi para pekerja di lapangan. "Alat-alat berat masih dalam kondisi yang sangat baik. Sebagian masih baru, beberapa pernah mengalami perbaikan minor. Kami memiliki rekam riwayat setiap alat, jika ada yang sudah mengalami perbaikan mayor, biasanya kami gudangkan terlebih dahulu sebelum uji kelayakan kembali. So, everything is fine so far," jelas Azkaa. Arsya merasa lega mendengarnya. "Ya
Abelia termangu menatap ke luar jendela seraya mengetuk-ngetuk ponselnya. Entah kenapa sejak tadi ia memikirkan Arsya. Perasaannya tak enak, seolah telah terjadi sesuatu pada pria itu. Berulang kali Abelia ingin menelepon, namun urung. Ia tak ingin mengganggu Arsya bekerja. Akhirnya ia hanya mengirim pesan untuk menanyakan kabar. Sungguh tak pernah terpikir oleh Abelia bahwa Arsya mampu membuatnya resah. Ingin menyangkal, tetapi ternyata ia tak bisa menepis kekhawatirannya saat kemudian Arsya membalas pesan. Arsya mengabarkan bahwa ia masuk rumah sakit akibat kecelakaan di lokasi proyek. Tak butuh waktu lama bagi Abelia untuk memutuskan mengunjungi pria itu. Setibanya di rumah sakit, Abelia menghela napas panjang sebelum memasuki ruang tempat Arsya dirawat. Jantungnya berdegup memikirkan kemungkinan bahwa ia akan bertemu dengan mama Arsya. Meski begitu, kakinya tetap melangkah. Semua orang yang berada di dalam ruangan menoleh ketika kemudian Abelia mengetuk pintu.
Berkomitmen dalam hubungan asmara adalah suatu hal yang kutakuti. Dengan trauma dan semua kekuranganku, aku ragu bisa menjalin hubungan yang baik dalam hal percintaan. Membayangkan memiliki ikatan perasaan dengan seseorang saja sudah membuat resah, apalagi harus berhadapan dengan keluarganya. Sikap mama Arsya yang dingin terhadapku saat aku ke rumah sakit beberapa hari lalu menambah keyakinanku akan hal tersebut. Ia mungkin berpikir bahwa aku benar pacar Arsya, tidak mengetahui bahwa kami memiliki sebuah perjanjian. Wajar saja jika ia ingin mengetahui banyak hal tentangku. Mereka adalah keluarga berada, tentu mama Arsya tak ingin sembarang orang menjadi kekasih putranya. Aku menghela napas untuk menghilangkan pikiran yang tak seharusnya menggangguku itu. Arsya telah keluar dari rumah sakit kemarin. Hasil CT Scan kepala dan tulang punggungnya pun baik-baik saja. Kabar yang cukup membuatku lega. Siang ini Arsya akan datang. Aku sempat melarangnya karena dia baru sembuh
Sebuah mobil sedan memasuki pekarangan luas kediaman Hadinata. Sepasang pria dan wanita muda tampak keluar dari mobil setelah diparkirkan. Abelia mengikuti Arsya yang menuntunnya memasuki rumah besar berwarna putih itu. Ini pertama kalinya Abelia datang ke rumah keluarga Arsya. Hatinya merasa tak menentu. Seorang asisten rumah tangga membukakan pintu lalu mengantar mereka dari foyer hingga ke ruang tamu. Telah ada tiga orang duduk menunggu di sana. Yunita, Derry, dan Delisha. Abelia menghentikan langkah sejenak. Keresahannya bertambah karena melihat Derry. Apakah hal yang ingin dibicarakan Yunita ada kaitannya dengan mantan bosnya itu? Arsya juga merasa heran melihat kehadiran Derry dan Delisha. Namun, ia tak mengatakan apa pun. Setelah mempersilakan Abelia duduk, ia lalu duduk tepat di samping wanita itu. Tak memedulikan Delisha yang menatap mereka cemburu. Abelia menyapa mereka satu per satu sambil mengulas senyum, meski tak berbalas. "Ada apa, Ma?" Arsya membuka percakapan. Tak
Sepanjang perjalanan pulang menuju ke apartemenku, kami hanya saling mengunci suara. Arsya sepertinya memahami bahwa aku sedang tak ingin bicara. Pun saat kami duduk bersisian di sofa setibanya di apartemen. Entah berapa lama kami berdiam diri hingga kemudian Arsya menggenggam tanganku. Dari sudut mata kulihat ia memandangiku. "Kamu sudah tahu bagaimana keluarga saya." Aku tertawa pahit, lantas menoleh padanya. "Kamu pasti ingin menertawakan saya." Arsya menggeleng. "Tidak ada alasan bagi saya untuk menertawakanmu." Kembali aku mengalihkan pandangan dan berkata, "Kehidupan saya menggelikan. Ayah saya berselingkuh. Kakak saya membenci adiknya sendiri. Lalu saya adalah seorang pecundang yang menyimpan luka dan memendam trauma demi sebuah citra keluarga yang baik-baik saja." "Setiap keluarga pasti mempunyai masalahnya sendiri, memiliki ketidaksempurnaan yang enggan ditunjukkan pada orang-orang." Ia terdiam sejenak sebelum melanjutkan, "Dan mempunyai kelu
Langit sore yang cerah masih berada di atas sana. Awan berarak membentuk gumpalan putih yang kemudian terputus-putus. Semilir angin meniup daun-daun pada pepohonan yang berderet di sepanjang jalan. Aspal hitam yang panjang membentang tampak begitu mulus, tak terdapat lubang sedikit pun. Dua orang anak laki-laki tampak berjalan dengan riang. Seorang yang lebih tinggi memimpin di depan sambil bersiul. Sesekali tangannya memetik rerumputan tinggi di pinggir jalan. Sedangkan di belakang, sang adik mengikutinya dengan langkah-langkah kecil. Kadang ia berlari untuk mengimbangi kakaknya. "Senangnya bisa bermain di luar lagi!" seru Arsen gembira. "Kita mau ke mana, Kak?" Arsya bertanya penasaran. "Sudah, ikuti saja." Arsya menoleh ke kanan dan kiri. Jalanan itu sepi. Tak ada siapa pun selain mereka berdua. Kendaraan juga tak ada yang lewat. Arsya merasa asing. Seharusnya mereka masih berada di jalan raya sekitar kompleks perumahan. Namun Arsya merasa
Seorang pemuda melangkah keluar dari pesawat yang baru saja ditumpanginya dengan perasaan riang. Ia telah tiba di Bandara Soekarno-Hatta. Senyum tak henti menghiasi wajahnya ketika berada di dalam taksi yang membawanya dari lokasi bandara di Tangerang menuju Jakarta. Ini bukan pertama kalinya ia menjejakkan kaki di ibu kota. Namun kali ini akan berbeda karena ia akan menetap. Setelah mendapat panggilan wawancara kerja dari sebuah perusahaan besar di Jakarta, Dikta langsung terbang dari Lampung. Wawancara kerja itu adalah seleksi akhir dan ia yakin akan lolos. Kalaupun akhirnya tidak lolos, ia berencana akan tetap berada di ibu kota untuk mencari pekerjaan lain. Dikta menghela napas ketika sopir taksi berhenti tepat di depan sebuah rumah indekos. Dikta telah berjanji dengan salah seorang temannya bahwa ia akan menginap di kamar indekos temannya tersebut selama ia mencari indekos yang lain. Namun beberapa jam menunggu, batang hidung si kawan tak juga muncul. Sa