Share

12. Defeat Your Fear

Rinai hujan semakin deras di luar sana, namun lalu lintas di bawahnya tetap terlihat padat. Kendaraan di jalan raya penuh sesak dan tampak tak bergerak. Aku memandangi semua itu dari jendela kaca apartemenku. Kupikir malam ini Arsya tak akan datang. Macet dan hujan, sudah pasti menjadi alasan bagi orang-orang yang telah lelah bekerja seharian ingin segera sampai di kediaman mereka untuk beristirahat.

Namun ternyata aku salah. Setengah jam kemudian Arsya datang, dengan senyum dan binar di wajahnya. Seolah ada yang ingin dia sampaikan. Seperti biasa, dia akan mengajakku makan sebelum memulai obrolan. Menurutnya, suasana hatiku selalu lebih baik saat perutku kenyang. Padahal saat ini aku sedang tidak lapar karena sudah makan malam tadi. Tapi aku tak bisa menolak harum ramyeon yang kami pesan secara delivery.

“Saya baca status kamu di aplikasi chat itu tadi siang.” Arsya membuka obrolan setelah kami selesai makan dan duduk di sofa sambil menonton TV.

“Lalu?”

“Ayo, kita pergi naik flying fox Sabtu ini,” ajak Arsya sumringah.

Aku menggeleng. “Saya takut, Arsya.”

“Are you afraid of height?” tanyanya.

“Sepertinya bukan karena ketinggian, tapi saya takut dengan kegiatan-kegiatan yang memacu adrenalin,” jawabku sedikit ragu. “Sepertinya begitu, karena saya juga takut mencoba paralayang, bungee jumping, arung jeram, dan sebagainya. Juga kegiatan lain yang bisa memicu adrenalin.”

Seperti bercumbu dan berhubungan badan, lanjutku dalam hati.

“Kalau begitu kamu harus mencobanya,” ucap Arsya.

Keningku berkerut. “Mencoba hal-hal yang membuat takut?

Arsya mengangguk. “Once in a lifetime, you should try something that you fear. Or you’ll wonder for the rest of your life.”

Tak menyahuti perkataan Arsya, aku mengalihkan pandanganku. Mengalahkan ketakutan terdengar mudah, tapi nyatanya tak seperti itu. Namun ucapan Arsya ada benarnya. Aku sudah lama ingin mencoba flying fox di berbagai kesempatan, akhirnya selalu tak terwujud karena rasa takut. Apakah aku harus mencobanya kali ini?

“Don’t worry, Abelia.”

Aku menoleh pada Arsya yang juga tengah menatapku.

“Everything will be okay. And I’ll be by your side,” ucap Arsya.

Pria ini berkata seperti itu seolah ucapannya bisa menenangkan. Aku menyipitkan mata ke arahnya, namun akhirnya aku mengangguk. Kurasa tak ada salahnya mencoba.

Sabtu paginya Arsya menjemputku. Kami akan pergi ke salah satu lokasi wisata di Puncak, Bogor. Sengaja kami berangkat pagi dari Jakarta karena berencana pulang sore dan tidak menginap, sesuai permintaanku. Setelah beberapa jam perjalanan, kami tiba di lokasi wisata. Pengunjung terlihat mulai ramai namun tidak padat.

Usai melihat-lihat sebentar, kami bergegas menuju wahana flying fox. Terdapat beberapa antrian untuk mencoba flying fox, tapi tak berapa lama kemudian giliran kami tiba. Dengan cekatan, para petugas memasangkan helm dan pengaman lainnya. Semuanya baik-baik saja, tapi ketika semua pengaman terpasang dan kami bersiap, jantungku berdegup.

“What’s wrong, Abelia? Kamu takut?” Arsya menatapku.

Aku mengangguk.

“Wajah kamu pucat banget.” Masih memandangiku, ia bertanya, “Mau kita batalkan saja?”

Segera aku menggeleng. “I’ll give it a try!” seruku meski masih sedikit ragu.

“Yeah, defeat your fear, Abelia! It’s gonna be okay. Trust me.” Arsya melengkungkan senyumnya. “Saya dulu yang naik, ya. Biar kamu melihat dan semakin yakin untuk mencoba,” ucapnya lembut.

Kembali aku mengangguk. Kali ini untuk menyetujuinya.

Petugas memasangkan tali-tali dan pengaman tambahan lainnya pada tubuh Arsya, sebelum melepaskannya. Selanjutnya giliranku. Jantungku berdegup semakin kencang. Aku memejamkan mata sejenak dan menghirup napas dalam. Setelah semua tali dan pengaman terpasang sempurna, petugas memberi aba-aba dan perlahan melepaskanku. Debaran jantungku semakin terasa, disusul rasa mual yang menyiksa.

Namun pemandangan di bawah sana membuatku terpana. Rasa gembira, takut, tegang, berdebar, dan mual berpadu menjadi satu membuatku berteriak beberapa kali. Ini mengagumkan! Kalaupun aku pingsan nanti, kurasa aku tak akan menyesal. Aku melihat Arsya di depan sana yang mencoba menoleh ke arahku beberapa kali.

“Arsyaaaaaa!!!” teriakku kencang.

“I’m here, Abeliaaa!” Arsya mencoba mengangkat sebelah lengannya ke atas untuk menyahutiku.

Lintasan sekian ratus meter itu terlewati dalam sekejap. Para petugas bersiap menyambutku. Sedangkan Arsya sudah melepas semua pengamannya dan berdiri menungguku dengan senyuman. Aku menghela napas lega begitu mendarat. Sangat lega, meski debaran jantung sisa-sisa ketakutan itu masih ada. Senyumku mengembang begitu Arsya mendekatiku.

“Well done, Abelia!” Arsya mengangkat tangannya untuk melakukan high-five.

Aku menyambutnya dan tangan kami bertepuk di udara. “Thanks.”

“Bagaimana rasanya?” Ia menautkan alisnya sambil mengulum senyum.

“Mendebarkan,” jawabku tertawa.

Arsya balas tertawa seraya mengacak rambutku. “What’s next? Paralayang, bungee jumping, atau arung jeram?”

“Saya tidak tahu, belum terbayangkan. Akhirnya berhasil mengalahkan ketakutan untuk mencoba flying fox saja, rasanya sudah begitu bahagia,” jawabku jujur.

Bagi orang lain mungkin ini adalah hal yang biasa. Hanya naik flying fox dengan pengaman dan lintasan sekian ratus meter saja. Namun bagiku yang memiliki ketakutan, hal ini luar biasa.

“Alright,” sahut Arsya. “Satu per satu kamu akan mengalahkan ketakutanmu.”

Aku menghela napas. “Semoga.”

Hari beranjak naik. Kami memutuskan untuk meninggalkan lokasi wisata dan mencari restoran untuk makan siang. Arsya menggenggam tanganku selama berjalan menuju mobilnya. Kali ini aku membiarkannya. Dan tidak seperti saat pertama kali ia menggenggam tanganku, saat ini aku tak merasakan pening dan gigil. Bayangan mengerikan itu hampir muncul, tapi aku berhasil menghalaunya.

Usai makan siang, aku mengajak Arsya untuk langsung pulang ke Jakarta. Ia menurut. Namun dalam perjalanan pulang, kemacetan panjang terjadi. Belum lagi, rintik hujan mulai turun. Tak ada yang bisa kami lakukan selain menerima keadaan. Perlahan kendaraan-kendaraan berjalan merayap. Tapi kemudian hujan menderas disertai angin yang menderu. Sampai pada satu titik jalan, seorang polisi lalu lintas mengabarkan terjadi kemacetan panjang karena ada kecelakaan kecil di depan.

Kebingungan mulai meliputi kami. Aku menoleh ke luar jendela, hujan pun seakan tak ingin berhenti. Kilat dan petir terus menyambar. Sementara hari sudah mulai gelap. Akhirnya kami memutuskan untuk singgah di hotel malam ini. Setelah melihat GPS, Arsya segera melajukan mobilnya menuju hotel terdekat. Cuaca sungguh tak bersahabat. Padahal menurut ramalan cuaca kemarin, hari ini hanya akan hujan ringan sore hari. Bagaimanapun, cuaca tak benar-benar bisa diprediksi.

Pengunjung begitu ramai begitu aku dan Arsya tiba di lobi hotel. Tampaknya mereka adalah orang-orang yang berlibur di akhir pekan dan tak bermaksud menginap, namun akhirnya menginap karena macet dan hujan. Seperti kami. Tak menghiraukan keriuhan di lobi hotel, kami bergegas ke meja resepsionis untuk memesan kamar. Resepsionis mengatakan kamar yang tersedia hanya tinggal dua kamar saja.

“Suite Room sudah habis, Pak. Hanya tinggal dua deluxe rooms. Satu kamar dengan double bed, yang satunya lagi twin bed,” jelas resepsionis pada Arsya.

“Kamu mau yang mana?” Arsya menoleh padaku,

“Kita pesan keduanya. Saya tidak mau kita satu kamar,” sungutku.

Arsya mengangguk, lalu memesan kedua kamar tersebut. Baru saja resepsionis akan memproses pesanan kami, ketika sepasang pria dan wanita datang dan memesan kamar. Mereka membawa bayi. Resepsionis segera mengonfirmasi bahwa persediaan kamar baru saja habis. Pria dan wanita yang tampaknya pasangan suami istri itu memohon agar dicarikan satu kamar lagi, namun resepsionis menegaskan bahwa sudah tidak ada kamar yang tersedia.

Melihat bayi mereka yang merengek tak nyaman dan sepertinya ingin segera beristirahat, aku merasa tak tega. Aku pun mengatakan pada Arsya untuk memberikan kamar yang kami pesan tadi pada mereka. Pasangan suami istri itu mengucapkan terima kasih pada kami dan segera mengambil deluxe room dengan double bed. Aku mengajak Arsya untuk mencari hotel lain atau langsung pulang saja ke Jakarta malam itu.

Namun, langkahku terhenti ketika melihat pemberitaan di TV lobi hotel. Berita itu menyampaikan bahwa kemacetan masih terjadi di ruas jalan utama Puncak, Bogor. Ada beberapa pohon tumbang dan di beberapa kawasan terjadi longsor. Aku bergidik. Segera aku berbalik dan menyuruh Arsya untuk kembali memesan kamar yang tadi.

“Kamarnya tinggal satu, deluxe room dengan twin bed. Berarti kita tidur satu kamar.” Arsya mengingatkan karena tadi aku bilang aku tidak mau tidur sekamar dengannya.

Aku mendesah. “Tapi saya tidak mau kita tidur sekamar, Arsya.”

“Lalu bagaimana? Mau kembali melanjutkan perjalanan juga sangat berisiko.” Arsya menatapku.

"Saya tidak mau satu kamar!” tukasku.

“Oke, kita lanjutkan perjalanan.” Arsya menggenggam tanganku dan menuntunku berjalan.

Aku menepisnya. “Kamu enggak lihat itu pemberitaan di TV?!”

Arsya menghela napas. “Jadi mau kamu bagaimana, Abelia? Kita pesan kamar yang tadi atau melanjutkan perjalanan?” tanyanya pelan.

“Ya, pesanlah kamar itu! Mau bagaimana lagi!” bentakku kesal.

Ia memandangiku. Ada raut ketidaksukaan di wajahnya karena aku membentaknya. Namun aku tak peduli dan segera memalingkan wajah. Akhirnya Arsya mengalah dan kembali ke resepsionis untuk memesan kamar yang tadi. Setelahnya, ia menuntunku. Dalam hati aku menyesal karena sudah membentaknya. Tapi aku tetap merasa kesal karena kami harus tidur satu kamar meski dengan tempat tidur terpisah. Awas saja kalau dia berani macam-macam!

***

khairunnisastuff

Double Bed: Satu tempat tidur (king size). Twin Bed: Dua tempat tidur ukuran single.

| 1

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status