Share

Chapter 12 — TIDAK ADA TOKOH YANG WARAS!

"Nona! Kereta kuda kerajaan sedang menuju kesini!" Seruan Ahn membuat Aquila langsung mengalihkan perhatiannya. Cewek berambut pirang itu langsung mengikuti arah pandangan Ahn. 

Apa?

Eh, Ada apa ini?

Aquila langsung bangkit dari tempatnya, ia meninggalkan sepotong kue berperisa stroberi yang bahkan masih belum ia sentuh. 

Aquila berlari keluar menuju perkarangan rumahnya yang luas. Dan benar saja, begitu gerbang besar dibuka, datang sebuah kereta kuda kerajaan dengan lambang khas istana tertera di bagian depannya. 

Sebenarnya ada apa ini? Apakah Zero ke sini karena sedang ada urusan dengan Duke Charles? Tapi, ayah Aquila tersebut sedang tidak ada di kediaman ini.

Atau mungkin Zero ada urusan dengan Alaster?

"Adikku sayang~"

Ah, Aquila mendadak merasa menyesal telah menyebut nama Alaster dalam hati, kakaknya itu, tiba-tiba saja sudah berada di belakangnya.

"Adikku, mengapa putra mahkota ke sini? Apa kau sedang ada urusan dengannya?" Alaster bertanya.

Aquila menggelengkan kepala. Aquila tidak tahu. Ia justru berpikir kalau Zero ke sini karena ada urusan dengan Alaster.

"Mhmm, ada hal apa, ya?" Alaster memegang dagunya.

Kereta kuda tersebut berhenti. Zero turun dengan gagahnya, benar-benar aura protagonis yang menyilaukan.

"Salam hormat kami, Yang Mulia Putra Mahkota." Alaster menunduk, Aquila juga mengikuti gerakan kakaknya itu. 

"Ada keperluan apa yang membuat Yang Mulia datang ke sini?" Alaster bertanya ramah.

Zero mengeluarkan sebuah buket bunga dari dalam jubah hitamnya. Ia sama sekali tak berbicara sepatah kata pun, ia hanya menyodorkan buket bunga tersebut ke hadapan Aquila. 

"Ooh~ Yang Mulia menyatakan perasaan kepada adikku!" Alaster memekik kegirangan. "Tapi bagaimana kalau kekasih anda cemburu?"

Aquila spontan menyikut Alaster, tidak bisakah makhluk aneh itu bertingkah sedikit lebih waras di hadapan Yang Mulia?

"Ambil." Zero berucap singkat, ia masih berupaya menahan amarahnya.

Aquila, yang mendengar ucapan dengan nada perintah itu tak mampu membantah. Ia mengambil kembali buket bunga tersebut.

Aquila ingat persis, ini adalah hadiah yang kemarin ia berikan untuk Zeline. Namun, mengapa benda ini bisa berada pada Zero?

"Hirup aroma bunga itu." Lanjut Zero. 

"Apa?" Balas Aquila tidak mengerti. 

"Hirup!" Sentak Zero tak sabaran.

"Tunggu dulu, Yang Mulia," Alaster berusaha menengahi, "bagaimana kalau anda masuk dulu? Kita bisa membicarakan maksud tujuan anda di dalam?"

"Kau diamlah." Zero menatap Alaster dengan tajam. "Aku belum mengizinkanmu untuk bicara."

Kali ini Zero kembali terfokus kepada Aquila. "Aquila, kau sungguh menjijikan." 

Aquila tersentak mendengar cemooh itu. Perlu diingat, dalam kehidupan sebelumnya, Aquila merupakan anak penakut yang begitu memedulikan pendapat orang disekitarnya tentang dirinya. 

Tentu saja ucapan dari Zero tadi sudah lebih dari cukup untuk melukai hatinya.

"Apa maksud Yang Mulia?" Tanya Aquila dengan suara bergetar.

"Hentikan sandiwaramu! Kau benar-benar memuakkan." Balas Zero dengan nada sinis. "Kau pikir, aku tidak tahu kalau kau lagi-lagi hendak mencelakai Zeline?" 

Aquila tak berani menatap wajah Zero yang kini terasa begitu mengintimidasi. 

"Kali ini kau sudah kelewatan." Ujar Zero lagi.

"Saya tidak mengerti..." Lirih Aquila.

"Bunga yang kau berikan untuk Zeline. Setelah menghirup bunga itu, Zeline langsung jatuh sakit." Zero berucap ketus. "Kau sengaja, 'kan?"

Aquila tak dapat berkutik. 

Ia berani bersumpah bukan ia pelakunya!

Tapi Aquila juga baru teringat sesuatu. Yang membuat buket bunga tersebut adalah Alaster, jadi, sudah pasti Alaster yang menaruh racun.

Pantas saja kemarin Alaster berpesan untuk menyuruh Zeline menyimpan bunganya di dalam kamar!

Dasar Alaster brengsek!

"Kenapa kau diam saja?" Cecar Zero. "Jadi benar, ya? Kau berniat membuat Zeline celaka?"

"Ti... Tidak, Yang Mulia," Aquila berucap patah-patah.

"Kau tahu, nyawa Zeline jadi terancam setelah ia menerima hadiah darimu!" Maki Zero, tentu saja ia tak terima jika ada yang berusaha mencelakai kekasihnya. 

"Sekarang, kau hirup bunga itu." Perintahnya, "kau harus merasakan rasa sakit yang Zeline rasakan." 

Aquila panik bukan main, ia tahu ia salah karena mempercayakan Alaster untuk membuat buket bunga ini. Tapi, tentu saja ia tak mau merasakan rasa sakit yang dirasakan oleh Zeline.

Aquila hanya tidak ingin mati ... Untuk yang kedua kalinya.

Tanpa sadar setetes air mata turun begitu saja dari mata Aquila. Tubuhnya gemetar karena rasa takut. Ia sungguh merasa ketakutan!

"Ini perintah." Zero berucap dengan penuh penekanan. 

Aquila menggerakkan buket bunga itu dekat dengan indra penciumannya. 

Aquila menghirup bunga tersebut dalam-dalam. 

Selamat tinggal dunia ...

...

LOH, KOK TIDAK TERJADI APA-APA?!

Aroma bunga itu sungguh harum. Aquila langsung menjauhkan buket bunga tersebut dari hidungnya. Sama sekali tidak terjadi apa-apa, Aquila merasa kebingungan sendiri.

Bukannya Aquila ingin terjadi sesuatu. Tapi ia hanya merasa heran?

Atau ternyata efek racunnya belum bekerja?

"Yang Mulia, saya tidak terima dengan penghinaan ini." Alaster kini angkat bicara, ia tak bisa membiarkan adik kesayangannya dibuat ketakutan seperti tadi!

"Adik saya sudah berbesar hati dengan meminta maaf terlebih dahulu serta memberikan hadiah untuk putri Baron tersebut." Alaster berucap dengan nada tegas. "Tapi anda justru menuduh adik saya berniat jahat terhadap kekasih anda? Saya sungguh merasa terhina."

Aquila mundur beberapa langkah, ia bersembunyi di balik tubuh Alaster. Aquila hanya bisa menunduk, berusaha menghentikan air mata yang kian bercucuran. 

Alaster ada gunanya juga. Aquila jadi merasa bersalah sering menghina kakaknya itu. 

"Sebenci itukah anda kepada adik saya?" Alaster melanjutkan. "Anda bahkan sama sekali tak memiliki bukti yang kuat kalau adik saya berniat jahat, anda hanya menyimpulkan sepihak."

Zero berdeham, ia mengalihkan pandangannya dari Alaster yang tiga tahun lebih tua darinya. 

"Saya punya seseorang yang sangat ingin saya lindungi." Zero kini membuka suaranya. "Saya hanya ingin keadilan untuk Zeline, jika seandainya Aquila pelakunya."

"Omong kosong!" Bentak Alaster. "Lalu, apa? Sudah terbukti, 'kan, kalau Aquila tidak bersalah?" 

"Kak Alaster, kau seharusnya mengerti posisiku." Zero mendadak jadi melankolis, ia bahkan tidak lagi menggunakan bahasa yang formal, itu adalah bahasa yang sering digunakannya kepada Alaster saat masih kecil dulu. "Aku hanya khawatir pada Zeline! Aku hanya ingin melindunginya!"

"Kau bisa melindungi kekasihmu tanpa harus menindas adikku." Alaster berucap dingin. 

Zero diam seketika.

"Kalau begitu, posisiku juga sama denganmu. Aku hanya ingin melindungi adikku, aku tak akan segan-segan untuk membalas siapapun yang hendak melukai adikku." Alaster berujar serius, "aku tidak peduli meskipun itu kau, Yang Mulia." Ujarnya memberi penekanan tersendiri pada kata 'Yang Mulia'.

"KAK—" Zero hendak berseru lagi, namun Alaster langsung memotong ucapan orang yang pernah ia anggap adik tersebut.

"Hentikanlah, Zero." Alaster berujar dengan tegas, "kau harus mengerti batasanmu." Kali ini giliran Alaster yang memberikan tatapan menusuk. "Saat ini keluargaku masih memihak kepadamu itu karena permintaan Aquila. Aku bisa saja berubah haluan dan jadi memihak pangeran yang lain jika kau terus-terusan menyakiti adikku."

"Jadi, jangan melewati batas." Alaster berbisik tepat di telinga Zero.

***

"Sebenarnya memang benar apa yang diduga Zero." Alaster kini sedang ada di salah satu bar kecil dekat gang sempit milik salah satu kenalannya. Bar ini sungguh terpencil sehingga jarang orang yang berdatangan.

"Aku memang menaruh racun dalam buket bunga itu." Gumamnya lirih. Ditangannya terdapat sebotol kecil bersisi cairan bening yang hanya tersisa setengahnya. 

Tangan Alaster bergerak, membuka tutup botol racun tersebut. Alaster tersenyum simpul. "Tapi racun ini tak akan bekerja jika tidak ada pemicunya." 

"Untungnya saja..." Kali ini Alaster menuangkan setetes racun tersebut di atas serpihan bubuk berwarna putih kekuningan. "Aku punya seseorang yang bisa dipercaya untuk meletakkan pemicunya." Bisa dilihat, tetesan racun tersebut mulai bekerja jika terkena serpihan bubuk putih yang disebut Alaster sebagai pemicu tersebut.

"Untungnya saja ... Kepala pelayan di kediaman Baron Aideos memihak padaku." Alaster kian menoleh, disampingnya ada seseorang yang tak asing baginya. 

"Ucapanku benar, kan?" Alaster menyeringai, menatap kepala pelayan di kediaman Baron Aideos yang kini telah menjadi sekutunya.

"Saya siap untuk tugas selanjutnya, tuan," jawab si kepala pelayan yang telah tunduk.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status