Share

2. Kejutan Siapa?

Pukul enam pagi di hari berikutnya, kala Samita terjaga dan membuka mata, Nugi sudah meninggalkan apartemennya. Seperti biasa, lelaki itu pergi dini hari, dijemput oleh Rian–manajernya. Ketika memeriksa ponsel, Samita menemukan pesan berpamitan dari lelaki itu, disertai permintaan maaf karena meninggalkan apartemen tanpa berpamitan secara langsung.

As if that’s not a common thing he always does whenever he comes around, pikir Samita, lalu mengetikkan balasan bernada sarkas sesuai dengan yang terlintas di pikirannya barusan. Setelahnya, perempuan itu bangkit dari ranjang dan bersiap untuk berangkat ke kantor.

Menjadi pacar rahasia seorang musisi dan penyanyi terkenal membuat Samita terbiasa dengan ketiadaan sang kekasih di sisinya. Bertemu dengan Nugi hanya bisa dilakukan jika lelaki itu yang menginisiasi lebih dulu. Orang-orang bilang, perempuan yang kelak menjadi pacar Nugi Radi adalah gadis yang beruntung. Memiliki kekasih berwajah tampan, karir matang serta bakat musik yang tidak diragukan–jelas terdengar seperti satu anugerah dan keberuntungan yang berharga.

Tapi, menurut Samita, Nugi-lah yang beruntung karena memiliki kekasih sepertinya.

Samita bukan tipe perempuan manja yang terlalu mengandalkan lelakinya. Samita juga bukan pencemburu yang akan memberondong Nugi dengan pertanyaan terkait kedekatan dengan rekan wanita. Bukan pula jenis pacar yang menuntut kabar setiap saat. Samita mencintai dalam damai. Perempuan itu menitipkan kepercayaannya pada Nugi, membiarkan lelakinya memiliki ruang gerak yang leluasa. Dan selama ini, Nugi selalu menghargai kepercayaan Samita dengan tidak pernah membohongi sang kekasih.

Inilah alasan mengapa Samita bisa memahami dan menerima setiap kekurangan seorang Nugi Radi. Karena setidaknya, setiap sifat buruk yang ia temui pada diri sang kekasih adalah sebuah kelemahan yang jujur. Nugi tidak pernah mencari alasan atas kesalahannya. Lelaki itu membanggakan setiap kelebihannya tanpa berpura-pura tidak memiliki kelemahan. Nugraha Randika atau yang kini telah menjelma menjadi Nugi Radi tidak pernah menyembunyikan apa-apa dari Samita.

Samita tengah mengunci kembali pintu apartemennya dari luar kala dering ponselnya terdengar. Menyebabkan ia buru-buru menyelesaikan kegiatannya mengunci pintu untuk kemudian mengambil benda pipih persegi panjang itu dari dalam tasnya.

Mama.

Kening Samita berkerut menemukan nama sang ibu tertera di layar. Tadinya ia pikir, Nugi-lah yang menghubunginya. Namun, sepertinya dugaan Samita salah. Setengah bingung, setengah penasaran, perempuan itu memilih opsi jawab pada panggilannya.

“Ya, Ma?”

“Halo,” Suara ibunya terdengar di seberang sana. “Ita apa kabar, nak?”

Sembari berjalan menuju lift gedung, Samita tertawa kecil. “Mama nelepon sepagi ini cuma mau nanyain kabar aku?”

“Semalem Mama telepon nggak diangkat,” sahut ibunya setelah satu kekehan pelan. “Kamu ke mana semalem? Kecapekan abis lembur lagi?”

Kening Samita lantas berkerut. Ia menjauhkan ponsel dari telinganya sejenak, melihat layar ponsel yang mengedip lambat dengan tatapan sangsi. Samita berusaha mengingat-ingat. Sepanjang pagi ini, ia memang baru membuka notifikasi obrolan daring dari Nugi saja. Mungkinkah ia melewatkan pesan dari sang ibu? Atau ibunya memang tidak meninggalkan pesan apa pun dan hanya berusaha menghubunginya semalam? Selain notifikasi dari aplikasi obrolan daring, Samita memang belum sempat memeriksa deretan notifikasi lain yang memenuhi ponselnya sejak semalam.

“Mama nggak nge-chat?” tanyanya penasaran.

“Nggak. Mama cuma nelepon sekali. Nggak diangkat, ya, udah. Mama pikir mungkin kamu udah tidur, kecapekan, jadi ya besok pagi aja neleponnya.”

Kepala Samita terangguk. Langkahnya terhenti di depan lift, menunggu pintu lift terbuka bersama beberapa penghuni lain. Samar, ia menganggukkan kepala sembari tersenyum pada para penghuni lain yang sudah lebih dulu menunggu di sana. Setelahnya, atensi Samita kembali pada ponsel yang masih menempel di telinganya.

“Iya, maaf, Ma. Aku belum sempet ngecek hape tadi pagi, jadi nggak tahu kalau Mama telepon,” balas Samita. “Mama ada apa telepon semalem?”

“Nggak, Mama cuma mau ngabarin Mama hari ini ke Jakarta.”

“Hah?”

Terdengar kekehan pelan. “Kamu kenapa? Kok kaget banget gitu?”

Samita menggaruk alisnya. “Hah? Nggak, itu, dadakan banget. Mama ngapain ke Jakarta?”

Pintu lift di depan Samita terbuka. Beberapa orang melaluinya dengan bergegas, terburu memasuki kotak besi yang akan mengantar mereka ke lantai bawah itu. Di tempatnya, Samita memutuskan untuk menunda. Ia mengangguk sopan pada seorang wanita seusia ibunya yang tampak menahan pintu lift untuknya. Samita membuat gestur mempersilakan, meyakinkan wanita tadi untuk pergi tanpa dirinya. Ia tidak terlalu mengenal setiap tetangganya di lantai ini namun setidaknya, Samita mengingat beberapa wajah yang familier.

“Tante Sonya ngajak ketemuan. Kamu masih inget, nggak? Tetangga kita di Cikarang dulu. Sekalian mau kasih undangan katanya, si Fara mau nikah. Itu, loh, yang dulu sering main sama kamu di taman kompleks.”

Sekilas, Samita teringat pada sosok Fara di masa lalu. Anak perempuan yang manis dan baik hati. Mereka satu sekolah di Sekolah Dasar. Berpisah sekolah saat SMP, namun masih berteman karena masih bertetangga. Pertemanan kecil itu terputus setelah Samita dan ibunya pindah rumah selepas Samita lulus SMP. Namun, rupanya, sang ibu masih berhubungan baik dengan keluarga Fara.

“Iya, inget,” sahut Samita sambil menyandarkan punggungnya pada dinding di sisi lift, menanti salah satu dari tiga pintu lift yang berjejer di sisinya terbuka. “Jauh-jauh ke sini cuma mau ketemu Tante Sonya doang, Ma?”

Suara tawa ibunya menguar di telinga Samita, disusul jawaban yang masih dibalut tawa tertahan, “Ya, nggaklah. Sekalian ketemu kamu.”

“Oh,” Samita bergerak, memeriksa arlojinya. Masih ada cukup waktu baginya agar tidak terlambat sampai ke tempat kerja. Karenanya, ia kembali santai menanggapi ucapan sang ibu. “Emang balik ke Cirebonnya jam berapa?”

“Ya, nggak pulang-pergi hari ini juga, Ta. Pulangnya besok siang. Mama nginep di kamu, ya, nanti malem.

Tubuh Samita seketika menegak. Pupil matanya bergerak acak. Bukan, bukan karena ia anak durhaka yang hendak menolak kunjungan sang ibunda, tapi masalahnya....

“Mama janjian sama Tante Sonya jam berapa?” tanya Samita tergesa. Ia kemudian menjauhkan ponsel dari telinga, berniat segera melakukan sesuatu di ponselnya, namun urung karena teringat ibunya masih berbicara.

“Sore, sih. Di jadwal juga keretanya baru sampe Senen jam setengah tiga. Kamu ngantor, kan, hari ini?”

“Mama nanti dari stasiun langsung ketemuan sama Tante Sonya?” sambar Samita segera kala mendengar penuturan ibunya. “Ma, ih, repot, nggak? Barang bawaan banyak, nggak? Harusnya bilang dari jauh-jauh hari, Ma, biar pas Mama ke sini, aku bisa cuti dulu dari kantor–”

“Ta,” suara lembut sang ibu menghentikan gerutuan Samita. “Mama nggak bawa barang banyak kok, orang besok juga udah ke sini lagi. Kamu nggak usah kuatir.”

Samita mengembuskan napas. Sering kali, ia dibuat gusar oleh ibunya. Ia tahu ibunya adalah sosok wanita hebat yang kuat menanggung segala beban. Namun, di usia seperti sekarang, Samita tidak suka membayangkan ibunya terlalu sering bepergian sendirian dalam jarak yang lumayan. Samita masih hidup, masih sehat. Seperti saat dulu sang ibu berjuang sekuat tenaga membesarkannya seorang diri, Samita juga ingin menjadi anak yang berbakti.

“Gini aja, hari ini aku ijin pulang cepet dari kantor. Nanti aku jemput Mama di stasiun, oke?”

“Nggak ngerepotin Ita?”

“Aku nggak sedurhaka itu, Mama.”

Ibunya tergelak ringan di seberang sana, menerbitkan satu senyuman di wajah Samita. Perempuan itu lalu menghela pelan. Memeriksa arlojinya sekali lagi, kemudian teringat pada satu hal penting lain yang harus segera ia lakukan sebelum ia lupa.

“Pokoknya nanti Mama kabarin aku terus keretanya udah di mana, di mana. Nanti aku kabarin juga aku bisa ninggalin kantor jam berapa. Ya, Ma? Aku berangkat dulu. Udah jam segini, takut tambah macet.”

“Ya, udah. Iya. Kamu hati-hati ya, di jalan,” pesan sang ibu, menyebabkan senyuman Samita kian melebar.

“Siap. Mama juga ati-ati.”

Beberapa kalimat singkat lain terlontar sebelum telepon diputus. Lekas menjauhkan ponsel dari telinga, Samita lalu bergegas memasuki salah satu lift yang kebetulan terbuka. Ia sempat tesenyum tipis pada penumpang lift lain yang sudah lebih dulu ada di dalam sebelum buru-buru mengembalikan fokus pada ponsel di tangannya.

Dengan lincah jemarinya membuka aplikasi obrolan daring lalu membuka ruang obrolan dengan Nugi. Samita buru-buru mengetikkan sesuatu pada sang kekasih. Sebuah ralat untuk satu pernyataan yang telah tadi telah lebih dulu ia kirimkan, sebelum ibunya menelepon.

Nugraha Randika

Hari ini juga jangan lembur

Nanti sore aku stay di apart lagi

Samita Indira

Iya

Terserah

Samita Indira

Gi, hari ini jangan ke apart dulu

Mama lagi di Jakarta

Nanti malem mau nginep

***

Seharusnya, Samita sudah tahu bahwa Nugi bukan tipe lelaki yang akan dengan senang hati mematuhi ketika diminta untuk tidak melakukan sesuatu. Seharusnya Samita tidak terkejut mendapati lelaki itu bertamu ke unit apartemennya hanya selang beberapa menit setelah ia dan ibunya sampai di sana. Samita bahkan hampir yakin kalau lelaki itu sesungguhnya sudah lebih dulu tiba, namun sengaja menunggu entah di mana.

Dasar Nugi sialan, batin Samita kala membukakan pintu dan terpaksa mempersilakan lelakinya masuk. Samita bersumpah ia sempat melihat lelaki itu menyeringai dan mengedipkan sebelah mata ke arahnya, sebelum meneruskan langkah menemui dan mencium tangan ibunya.

“Loh, ada Nugi?” tanya Ibu Samita. Nugi nampak menyunggingkan senyum. Satu senyum yang membuat Samita memutar bola mata karena merasa bahwa lelakinya tengah berakting menjadi anak baik-baik di hadapan ibunya.

“Iya, Tante,” sahut Nugi sembari mendudukkan diri kemudian mengangguk ke arah Samita. “Tadi Ita bilang Tante lagi di Jakarta, makanya aku sekalian mampir. Udah lama nggak ketemu sama Tante.”

Samita nyaris mengeluarkan suara mengolok-olok. Nugi Radi memang seorang pelakon dunia hiburan sejati. Lelaki itu seolah mampu memainkan peran apa saja, berpura-pura memiliki perangai apa saja. Bahkan kini, lelaki itu bisa menguarkan aura sangat sopan yang nyaris tidak pernah Samita saksikan dalam kesehariannya.

“Iya, kebetulan lagi di sini.” Ibu Samita tersenyum simpul. “Nugi apa kabar? Lagi sibuk, ya?”

“Baik, Tante. Nggak sibuk, kok. Biasa aja,” jawab Nugi. Satu tangannya lalu mengusap tengkuk. Orang awam mungkin melihat itu sebagai gestur pengusir canggung atau bentuk ketidakmampuan seseorang dalam pengendalian diri atau penguasaan situasi. Namun, Samita memahami Nugi terlalu baik hingga ia nyaris tertawa. Lelaki itu hanya sedang berupaya tampak santun di hadapan ibunya, sebuah usaha mengubur dalam-dalam kesan angkuh yang selalu muncul dalam setiap gerak-geriknya. “Oh, iya, Tante. Ini ada sedikit oleh-oleh, kebetulan aku abis ada kerjaan di Bandung, baru balik Jakarta tadi pagi.” Nugi bersuara lagi sembari meletakkan bungkusan plastik yang baru Samita sadari keberadaannya.

“Makasih, ya, Nugi. Repot-repot jadinya, baru pulang jadi harus mampir ke sini segala,” balas Ibu Samita, menerima pemberian kekasih putrinya itu. Tidak menyadari bagaimana Samita tengah berjuang agar tidak sampai meledakkan tawa di tempatnya. Sungguh, kebohongan macam apa yang tengah didengarnya ini?

Bandung apanya? Jelas-jelas semalam lelaki itu tidur bersamanya dan seharian ini disibukkan dengan kegiatan rekaman di studio labelnya.

Diam-diam, Samita melempar pandangan pada lelakinya, berusaha bertanya melalui sorot mata tentang dari mana Nugi memperoleh dua kotak brownies dengan merek khas kota Bandung itu untuk menguatkan cerita bualannya barusan. Nugi hanya mengerling samar. Senyum di bibirnya masih senyum Si Anak Baik. Namun, Samita mengenali binar di mata lelakinya. Sorot jenaka yang menyebalkan, yang tanpa sadar membuat Samita memutar bola mata.

“Nggak repot, kok, Tante. Emang niatnya mau ngasih oleh-oleh buat Ita juga. Kebetulan Tante lagi di sini, jadi sekalian ketemu Tante.”

Berniat menyelamatkan sang kekasih dari dosa berbohong yang lebih jauh, Samita memutuskan untuk menyela percakapan. Ia menyenggol lengan Nugi yang duduk tak jauh darinya. “Mau minum, nggak?”

“Loh, iya, sampai lupa nawarin minum,” celetuk Ibu Samita. “Nugi mau minum apa?”

“Eh, nggak usah, Tante.” Nugi menyahut cepat, seolah sudah terencana. “Aku cuma sebentar, kok, Tan. Ini mau langsung balik, bentar lagi dijemput manajer. Besok ada kerjaan dari pagi soalnya, jadi disuruh cepet istirahat biar fit.”

“Oh, gitu,” Ibu Samita mengangguk-angguk. “Padahal udah lama ya, nggak ketemu Nugi. Sayang banget,” wanita itu tersenyum. “Tapi, ya, udah. Lagian udah malem juga, kan, nggak enak juga kamu namu malem-malem.”

Nugi mengangguk menyetujui. Lelaki itu lantas maju dan kembali mencium tangan Ibu Samita. “Aku pamit dulu ya, Tante. Maaf nggak bisa lama.” Ia lalu beralih pada Samita. “Ta, aku balik.”

“Iya, hati-hati ya, Nugi,” pesan Ibu Samita.

Setelahnya, Nugi pamit undur diri. Sementara Samita meminta ijin pada sang ibu untuk mengantar kekasihnya sampai keluar pintu. Kala pintu telah tertutup di belakang mereka, Samita lekas menguarkan gelak pelan sembari memukul ringan lengan Nugi.

“Gila, ya. Udah dibilang nggak usah ke sini dulu, pake dateng segala. Mana pake bohong segala. Itu Amanda beli dari toko yang di mana, tuh?”

Yang ditanya lantas memamerkan cengiran menyebalkan. Topeng Si Anak Baik sudah ia tanggalkan. Yang tersisa di hadapan Samita hanya Nugi Radi yang biasa. Si tengil yang banyak ulah.

“Kangen, Ta,” sungut lelaki itu dengan nada manja yang dibuat-buat. Tangannya mampir dan hinggap pinggang Samita tanpa ijin. Membuat Samita dengan sigap menurunkannya, khawatir sang ibu mendadak keluar dan memergoki mereka. “Amanda dari Bandung beneran, tuh. Anak Satura ada yang abis dari Bandung, beneran baru balik tadi pagi,” sambung Nugi kemudian, setengah tertawa. “Abis bingung mau alesan apa supaya tetep bisa ketemu kamu hari ini.”

Samita mendengkus. Pupilnya kembali berotasi mendengar ucapan Nugi. Kali ini, Samita tidak sempat menghalau kala tangan lelaki itu kembali memegang pinggangnya lalu mengikis jarak di antara mereka. Satu kecupan mendarat di bibir Samita. Membuatnya terpaksa menghadiahi Nugi dengan pukulan di dada.

“Ada Mama, Gi,” tegur Samita sebelum melepaskan diri.

“Tante nggak liat, Yang,” balas Nugi dengan senyum kemenangan.

“Udah, sana pulang.” Samita berkeras, berniat segera mengusir Nugi agar ia tidak terlalu lama berada di luar. Bisa-bisa ibunya curiga. “Jangan lupa minta dijemput Mas Rian,” sindirnya kemudian, mengingatkan Nugi pada alibi lelaki itu yang tadi menyebutkan bahwa ia akan pulang bersama manajernya.

Mendengar itu, Nugi tertawa.

“Aku bawa mobil sendiri. Si Rian lagi ada rapat sama petinggi, nggak tahu bahas apaan.”

Samita mengangguk cepat sebagai tanggapan. “Ya, udah. Sana pulang.”

“Padahal mau tidur sama kamu lagi malem ini.”

Oh, si berengsek ini.

“Gi....”

Terdengar tawa menyebalkan khas Nugi. “Iya, iya. Aku pulang.”

Samita menghela. “Text me when you get home.”

Sepasang alis Nugi terangkat. “What kind of text? The S text?”

“Nugraha Randika....”

Nada itu berbahaya, namun justru membuat Nugi tertawa lepas. Ia mendekatkan diri sekali lagi, kali ini demi mendaratkan bibirnya di kening Samita. “Iya, nanti aku laporan kalo udah sampe. Udah sana, kamu masuk dulu baru aku pulang.”

Samita mengangguk kala Nugi telah kembali memundurkan diri. Tatapan mereka bertemu. Nugi memberinya satu senyum yang–menurut pendapat Samita pribadi–hanya pernah Nugi tunjukkan padanya. Sebuah senyum murni, yang tidak dibalut apa-apa selain niat tulus.

Satu tangan lelaki itu lantas mampir mengusap puncak kepalanya. Setelah ia selesai, Samita melambaikan tangan singkat, lalu berbalik dan kembali masuk ke unit apartemennya. Pandangannya lekas bertemu dengan sang ibu yang sepertinya refleks menoleh mendengar suara pintu dibuka. Sembari tersenyum tipis, Samita menghampiri ibunya, lalu duduk di sisinya.

“Kamu masih pacaran sama Nugi, Ta?”

Pertanyaan yang tiba-tiba itu membuat kening Samita berkerut. Ia menegakkan tubuh, berusaha mencari dan mempelajari raut wajah sang ibunda.

“Ya ... iya,” jawabnya, setengah ragu. “Kok Mama nanyanya gitu?”

“Ya, nggak pa-pa,” sahut ibunya sembari tersenyum tipis. “Kalau kamu emang masih yakin sama dia, ya nggak pa-pa. Mama nanya aja.”

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status