POV YASMIN
Aku termenung dengan benak yang melesat jauh entah kemana. Gadis beriris biru itu seolah memberi jawaban atas semua pertanyaan dan kesalahan pahamanku selama ini pada Mas Bagas.Ini seperti jebakan yang membuat kumasuk ke dalam perangkap dan kemudian hancur. Aku baru menyadari jika semua ini hanyalah akal-akalan Reza. Ia sengaja memfitnah Mas Bagas demi menutupi kehamilannya. Lalu anak siapakah gadis beriris biru itu. Tidak mungkin jika gadis kecil itu adalah anak dari pria yang sering bersamanya itu."Yas!" Panggil Bang Rasyid membuatku tersadar dari lamunan."Eh, iya bang kenapa?" tanyaku menoleh pada pria yang duduk di kursi kemudi."Kok bengong aja!" ucapnya mengusap lembut bahuku sesaat menatap kepadaku dan jalanan di depan kaca mobil. "Masih mikirin kejadian tadi,' ucap Bang Rasyid dengan tatapan penuh arti."Iya bang!" sahutku dengan suara berat'. Ada sesak yang berjejaAku berjalan masuk ke dalam toko dengan sewot. Bisa-bisanya aku salah orang dan orang itu adalah Mas Bagas. Kan aku jadi malu, dikirainnya aku memang masih menaruh harapan kepadanya. Membuat Mas Bagas pasti besar kepala. Padahal ... Ah, aku sangat benci sekali dengan lelaki pembohong seperti Mas Bagas itu."Yas, dari mana? Aku nungguin kamu loh!" celetuk pria yang duduk di kursi ruanganku setalah aku membukakan pintu ruangan. Lelaki itu menjatuhkan tatapan teduh ke arahku yang baru tiba."Abang!" cetusku dengan wajah yang masih di tekuk dengan rasa kesal yang belum hilang sepenuhnya."Lah, itu kenapa bunga kiriman dariku di bawa-bawa!" serunya menunjuk ke arah bunga yang berada di tanganku dengan wajah datar."Apa?" mataku membulat, "Bunga ini dari Abang?" ucapku setengah tidak percaya mendengar ucapan Bang Rasyid."Iya, itu dari Ab
Aku menoleh pada pria yang sedang terduduk di belakang punggungku. Ia nampak menarik sudut bibirnya tersenyum ramah kepadaku."Mas Bagas!" ucapku pada pria itu setengah terkejut."Bukan Mi, namanya paman Roby. Saudara nenek," jelas Aska menelangkupkan tangannya pada kedua pipiku memutar wajahku menatap kepadanya ingin meyakinkan."Betul itu, namaku Roby!" celetuk Mas Bagas tersenyum menyebalkan.'Apa-Apaan ini. Permainan apa lagi yang sedang Mas Bagas buat.'Aku segera bangkit dari posisiku. "Nak, kamu ganti baju dulu sana sama Bibi, Umi mau ngobrol dulu sama om, eh sama Paman," ucapku pada Aska.Aska bergeming menatap pada wajahku dan Mas Bagas secara berganti. Kemudian bangkit, berjalan gontai naik ke lantai atas.Setelah memastikan jika Aska telah menghilang pada ana
Dengan jantung setengah memacu kuberanikan diri untuk mengungkapkan perasaanku kepada Bang Rasyid. Meskipun semua ini tidak sepenuhnya lahir dari dalam hatiku. Tapi setidaknya aku bisa mewujudkan keinginan Aska. Memiliki seorang ayah. Karena dengan begitu, Mas Bagas tidak akan berani mendekatiku."Yas, sumpah kamu lagi ngak bercanda kan?" cetus Bang Rasyid mengebu. Aku bisa mendengar suaranya penuh kegembiraan. Nafasnya menderu terdengar jelas pada panggilan ponsel. Aku yakin pasti saat ini lelaki itu sangat bahagia, akhirnya aku membalas cintanya."Iya Mas! Aku serius!" ucap dari bibir yang kupaksakan untuk mengiyakan pertanyaan Bang Rasyid. Jantungku bergemuruh, saat ini hatiku dan jantungku benar-benar sedang tidak sejalan."Yas, please jangan bercanda seperti itu padaku? Ini nggak lucu Yasmin!" Suara gugup itu terdengar dari balik telepon."Bener Mas, aku tidak s
POV BAGAS"Kenapa kamu senyum-senyum seperti itu?" tanyaku pada bocah kecil yang terus menyuapkan es cream ke mulutnya. Sudut bibirnya terus terangkat saat lidahnya menjilati es cream yang aku berikan pada Aska."Memang kelihatan ya Paman?" tanyanya menoleh kepadaku diikuti ulasan senyuman. Aku mengangguk, mengiyakannya."Aku sedang bahagia, Paman," tutur Aska, nampak sorot mata jeli itu menyiratkan kebahagiaan yang dalam.Aku semakin penasaran, kebahagiaan apa yang sedang Aska rasakan hingga membuat senyuman itu terbit dadi bibirnya."Apakah kamu tidak ingin membagi kebahagiaanmu dengan Paman? Paman juga ingin bahagia seperti kamu," balasku mengusap pucuk kepala Aska.Aska kembali menoleh, mantap gembira pada wajahku. Ia seperti sedang mempermainkan rasa penasaranku ini. Bibirnya terkunci, hanya menguki
Bibir Yasmin bergetar. Netra yang masih dibasahi oleh air mata perlahan kembali mengenang membulat menatapku nyalang. Gerakan tangan Yasmin tercekat atas ucapanku. Menyentuh lengan kiri yang kubentangkan menghalangi pintu."Maksud kamu apa Mas?" ucapnya lirih dari bibir yang masih bergetar. Sorot matanya tajam menghunus hatiku yang sudah berantakan.Jantungku berdebar, ada rasa takut menelusup dalam hati melihat tatapan Yasmin yang dulu teduh kini justru terlihat mengerikan kepadaku. Bisa kurasakan, sikapku kali ini sangat membuatnya terluka."Cepat katakan Mas?" pekiknya kembali meremas bajuku dan mengoyangkannya sekuat tenaga."Kamu nggak boleh menikah Yas?" sentakku membuat cengkraman tangan Yasmin dari bajuku terlepas."Kamu tidak memiliki hak apapun atas hidupku, kamu lupa dengan yang telah kamu lakukan kepadaku di masa lalu, Mas?" u
POV RasyidHidupku kini telah sempurna. Memiliki seorang istri secantik Yasmin dan sangat taat beragama. Mungkin aku sebagai laki-laki tertinggal jauh darinya dalam hal itu. Tapi aku merasa sangat beruntung, akhirnya sekian lama aku menunggu Yasmin resmi menjadi milikku. Kekasih halalku.Tidak hanya itu, hidupku pun kini di lengkapi dengan kehadiran Aska sebagai warna tersendiri dalam perjalananku. Bocah kecil itu sudah aku anggap seperti anakku sendiri jauh sebelum aku menjadi ayah sambungnya. Selain dia anak yang cerdas, Aska juga anak yang sangat menggemaskan hingga aku sangat menyayanginya."Yas!" panggilku pada wanita yang menyandarkan kepalanya pada dadaku.Sedari tadi sepertinya istriku sangat senang berlama-lama menyadarkan kepalanya pada dadaku. Mendengarkan ritme jantungku yang masih belum teratur setelah pertempuran menyenangkan antara aku dan
Aku segera menepikan mobil yang kukendarai ke tepi jalan. Sebentar saja aku lengah, pasti wanita yang sudah berada di ujung pagar pembatas jembatan itu terjun ke jurang di mana air sungai bengawan solo mengalir dengan deras yang mampu menengelamkan siapapun yang menjatuhkan diri di dalamnya.Wanita itu menoleh, saat sorot lampu mobilku menangkap bayangan tubuhnya. Aku segera turun dan mempercepat langkah kakiku untuk mendekatinya sebelum wanita dengan gelagat bunuh diri itu benar-benar terjun dari tebing jembatan."Mbak, Mbak mau ngapain?" sergahku pada wanita yang menampakkan wajah sembabnya kepadaku saat aku tiba."Pergi, jangan urusin aku. Aku mau mati!" balasnya sesenggukan. Air matanya berlinang membasahi pipi bersama gerimis yang tak kunjung berhenti membasahi kami.Aku menoleh ke kanan dan ke kiri. Tidak ada siapapun untuk dimintai pertolonga
POV Reza. "Mau kemana Za, udah sih di rumah aja. Nanti juga kalau Mas udah dapat proyek lagi Mas akan kasih apa yang kamu mau." Mas Rio menarik pergelangan tanganku, hingga tubuhku kembali terduduk di kursi sofa tempat ia berada saat ini. "Mas, kemarin kita udah jual kulkas, bulan lalu jual mesin cuci sekarang kita mau jual apa lagi Mas. Lama-lama semua barang milikku bakalan habis cuma gara-gara ngurusin Mas yang pengangguran," umpatku kesal pada Mas Rio. "Iya Za, maaf, toh aku kan sudah berusaha ngajuin proyek sana sini, kalau emang belum dapat mau gimana lagi dong. Mas kan cuma bisa berusaha dan Allah yang menentukan," kilahnya lagi, selalu nama Tuhan yang ia bawa membuatku semakin benci sekali dengan Mas Rio. Aku menghela nafas panjang, bosan juga ternyata mendengar alasan Mas Rio yang itu-itu saja. "Mas, ada nga