Bibir Yasmin bergetar. Netra yang masih dibasahi oleh air mata perlahan kembali mengenang membulat menatapku nyalang. Gerakan tangan Yasmin tercekat atas ucapanku. Menyentuh lengan kiri yang kubentangkan menghalangi pintu."Maksud kamu apa Mas?" ucapnya lirih dari bibir yang masih bergetar. Sorot matanya tajam menghunus hatiku yang sudah berantakan.Jantungku berdebar, ada rasa takut menelusup dalam hati melihat tatapan Yasmin yang dulu teduh kini justru terlihat mengerikan kepadaku. Bisa kurasakan, sikapku kali ini sangat membuatnya terluka."Cepat katakan Mas?" pekiknya kembali meremas bajuku dan mengoyangkannya sekuat tenaga."Kamu nggak boleh menikah Yas?" sentakku membuat cengkraman tangan Yasmin dari bajuku terlepas."Kamu tidak memiliki hak apapun atas hidupku, kamu lupa dengan yang telah kamu lakukan kepadaku di masa lalu, Mas?" u
POV RasyidHidupku kini telah sempurna. Memiliki seorang istri secantik Yasmin dan sangat taat beragama. Mungkin aku sebagai laki-laki tertinggal jauh darinya dalam hal itu. Tapi aku merasa sangat beruntung, akhirnya sekian lama aku menunggu Yasmin resmi menjadi milikku. Kekasih halalku.Tidak hanya itu, hidupku pun kini di lengkapi dengan kehadiran Aska sebagai warna tersendiri dalam perjalananku. Bocah kecil itu sudah aku anggap seperti anakku sendiri jauh sebelum aku menjadi ayah sambungnya. Selain dia anak yang cerdas, Aska juga anak yang sangat menggemaskan hingga aku sangat menyayanginya."Yas!" panggilku pada wanita yang menyandarkan kepalanya pada dadaku.Sedari tadi sepertinya istriku sangat senang berlama-lama menyadarkan kepalanya pada dadaku. Mendengarkan ritme jantungku yang masih belum teratur setelah pertempuran menyenangkan antara aku dan
Aku segera menepikan mobil yang kukendarai ke tepi jalan. Sebentar saja aku lengah, pasti wanita yang sudah berada di ujung pagar pembatas jembatan itu terjun ke jurang di mana air sungai bengawan solo mengalir dengan deras yang mampu menengelamkan siapapun yang menjatuhkan diri di dalamnya.Wanita itu menoleh, saat sorot lampu mobilku menangkap bayangan tubuhnya. Aku segera turun dan mempercepat langkah kakiku untuk mendekatinya sebelum wanita dengan gelagat bunuh diri itu benar-benar terjun dari tebing jembatan."Mbak, Mbak mau ngapain?" sergahku pada wanita yang menampakkan wajah sembabnya kepadaku saat aku tiba."Pergi, jangan urusin aku. Aku mau mati!" balasnya sesenggukan. Air matanya berlinang membasahi pipi bersama gerimis yang tak kunjung berhenti membasahi kami.Aku menoleh ke kanan dan ke kiri. Tidak ada siapapun untuk dimintai pertolonga
POV Reza. "Mau kemana Za, udah sih di rumah aja. Nanti juga kalau Mas udah dapat proyek lagi Mas akan kasih apa yang kamu mau." Mas Rio menarik pergelangan tanganku, hingga tubuhku kembali terduduk di kursi sofa tempat ia berada saat ini. "Mas, kemarin kita udah jual kulkas, bulan lalu jual mesin cuci sekarang kita mau jual apa lagi Mas. Lama-lama semua barang milikku bakalan habis cuma gara-gara ngurusin Mas yang pengangguran," umpatku kesal pada Mas Rio. "Iya Za, maaf, toh aku kan sudah berusaha ngajuin proyek sana sini, kalau emang belum dapat mau gimana lagi dong. Mas kan cuma bisa berusaha dan Allah yang menentukan," kilahnya lagi, selalu nama Tuhan yang ia bawa membuatku semakin benci sekali dengan Mas Rio. Aku menghela nafas panjang, bosan juga ternyata mendengar alasan Mas Rio yang itu-itu saja. "Mas, ada nga
"Lagi cari apa Mbak Reza?" tanya Mas Rasyid diikuti ulasan senyuman ramah.Sejenak aku bergeming. Mataku tak berkedip melihat pada Mas Rasyid, pria dewasa yang kini muncul di hadapanku. Bukan perasaan cinta, hanya saja jarang-jarang ada suami yang mau belanja keperluan anak di pusat perbelanjaan seperti ini. Karena kini aku sedang berada diantara deretan baju khusus anak-anak."Oh, ini Mas lagi cari baju untuk Mira!" ucapku."Anaknya Mbak Reza?"Aku mengangguk lembut, padahal tujuanku adalah mencarikan seragam untuk anak-anak didikku di sekolah. Tapi, gara-gara baju lucu yang sepertinya cocok sekali buat Amira membuatku terseret sampai di sini."Oh, ya sudah silahkan dilanjut," sahut Mas Rasyid melangkahkan kaki menjauh dariku.'Ayo Za, deketin kapan lagi kamu bisa dek
"Aku tidak suka Mas ngatur-ngatur hidup aku. Jika Mas tidak bisa membuat aku bahagia ya Mas nggak perlu nuntut apapun sama aku, ingat ya Mas, Mas cuma numpang di rumah ini," cetusku dengan menatap nyalang pada Mas Rio.Wajah' Mas Rio yang merah padam sama sekali tak bergeming. Sorot matanya tajam menatap ke arahku kemudian berlalu meninggalkanku dengan kesal."Enak saja, udah nggak bisa ngasih duit pakai acara sok-sokan," rutukku meraih tubuh Amira yang terlihat ketakutan melihat pertengkaran antara aku dan Mas Rio.*****Beberapa kali aku menyicipi masakan yang masih ada di atas kompor. Kutambahkan sedikit garam dan penyedap rasa karena menurutku sayur lodeh yang kubuat kurang asin tidak pas seperti biasanya.Mira berlari menghampiriku di dapur. Menarik daster yang aku kenakan."Sebentar Mira, Mama lagi masak
POV YasminAska melonjak kegirangan saat Bang Rasyid pulang membawa beberapa buah tangan untuk kami. Ia segera berhambur memeluk Bang Rasyid saat pria itu tiba di rumah."Ayah, bawa oleh-oleh apa?" Mata bocah berusia tujuh tahun lebih itu melirik pada beberapa kantong yang berada di tangan Bang Rasyid."Ini buat Aska, ini buat umi dan ini untuk kak Ratih," jelas Bang Rasyid mengangkat satu persatu Kantong plastik hitam yang dibawanya."Yeah terimakasih ayah," sahut Aska menerima bungkusan plastik hitam dari tangan Bang Rasyid dan segera berlari masuk ke dalam kamar setalah mendapatkan apa yang diinginkannya."Kalau yang ini, untuk istri Abang tercinta." Bang Ras
Aku mendengus berat, berjalan gontai menuju ruang makan. Gadis keras kepala itu sama sekali tidak pernah menurut padaku dan dia akan selalu membuatku terlihat' bersalah di depan Bang Rasyid. "Loh, mana Ratih?" Tanya Bang Rasyid padaku saat aku tiba di depan meja makan. "Dia tidak mau makan, Bang," sahutku parau. Bang Rasyid mengusap lembut bahuku. Pria bertubuh tegap itu bangkit dari tempat duduknya. Tangannya meraih piring kosong dan mengambilkan nasi serta lauk pauk yang ada di atas meja makan hingga piring itu terisi penuh. Kemudian Ia membawakannya ke kamar Ratih. 'Apa yang salah denganku, padahal aku sudah berusaha bersikap sebaik mungkin pada Ratih tapi g