Share

8. Don't Thinking

Aku masih sangat lemas, dokter bilang efek diet tidak sehat, meski ketika aku bercerita bahwa aku eneg dan selalu mual saat melihat wajah seseorang, si dokter hanya tertawa. Justru merekomendasikan psikolog atau bahkan psikiater RS ini agar aku membuat janji konsultasi. Karena kalau sampai begitu berarti masalah mual muntahku bukan karena diet tapi karena kelainan mental. Disini yang menurutku terindikasi gila itu Jojo kenapa jadi malah aku?

Dokter juga tak mengijinkan aku keluar RS meskipun itu penting seperti ke Soeta bertemu mertua dan syuting 15-20 menit. Sampai bilang siap mengeluarkan surat kesehatan apabila ku butuhkan untuk membatalkan syuting.

Pada akhirnya aku memang berhasil menurunkan berat badan hingga 2 kilo. Tapi kalau tau diet kali ini menyiksa aku tak akan lagi sanggup, sungguh cantik itu memang butuh pengorbanan. Jangan bilang cantik itu diturunkan dari gen. Cantik itu karena perjuangan dan yang paling penting, modal.

Phia dan Shofi sudah datang, mereka berdua duduk kaku seperti murid yang sedang ke-gap bolos sekolah oleh guru BK yang paling killer, disini Jonathan yang jadi guru BK-nya.

Raut yang ditunjukkan Phia dan Shofi adalah raut tak berdaya, aku tau di dalam hati mereka sedang mengagumi wajah tampan natural Jojo tapi juga memaki sikap dingin dan menghakimi pria itu.

"Nona berdua, mengapa mengijinkan Cuwa tidak menjaga kesehatannya?"

Keningku berkerut heran dengan sikap Jojo akhir-akhir ini. Enggan melewatkan untuk menyaksikan mata Jojo hanya sedikit saja memincing, bahkan nyaris tak terlihat sangking singkatnya ekspresi itu yang ditujukan pada Phia dan Shofi. Berpikir sangat, apakah Jojo juga mendengar pikiran Phia dan Shofi?

Aku mengendik sebagai jawaban? Eh, koq aku bisa baca pikiran mereka? Jangan-jangan begini prosesnya Jojo bisa baca pikiranku, tapi kan Jojo tidak seperti mereka berdua yang setiap hari berinteraksi denganku selama beberapa tahun ini. Lalu apa dong rahasia si Jojo?

"Maaf Pak Jonathan, saya pikir Cuwa bercanda ketika bilang perlu diet" ketika mulut Jonathan hendak mengeluarkan sebuah kalimat jawaban untuk Phia yang pastinya tak akan menyenangkan di dengar, aku menyelanya. 

"Jojo, itu salah kamu yang bikin aku diet. Kamu yang bilang aku gendut, kenapa jadi salah mereka sih, Jo." Ketika suaraku mendayu-dayu mirip musik keroncong yang bikin ngantuk, tapi ekspresi menghina dari wajah dua wanita itu sungguh membuatku ingin mencakar mereka. Memangnya salah ya, kalau aku bertutur manja pada suamiku, yah meskipun sebentar lagi akan jadi mantan. 

Jojo diam, wajah datarnya tak menyiratkan apapun. Atau mungkin sangking rata mimiknya aku sampai tidak tahu apa yang sebenarnya dia pikirkan. Dia masih memandang penuh peringatan pada dua orangku itu. Aku berinisiatif menyelamatkan mereka sebelum wajah Jojo berubah makin jelek dan membuat Phia Shofi melambaikan tangan ke arah kamera.

"Jo, apakah kamu tidak butuh ke kantor? Atau segera pulang ke rumah papa mama? Pergi saja tak apa. Ada mereka disini, kamu jangan lagi khawatir. Nanti aku juga akan menelpon papa dan meminta maaf pada beliau karena aku tidak bisa mengantar mereka"

Jojo berdehem, membawa tubuhnya menghadap diriku sepenuhnya. Salah satu tangannya dia masukkan ke saku celana. Wajahnya memang datar, tapi tatapannya berbicara bahasa kalbu, bahasa yang paling sulit dipahami bahkan oleh manusia paling peka sepertiku. Aku tak tahu apa yang membuatnya berlama-lama menatap wajahku, membuatku untuk berjuang menahan nafas sekaligus pikiranku untuk tetap kosong sebelum dia mengucap pergi. 

"Aku pergi. Jaga dirimu selama aku tidak ada, Swara Amaya" 

Setelah kemudian pria yang masih suamiku secara hukum itu menutup pintu dari luar, kami bertiga menghela nafas lega, tanpa sadar merilekskan otot-otot yang tiba-tiba menegang karena tatapan tidak bersahabat Jojo. 

"Predator telah pergi, kita selamat" Shofi mengusap dadanya dramatis. Dia juga menurunkan bahunya dengan menghembuskan nafas berlebihan.

"Lebay!" Ejekku dengan lidah melet menghina, tentu saja setelah aku sendiri diam-diam juga merasa lega. Ada rasa sedikit terganggu dengan kalimatnya yang ambigu, bukannya selama ini dia tidak pernah ada. Atau maksudnya setelah ini dia akan selalu ada untukku?

"Dih, kayak kamu enggak" sahut Shofi sambil mengibaskan rambut sebahunya yang ikal alami. Lalu beranjak membuka buah tangan yang dia bawa tadi. 

"Kalau melihatnya menatapmu begitu, aku hampir percaya kalau yang berinisiatif mencium memang dia dulu waktu di mall itu" Phia menjepit dagunya sendiri dengan dua jarinya. Kebiasaannya kalau sedang menganalisis sesuatu. 

"Emang" jawabku dengan memutar bola mata. Lalu tak lupa mengisyaratkan Shofi untuk membagi coklat kesukaan kami bertiga. 

"Tapi," 

Aku menghentikan gerakan mengambil bulatan coklat premium yang menggiurkan yang akhirnya disodorkan Shofi, waspada dengan kata keraguan dari mulut Phia.

"Tapi apa Phi?" Aku bertanya, instingku tidak enak saat melihat tatapan khas Phia yang serba tahu, selain manager berbakat dia juga informan terbaikku.

"Lihat ponselmu, ku kirim kejutan spesialnya" 

Dan seketika, rahangku nyaris jatuh saat layar ponselku menampilkan Jonathan menggandeng Irene Audi dalam balutan pakaian resmi. Aku terharu merasa semesta membantuku melempar tuduhan kepada Jonathan agar memberiku surat cerai. Namun aku jadi ragu Shofi dan Phia memahami ku dengan baik melihat ekspresi iba mereka padaku. 

"Kapan ini, Phi?" Tidak ada irama kaget dalam suaraku, aku sudah terbiasa dapat kiriman seperti ini, bahkan dari nomor asing sekalipun. 

"Semalam" sahut Phia pelan. Posturnya yang terlihat judes di luar kini tampak mengkhawatirkan aku. Apalagi wajah murung Shofi saat menatapku. Mereka masih mengira aku menyukai Jonathan dan jadi terluka, meski bersikeras ingin cerai. 

"Sejak dulu mereka memang terlihat serasi, kenapa aku lebih rela Jojo bersama Iren daripada bersama Renita" aku bergumam.

Iren Audi, mantan putih abu-abu Jojo. Berkarakter anggun, anak pejabat, pekerjaan mapan sebagai seorang psikolog. Bukankah Iren ini seorang psikolog yang sering hilir mudik di televisi karena menangani korban kejahatan. Aku jadi sangsi pada hubungan mereka, koq aku makin curiga Jojo memang mengalami sakit mental. 

****

Diam-diam aku banyak meneliti artikel mengenai membaca atau mendengar pikiran. Tapi kenapa yang masuk akal mengarah pada halusinasi pendengaran sebagai indikasi demensia atau skizofrenia. 

Atau Jojo memang pernah belajar psikologi mengenai membaca pikiran orang lain. Meneliti ekspresi lewat perubahan gestur tubuh, kernyitan wajah, alis dan gerak bola mata. Tapi koq aku lebih suka kalau Jojo terkategorikan pada opsi pertama yakni halusinasi, demensia, atau yang lebih parah kerusakan otak sehingga dia mengidap skizofrenia atau gangguan jiwa alias gila. 

"Apa yang sedang kamu baca?"

"Mhmm," aku enggan berpindah dari bacaan menarik ini, meski suara maskulin Jojo mengusik. Aku juga tau dia sedang menungguku menjawab. 

"Apa yang membuatmu begitu tertarik pada ponselmu?" Tanya dia lagi, kali ini aku melihat dirinya menaikkan tatapan dariku ke jalananan.

Ketika aku menoleh padanya, yang pertama tertangkap idraku adalah garis di ujung matanya membentuk huruf y yang tumbang. Lalu kulit wajahnya tak sehalus pria-pria pekerja seni yang sering perawatan di salon. Jonathan murni hanya seorang pria yang merasa cukup hanya dengan sabun wajah dan after shave.

Untung gen-nya tampan. Ups, aku menutup mulutku, menepis jauh-jauh pujian untuknya yang tak seharusnya. 

Hampir lupa kalau objek yang ku pikirkan sedang ada di sampingku, mengendalikan kendaraan menuju apartemen, aku sudah cukup istirahat dua hari saja di RS. Terlintas jawaban pertanyaan darinya berupa seucap kalimat dalam kepalaku, mencari tahu kamu bohong atau justru gila.

Aku berkedip, membawa kembali anganku berpijak ke dunia nyata, dimana bukan hanya ada aku sendiri, tapi ada Jojo juga. Aku mengingatkan diri bahwa tak baik terus berbicara dengan diri sendiri, bagaimana kalau benar Jojo bisa membaca pikiran. Aku tidak bisa mencegah pipiku memerah, mengingat aku mendoakannya mengidap skizofrenia.

"Tidak ada" 

"Bukan mencari tahu soal membaca pikiran dan mengira aku gila?" Ah, tepat ke sasaran. Merasa malu karena ketahuan, aku menutup wajah dengan kedua tangan. 

Duh mati kutu gue! Jangan berpikir, jangan berpikir, jangan berpikir macam-macam lagi Wa, suamimu memang jelmaan Ki Joko bodho, dasar bodho, bodho!

Berikutnya aku mendengar tawa Jojo memenuhi ruang kecil yang tengah berjalan ini. Aku terperangah, melepas kedua tanganku demi bisa memandangnya yang tertawa. 

Jojo tertawa? Aku tidak sedang bermimpi kan? 

Memperlihatkan giginya setelah menahan tawanya sejenak.

Aku, membuatnya tertawa???!

Terpaku bodoh, dengan mulut tak sempat menganga tapi juga tak bisa mengatup, mataku berkedip-kedip seperti ada debu yang memenuhinya. Tak sadar sampai kepalaku meneleng miring hanya demi mempercayai apa yang ku lihat. 

Apakah dunia berhenti berputar? 

Semakin lama tawanya menghilang, berganti dengan senyum menawan yang bagiku sangat langka. Perhatiannya juga tak lagi kepadaku, tapi ke jalanan yang kami lewati. 

Ketika tersadar aku bergidik, menatapnya ngeri.

dia memang gila. Oh, jangan berpikir Cuwa! Jodoh macam apa yang dikirimkan Tuhan padamu, 

Aku meliriknya kembali, iya pria macam dia?

ternyata hanya orang gila.

Ku pukul kepalaku ringan sebagai hukuman karena meracau di dalam kepala. Jadi ayo alihkan pikiranmu Cuwa.

Seluruh kota merupakan tempat bermain yang asyik

Oh senangnya aku senang sekali

Kalau begini aku jadi sibuk

Berusaha mengejar-ngejar dia 

Matahari menyinari semua perasaan cinta

Tapi mengapa hanya aku yang dimarahi

......

(Ost. Sinchan)

Aku terus bernyanyi sambil menutup mata, menghindari mendengar suara kekehan Jojo yang sesekali terdengar. 

Ya tuhan, jauhkan aku dari syetan yang terkutuk macam Jojo, kenapa pula dia bisa mendengar atau membaca pikiran?

Memangnya dia malaikat? Jelas bukan, dia sekolah bisnis di Eropa, bukan sekolah sihir di Hogwarts. Adakah yang bisa menjelaskan ini secara ilmiah atau setidaknya secara rasional. 

Hentikan pikiranmu Cuwa, ayo nyanyi lagi. 

Aku ingin begini aku ingin begitu

Ingin ini ingin itu banyak sekali

Semua semua dapat dikabulkan

Dapat dikabulkan dengan kantong ajaib

Aku ingin terbang bebas di angkasa

Hai, baling-baling bambu

Lalala aku sayang sekali

Doraemon...

(Ost. Doraemon)

"Cuwa" jangan hiraukan dia Wa.

"Cuwa"

Mendaki gunung lewati lembah

Sungai mengalir indah ke samudera

Bersama teman berpetualang

.....

(Ost. Ninja Hatori)

"Cuwa,"

Jonathan mengusap rambutku, menyadarkan aku bahwa dia telah berdiri di luar mobil di samping tempatku duduk. 

"Ayo turun" ujarnya lembut, melepas safety belt yang melingkari tubuhku lalu meraih tanganku untuk membantu menuruni mobil. Aroma Cemara itu menghilang berganti aroma mint yang segar. Apa dia sudah mengganti parfumnya? 

Aku linglung, tanpa sadar membawa tanganku yang lain untuk meraba ubun-ubun, dimana jejak hangat dari tangan Jojo tertinggal. Dia mengusap rambutku? demi cacing kremi yang tak mungkin berubah jadi cacing hati, cacing hatiku yang adalah Jojo. Gila, dia kenapa? 

"Maaf, kita mampir disini sebentar saja. Aku terlanjur berjanji bertemu seseorang" katanya sambil melangkah tenang di depanku, sementara aku hanya akan terlihat diseret karena dengan setengah kesadaran mengikuti di belakangnya dengan mata masih mengarah tak percaya pada tangan kami yang bertaut.

Phia dan Shofi saling lempar pandang, terakhir mereka memandangku dengan tatapan mereka yang seolah bilang "Suamimu kenapa? Kesambet? Sejak kapan dia perhatian sama kamu, Wa? Kamu pelet di dukun mana dia."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status