"Alergi mu sudah sembuh?" Aku membawa tubuhku dalam posisi miring untuk menghadap dirinya yang sedang duduk dengan tablet di pangkuan. Raut tenang tanpa rasa bersalah sedikitpun dia menjawab.
"Aku tidak punya alergi"
"Alergi berdekatan denganku" sahutku dengan mata memincing penuh godaan. Kalau ini orang lain, seperti sutradara dan produser mesum yang suka firtling itu. Ku tatap dengan cara demikian, bisa dipastikan mereka akan mengajakku check in di hotel bintang lima.
Namun aku justru menemukan matanya sedikit beriak seperti air danau terkena hembusan angin. Kalau orang normal mungkin akan salah tingkah mendengar kalimat sarkastik seperti yang baru saja ku katakan.
Lain kali jangan mencium sembarangan, donk. Aku tidak mau yang seperti ini terjadi lagi. Sumpah ciumanmu memicu asam lambung, dan itu menyiksa.
Jonathan menatapku tak habis pikir. Biar bagaimanapun aku tersenyum berterimakasih karena menungguiku beberapa jam ini. Aku sedang diinfus di RS, kabar baiknya si adik ganjen sudah tidak ada. Semoga selamanya aku tak akan melihat wajah itu. Mengingatnya aku mulai rada mual.
"Cuwa"
"Iya"
Dia hanya menggeleng kecil, itu seperti dia melarang ku berpikir macam-macam tentang Renita. Aku mengernyit.
Ah, sakit bikin aku jadi ngaco. Mana mungkin Jonathan bisa baca pikiran. Tadi aku cuma salah dengar.
Ngomong-ngomong, apa hebatnya sih dicium seorang Jonathan. Nggak ada, aku malah mengingat bibir cabe Renita, ihhh jijay. Nanti jika saatnya tiba, aku akan membalas apa yang sudah kamu lakukan padaku, Jojo jelek."Bagaimana caramu membalasku?
"Apa?" Aku mengerjap dengan mulut yang masih menganga, apakah baru saja aku mengeluarkan isi pikiranku di depannya. Duh aku harus hati-hati. Jangan sampai mulutku asal njeplak lagi. Ini tidak baik, sungguh tidak baik. Tapi bagaimana kalau dia tahu pikiranku dari mencuri dengar.
"Kenapa kamu tidak pernah bertanya kenapa aku tak pernah jatuh cinta padamu" imbuhnya sebelum aku menepis apapun yang mungkin terjadi padanya.
Aku tersenyum dingin, karena kamu mencintai Renita.
Tapi segera setelah tersadar aku segera memperbaiki senyumku menjadi senyum mafhum.
"Aku selalu membuka hatiku, memberi kamu kesempatan untuk memikirkan ini semua, tidak masalah kalau kamu masih butuh banyak waktu untuk membalas perasaanku"Cih, perasaan tertarik padamu sudah musnah sejak beberapa tahun lalu. Jangan harap kau akan dapat keistimewaan mengambil hatiku kembali.
"Cuwa, aku tidak tahu kenapa aku begini, aku hanya tak menyangka, aku dan kamu..." Jonathan berdecak kecil, memejamkan mata sejenak lalu menghela nafas seperti sedang menata kesabaran atau menata hati, mungkin. Aku ragu tentang penialian ku terhadapnya.
Aku bingung, dia ngomong apa. Aku berkedip, di bawah bulu mataku yang lentik meski tanpa maskara, aku kembali mendapat pencerahan. Aku merasa perlu untuk mengakhiri obrolan tak tentu arah ini. Aku tau posisi ku di hatinya, aku tak ingin semakin sakit hati.
Ayo abaikan dia Cuwa, tak penting apa yang dia pikirkan. Seperti dia tak pernah menganggap penting dirimu selama ini. Tapi aku penasaran, apa yang hendak dia katakan.
"Aku kenapa, Jo?" Aku penasaran, ini pertama kalinya dia mau mengungkapkan pemikirannya.
Dia menghela nafas sekali lagi, seperti ada beban berat yang diam-diam dia pikul sendiri. Kemudian membuang muka ke luar jendela kamar rawat inap ini, menghindari ku. Jujur saja situasi yang menempatkan aku bisa berdua seperti ini baru sekarang. Huh, kasian sekali diriku bukan. Demi balas budi aku harus menelan penolakan demi penolakan dari suamiku, menatapku lama saja dia tak sudi.
"Jojo"
Aku mengintip Tissot 21 juta-ku di nakas. Hadiah dari produser ketika aku ulang tahun dua bulan lalu. Karena itu sempat muncul berita, kalau aku ada hubungan gelap dengan produser tersebut. Yang berakhir aku dilabarak istrinya, pemirsa. Mungkin perawat yang meletakkan disana. Sedang ponselku entahlah, aku sampai lupa tak menanyakannya.
Jojo kasih hadiah apa Wa? Boro-boro, kalau dia tahu tanggal ultahku berarti Dajjal udah bosan bersembunyi artinya kiamat telah di pelupuk mata.
Sebelum Jojo mengangkat suaranya, ada kilas samar di matanya yang kembali menatap tepak ke mataku. Eh? Apa aku sedang berhalusinasi, ada jejak rasa bersalah di irisnya baru saja.
"Papa mama berangkat umroh, malam ini"
Aku mengernyit, "Loh, papa mama mau mmroh "
"Mhm"
"Koq nggak ada yang ngabarin aku?"
"Renita tadi mau menyampaikan pesan papa padamu, tapi kamu tidak menemuinya dan kamu..." Aku tak mendengarnya melanjutkan kalimat yang pasti akan membuat mual ku datang. Renita, Renita, Renita lagi!
Begitulah, aku selalu salah. Lagipula mana mungkin keluarga Jojo ada yang mengingatku selain papa. Bagi mereka aku ini cuma remahan kulit kuaci rasa original. Lagian tumben sih, si papa mertua terbaik tidak menelpon saja.
Dan sangking seringnya aku mendapat perlakuan yang seperti ini, aku jadi kebal. Kalau dulu aku nelangsa, bertahan diatas jembatan yang telah retak sendirian. Sekarang aku punya tali untuk membawa tubuhku menyeberang dengan melompat, meski akan terlihat seperti monyet, tapi akan ku lakukan meski itu membuat nenek moyang ku malu.
"Kamu boleh pergi, tapi tolong tas dan ponselku" aku ingin menghubungi Phia dan Shofi. Aku juga harus mikir bagaimana nanti malam harus mengantar mertua ke bandara. Tidak bagus kalau aku tidak setor muka.
"Kamu belum makan" itu perhatian apa sekedar pertanyaan.
"Aku diet" jawabku dengan senyum lelah, hanya orang konyol yang memikirkan diet saat telah sekarat begini.
"Nggak usah diet, kamu sakit"
"Kamu bilang aku gendut" aku masih ingat dengan jelas, dia bilang aku gendut padahal kaloriku cuma bertambah 70kkal.
"Di tempat yang tepat" katanya dengan lirikan ke arah dada dan pahaku. Astagah, apa akhirnya otak dangkalnya itu tersadar kalau aku ini seksi dan cantik paripurna.
"Dasar mesum" alih-alih terganggu dengan tatapan itu aku mengedip genit. Tapi jauh di dalam hatiku, mengeluarkan sumpah serapah yang tak terhitung berapa kali.
"Aku lapar" jujur ku akui tapi....And every time I see
You in my dreamsI see your faceYou're haunting meI guess I need you baby...Itu dering hapeku bukan? Lagu favorit ketika aku duduk di SMP. Aduh, jangan sampai Jonathan baper gara-gara itu lagu. Nanti dikiranya dering itu mewakili suara ratapan hati seorang istri yang terluka macam diriku.
Otomatis aku melirik Jonathan, suaranya berasal dari dekatnya. "Jojo, dimana hapeku?"
Dia mengangkat sebelah alisnya, lalu mengeluarkan ponselku dari salah satu saku jasnya yang tak dikancing. Aku menahan bibirku agar tak mencebik, dalam hubungan suami istri normal saling menyimpan ponsel, tapi ini aku dan Jojo. Sangat mencurigakan sekali.
Tertera nama Phia di layar,
"Mhm, ada apa Phi"
"Namamu trending lagi! Dan kamu anteng-anteng saja" suara Phia menyambar seperti petir.
"Kenapa lagi?" Aku menjawab malas.
"Cuwa Amaya, tertangkap dalam pose nakal, berciuman didepan umum dengan pria yang mirip suaminya . Itu judul headline sejak semalam, Cuwa. "
Lagi-lagi selipan kata nakal sering kali wartawan itu gunakan dalam setiap berita yang memuat diriku. Padahal ini dengan suamiku loh.
"Emang aku nakal ya, Jo" Aku iseng ingin tahu tanggapan Jojo. Sampai suatu ketika di acara bincang-bincang pagi salah satu stasiun televisi swasta, mereka bertanya, kenapa kamu nggak pernah marah dengan selipan kata nakal itu, mbak? Masa bodoh jawabku sekenanya.
"Mhm" jawabnya acuh, perhatiannya ke tablet sepenuhnya.
"Apa buktinya?" Mengabaikan Phia yang tiba-tiba terdiam ketika menyadari aku menyebut nama Jojo.
"Kamu menggodaku dengan gaun mu dua hari ini."
"Dihh" aku menatap pria itu skeptis. masak iya, baju terbuka ku yang lebih dari ini banyak, beberapa pernah ku pakai menggodamu, tapi hasilnya nol. Kamu tetap tidak menoleh padaku.
"Halo Phi, biarkan saja. Besok aku kasih skandal baru."
"Cuwa, kamu bersamanya" Phia mendadak memelankan suaranya. Aku bisa membayangkan bagaimana mimik sahabat gilaku itu.
"Cuwa" aku menoleh pada Jonathan, Bertanya lewat tatapan mata, kenapa dia memanggilku.
"Berhenti bermain-main" ingat Jojo dengan suara rendah. Matanya yang setajam golok tukang jagal, menatapku memperingatkan. Tapi segera beralih ke tablet mahalnya.
Aku juga ingin, Jo. Tapi tabunganku belum banyak, kamu juga belum menceraikan ku. Mamaku masih doyan duit, kalau aku tidak bekerja, dia nanti nggak bisa makan caviar, nggak bisa ikut arisan jutaan, kalau sudah begitu dia akan mencambuk ku dengan makian menyakitkannya lagi, dia tidak bisa hidup tanpa kemewahan. Abaikan saja si Jonathan, dia bisanya cuma omdo alias omong doang.
"Iya Phi" kembali aku memusatkan perhatian pada managerku di seberang sana. Tak mengindahkan tatapan Jonathan yang mulai seram.
"Skandal apa lagi, ada suamimu loh kamu bicara skandal"
"Prostitusi online mungkin" aku mengendikkan bahu tak peduli meski aku bersama presiden sekalipun.
"Apa kamu bilang, Cuwa?" Lihat mata yang manatap garang seperti serigala lapar itu, bikin merinding nggak sih, tapi aku tidak takut.
"Apa?" Aku bertanya balik dengan intonasi polos dan raut pura-pura bodoh, tak mengerti kalimat yang mana yang dia maksud.
"Apa maksudmu dengan prostitusi online?"
"Oh, itu" aku mengangkat bahuku acuh.
"Berhenti bermain-main Cuwa, tidakkah kamu lelah?" sambarnya dengan wajah tak menyenangkan seperti biasa.
"Tidak"
Aku tidak akan lelah sampai kamu bersikap dewasa, oh apa peduli ku dengan yang itu. Yang jelas aku tidak akan lelah sampai kamu menceraikan ku. Lebih baik kamu benci aku secara terang-terangan dari pada menyiksaku begini. Harusnya aku yang bertanya, tidak kah kamu lelah, Jo? menyakitiku selama ini.
"Katakan sejujurnya, Cuwa. Apa maumu"
"Aku?" Telunjukku mengarah pada tubuhku sendiri, tepat ke jantungku. Detaknya sedikit tidak normal, tapi ini karena sakit bukan karena tatapannya yang tembus ke dada.
Mau ku, kamu pergi jauh dari hidupku.
"Aku mau makan, lapar" aku merengek, bukankah sejak tadi aku memang lapar. Jonathan mendesis, tidak puas dengan jawabku. Tapi dia berdiri membantu menyiapkan meja khusus untuk makan pasien.
"Jojo.... Badanku lemes, suapin...." Aku cekikikan dalam hati, senangnya bisa sering-sering melihat wajah terganggunya. Meski dengan berat hati dia mengangkat sendok dengan canggung.
"Aaa Jo...." Aku membuka mulut malu-malu. Kalian pasti tau bagaimana manjanya aku, duh kapan lagi disuapi suami ganteng macam dia. Baru beberapa sendok ketika Jonathan mengemukakan sesuatu yang tak ku duga.
"Cuwa kalau aku bilang aku bisa membaca pikiranmu, apa kamu percaya"
"Tidak" aku tidak ingin percaya Jo, tapi aku mendengar mu berbicara dengan seseorang saat aku baru bangun tapi belum membuka mata di depanmu. Kenapa kamu mengalami halusinasi pendengaran beberapa waktu ini, Jo? Apakah benar kamu mendengar suaraku? Apa benar kamu menderita demensia atau mengidap gejala-gejala skizofrenia, Jo?
Aku menggeleng, menghalau pikiran buruk. Aku lebih suka percaya dia kesambet jin ifrit. Wajah rupawan Jojo menggelap, benarkah baru saja itu adalah jejak kesedihan?
"Jo, kamu kerasukan ya? Ku kenalkan pada ustad yang bisa Ruqyah, mau?" Aku berkedip, sedikit terganggu dengan kemungkinan itu. Tapi tidak mungkin, di dunia ini hanya Tuhan yang tahu isi hati seseorang. Sementara aku mengingat-ingat beberapa moment terakhirku bersamanya, dengan wajah kalut yang maaih pucat karena sakit yang tak bisa ku tutupi. Andai ini benar, tamatlah aku. Sementara Jonathan mulai menampakkan beberapa emosi yang berubah-ubah di matanya yang belum pernah ku lihat. Aku tak ingin menduga, ini masih terlalu dini.
"Aku bercanda" katanya ringan, membuang matanya jauh dariku, menghindari ku lagi.
"Iiihhh, Jojo, nggak lucu tau" tanpa sadar aku melayangkan pukulan kecil padanya yang berhasil dia tangkap.
"Habis infus ini, aku keluar. Aku akan menemui papa mama, lalu jam 8 aku ada syuting di tv7" aku nggak tau kalau dari dekat begini, wajah Jojo dengan jejak kumis terlihat maskulin.
Aku mendengus, dia pikir aku anak sultan, yang kalau mau beli gincu tinggal minta orang tua, aku harus kerja. Karena itu aku ingin bercerai darimu, lalu mencari pria dengan ekor yang gemuk. Jadi di usia tuaku nanti, aku tidak perlu menderita. Karena akan ada pria yang akan bertanggungjawab atas hidupku.
Aku melongo,
aku hanya melamun sebentar koq. Kenapa wajah Jonathan jadi sedekat ini dengan wajahku sampai aku bisa mencium parfum karbol rasa hutan cemara.
Lalu dia mengernyit, seperti benar-benar mendengar pikiranku soal karbol rasa hutan cemara. Karena selanjutnya dia mengendus pundak kirinya dengan cara yang masih terlihat tampan.
Aku masih sangat lemas, dokter bilang efek diet tidak sehat, meski ketika aku bercerita bahwa aku eneg dan selalu mual saat melihat wajah seseorang, si dokter hanya tertawa. Justru merekomendasikan psikolog atau bahkan psikiater RS ini agar aku membuat janji konsultasi. Karena kalau sampai begitu berarti masalah mual muntahku bukan karena diet tapi karena kelainan mental. Disini yang menurutku terindikasi gila itu Jojo kenapa jadi malah aku? Dokter juga tak mengijinkan aku keluar RS meskipun itu penting seperti ke Soeta bertemu mertua dan syuting 15-20 menit. Sampai bilang siap mengeluarkan surat kesehatan apabila ku butuhkan untuk membatalkan syuting. Pada akhirnya aku memang berhasil menurunkan berat badan hingga 2 kilo. Tapi kalau tau diet kali ini menyiksa aku tak akan lagi sanggup, sungguh cantik itu memang butuh pengorbanan. Jangan bilang cantik itu diturunkan dari gen. Cantik itu karena perjuangan
"Dia Iren, teman SMA ku" Jojo tak melepas gandengan tangan kami hingga memastikan aku duduk dengan benar. Pipiku jelas merona karena perlakuannya. Tapi kalian pasti tahu, di dalam hati aku terus mencibir kelakuan Jonathan."Hallo, aku Iren. Dan kamu lebih cantik aslinya dari pada di layar kaca" aku tahu setelan kerja mahal yang dikenakan wanita ini, berapa sih gaji psikolog, mentereng banget yang satu ini. Aku tak melewatkan setitik ekspresi kecewa di wajah wanita ini ketika tahu Jojo mengaitkan tangannya dengan tanganku. Bahkan pilihan meja sofa yang ditata berpasangan ini, sangat merugikan dia. Mungkin dia tak menyangka Jojo akan datang bersama ku. Sungguh wajah di depanku ini menghibur sekali."Halo juga, senang bertemu denganmu mbak, thankyou. Kamu juga cantik" aku menyambut jabat tangan formal Iren Audi, seolah aku tidak meremehkannya baru saja. Perempuan cantik i
"Wa mau makan malam apa?"Sebutan Wa dari bibirnya terasa asing di telinga. Jonathan yang dulunya antipati padaku tiba-tiba memanggilku dengan sebutan yang terlalu akrab. Jadi jangan salahkan aku kalau di hati terdalam ku menyimpan banyak sekali kecurigaan padanya.Tawaran Jojo ku jawab gumaman malas dari balik selimut dan guling. Cuaca malam Jakarta yang hujan terasa mendukung. Masih jam 7 malam, tapi rasanya mataku berat."Jangan tidur dulu, Wa""Aku lelah, Jo""Aku pesen restoran bawah biar cepet"Aku tak meresponnya lagi karena setelah aku kembali tersadar, aku tak melihat keberadaan Jojo di kamar. Justru aku mendengar suara yang ku pastikan itu adalah Renita yang sedang tertawa bahagia. Aku mengerjap, mengusap mata beberapa saat, memastikan apakah aku mimpi atau halusinasi."Bang Nath, bagaimana bisa itu tidak lucu. Lihatlah dia bisa berjalan dengan pose
Aku menghela nafas, memijit tengkuk yang terasa tegang karena padatnya aktivitas. Pemotretan dengan pihak Teta selesai menjelang petang. Beruntung beberapa model yang dipakai sudah profesional, Tama si macho tapi gay itu berkali-kali berteriak, bagus, good, kalian sempurna, oke, keren, siip. Tapi karena kondisiku yang baru sembuh mambuatku ingin segera bergelung dengan kasur.Dialog dengan female.fm apalagi, membuatku menahan agar lonjakan tensiku tidak sampai ke ujung kepala. Bayangkan pertanyaan mereka, sejak kapan aku lepas keperawanan. Terus gimana malam pertamanya, stamina suami apa kabar? Seminggu berapa kali bercinta, kuat berapa ronde semalam. Aje gile aku cuma tertawa macem orang gila baru gila.Aku yang tak mungkin menghindar, asal menjawab. Aku kuat 5 ronde tiap malam kecuali kalau periode ku datang. Dan hasilnya, akan kita lihat besok, apakah ada lagi hidung belang yang akan menawar ku 2M seperti waktu itu. Ah... Benar kata
Aku sedang tak mood menjadi istri baik, terus cemberut sepanjang perjalanan pulang dari acara Hanida Malik. Jojo yang jelas tau aku tak ingin diganggu hanya diam sambil sesekali melirik kecil padaku. "Ini pertama kalinya kamu terlihat tidak dalam mood baik di depanku" "Aku hanya sedang lelah, bia untukrkan aku merilekskan diri ya, nanti bangunkan aku saat sampai" Dengan lemah tapi malas ku katakan.Nyatanya meskipun aku tak lagi bisa menjaga raut wajahku tetap ramah, aku masih bertutur sopan, lembut, dan manja padanya seperti seharusnya istri soleha. Lalu tanpa sungkan aku mencabut beberapa jepit rambutku dan membiarkannya tergerai bebas. Melirik Jojo saat merapikan rambut, aku memutuskan untuk tersenyum genit padanya yang tengah menatapku dengan sudut bibir tertarik tipis. Tanpa sungkan ku kibaskan ke arahnya lalu menaikkan kaki dengan nyaman dan meletakkan kepalaku ke sandaran. Pundakku sungguh kaku dan pegal. Ya
Berbagai berita tentang aku dan Jojo sebagai pasangan tak mempan rumor dan gosip mencuat ke publik. Yakni foto-foto mesra ketika aku menghadiri acara resepsi Hanida dua malam lalu. Setelah ku katakan aku ada syuting tengah malam pada Jojo, aku menepi ke Senopati. Malam itu tidak ada syuting sama sekali. Aku hanya beralasan agar tak perlu bersama orang yang mencuri dengar semua yang ku pikirkan. Aku butuh kebebasan berpikir dan berpendapat, sesuai dengan hak dasar manusia. Jadi bisakah Jojo ku tuntut dengan pelanggaran pasal 28E UUD 45, karena telah menyalahi hak ku dalam kebebasan berpikir. Dua malam ini aku telah belajar mengatur siasat manipulasi pikiran saat bersama Jojo. Dari Catra aku tahu bahwa Jojo masih pulang ke apartemen kami meski tidak ada aku. Meski sedikit mengganjal Jojo sama sekali tak menghubungi. Anehnya ini pertama kali aku merasa begini, padahal sebelum ini Jojo memang tak pernah peduli aku pulang atau tidak.
Gemuruh tepuk tangan riuh rendah teratur. Berfoto dengan pak menteri cakep tapi jelas udah teken. Meski senyum tipisnya menganggu alur peredaran darah di tiap nadi, aku tetap mempertontonkan senyum profesional andalan. "Mbak Cuwa, saya punya lowongan pekerjaan untuk mbak Cuwa" "Lowongan apa pak?" aku berpikir keras, maksudnya dia mau aku kerja padanya? Lalu mata beriak itu memperjelas bahwa pria ini sedang menggodaku dengan guyonannya. "Lowongan jadi Bu menteri" Aku menahan tawaku menjadi kekehan kecil yang seharusnya manis. "Ah, pak menteri bisa aja. Saya sudah menikah loh, pak" "Bukankah biasa setingan perkawinan dalam industri yang kamu geluti itu mbak Cuwa?" Aku tak melanjutkan obrolan bertema absurdr itu, namun menerima uluran tangannya untuk membantuku menuruni lima tangga menuju deretan meja tamu, dan aku merasa terhormat untuk itu. Muda, kaya, cakep, berk
"Kenapa mengikutiku kangmas?" Thian melangkah kemana aku melangkah. Tentu saja aku yang tidak tahan harus bertanya padanya."Siapa yang mengikuti" katanya tak peduli. Irisnya menembus ke dalam mata hingga rasanya sampai menembus tengkorak ku."Kamu lah" aku mengerling padanya yang membuang muka, seolah tak sudi berlama-lama menatap diri ini."Kamu yang mengikuti saya" tuduhnya, mata itu tak mau berpindah dari wajahku."Idih, buat apa" aku bersedekap."Minggir!" Dia membuat gestur mengusir, padahal lift berukuran lebar ini muat sampai 15-20 orang."Duh, kangmas Fathian *mangkubumi nganti loro ati, ini hotel punya kamu ya, jutek amat sih, sampe lift mau dipakai sendiri"*Memangku bumi sampai sakit hati"Kakiku udah pegel nih, pengen banget segera dimanjain sambil selonjoran cantik, jadi masuk nggak?""Kamu ngomong centil beg