Share

Bagian 1

Kedua tungkai itu bergerak cepat menembus gelapnya malam. Tanpa peduli berapa kali tubuhnya harus jatuh terjerembab karena akar menyembul yang menabrak ujung kaki, gadis itu buru-buru bangkit dan kembali melanjutkan laju tungkainya yang sempat terhenti. Bunyi napas dan degup jantungnya terdengar sama keras dengan bunyi hewan malam di sekitarnya.

“Nenek! Aku pulang!”

Pekikannya menggema ketika tangan mungilnya mendorong kenop pintu reyot, menghasilkan bunyi decitan kencang. Napas berantakan dan peluh yang membanjiri wajah sangat kontras dengan senyum cerah di bibirnya. Ketika sesosok wanita bersurai putih tertangkap netra, si gadis bergegas menghampiri dan melingkarkan lengannya di tubuh wanita tua itu.

“Nenek aku berhasil! Aku berhasil, nek!”

“Ya ampun, cucuku! Apa yang terjadi? Kenapa kau kacau begini?”

Tangan keriput itu melerai pelukan si gadis. Wajahnya semakin berkerut ketika wanita itu melihat penampilan cucunya yang benar-benar berantakan; wajah lelah yang agak pucat, rambut kusut, pakaian kotor, dan lutut yang berdarah. Tunggu, darah?

“Nenek, ak--aakkhh!”

Belum rampung kabar gembira itu tersampaikan, telinga si gadis sudah dijewer kencang. Membuatnya meraung sambil berjinjit.

“Dasar anak nakal! Pergi menghilang seharian lalu pulang dengan badan luka-luka begini! Sebenarnya apa yang kau lakukan, sih? Sekarang kau duduk, nenek akan obati lukamu.”

Si gadis memanyunkan mulut, hendak protes tapi wajah galak neneknya membuat nyalinya ciut. Dengan helaan napas dalam, akhirnya gadis itu menurut dan mendaratkan bokongnya di kursi terdekat. Tak lama wanita tua itu kembali dengan baskom dan sebotol ramuan. Kedua tangannya dengan cekatan membersihkan luka di lutut si gadis dan mengolesinya ramuan obat yang ia racik sendiri.

“Aw, pelan-pelan, nek!”

“Masih berani protes ya anak nakal ini!”

“Akh, nenek!” jeritan gadis itu semakin keras seiring kain yang ditekan semakin kencang di lututnya. Setelah lutut si gadis terbalut, barulah wanita itu duduk di sampingnya dengan wajah menuntut penjelasan.

Kedua sudut bibir si gadis terangkat tinggi. Senyum lebar yang membuat si nenek keheranan.

“Nenek, aku punya kabar baik!”

“Iya, kabar baik apa? Apa kau menang lotere di kota?”

Gadis itu menggeleng cepat. “Tidak, ini jauh lebih baik, Nek. Coba tebak!”

Si nenek mengangkat alisnya. Menatap binar di kedua iris hazel cucunya sebelum menghela napas dalam. “Kalau bukan dapat uang atau makanan, apalagi yang bisa membuatmu sesenang ini?”

Dengan kekehan kecil, gadis itu merogoh sakunya dan mengeluarkan amplop berwarna emas dengan stempel yang terlihat sangat familiar di mata sang nenek. Napasnya tertahan sekejap ketika wanita tua itu menerima amplop yang diulurkan kepadanya. Jemarinya bergetar ketika ia membuka secarik surat yang terlipat rapi di dalam sana.

Selamat, Raquel Dean! Anda lulus seleksi tahap pertama dan diharapkan bisa mengikuti rangkaian ujian selanjutnya.

Air muka terkejut tidak bisa sang nenek sembunyikan. Namun, si gadis yang terlanjur gembira dengan kabar itu tidak bisa menangkap raut tegang di wajah neneknya.

***

Raquel Dean tidak pernah menyangka ia bisa selangkah lebih dekat dengan mimpinya.

Ottori adalah sekolah terbaik yang melahirkan orang-orang hebat di dunia; dari para raja sampai orang-orang yang namanya terukir dalam sejarah. Dulu sekali, dunia dilanda kekacauan akibat perang panjang selama ratusan tahun. Genangan darah, onggokan mayat, dan tangisan di antara kobaran api adalah pemandangan yang wajar dijumpai setiap hari. Bertahan hidup adalah kemewahan pada waktu itu.

Bagi para penguasa yang tamak, perang adalah cara mereka menunjukkan siapa yang berhak berkuasa dan berada di puncak piramida kehidupan. Raja dan kaisar tidak lagi peduli dengan kesejahteraan rakyat. Bagi mereka, seberapa besar wilayah kekuasaan dan seberapa banyak kekayaan yang dimiliki adalah hal yang utama. 

Seberkas cahaya harapan mulai muncul ketika sesosok lelaki gagah muncul. Namanya Alphonso Loris Troutman. Tatapan matanya bisa membakar dan kepalan tangannya bisa mengundang gempa. Kekuatan luar biasa yang berhasil membalik keadaan dan membawa perdamaian.

Peperangan pun berakhir bersama lahirnya para pahlawan dunia. Sayangnya, perdamaian itu tidak bertahan lama ketika rasa serakah melahap akal dan nurani beberapa pahlawan yang tergabung dalam Aliansi Perdamaian. Orang terhormat yang seharusnya menjaga perdamaian mulai haus akan rasa hormat dan harta. Alphonso terpaksa memangkas lebih dari separuh kawan seperjuangannya untuk mempertahankan perdamaian yang merupakan mimpi terbesarnya.

Untuk itulah Ottori dibangun. Sekolah yang melahirkan generasi unggul untuk menjaga perdamaian dunia. Bagi Alphonso, doktrin sejak dini tentang pentingnya perdamaian adalah salah satu cara menjaga mimpinya. 

Memiliki sertifikat lulus dari Ottori adalah hal yang mutlak bagi anggota Aliansi Perdamaian serta seluruh penguasa negara dan jajarannya. Sekolah hebat tentu memiliki persyaratan yang ketat pula. Mendapat titel siswa Ottori adalah prestasi besar yang diakui oleh negara, terlebih jika ia berhasil lulus.

Opheana Dean, nenek Raquel adalah salah satu dari sedikit orang luar biasa yang berhasil menjadi siswa di Ottori. Prestasi yang jelas membanggakan bagi negara kecil seperti Albero. Nama Opheana Dean tidak asing terdengar di telinga rakyat Albero atas prestasinya setelah puluhan tahun Albero tidak mengirimkan orang terbaiknya untuk menimba ilmu di Ottori.

Namun, semua sanjungan itu berubah menjadi makian dalam satu malam ketika Opheana dikeluarkan dari sekolah. Seluruh orang membencinya dan raja nyaris memberinya hukuman mati kalau saja ia tidak pernah melindungi Albero dengan kekuatan sihirnya dari serangan negara tetangga yang ingin mengeruk kekayaan alam Albero. Opheana muda dikucilkan oleh semua orang dan berakhir tinggal di dalam gubuk sederhana di tengah hutan.

Raquel Dean yang merupakan cucu Opheana mau tidak mau harus menerima perlakuan yang sama. Masih begitu segar dalam ingatan Raquel ketika Opheana untuk pertama kali menceritakan masa lalunya dan alasan kenapa semua orang membenci mereka. 

Air mata yang berusaha Opheana tahan agar tidak tumpah di hadapan cucunya itu membuat Raquel kecil membulatkan tekadnya; ia akan lulus dari Ottori dan mengembalikan kehormatan neneknya. Raquel bersumpah pada semesta dan dirinya sendiri bahwa ia akan menunjukan pada semua orang bahwa Opheana Dean adalah wanita hebat yang tidak pantas menerima hinaan seperti ini.

Puluhan purnama gadis itu lewati dengan belajar dan berlatih. Meski dilanda keterbatasan akses ke kota, gadis itu merasa beruntung karena memiliki Lady Vanessa yang membiarkannya menyelinap ke perpustakaan tua milik wanita itu setiap malam untuk membaca satu dua buku lama di sana. Kemampuan Raquel yang cukup lamban dalam menguasai sesuatu tentu menjadi tantangan tersendiri. Opheana bahkan terus membujuk cucunya untuk menyerah ketika gadis itu gagal di seleksi masuk ketujuh yang ia ikuti. Beruntung ia mencoba kembali untuk kedelapan kalinya dan ia berhasil!

Sambil berbaring di ranjangnya yang keras, gadis itu memandang amplop emas di genggaman. Tiket masuk untuk meraih mimpinya.

“Raquel, apa kau belum tidur?”

Ketukan di pintu mengalihkan perhatian gadis itu. Raquel segera berhambur membuka pintu dan melihat neneknya di balik sana, tersenyum dengan dua cangkir cokelat panas di genggaman.

“Nenek! Kenapa tahu aku belum tidur?”

“Kalau suara tawa girangmu bisa lebih kecil, mungkin nenek tidak akan terbangun.”

Gadis itu membalas dengan senyum malu. Raquel mempersilakan neneknya masuk ke kamar dan keduanya duduk bersisian di tepi ranjang. Satu cangkir berpindah ke tangan Raquel dan gadis itu menyesap cokelat panasnya setelah berterima kasih.

“Sepertinya nenek pernah dengar kau akan menyerah?” Pertanyaan itu memulai percakapan keduanya.

“Nenek pernah bilang kepadaku kalau tidak apa untuk gagal tujuh kali asalkan kita mencoba delapan kali, bukan?” ujar Raquel sambil memandang lembut Opheana, “sekali lagi, perkataan nenek benar. Aku akhirnya berhasil di kali kedelapan.”

Senyum tipis terbentuk di wajah wanita tua itu. 

“Apa nenek marah karena aku tidak bilang akan ikut ujian lagi?” cicit Raquel pelan.

Opheana mendapati tatap cemas cucunya dan tersenyum lembut. “Dibanding marah, nenek merasa cemas. Apa kau akan baik-baik saja nanti? Siapa yang akan mengurusmu saat terluka? Nenek tidak bisa berhenti memikirkannya.”

Raquel bisa melihat selapis air menghalangi pandang neneknya. Gadis itu meletakkan cangkir di nakas sebelum melingkarkan lengannya di tubuh Opheana. “Aku akan baik-baik saja, nek. Sekarang aku sudah besar. Aku akan belajar dengan sangat giat dan menjadi cucu yang bisa nenek banggakan.”

Si gadis bisa merasakan tangan lembut yang mengusap kepalanya. “Raquel … jujurlah pada nenek, sebenarnya apa tujuanmu masuk ke Ottori?”

Gadis itu terdiam sebentar sebelum menjawab, “T-tentu saja karena aku ingin jadi orang hebat seperti nenek!”

Sang nenek melerai dekapan keduanya dan memaksa gadis itu bertukar tatap dengannya. Namun, iris hazel itu terus menghindar. “Raquel, lihat nenek.”

Raquel menggigit bibirnya sebelum pandangnya beradu tatap dengan sang nenek.

“Kalau kau berpikir masuk ke Ottori bisa mengembalikan kehormatan nenek, buang surat itu sekarang.”

“N-nenek ….”

“Hidupmu terlalu berharga untuk memperjuangkan kehormatan wanita tua yang sebentar lagi akan mati.”

“Nenek! Kenapa nenek bicara begitu?!” Raquel bisa merasakan matanya memanas. Kedua tangan gadis itu terkepal kuat.

“Raquel, nenek sudah merasa sangat bersalah karena membuatmu yang tidak tahu apa-apa harus dibenci orang-orang. Kau berhak untuk bahagia dengan kehidupanmu sendiri. Kalau kau masuk ke Ottori hanya karena nenek—”

“Tidak. Aku tidak masuk ke Ottori untuk nenek. Aku melakukannya untuk diriku sendiri.”

“Raquel ….” Suara wanita itu melemah seiring jatuhnya air dari pelupuk mata si gadis.

“Aku … ingin menjadi kuat dan menunjukkan ke seluruh dunia bahwa aku punya nenek hebat yang membesarkanku dengan penuh kasih sayang. Aku melakukannya karena aku ingin terlihat hebat. Jadi, berhentilah bicara tentang kematian! Nenek kan sudah berjanji akan hidup lama sampai bisa melihat aku bahagia!”

Gadis muda di hadapannya ini, yang matanya memancarkan tekad yang kuat, memang sulit untuk ditentang. Pada akhirnya Opheana hanya bisa menghela napas.

“Nenek memang tidak bisa menggoyahkan tekadmu.”

Raquel menghapus sisa air yang menghalangi pandangannya sebelum tersenyum. “Terima kasih, nek—”

“Tapi, bukan berarti nenek menyerah. Nenek akan menceritakan satu kisah lagi, yang nenek harap bisa menggoyahkan tekadmu.”

-bersambung-

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status