Share

6. Mulai tertarik dengan manusia

Happy reading........

Jessica menarik tubuh pria yang sudah tidak bernyawa itu kembali ke dalam mobil. Setelahnya dia berjalan ke arah Asta. Wanita itu baru berhenti saat dia tepat berada di hadapan Asta. Dia berjinjit sedikit agar wajahnya lebih dekat dengan Asta.

"Aku yakin manusia setengah dewa itu sudah tahu kita sedang mencarinya," ucap Jessica tepat di telinga Asta.

"Tidak mungkin, kita bisa menyamar dengan baik disini. Dia tidak mungkin bisa mengendus aura kita," tutur Asta dingin.

Jessica memeluk Asta dengan erat. Walaupun pria itu tidak membalas pelukannya sama sekali namun dia  tidak mendorong Jessica juga. Wanita itu menghirup dalam aroma khas tubuh Asta yang sangat memabukkan. Wangi vanilla. Entah kenapa pria manly seperti dirinya sangat menyukai aroma vanilla yang sangat lembut. Berbanding terbalik dengan kepribadiannya. Namun Jessica sangat menyukainya. Dia kemudian mendekatkan kembali bibirnya di telinga Asta yang terdapat piercing.

"Kau lupa? The Hunter D itu pintar, Sayang. Sama seperti kita." 

Jessica melepas pelukannya dan mundur selangkah melihat wajah Asta yang menatapnya tanpa ekspresi.

Jessica tersenyum miring. "Jika tidak kita pasti sudah menemukannya dan membinasakannya, tapi apa? Sampai sekarang kita tidak menemukan jejak dimana dia berada." 

Asta membuang napas pelan. Itu memang benar. Entah dimana manusia setengah dewa itu berada hingga Asta dan Jessica sulit sekali menemukannya.

"Aku yakin dia ada didekat kita. Aku yakin sekali. Kita harus punya rencana agar dia menampakkan dirinya sendiri dihadapan kita." Asta berucap tanpa melepaskan pandangan matanya pada Jessica.

"Dan untuk itu aku membutuhkan bantuanmu, Jessica."

Jessica menampilkan ekspresi seakan bertanya 'kenapa harus aku?'

"Karena The Hunter D itu pasti seorang pria," lanjut Asta memberi jawaban dari pertanyaan yang tak pernah ditanyakan. Dia memang sangat peka hanya dengan tatapan mata saja dia bisa tahu apa yang dipikirkan lawan bicaranya.

Asta kemudian berbalik dan menghilang dengan cepat dari sana meninggalkan Jessica.

Jessica tersenyum manis. Taekyung memang sangat sempurna namun hanya sebagai mangsa saja. Tapi Asta tetap menjadi pemilik hati Jessica. Hanya Asta yang bisa menarik semua perhatian Jessica. Sungguh dia ingin menjadikan Asta miliknya tapi pria itu ... shit! Asta tak menunjukkan ketertarikan pada Jessica sedikit pun.

Jessica membuang napasnya pelan lalu menggeleng samar.

"Apa kau yakin musuh kita seorang pria? Bagaimana jika dia adalah seorang wanita? Wanita yang sedang kau incar saat ini misalnya?" gumam Jessica.

"Apa kau bisa menghadapinya Asta Valerio," lanjut Jessica dan ikut menghilang ditelan malam.

***

Taekyung tersenyum manis saat dia sampai di depan rumah milik Yeoni.

"Sampai ketemu lagi, Yeo," ucap Taekyung melambaikan tangannya pada Yeoni yang sudah berada di luar mobilnya.

"Hmm, hati-hati dijalan, Taekyung. Dan terima kasih sudah mengantarku." Yeoni tersenyum sambil melambaikan tangan pada Taekyung membuat senyum kotak khasnya tampak.

"Aku pulang, yah. Jangan terlalu merindukanku kita masih akan bertemu besok." 

Seketika raut wajah Yeoni berubah kesal. Taekyung sepertinya memang sangat hobi membuat Yeoni kesal dan emosi dengan godaannya.

Namun belum sempat Yeoni berkomentar, Taekyung sudah menutup jendela mobil dan segera berlalu dari sana.

"Aish, dasar menyebalkan," gerutu Yeoni namun dia tersenyum manis setelah itu.

Yeoni masuk kedalam rumah berlantai dua itu.

"Ah, Kak Yeoni, kau sudah pulang" sambut Yeojun membuka pintu.

"Iya, Yeonjun," ucap Yeoni sambil tersenyum pada sang adik.

"Itu tadi Taekyung Lee, yah? Wah dia tampan sekali, Kak," puji Yeojun sambil memegang kedua pipinya.

Yeoni hanya menggeleng melihat tinggah sang adik. Melepaskan sepatunya kemudian berlenggang masuk ke dalam rumah. Yeojun memang sangat mengidolakan Taekyung Lee. Beberapa kali juga dia merengek agar bisa bertemu dengan Taekyung namun Yeoni tidak mengizinkannya kecuali Yeojun lulus sekolah dengan nilai yang bagus.

"Ya, itu Taekyung tapi kau belum boleh bertemu dengannya. Ingat perjanjian kita?"

"Aish, Kak Yeoni pelit sekali. Jika saja Kak Taekyung tahu sifat Kak Yeoni ini, dia mungkin akan ilfil padamu," gerutu Yeojun pada sang kakak.

"Itu tidak mungkin asal aku tahu. Mau aku bersikap bagaimana pun dia tetap akan suka padaku," ucap Yeoni membela diri. Walau sebenarnya dia sendiri ragu dengan kata-katanya.

Yeojun meledek Yeoni dengan memiring-miringkan bibirnya. Namun segera berhenti ketika pria berusia 17 tahun itu mengingat sesuatu.

"Ah iya, aku lupa. Tadi ada seorang pria datang kesini mencarimu. Tapi tidak mengatakan siapa namanya. Dia langsung pergi begitu saja setelah aku mengatakan jika Kak Yeoni belum pulang. Yang aku ingat dia menggunakan jas warna hitam, kulitnya sangat putih, dan rambutnya berwarna silver. Dia sangat tampan namun masih lebih tampan Kak Taekyung, sih," kata Yeojun panjang lebar.

"Apa?" Yeoni mendudukkan dirinya di sofa seraya mengingat-ingat kira-kira siapa gerangan yang datang mencarinya.

"Pak Yoonki," tebak Yeoni.

"Ah ... iya, aku ingat. Dia orang yang sama mengantarmu saat pingsan dulu," kata Yeojun mengangguk.

"Aish, yang benar saja. Apa lagi yang dicari pria itu kemari? Apa dia tidak cukup mengangguku saat bekerja?" gerutu Yeoni melempar asal tasnya.

"Kau baik-baik saja, Kak?" tanya Yeojun.

"Ya, aku baik-baik saja," ucap Yeoni melipat kedua tangannya di dada.

Entah kenapa dia sangat kesal sekarang atau justru ada perasaan lain yang Yeoni sendiri tidak bisa mengutarakannya.

Yeoni melirik pintu kayu di belakangnya.

"Yeojun, Ayah belum pulang?" tanya Yeoni pada Yeojun yang sedang duduk di lantai sambil mengerjakan tugas sekolahnya.

"Belum, Kak. Katanya Ayah menerima laporan lagi jika ada seseorang yang bunuh diri di bawah jembatan," jawab Yeojun tanpa mengalihkan pandangannya dari buku pelajaran.

"Kasus bunuh diri lagi? Astaga," keluh Yeoni menyandarkan tubuhnya. "Kenapa setiap hari ada saja yang bunuh diri? Hah ... membuatku pusing saja."

Yeojun memutar bola matanya malas lalu berceletuk, "Seharusnya ayah yang pusing. Yang menangani kasus itu 'kan ayah, bukan Kak Yeoni."

"Aku tahu, tapi aku kasihan pada ayah. Kau tidak lihat bahkan ayah sudah sangat jarang pulang ke rumah," kata Yeoni.

Yeojun hanya mengangguk pelan. Itu memang benar. Bukan hanya jarang berada di rumah bahkan waktu untuk keluarga mereka jadi berkurang karena semua kasus itu.

"Kau sudah makan malam?" tanya Yeoni.

"Sudah, Kak. Bersama teman-temanku tadi. Ada salah satu dari mereka yang merayakan ulang tahun jadi kami makan bersama di rumahnya."

"Ah, begitu ... baiklah, aku akan masuk kekamarku. Kau jangan begadang. Pergilah tidur setelah tugas sekolahmu seselai. Mengerti!" kata Yeoni lalu beranjak.

Gadis itu membersihkan dirinya terlebih dahulu. Keluar dari kamar mandi dengan t-shirt pendek dan celana pendek, Yeoni mengeringkan rambut panjangnya dengan handuk kecil.

Sapuan di kepalanya melambat saat terlintas ingatan tadi siang saat dia bersama Yoonki.

Pria itu menyeretnya masuk ke dalam ruang kerjanya.

"Hei! Pak Yoonki ada apa?" tanya Yeoni sesaat setelah mereka sampai di sana.

"Tetap di sini sampai pemotretannya selesai. Mengerti!" kata Yoonki dingin.

"Kenapa saya harus berada di sini? Sedangkan pekerjaan saya---"

"Aku itu bosmu, kenapa kau selalu membantah, huh?" potong Yoonki membuat Yeoni terdiam sesaat.

"Bukan begitu, pekerjaan saya masih banyak dan bisa saja saya dipecat karena lalai dalam pekerjaan. Jadi saya harus keluar. Permisi, Pak Yoonki," ucap Yeoni akan beranjak.

Plak!!!

Yoonki menaruh tangannya di tembok tepat di depan wajah Yeoni hingga pergerakan wanita itu terhenti. Yeoni menoleh. Mata mereka saling menatap. Tatapan bingung Yeoni dan tatapan tajam Yoonki menyatu di sana.

"Tetap disini, Yeoni. Jangan membantahku," kata Yoonki dengan suara beratnya.

Yeoni mengangguk pelan tanpa mengalihkan pandangannya dari Yoonki. Hatinya mengatakan agar dia menolak namun otaknya malah mengiyakan perintah itu.

Kenapa seperti ini? Kenapa otak dan hatiku tidak mau bekerja sama?

Yoonki tersenyum tipis menatap dalam mata hitam Yeoni.

"Untuk ukuran manusia kau cukup cantik, Yeoni Kim," gumam Yoonki. "Kau menarik. Terlebih mata indahmu ini." Yoonki mengelus pipi Yeoni dengan lembut. Tersenyum tipis. Lalu berbalik untuk  kembali duduk di kursi kebesarannya setelah terlebih dahulu mendudukkan Yeoni di sofa yang ada di depan mejanya.

"Yeoni," panggil Yoonki.

Wanita itu menatapnya. Entah kenapa Yoonki merasa bersalah sudah mengendalikan pikiran Yeoni terlalu jauh hingga membuat wanita itu terlihat linglung.

Pria itu mengurangi sedikit pengaruhnya pada Yeoni hingga gadis itu mulai sadar kembali.

"Kau tidak perlu khawatir tentang pekerjaanmu. Tidak akan ada yang berani memecatmu. Kau tahu," ucap Yoonki meyakinkan Yeoni.

Yeoni sudah mulai sadar dari perngaruh Yoonki. Dia berdiri dari sofa dan memilih duduk di kursi yang berada tepat di depan meja Yoonki.

"Lalu saya harus duduk diam saja di sini, Pak? Saya seperti menerima gaji tanpa bekerja jika seperti ini," kata Yeoni frustasi.

"Tidak juga karena aku memiliki pekerjaan yang lebih pantas untukmu?" kata Yoonki.

"Pekerjaan seperti apa? Menjadi model? Ayolah, Pak Yoonki saya tidak punya bakat menjadi model," kata Yeoni membuat Yoonki terkekeh. Gadis itu ternyata sangat cerewet.

"Aku tidak akan menyuruhmu untuk menjadi model tapi...." Ada jeda untuk sekedar Yoonki memajukan wajahnya  ke arah Yeoni.

"Temani aku disini," lanjut Yoonki dengan entengnya.

"A-apa?" Yeoni memiringkan kepalanya bingung. Mata bulatnya juga bekedip beberapa kali dengan cepat.

Sangat imut.

"Iya, menemaniku di sini. Ajak aku bicara agar aku tidak bosan. Bekerja sendiri itu sedikit memuakkan, kau tahu," jawab Yoonki sambil membuka berkas-berkas yang ada di mejanya lalu menutupnya kembali.

"Berbicara dengan Anda?" Yeoni sedikit bingung. Memangnya pembicaraan seperti apa yang harus mereka bahas?

Dia sampai menggaruk tengkuknya yang tidak gatal saking bingungnya.

"Kenapa kau diam saja?" tanya Yoonki menuntut.

"Aku tidak tahu harus membicarakan apa dengan Anda Pak Yoonki," ucap Yeoni jujur.

Yoonki terkekeh kecil.

"Ceritakan tentang dirimu atau kau juga bisa bernyanyi. Aku tak masalah. Setidaknya jangan buat ruangan ini terasa sepi," ucap Yoonki melipat kedua tangannya sambil bersandar di kursinya.

"Bahkan suaraku tidak bagus. Bagaimana aku harus bernyanyi di depannya?" lirih Yeoni mengerucutkan bibirnya dan itu sukses membuat Yoonki sangat gemas hingga dia berdiri dan menghampiri Yeoni.

Yoonki memutar kursi Yeoni hingga membuat mereka berhadapan. Dengan posisi Yeoni duduk di kursi dan Yoonki menyangga kedua tangannya di pegangan kursi itu lalu menunduk sedikit untuk melihat wajah Yeoni lebih dekat.

"Pak Yoonki," lirih Yeoni kecil. Bahkan sangat kecil namun Yoonki masih bisa mendengarnya.

"Kau punya kekasih?" tanya Yoonki.

"Eh?" raut wajah Yeoni semakin bingung. Apa-apaan pertanyaan itu?

Yoonki memejamkan matanya sesaat. "Apakah aku harus selalu mengulangi pertanyaanku padamu?" jengah Yoonki.

Yeoni menelan salivanya berat. "Tidak, Pak!" jawab Yeoni cepat.

"Jadi? Jangan bilang kau menyukai model itu." 

"Tidak ... saya tidak menyukainya," jawab Yeoni spontan.

Yoonki tersenyum miring lalu mendekatkan wajahnya pada Yeoni. Bahkan hidung mereka berdua sudah hampir bersentuhan.

"Aku tertarik padamu, Yeoni," bisik Yoonki intens.

"A-apa?" Yeoni terkejut. Yoonki menatap Yeoni horor karena wanita itu kembali bertanya padahal tadi dia sudah memperingatkannya agar tidak bertanya berulang kali.

"Maafkan saya, Pak. Tapi maksud Anda menyukai saya---"

"Menyukai seperti seorang pria menyukai seorang wanita," potong Yoonki. "Aku ingin kau menjadi kekasihku, Yeoni." Yoonki tersenyum miring. Wajahnya semakin dekat dengan Yeoni membuat wanita itu menutup matanya rapat. Tangan Yeoni mengepal kuat. Tak terbayangkan apa yang akan terjadi selajutnya.

Chup!!!

Yoonki mengecup kening Yeoni lembut. Cukup lama hingga Yoonki menjauh dan Yeoni membuka matanya perlahan.

"Tunggulah di sini. Aku keluar sebentar. Rasanya jantungku berdebar cukup kencang dan aku butuh udara segar." Yoonki pergi setelah mengatakan hal itu pada Yeoni.

Mengabaikan Yeoni yang wajahnya sudah merah sampai telinga.

Yeoni memukul-mukul kepalanya sendiri dengan bantal.

"Apa maksud Pak Yoonki berkata seperti itu?" geram Yeoni lalu membanting tubuhnya ke atas tempat tidur.

"Aarrghhh!!!" teriak Yeoni dibalik bantal. Dia menurukan bantal itu dari wajahnya.

Tangannya terangkat memegang dahi yang telah dihadiahi kecupan oleh Yoonki. Yeoni bahkan masih bisa merasakan bibir kenyal Yoonki saat menciumnya tadi.

"Aarrgghhh!!! Dasar Yoonki Min sialan!" umpat Yeoni. 

Sementara Yeoni bergulat dengan tempat tidurnya. Yoonki malah tertawa kecil di atas atap rumah Yeoni. Sejak tadi pria itu memang sudah di sana mendengarkan segala ocehan Yeoni.

Pria itu memegang bibirnya. Dia sendiri pun bingung pada dirinya. Untuk pertama kali Yoonki ingin mencium seorang wanita. Terlebih Yeoni adalah seorang manusia.

Wanita dari bangsanya banyak yang ingin menjadi pendamping Yoonki namun pria itu tidak tertarik sama sekali. Namun dengan Yeoni, Yoonki merasakan dirinya tertarik untuk melakukan hal-hal yang tidak pernah terpikirkan oleh Yoonki sebelumnya.

Yeoni membuat jantung Yoonki berdebar lebih dari biasanya hanya karena sebuah ciuman di kening. Yeoni membuat Yoonki ingin selalu menatapnya, ingin selalu mendengar suaranya dan tanpa ragu menyentuh Yeoni, bukan sebagai mangsa namun ada hal lain yang Yoonki cari.

Sebuah kehangatan dari sentuhan Yoonki pada Yeoni yang merambat dari tangan sampai keseluruh tubuhnya.

Yoonki ingin selalu merasakan kehangatan itu. Ingin sekali Yeoni menyentuhnya atau mungkin memeluknya dengan erat.

Yoonki tersenyum tipis mengingat betapa gila dirinya sekarang.

"Apakah ini yang sebut Cinta?"

To be continue....

Ya ampun Yoonki manis banget sih. Aku jadi jatuh cinta juga. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status