"Nando," panggilku saat tiba di ruangannya.
"Iya, Pak.""Kamu tahu dimana, Rara?" Nando hanya menggeleng. Sial! Jangan sampai Lirna kembali memisahkan aku dengan Rara. Segera aku pun bergegas keluar kantor. Sampai di luar, aku langsung menaiki mobil dan memacunya dengan kecepatan tinggi."Semoga kalian masih ada di sana!" lirihku sambil terus fokus berkemudi.Dua puluh menit kemudian aku telah sampai di depan rumah Lirna. Keadaan begitu sunyi. Jantungku berdegup, apa mereka akan kembali pergi dariku? Segera aku pun turun dari mobil dan mengetuk pintu rumahnya.Sudah beberapa kali aku mengetuk hingga jariku memerah tapi tidak ada yang membuka pintu. Frutasi aku rasanya. Baru saja bisa melihat mereka setelah sekian lama. Tapi kini harus kembali kehilangan. Aku masih belum beranjak dari pintu rumah Lirna. Aku masih menyandarkan tubuhku di sana. Terduduk lemas sambil terus menjambak rambutku."Kamu ngapain disini?" Aku
" apa yang harus aku katakan pada seorang penghianat? Apa yang harus aku katakan pada seorang Ayah yang tega menyakiti hati ibuku? Kau tahu, Pak Adrian? Ibuku berjuang mati-matian untuk membesarkanku!" "Jadi maksud kamu, kamu sudah tahu siapa Saya?" "Saya sudah tahu kalau anda adalah seseorang yang membuatku terlahir di dunia ini. Seseorang yang yang mampu membuat hati ibuku terluka begitu hebatnya!" "Sekarang tolong anda pergi dari sini! Kami tidak membutuhkan keberadaan anda! Ataupun belas kasihan dari anda! Dari dulu saya dan ibu saya sudah terbiasa tanpa kehadiran anda! Sekarang saya mohon anda pergi dari sini, dan jangan pernah datang lagi kemari. Bagi kami, anda sudah tiada, Pak Adrian. Anggap saja anda tidak pernah berhubungan dengan orang seperti kami. Kami tidak akan mengusik keluarga anda, begitupun sebaliknya!" tegas Rara membuatku tak mampu berbicara. "Pak Adrian yang ternyata Ayah saya, s
POV Rara "Walaikumsalam," ucap Mama bergegas. "Mbak Lirna, saya mau ngasih tahu, itu tempat yang untuk jualan pecel ayamnya sudah rapi. Besok ataupun lusa sudah bisa dibuat jualan. Semua sudah beres seperti permintaan, Mbak Lirna. Bersyukurnya lagi, kantor yang baru jadi dibangun juga segera beroperasi. Pasti banyak yang makan siang di warung Ibu. Belum lagi orang-orang yang lalu lalang. Insya Allah rame, Mbak, warungnya," ucap Pak Jono panjang lebar. Pak Jono itu pemilik tempat yang dikontrak Ibu untuk dijadikan warung pecel ayam. Lebih enaknya lagi, bagian atasnya bisa untuk tempat tinggal kami, karena tempatnya bertingkat. Harga sewanya 20 juta per tahun Khusus tempat. Untuk biaya perlengkapan warung dan dekorasi, sekitar 20 juta. Itu sudah lengkap semua. Lokasinya sangat strategis di pinggir jalan dan juga dekat dari perkomplekan. Masakan Mama itu lezat, aku yakin pasti akan laris manis. Setelah bertahun-tahun kami menabung, allhmdullillah bisa buka
POV Tania. "Papa kemana, sih, Ma? Katanya mau ke kantor, Dila tungguin nggak ada, Papa itu datang, Ma," kesal putriku sambil melempar tasnya dan langsung merebahkan tubuhnya di sofa. "Capek ya, Sayang?" tanyaku. "Capek banget, Ma," jawabnya. Kasihan memang putriku yang cantik ini harus kelelahan mengurus kantor. "Tadi itu, Papa bilang sama Mama mau ketemu teman bisnis. Rekan bisnis Papa. Ada acara peresmian kantor. Mereka bilang sih,,,," Aku tidak melanjutkan ucapanku agar Dila penasaran. Dila itu putri kesayangan kami. Ya, meski suamiku itu memiliki anak dari mantan istrinya, dia seakan tidak peduli dan lebih perhatian pada putriku. Jelas aku tahu, sebab apapun yang ia punya, pokoknya semua yang ia miliki, semuanya untuk Dila. Sudah hampir dua minggu belakangan ini, sejak pertemuan dengan anak dan mantan istrinya, Mas Adrian terlihat biasa saja. Tidak ada kesedihan
"Ma, Rara risih sama pelanggan yang pake jas hitam gagah tinggi itu," ucapku pada Mama. Bagaimana tidak, kalau pemuda itu diam-diam memperhatikan aku yang sibuk mondar-mandir mengantar pesanan pelanggan. Alhamdulillah warung pecel ayam kami selalu ramai pengunjung. Terlebih saat kantor baru itu buka hari ini, pas jam makan siang sangat ramai dan membuatku super sibuk. Seperti siang ini tentunya, yang satu ruangan hampir penuh dengan para karyawannya. "Yang mana?" Mama bertanya sambil celingukan mencari pria itu. "Mama! Jangan tengak-tengok begitu. Itu yang dipojok," ucapku. "Oh, ganteng ya, Ra," ucap Mama. "Mungkin memperhatikan kamu karena pesanannya belum diantar, Ra. Jadi jangan ke-GR-an," ucap Mama. Sumpah menohok banget. "Ya sudah, ini kamu antar pesanan dia." Aku pun segera mengantarnya. Aduh, baru kali ini ketemu pelanggan perasaan aku dag dig dug tak karuan. "Permisi, pesanannya,"
POV Tania. "Bagaimana, Pa? Apa perusahaan, Papa bisa diselamatkan?" tanyaku setelah Mas Adrian merebahkan tubuhnya di sofa. Mas Adrian menarik nafas panjang lalu menghembuskan-nya. "Tidak bisa, Ma. Papa jual pada sahabat Ronald. Dia sanggup membayarnya. Jadi setidaknya, Papa tidak mengalami kerugian yang lebih besar lagi," jawabnya. Aku mengangguk dan mendengus lega. "Syukurlah, Pa," ucapku. Terlihat dari wajahnya, suamiku itu sangat kelelahan. "Ya sudah, Papa masuk ke kamar ayo. Terus langsung mandi," ucapku. Meskipun waktu sudah hampir pukul 11 malam, tetap saja, suamiku bau keringat dan harus tetap mandi.
POV LINGGA "Ini bukan lagi musim perjodohan seperti jaman Siti Nurbaya dan Datuk maringgih kan, Pa?" tanyaku pada Papa yang terus memaksa untuk menikah dengan gadis pilihannya. "Dia itu pintar! Cantik! Masih muda! Tahu kamu? Dia juga memimpin perusahaan Ayahnya! Gadis seperti itulah yang seimbang dan cocok dengan kamu! Dia bisa mengimbangi kamu! Atau bahkan menjadi sekretarismu nanti! Diberi pasangan yang cocok malah menolak!" kesal Papa. Bagaimana mungkin aku dapat menerima perjodohan ini, kalau aku pun tertarik pada seorang gadis sederhana penjual pecel ayam itu. Selama 28 tahun usiaku, Tidak pernah sedikitpun aku memiliki ketertarikan pada gadis lain. Baru kali ini, dan itu pada seorang gadis penjual pecel ayam. "Kamu itu laki-laki norma
POV RARA Sudah dua hari ini pemuda tampan itu tidak menginjakkan kaki di warung pecel ayam ini. Padahal aku sudah berhias semanis mungkin. Khusus agar tidak terlihat kumal di hadapannya. 'Kemana ya pemuda tampan itu?' Entah kenapa, meski baru pertama kali melihat hadirnya, ada sesuatu yang berbeda di dalam hati ini. Aku ingin terus melihat dan melihatnya. "Sayang, kamu bengong saja." Mama datang sambil menepuk pundakku. "Lo, Mama sejak kapan ada di belakang, Rara?" tanyaku bingung. Sebab, Mama sedang pergi melihat tempat bersama Pak Jono. Kami berencana ingin membuka cabang baru. Meski baru sebentar kami membuka warung pecel ayam ini, tapi karena omset yang mencapai 10 juta per hari bahkan kadang lebih, membuat kami bisa membuka cabang baru dengan cepat. Mungkin karena keenakan sambal buatan Mama yang beda dari sambal lain, serta ayam dan ikan yang begitu meresap, membuat orang jauh bahkan rela menempuh jarak dengan kendaraan mereka. Komenta
POV LINGGA Bagaimana mungkin aku salah orang. Bukan Dila yang aku maksud. Tapi gadis pecel ayam itu. Rara yang aku inginkan. Memang setelah kusandingkan, ada perbedaan diantara keduanya. Meski perbedaan itu tidak terlalu banyak, tapi tetap ada, dan tetap cantik Si gadis pecel ayam. Bagaimana ini? Bagaimana cara aku membatalkan pernikahan dengan, Dila? Tapi gadis itu sudah terlanjur mencintaiku. Semua juga sudah disiapkan. Haruskah aku menikahinya? Sedangkan bukan dia orang yang aku cinta. Bimbang, itu yang aku rasa saat ini. Ting …! Aku mengabaikan bunyi notif dari ponselku. Karena disana, tertera nama calon istri. Ya Tuhan … bagaimana aku mengatakan kebenarannya kalau aku salah orang? Dan bukan dia perempuan yang kumaksud. Karena ponsel terus berbunyi, aku pun segera membaca pesan darinya. [Sayang!] [Sayang, katanya sudah kembali dari luar kota? Aku tunggu hadiah yang kamu janjikan] [Love you]