Share

JANGAN HINA AKU MANDUL
JANGAN HINA AKU MANDUL
Penulis: RENA ARIANA

Sabar Mas....

Sudah sepuluh menit aku di dalam kamar mandi menatap tespek dengan satu garis merah ini. Aku gundah sembari merintikkan air mata. Mas Tama mungkin saja menungguku dengan penuh harap di luar, bahwa kali ini aku akan memberi dia kabar baik. Namun, sepertinya belum juga. Tuhan belum mempercayakan seorang anak padaku di tahun pernikahan kami yang sudah hampir menginjak delapan tahun ini. 

Tok … tok ….!

"Rum!" Segera kuhapus air mata saat terdengar Mas Tama mengetuk pintu kamar mandi dan memanggil namaku. Gegas aku pun beranjak membuka pintu dan menghampirinya.

"Mas maaf, aku belum bisa kabulkan keinginanmu," lirihku sambil memeluk dan membenamkan wajahku di dadanya. 

"Hah," lirih Mas Tama berdesah. Aku paham betul perasaannya, pasti Mas Tama sangat kecewa. Sebab, dia sudah sangat sabar menanti saat-saat paling membahagiakan itu.

"Tapi kenapa, Arum? Kita sudah lakukan semuanya," ucapnya terheran sambil menatapku dengan mata yang berkaca-kaca. Aku menunduk sembari merintikkan air mata. 

"Maafkan aku, Mas. Kamu yang sabar ya?" ucapku lembut sambil mengelus pipinya. Mas Tama hanya diam lalu menepis pelan tanganku seakan mengelak dari sentuhanku.

"Mas, kita hanya perlu sabar. Tuhan pasti sudah rencanakan yang terbaik dibalik semua ini, percayalah, Mas," bujukku memegangi pergelangan tangannya. Mas Tama menjauh sambil mengusap wajahnya. Lalu, ia pun terduduk di atas kasur. Padahal dia harus sudah berangkat ke kantor karena hari sudah mulai siang. Namun, karena insiden menunggu dua garis merah membuat kami harus berdebat.

"Kamu tahu, aku sudah cukup sabar, Arum. Tapi bagaimana dengan, Ibu? Kali ini, pasti dia tidak akan tinggal diam. Sudah setahun ini Ibu selalu menekanku untuk segera memiliki anak! Sampai-sampai Ibu bilang kalau aku …." Mas Tama tidak melanjutkan ucapannya. Sehingga mampu membuatku penasaran.

"Kalau kamu apa, Mas?" tanyaku sambil menautkan kedua alis.

"Ibu akan carikan istri lagi untukku," lontarnya tertunduk. Jantungku berdegup, tangan, bibir, dan kaki seakan gemetar.

"Dan bagaimana dengan kamu, Mas? Apa kamu tega menduakan aku? Aku tau dari dulu ibumu tidak suka denganku. Tapi bagaimana denganmu? Bukankah kamu mencintaiku? Apa kamu tidak pikirkan perasaanku, Mas?" tanyaku sedikit lantang dan gemetar. Mas Tama berdiri sambil menatapku hangat. Lalu, ia pun memegang kedua bahuku sambil berucap, "Arum... jujur. Aku tidak ingin menyakiti perasaanmu. Tapi ini memang cukup lama. Wajar kalau Ibu menginginkan cucu dariku. Aku anak lelaki satu-satunya," jelasnya. Sontak saja aku gemetar dan menangis histeris terhenyak di sofa. Kenapa dia sebut anak satu-satunya? Bukankah Ibu masih memiliki anak perempuan. Apa ini hanya sebuah alasan?

"Itu berarti kamu setuju dengan ide ibu-mu itu, Mas," lirihku sambil merintikkan air mata. Mas Tama tidak sanggup melihat air mataku segera ia beranjak dan mendekat duduk di sampingku. Lalu, ia pun merangkulku dengan erat. 

"Aku mencintaimu, Arum. tidak perlu aku jelaskan pun kamu sudah sangat tau kalau aku sangat mencintaimu," ucapnya meremas bahuku. Aku tidak peduli dengan ungkapannya, semua itu sama sekali tidak menghiburku, tetap saja dari makna ucapannya itu, ia tetap mendukung penuh ide Ibunya. 

"Mas! Yang aku tanya, apa kamu menyetujui ide Ibumu untuk menikah lagi?" tanyaku menegaskan. Namun Mas Tama memilih diam dan mengambil perlengkapan kantornya kemudian bergegas. Sementara aku kembali menangis histeris membayangkan betapa menyayatnya masalah yang akan aku hadapi sekarang. "Aku harus bagaimana?" batinku dalam hati. 

"Mas tunggu!" panggilku seraya berlari kecil menghampirinya yang belum menjauh. Mas Tama pun berhenti sambil menatapku. " Mas, aku mohon jangan turuti kemauan ibumu, lagipula kita tinggal menunggu hasil tes dari dokter keluar. Ini kan kali pertamanya kamu mau ikut tes dan tinggal menunggu hasil. Aku mohon, Mas, bersabarlah dulu sampai hasil tesnya keluar," pintaku penuh harap. Namun, sekali lagi Ma Tama hanya diam saja. Ia menyentuh pipiku lembut, kemudian berlalu.

🌟🌟🌟🌟🌟

Hari sudah mulai sore, setelah melepas Mas Tama berangkat ke kantor pagi tadi, aku terus bermuram hati di dalam kamar. Bagaimana tidak, rencana ibu mertua dan suami mencari madu untukku terus menghantui pikiran dan perasaan. Cepat atau lambat, sepertinya itu akan terjadi. Delapan tahun Mas Tama begitu berharap bahwa rahimku akan mengandung anaknya, tapi semua harapan itu pupus sudah setelah sekian tahun. Aku memang tak sempurna sama sekali menjadi seorang istri. 

Namun, meski begitu demi keutuhan rumah tangga kami, aku telah mencoba untuk menjadi yang terbaik bagi Mas Tama. Mengorbankan karir-ku dan fokus menjadi ibu rumah tangga. Melayaninya setiap hari di rumah, padahal karirku tengah gemilang dengan skillku yang lumayan. Tidak tanggung-tanggung, aku juga menjual semua tanah peninggalan almarhumah Ibu untuk modal membuka perusahaan. Bukan hanya itu, masih banyak yang kuberikan pada Mas Tama. Supaya apa? Supaya suamiku bisa berpikir dua kali jika untuk mendua. Tapi sepertinya Mas Tama telah melupakan semua itu. Yang dia tahu sekarang, aku istri yang tidak sempurna dan tidak berguna. 

Ting nong….!

Bunyi bel bergema, sedikit aku tersentak saat mendengar suara Ibu mertua kesal pada Inem. "Lama banget sih, Nem buka pintunya! Kamu itu ketularan leletnya Arum apa?! Kerja lamban begitu!" cerocos Ibu terdengar sampai kamarku. Aku pun segera merapikan diri dan setelah itu keluar kamar untuk menemuinya. Perlahan, aku pun melangkahkan kaki ke ruang tamu. Karena disana suara Ibu bersumber. Setiap tuan rumah pasti akan mengetahui siapa tamu yang datang jika sang tamu terus berteriak. Betul saja, saat aku sampai di ruang tamu Ibu sedang berdiri sambil melihat-lihat isi ruangan.

"Bu! Apa kabar?" sapaku sambil menjabat tangan dan mencium punggung tangannya. Wajah judes dan muka masam yang sudah sangat khas dengannya ia tampakkan padaku.

"Mana Tama? Ibuk perlu bicara dengannya!" tanyanya ketus sambil melihat ke setiap sudut rumah. Pasti Ibu sedang menilai cara perawatan dan penataan ruangan-ku yang semrawutan menurutnya. Aku bukan wanita yang lebai. Penataan ruangan yang simple lebih aku sukai daripada menumpuk banyak perabotan yang kekinian apalagi hanya ikut-ikutan. 

"Mas Tama belum pulang, Bu. Dia hari ini lembur, Bu. Mungkin pulang malam. Sebab tadi Mas Tama kirim pesan akan pulang telat," jawabku sesopan mungkin. 

Ibu melirik-ku sambil berucap ketus. 

"Ya sudah! Ibu tunggu! Bila perlu Ibu menginap disini!" sungutnya. Aku sedikit menarik ujung bibirku dan masih mencoba bersikap manis. Berharap Ibu bisa lupakan rencana untuk menikahkan lagi Mas Tama dengan wanita lain. Bagaimanapun, aku tidak sanggup jika itu terjadi. 

"Baiklah, Arum siapkan kamar tidur untuk Ibu dulu ya?" ujarku sambil menggenggam erat tangannya. Ibu mertuaku hanya mengangguk dan tersenyum kecut. Aku pun segera berdiri dan membalik hendak ke kamar tamu. Namun, langkahku terhenti saat ponsel mertuaku berdering.

"Hallo, Luna, sayang? Kamu apa kabar? Apa? Tama? Ini ibu lagi ada di rumahnya. Kamu tenang saja ya? Nanti dia pasti akan memberimu kabar," ucap Ibu membuat tenggorokanku tercekat. Dengan mata berkaca-kaca aku coba membuka mulutku untuk bertanya. 

"Iii-tt--u tadi siapa, Bu?" tanyaku dengan bibir gemetar. Lama mertuaku itu memandang dengan senyum hambar. 

"Luna! Kamu ingat'kan? Dia wanita yang waktu itu saya jodohkan sama, Tama. Bodohnya Tama malah lebih memilih kamu, wanita mandul," cibir Ibu lalu terkekeh dengan tawa renyah sehingga membuat nafasku tersengal karena merasa sesak yang teramat di dalam dada.

"Bu-bukannya, Luna sudah menikah?" lirihku tak habis pikir. Ibu berdesih dan kembali berkomentar.

"Luna tidak mencintainya! Hati dan pikirannya hanya untuk, Tama! Lagipula mungkin ini memang sudah jalannya! Suami Luna meninggal! Dan Tama tak kunjung dikaruniai anak. Saya pikir lebih baik Tama menikah dengan, Luna daripada bertahan hidup dengan wanita mandul seperti kamu! gak guna!" umpatnya membuat bulir bening di sudut mataku menetes deras. 

"Ibu, lupa? Aku sudah mendukung, Mas Tama semua dari Nol! Bahkan untuk membuka perusahaan-nya itu, semua hasil jual tanah almarhumah ibuku, Bu!" pekikku sedikit membentak. Wanita paruh baya itu menaikan alisnya dan sedikit menggertakkan rahangnya.

"Belagu sekali kamu! Emang semua pengorbananmu itu bisa mengobati luka hati anakku yang tak kunjung dapat keturunan?! Apa kamu akan jerat dia selamanya dalam pernikahan yang hambar seperti ini? Ha?!" pekiknya tak kalah membentak membuatku tertunduk dan menangis. 

"Kamu ini! Ungkit-ungkit tentang harta segala! Berapa emang? Hitung semua! Biar nanti tak bilangin Tama suruh ganti semuanya! Kamu bisa pakai buat bekal Tua tanpa anak seorang diri!" tandasnya lagi. Aku tertunduk. Ibu melewatiku beranjak ke kamar tau yang belum jadi kusiapkan untuknya.

Brak!!!

Ibu membanting kuat pintu kamar hingga membuatku tersentak dan termangu dengan tangis membasahi pipi.

🌟🌟🌟🌟

Malam berkunjung, setelah selesai menyiapkan makan malam, aku coba kembali menemui mertuaku itu di kamar.

"Ibu!" panggilku. "Kita makan dulu! Nanti Mas Tama bisa marah sama, Arum kalau Ibu tidak mau makan!" pintaku dari luar. 

Tidak ada jawaban, dari Ibu. Meski aku terus memanggilnya, namun Ibu masih tidak mau menjawab. Aku pun kembali beranjak ke meja makan menata menu makan dan alat makan lainnya. Tak lama kemudian, terdengar suara mobil Mas Tama memasuki garasi. Aku hendak beranjak untuk menyusulnya. Namun, dengan cepat kilat Ibu keluar dari kamar dan bergegas ke arah luar. Aku pun segera menyusul Ibu dari belakang. Aku yakin, pasti Ibu ingin menemui Mas Tama dan mengadu yang bukan-bukan.

"Ibu. Kok gak bilang sama Tama kalau mau berkunjung? Tama 'kan bisa jemput," ucap Mas Tama mencium dan merangkul tubuh ibunya itu. 

"Gak apa, ibu takut menganggu. Cuman ibu lemes, udah dari siang Ibu disini gak dikasih apa-apa sama, istrimu itu!" sungut Ibu mencibir padaku. 

"Tidak, Mas, tadi aku sudah minta Ibu keluar untuk makan. Tapi ibu malah mengurung diri di kamar," timpalku. Mas Tama langsung membawa Ibu mertuaku itu ke meja makan. 

"Sudah… sekarang Tama ada disini. Jadi kita makan sama-sama ya" ajaknya sambil menyunggingkan senyum hangat padaku. Sedikit lega sepertinya Mas Tama takkan berpihak pada Ibunya kali ini. Ibu pun langsung duduk di samping Mas Tama. Ia mulai mengambil piring kosong dan menyendok nasi beserta lauknya. Begitupun dengan Mas Tama. 

"Tama, Ibu datang kesini mau bilangin masalah, Luna. Kamu masih ingat dia 'kan? Dia masih berharap sama kamu lo. Lagipula, pernikahanmu sudah tidak bisa dipertahankan lagi," ucap Ibu sambil melirik sinis padaku. Aku mengepal sendok yang tengah kupegang erat. Gemetar rasanya tulangku menahan rasa sakit karena ucapan pedas mertua barusan.

Mendengar itu ucapan Ibunya, Mas Tama menoleh padaku sembari mengelus punggung tanganku lembut. 

"Gak, Bu. Aku dan Arum masih perlu berusaha. Aku yakin suatu saat nanti Arum akan mengandung," tolaknya sambil menyunggingkan senyum hangat. 

Mertuaku terlihat bingung sambil membulatkan mata melihat mendengar ucapan anaknya. Ditambah Mas Tama justru memperlakukan aku dengan mesra di depannya.

"Tapi, Tama … ini sudah sangat lama! Arum tidak akan bisa mengandung!" bentaknya. 

"Aku juga tidak bisa menduakan, Arum Ibu! Jadi tolong. Hargailah perasaan istri Tama!" balas Mas Tama tak kalah membentak. 

"Jadi kamu akan hidup bersama wanita mandul ini selamanya?" lirih Ibu nanar seraya menunjuk wajahku. Mas Tama menggaruk sedikit dahinya, "Ya begitulah, Tama lebih baik mati dari pada menyakiti hati, Arum." 

Prang!

Ibu membanting sendok makannya ke atas piring hingga membuat piring itu retak. Lalu, Ibu berdiri dengan raut wajah yang merah padam.

"Kamu dengar, Tama! Kali ini Ibu benar-benar sudah sangat kecewa padamu Tama! Kamu menikahi Wanita ini, Ibu terima dengan lapang dada walau Ibu tak menyukainya! Ibu menerimanya sepenuh hati. Hingga ia tak bisa mengandung bertahun-tahun ibu sabar! Tapi ini? Kamu masih ingin bertahan? Kamu sadar gak sih mempertahankan dia sama saja kamu menyia-nyiakan sisa hidupmu!" jelas Ibu panjang kali lebar dengan menggebu-gebu sehingga  membuatku merasa panik dibuatnya. Sedikit aku mencoba untuk meredam suasana. 

"Ibuk, Arum paham Ibu sangat ingin sekali anak dari, Mas Tama. Arum mohon Ibu sabar untuk kali ini. Arum mohon, Bu. Setidaknya sampai hasil tes-ku dan Mas Tama keluar," pintaku dengan memelas. Sebab, tes ini untuk kali pertamanya Mas Tama mau melakukannya.

"Diam kamu! Apa kamu bilang? Untuk kali ini? Emang selama ini aku gak sabar apa!" hardiknya, aku tertunduk gemetar. Ibu menggerutu seraya beranjak keluar meninggalkan kami. 

"Mas, kamu susul, Ibu gih. Kasian dia ini sudah malam," pintaku pada Mas Tama. Suamiku itu hanya diam tak bergeming.

"Mas...!" rengekku.

"Sudah biarkan saja... biar Ibu paham, aku tidak suka jika ibu selalu bahas-bahas masalah ini lagi."  Hatiku terenyuh dan kembali duduk. Aku haru melihat sikap Mas Tama hari ini. 

"Makasih ya, Mas," bisikku dengan tatapan mata berkaca-kaca. 

"Iya sayang, tolong maafkan, Ibu ya?"

"Iya,  Mas."

🌟🌟🌟

"Mas, tadinya aku pikir, kamu bakal menerima, Luna dan menikahinya," rengekku dalam pelukan suamiku di malam-malam indah kami. Selesai makan malam tadi, kami langsung mandi dan beristirahat di kamar.

"Gak sayang. Bagaimanapun, kamu masih terlalu berharga dari apapun, kamu sangat yakin bahwa suatu hari nanti kita akan punya anak. Aku percaya padamu," jelasnya mengelus-ngelus rambutku. Aku tersenyum sambil mengecup dadanya dan memeluknya lebih erat. 

"Aku mencintaimu, Mas. Terima kasih untuk cinta yang luar biasa ini," lirihku membenamkan wajah di dadanya. 

"Aku mencintaimu juga."

🌟🌟🌟🌟

Pagi berkunjung, aku pun bangun lebih pagi menyiapkan baju kantor Mas Tama dan menyiapkan sarapannya. 

Cup!

Kecupan lembut mendarat di pipiku, sontak aku menoleh melihat wajah tampan suamiku pagi ini.

"Sayang, sarapan dulu." Aku menarik bangku untuk Mas Tama duduk. Mas Tama duduk sambil menyunggingkan senyum hangat."Aku suka melihat rambut panjangmu basah begini,"lirihnya. Aku tertunduk tersipu malu sembari tersenyum simpul.

"Ah kamu ini, Mas, kayak pertama kali aja liat rambutku basah di pagi hari," ujarku. Mas Tama terkekeh dan kembali mengecup pipiku yang sedang meletakan roti bakar di piringnya. Kemudian, ia membawa wajahku pada tatapannya. 

"Dengar, Arum sayang …  kamu selamanya akan tetap cantik dimataku. Setiap hari, setiap detik, hingga akhir waktu. Aku sangat mencintaimu," tegasnya sembari mencubit pipiku.  

"Kamu bahagia?" tanyaku dengan senyum.

"Tentu aku bahagia!"

"Walau nanti … kita menua hanya berdua saja?" Lama Mas Tama terdiam. 

"Tuhan … tidak akan biarkan aku sendiri menerima ke-bawelanmu selamanya, Sayang,"candanya. Aku terkekeh. 

"Semoga saja, Mas, segera Tuhan akan beri kita anak."

"Amin, Sayang," ucapnya kembali mengecup  pipiku bertubi-tubi.

🌟🌟🌟

Setelah melepas Mas Tama ke kantor. Aku menyiapkan  beberapa rantang berisikan makanan untuk kubawa pada ibu mertuaku. Bagaimanapun, aku merasa bersalah akan kejadian semalam. Sebagai ucapan maaf aku akan bawakan Ibu makanan kesukaannya dan coba bicara dengan hati ke hati padanya. Kali saja mertuaku itu bisa luluh. Dari hati yang terdalam, aku tidak bisa membenci Ibu dari Mas Tama pria yang aku cintai sepenuh hati. Hidupku sekarang bergantung penuh padanya. Aku akan menghabiskan sisa hidup dengannya. Tak sampai hati jika aku harus memusuhi ibunya. Setelah semua makanan rapi, aku pun segera gegas ke rumah Ibu.

🌟🌟🌟🌟

Sesampainya di gerbang rumah Ibu, mataku sedikit terbuka melihat mobil Mas Tama tampak parkir di halamannya. Aku mencoba tenang dan berpikir dengan pikiran positif. Mungkin Mas Tama Juga ingin minta maaf setelah kejadian semalam. 

Gegas aku pun melangkah ke pintu. Namun langkahku terhenti saat melihat wanita cantik yang tak lain mantan tunangan Mas Tama tengah duduk dan berbincang hangat dengan suami, mertua dan adik iparku. Reflek aku pun bersembunyi di balik pintu hendak menguping pembicaraan mereka.

"Ya, tapi, gak usah berterus terang gitu, Bu. Tama belum siap melihat Arum tersekiti begitu. Bagaimanapun, dia istri Tama. Aku tahu betul dia sangat tersakiti," tutur Mas Tama. Wanita itu tampak duduk santai di samping suamiku. Anggota keluarga itu tampak membuat musyawarah penting di belakangku. 

"Teruuus, Mas bakalan nikahin, Luna diam-diam gitu?" timpal Resti adik bungsunya Mas tama. 

"Ya begitulah, Res. Hingga nanti Mas cari cara supaya bisa bicara dengannya," tunduk Mas Tama dengan mengusap wajahnya. Aku meremas erat gagang rantang sambil merintikkan air mata.

"Mas... emang kenapa kalo dia kecewa? Kan gak apa juga dia pergi karna gak tahan serumah denganku? Emang, Mas bakal duain aku? Sampai kapan, Mas?" rengek Luna membuatku semakin gemetar. 

"Aku perlu menimbang perasaan, Arum. Aku mencintainya, aku belum siap melihat dia menangis," ucap mas Tama gundah. Aku semakin merintikkan air mata deras. 

"Jika kamu benar-benar mencintaiku, kamu tidak akan membohongiku, Mas

 Aku rasa semua sudah berakhir. Aku sudah kehilangan cintamu, Mas! Aku memang wanita yang tidak sempurna. Tapi aku bukan wanita lemah lagi bodoh!" lirihku bergegas dan menjauh dari kediaman ibu mertuaku.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status