"Tenang aja buk, aku dan mas Tama akan mengurus segalanya jadi ibuk gak usah risau ya,"sahutnya. Aku mengelus pipinya lembut. Binar mataku tak terasa berkaca-kaca.
"Maaf ya nak, ibuk tidak bisa berikan kehidupan yang baik untukmu, ibuk mohon bersabarlah," desisku, Luna tersenyum hangat. "Gak apa buk, Luna yakin mas Tama pasti bisa mengatasi ini semua," tekannya, hatiku terenyuh dan hangat. Semoga Kedepannya lebih baik lagi, dan Luna bisa hidup tenang dengan Tama. Aku juga bisa menikmati masa Tua yang penuh suka cita nanti dengan anak cucuku. "Luna temui mas Tama dulu ya buk?" pintanya. Aku mengangguk melepasnya pergi. Selang beberapa menit, terlihat wanita sampah itu lewat dan sudah rapi dengan baju kantornya. Aku buang muka saat tahu ia menoleh. Mungkin dia tau aku tidak ingin melihatnya. Arum berlalu pergi tanpa sepatah katapun.*** ****""
Siang berkunjung, Luna tampak terngah keluar dari dapur setelah menyelesaikan semua pekerja'an rumah. Dia dan Resti harus membayar mahal untuk keanghkuhan Arum. Miris rasanya saat mengingat sekarang kami semua telah jadi budak Arum.
"Buk, makan dulu ya?" pinta Resti mendatangiku ke kamar.
"Bantu ibuk, ibuk mau makan bersama kalian di meja makan," ujarku. Dengan sigap Resti membopong tubuhku keluar."Ayok buk kita makan dulu," ujar menantuku saat aku sudah sampai di meja makan.
"Makasih ya, Tama mana?" tanyaku, dengan sedikit wajah sedih Luna berucap."Hari ini mas Tama bekerja sebagai OB di kantornya sendiri buk, wanita sampah itu sepertinya belum puas mempermalukan kita," ujarnya. Aku geram. Wanita itu benar-benar keterlaluan bagaimana tanggapan karyawannya nanti jika bosnya tiba-tiba jadi OB, belum puas juga wanita itu mempermalukan anakku.
"Kenapa Tama mau aja?!" bentakku sedikit geram. "Terpaksa buk," lirihnya, Percakapan kami terhenti saat mendegar motor berhenti didepan rumah. Segera bergegas babu Arum itu keluar. Babu tidak tahu diri yang sekarang mendadak jadi Nyonya besar. Hanya ongkang-ongkang kaki dibayar pula. Ia tampak girang menerima pesanan pesanannya dan membawanya masuk. Luna geram berdiri menghampiri Iyem. "Eh budaknya Arum!" soraknya berdiri menghampiri, Iyem menatapnya datar sembari mencuil makanan yang ada di kotak. "Enak banget ya hidup kamu!" liriknya melihat pesanan makanan yang dipegang Iyem."Terus? Masalah buat loh!" singkatnya berlalu sedikit melayuk-layukkan pinggulnya. Luna mengepal jemarinya gemetar melihat tingkah Iyem.
"Dasar wanita tak tau diri!" geramku, Luna kembali ke meja makan dengan wajah kesel. "Kita hanya di sediakan tempe di kulkas, sementara dia makam enak tiap hari," gerutu Luna."Ya udahlah mbak, untung kita di kasih makan. Lagian sih ibuk sama mas Tama itu gegabah. Seharusnya kita pikirkan matang-matang dulu untuk menghadapi mbak Arum, mbak Arum lebih licik dari kita. Sekarang liat, siapa yang jadi pecundang? Ya 'kan?"
"Ih, kamu kecil-kecil berani lancang sama ibuk!" timpal Luna. "Lagian mbak juga, kebelet juga mintak nikahin. Tunggu mas Tama selesaikan dulu masalahnya sama Arum! Kan gak jadi begini," gerutunya lagi. Resti ada benar juga. Tapi aku juga tak bisa salahkan Luna. "Sudah, kalian jangan debat ya. Sudah teruskan saja makannya. Kita perlu sabar beberapa waktu lagi," ucapku. Selesai makan, Resti membereskan piring kotor dimeja makan. Lagi kembali terdengar bunyi motor berhenti di halaman rumah."Babu itu pesan apa lagi?" tanya Luna, bergegas mengecek keluar karena Iyem tak kunjung keluar. Luna tak kembali ke rumah dengan cepat. Entah siapa yang ia temui diluar sana aku coba menyusul dengan tertatih."Ngapain kamu kesini!" Kurang lebih seperti itu kedengarannya, Luna bicara dengan seorang preman yang hampir seluruh lengan kanannya di beri Tato. Terlihat tak seperti lelaki baik. Aku sedikit mengerutkan kening mendekat. Namun sebelum mendekat pria itu sudah pergi entah apa yang Luna katakan padanya.
"Itu siapa Luna?" tanyaku, saat Luna kembali masuk.
"Gak tau, mungkin dia salah alamat buk," ujarnya, lega rasanya saat ternyata bukan siapa-siapa.
"Oh, kirain siapa Luna, ibuk takut liat penampilannya.""Bukan siapa-siapa kok buk."
"Syukurlah."®®®®®®®®®™®®®®®®
POV ArumSebulan sudah berlalu. Walau tinggal serumah dengan mas Tama, sekalipun dia tidak pernah menyentuhku lagi setelah semua ini. Padahal aku masih istri sahnya, dia sama sekali tidak menghargaiku sedikitpun. Tapi tak mengapa, rasa baperan ini hanya karna aku belum terbiasa tanpa dia. Aku harus segera mengurus cerai dengan mas Tama dan menyelesaikan semuanya. Aku harus hargai juga perasa'an Hadi yang sudah menungguku.************
Selepas pulang dari kantor pengadilan aku kembali ke kantor menemui mas Tama. Dia sekarang aku pekerjakan menjadi OB, bukan tak adanya tempat yang lebih cocok, hanya saja Mas Tama harus mengerti karena tak ada yang mudah didunia ini, semudah ia berkhianat. Aku juga sebenarnya tipe orang yang gak tega'an. hHanya saja Risa, dia melatih hatiku jadi sekeras baja. Tak salah memang aku berteman dengannya.
"Mas...," sapaku saat mas Tama beristirahat siang, sengaja ia menjauh dan bersembunyi disuatu sudut kantor. Mungkin dia malu pada mantan karyawan-karyawannya bahwa bos mereka sekarang jadi OB.
"Kasian banget ya bos Tama, gara-gara kecantol pelakor jadi di azab istri tapi tak apa juga sih biar tau rasa," bisik-bisik staf yang lewat, celetuk mereka berhenti saat melihat aku mendatangi mas Tama ke tempat persembunyian makan siangnya itu."Eh buk Arum... mari buk, " sapa mereka.
"Mari, " sahutku menyunggingkan senyum. Mas Tama berdiri melirik berkas yang ada ditanganku."Ada apa?"
"Ini, surat perceraian kamu tanda tangan gih!" titahku menyodorkan kertas. Ia menghenyak dikursi tunggu aku mendekat menyodorkan berkas itu lebih dekat.
"Pria yang menjemputmu malam itu, apa dia pacarmu?" tanyanya melirik dengan tatapan sinis. Aku menatapnya dengan datar.
"Ya.., " singkatku.
"Kamu yakin dia akan menerimamu apa adanya?" tanyanya membuat alisku sedikit terangkat.
"Hanya kamu pria yang tidak bersyukur mas! Gara-gara kekuranganku yang satu ini, kamu lupakan kebaikan yang lainnya. Sudahlah, ayo cepat tanda tangani! Bukannya sudah jauh hari kamu bilang bahwa hubungan ini tidak bisa di pertahankan lagi. Aku justru membantumu sekarang," jelasku, dengan berat hati mas Tama kembali meletakkan berkas itu. Sontak aku menautkan alisku terheran hebat. "Berapa kali aku bilang Arum, kenapa tidak kamu coba saja menerima Luna, Jujur, aku belum bisa menanda tangani ini!"lirihnya. Nafasku tersengal, tiba-tiba dadaku terasa penuh. Entah kenapa aku baper, binar mataku berkaca-kaca. Entah kenapa aku merasa bahwa mas Tama masih menyanyangiku seperti dulu. Tapi tetap saja semua ini fatal bagiku. Mas Tama mengkhianati pernikahan kami dan membohongiku mentah-mentah. "Tanda tangan saja mas! Kenapa? Bukankah aku ini wanita yang tidak berguna?" lirihku dengan suara berat. Mas Tama tertunduk dan coba berucap dengan berat."Arum, coba sedikit saja kamu bisa menerima Luna. Kita akan punya anak. Dan hidup kita akan terasa lengkap," lirihnya menatapku dalam.
"Sampai kapanpun aku akan tetap gugat cerai kamu mas! Kamu fikir? Aku akan berubah pikiran dan menerima istri keduamu itu dirumah, kamu salah mas!" hardikku menyambar berkas itu lagi setelah mendapat tanda tangannya. Aku berlalu dengan kesal.**********Sore ini aku begitu di kejutkan akan kedatangan Yosi sekeluarga dirumah. Mukaku merah padam menghampiri mereka di teras. "Yos, kamu datang kok gak bilang-bilang dulu sama mbak?" tanyaku nanar. Yosi dan Herman tampak merekahkan senyum sembari menggendong kedua anak mereka turun dari mobil."Kebutulan mas Herman ada job kerja disini, jadi aku ikut. Mbak aku kangen sama mbak, maaf waktu itu aku pindah kita marahan."
"Tak apa Si, toh mbak yang salah. Yang sudah masuk dulu." Aku membawa Yosi masuk. Ibuk mertuaku tampak sinis melihat kami, sontak saja Yosi mendekat mengulurkan tangan mau bersalaman tanda hormatnya. Namun mertuaku buang muka dan menjauh pergi. Yosi termangu bungkam dan menoleh kearahku.
"Kita ke belakang, aku perlu cerita sesuatu padamu, " desisku, segera aku menoleh pada Herman dan mempersilahkan dia duduk. "Her, kamu istirahat aja dulu ya. Ntar bik iyem bakal kasih minum.""Baik mbak."
Yosi kebingungan saat melihat rumahku begitu ramai bahkan ia makin heran melihat Geby yang tiba-tiba rewel.
"Mba, ini sebenernya ada apa sih?" tanyanya tak habis pikir. aku menghenyak menghela nafas berat.
"Mas Tama dia... menikah lagi," singkatku berat. sontak saja Yosi tersentak dan berteriak."Apa! Terus sekarang dia tinggal seatap dengan mbak? Dirumah mbak sendiri? Mbak udah gila apa?" ucapnya tak habis pikir."Secepatnya dia akan pergi. Mbak janji. Kamu tenang aja ya, hanya saja saat ini belum, " desisku, Yosi mengusap wajahnya. Tanpa pikir panjang Yosi beranjak hendak menemui Luna. Dengan panik pun aku menyusul Yosi yang hendak menemui Luna.
"Dasar wanita murahan...!" hardiknya menjambak rambut Luna lalu menyeretnya keluar. Mertuaku dan Resti pun tampak mendekat.
"Lepas!" berontak Luna.
"Arum mungkin orang yang lemah. Tapi aku tidak! Aku bisa saja mencabik-cabik dagingmu disini pelacur!" pekiknya menghajar Luna. Herman yang mendengar keributan itu pun bergegas mendekat. Semua tampak melerai termasuk aku.
"Awh brengsek, aku bales kamu ya...!" Perlawanan Luna aku cegat. Ibu mertuaku juga tampak membantu meinimpuk Yosi.
"Dasar wanita murahan!" geram Yosi lagi bersiap mengejarnya. Namun cengkraman tangan suaminya menghentikan langkah adikku itu.
"Lepas, Pa... pelakor gak bisa aja dibiarkan hidup enak mengambil kebahgia'an orang!""Kakakmu itu yang tidak berguna! Kalian semua itu sama saja dengan sampah!" bentak Ibuk mertuaku, Yosi menoleh dengan tatapan berapi-api. "Kau itu yang sampah! Kalo bukan harta almarhumah Ibukku kau dan anakmu itu hanya pecundang!" bentaknya, aku mendekat menenangkan Yosi. Herman pun menyeret Yosi menjauh. "Yos, kamu serahkan saja sama mbak ya? Mba tau bagaimna melindungi harta ibu, cuman gak gini caranya. Jangan kotori tanganmu hanya untuk menghajar dia. "Mbak juga! Kenapa mbak gak cerita ke aku! Mbak masih punya keluarga mbak! Mbak tidak seorang diri!" bentak Yosi. Aku tertunduk. Herman tampak mengangguk dan berucap."Mas Tama keterlaluan. Seakan-akan mbak ini sebatang kara. Dia sama sekali tak segani kami," gerutu Herman. Aku merintikkan air mata.
"Mbak minta maaf, tapi tolong Yosi, mbak janji, mbak bakal urus ini sendiri, kamu gak usah khawatir," ucapku, Yosi kesal menghempas tanganku yang dari tadi mengenggam lenganya. "Oke, terserah jika itu mau mbak! Aku gak akan urus dan gak akan mau tau lagi tentang mbak!" bentaknya, aku menatap mereka nanar, berkemas kembali hendak pergi."Ayok mas kita pergi saja!" ketusnya, menggendong Gibran dan menyeret Tania, air mataku mengucur deras seiring bunyi mobil mereka yang menjauh.
.... POV HADI"Mama maafin papa ya?" ujar putriku mendekat dan menggenggam pergelengan tangan Arum erat. Arum masih bungkam hingga dia tampak dilema, istriku berdesih dan coba menarik tangannya yang aku genggam erat, matanya tampak merintikan air mata deras."Tolong berikan aku kesempatan lagi mah."lirihku. Sedikit Arum menyibak belahan rambutnya dan menghela nafas sesak. Caca yang juga menunggu jawaban dari Arum itu juga ikut bersimpuh di sampingku."Mama, caca maunya Mama Arum yang tinggal bersama Caca. Maafkan Caca mah, Caca gak akan manja lagi. Caca akan berusaha mandiri supaya tidak merepotkan mama lagi" ujarnya. Arum bergerak memegangi bahu Caca dan membawanya berdiri."Sayang...., kamu jangan begini. Sama sekali mama tidak pernah di repotkan oleh Caca." ujarnya. Arum menoleh padaku dan berkata."Pergil
POV RESTITing nong.Bunyi bel bergema Asih tampak meninggalkan Arabela yang tengah tertidur dan segera beranjak ke pintu."Nona Cassandra Resnya ada?" tanyanya, darahku berdesir saat mendengar suara mas Aldi. Bergegas aku bersiap dan berdiri sembari menghela nafas untuk menghilangkan nervousku."Ada Tuan, silahkan." ujar Inem. Mas Aldi masuk aku menyambutnya dengan gaun hitam di tambah dengan aksen bling-bling yang menempel di lengan, leher dan telingaku sengaja aku pake perhiasan brilian putih senada agar penampilanku terlihat berkesan dan elegan. Sedikit mas Aldi terpana melihat aku berdiri di hadapannya."Aku fikir, kamu tidak akan datang Tuan" ujarku menggunakan bahasa inggris. Sedikit mas Aldi senyum tipis dan berkata."Aku sudah janji. Kita sudah sangat dekat belakangan, aku tida
Pov Resti."Aku tidak akan salah lagi, kamu Resti." lirih mba Arum meremas bahuku. Reflek aku memeluk dan menagis di pelukannya."Mba..." lirihku, mba Arum mendekap dan mengelus rambutku lembut."Aku hampir saja tidak mengenali mu Res? Kamu hebat sekali bisa sesukses ini." lirih mba Arum mengecup pucuk kepalaku. Mba Arum mendorongku pelan dan berkata sembari mengelus wajahku."Apa yang terjadi Res? Kenapa kamu menghilang? Kamu bilang kamu sudah punya anak? Kamu sudah menikah? Dengan siapa? Lantas hubunganmu bersama Aldi bagaimana? Sungguh mba sangat ingin tau semuanya Resti." ucapnya mencecarku dengan pertanya'an."Ceritanya panjang mba? , anakkku dia seumuran sama Andra. Aku pergi ke london saat hamil Arabela, aku menemui temanku disana, hingga ia tawari aku pekerja'an dan menjadi Casandra Res." jelasku. Mba Arum masih
"Aku tidak mengerti dengan takdir. Setelah perceraianku dengan Tania, aku bahkan tak bisa menjalani hidup lagi dengan normal. Lucu bukan? Tania yang berbuat salah tapi seolah aku yang dapat karmanya."ucapnya terkekeh. Kembali ia berucap dengan lirih sembari mengingat seseorang." Tuhan pernah bawa seseorang memberi sedikit warna dihidupku. Namun dia hanya sekedar hadir sebentar lalu pergi."ucapnya. Mba Arum tampak memperhatikan wajahnya mas Aldi dengan seksama."Sepertinya kamu begitu mencintainya?" tanya mba Arum. Sedikit mas Aldi mengangguk dan berkata."Ya, sangat. Hanya saja sekarang aku coba menyerah dan ikhlaskan dia." tuturnya sejenak hatiku rasanya teranyuh. Sungguh aku tidak ingin mas Aldi melupakanku. Aku harus kembali tapi aku bingung bagaimana mengahadirkan Resti yang dulu lagi dalam hidupnya suami. Atau aku langsung jujur saja? Entahlah aku menemuinya lain waktu saja. Aku sedi
POV RESTIDi depan kaca riasku di sebuah studio pemotretan terbaik di kota london ini aku menatap nanar pantulanku sembari pikiranku melayang jauh hingga ke indonesia. Bagaimana bisa aku kembali secepat mungkin ke indonesia sedangkan aku masih punya kontrak kerja dua bulan lagi. Dan Irfan akan segera berrtunangan dua minggu lagi. Aku masih sangat sibuk disini, mbak Arum? Dari sekian banyaknya wanita di dunia ini kenapa harus mbak Arum. Tapi saat aku melihat mata mas Aldi waktu itu. Dia tidak mungkin melupakanku semudah itu. Aku harus ingatkan dia lagi tentang Resti. Tanpa pikir panjang aku coba menghubungi mas Aldi.Tuuuut Tuuut....!Terdengar panggilan itu tersambung."Halo?"ucapnya"Halo Tuan indonesia?"sapaku dengan bahasa inggris terdengar mas Aldi terkekeh."Hay nona apa kabar?"tanyanya
POV HADI.Lelucon macam apa ini, apa yang dikatakan Arum sangat menyayat hatiku. Bagaimana bisa aku hadiri sidang perceraian. Siang ini aku tak bisa berbuat banyak selain menyendiri lagi di kamar, aku rapuh sekali, aku tidak mau bercerai dengan Arum rasanya hatiku sangat lelah sekali. Aku ingin berkeluh kesah pada Arum tentang hatiku entah bagaimana caranya membuat dia yakin bahwa aku belum membagi perasaanku ataupun cintaku. Cumbuan itu hanya naluriah yang tak bisa aku artikan. Aku resah sekali saat ini aku menyesal. Sekarang semua sudah terlanjur kacau begini. Aku benar-benar lelah. Dalam lamunanku itu terdengar bunyi mobil memasuki garasi sontak aku tersadar dan melihat siapa yang datang bersama mobilku itu. Aku beranjak ke balkon melihat keadaan dibawah bisa aku lihat putriku turun dari mobil dengan wajah lemes. Segera aku hampiri dia ke pintu."Caca... Kamu dari mana aja nak bareng kang supir?" tanyaku.
POV ARUM.Setelah melepas mas Tama pergi Aldi mengantarku kerumah. Aku terdiam sejenak melihat rumah itu, rumah ini masih terlihat bagus dan rapi. Karna memang aku selalu sewa jasa pekerja untuk membersihkannya tiap hari. Sedikit aku menghela nafas dan coba membuka kunci pintu itu."Kamu yakin bakal disini sendirian?" tanya Aldi yang Ikut juga masuk sembari menggendong Andra. Sebelumnya Andra sempat rewel bersamaku hingga Aldi mengmbilnya dan anak itu anteng lagi."Nanti aku akan hubungi Inem Al, dia pembantuku sebelumnya. Semoga saja dia masih bisa bekerja denganku." ujarku. Aldi mengangguk."Maaf aku belum sempat belanja, belum ada apa-apa di dapur. Kamu duduklah Al. Sini Andranya." ucapku mengambil anakku di gendongannya."Tak apa Rum, dia anteng sama aku." ujarnya. Aku mendegup dan coba kembali berkata gugup.&n
POV HADIDengan langkah gontai aku coba melangkah ke mobil. Dadaku terasa sakit aku bingung mau menyusul Arum yang pergi bersama Aldi sekarang atau kembali pulang, bahkan aku tidak tau bagaimana bicara pada Caca nanti yang ada di rumah, sungguh Aku masih belum percaya kalau Arum mengetahui ini, bisa-bisanya rumah tanggaku hancur dalam sekejap. Padahal aku tidak pernah ingin berniat mengkhianatinya, aku masih menjaga batasanku hingga sejauh ini. Aku tidak bisa jika Arum pergi dan beranggapan bahwa aku telah berkhianat."Oh Tuhan tolong aku "lirihku dengan mata berkaca-kaca dengan berat hati aku menyalakan mesin mobil dan melaju pulang.Sesampai di rumah. Tanpa kata sepatah katapun aku berlalu kekamar, aku kesal membanting semua yang ada. Berkali-kali aku coba mengusap wajahku agar tidak terlihat lemah. Namun aku tidak bisa. Aku terhenyak di kasur dengan air mata merintik.&
POV ARUMTuhan tolong beri aku kekuatan, semalam aku dapati mas Hadi pergi keluar dan kembali sebelum shubuh. Selama umur pernikahan kami, baru kali ini ia lakukan itu padaku. Aku sudah yakin mas Hadi telah membagi cintanya, entah bagaimana caranya aku kuat semalaman. Aku sudah muak. Aku tidak sanggup lagi menderita. Aku harus beberkan ke media. Publik terlanjur menuduh aku yang buruk. Padahal aku hanya korban dari segala pelik ini. Mas Hadi entah bagaimana rasanya hatiku sekarang. Kamu membagi cinta untuk mantan istrimu. Segala dongeng indah tentang kita di masa lalu itu hanyalah sebuah hiburan belaka untuk bisa aku kenang. Aku nanar menunggu wartawan datang ke ruang utama."Permisi selamat pagi Mbak Arum?" tanya salah seorang wartawan, aku sedikit tersintak dari lamunanku, tadinya aku fikir aku akan beberkan skandal mas Hadi. Tapi tak adil rasanya jika aku permalukan suamiku dihadapan publik. Lagi pula ini baru pertama ka