“Serahkan pemuda itu atau kalian semua akan kubunuh!”
Wusasena, ketua perguruan Elang Hitam, datang membawa ratusan pasukannya. Semuanya merupakan pendekar tingkat langit dan memiliki kanuragan melebihi manusia pada umumnya.
Kepala desa keluar dan berteriak lebih keras lagi. “Asoka adalah anak emas kami. Kami tidak akan menyerahkannya begitu saja.”
“Jangan gegabah! Kami bisa membunuh kalian dalam hitungan menit. Jika kalian tidak mau memberikannya, kami akan menggunakan cara kekerasan untuk mendapatkannya!”
“Kami akan melindungi Asoka walau harus mempertaruhkan nyawa kami!”
“Serang desa itu!” Wusasena memerintah murid-muridnya bergerak memborbardir desa.
Puluhan pendekar bergerak. Mereka membawa senjata masing-masing. Tombak, pedang, dan golok sudah disiapkan jauh-jauh hari untuk penyerangan itu.
Beberapa turun, tapi sebagian besar tetap menunggu di atas. Mereka adalah pasukan pemanah yang mendapat tugas khusus mengincar kepala Asoka Basundara.
Ada lima tingkatan kekuatan dalam dunia pendekar. Tingkat tanah adalah tingkat paling lemah. Tingkatan ini biasa digunakan untuk menyebut manusia yang tidak pernah mendalami ilmu persilatan. Sedangkan tingkat bumi adalah tingkatan kedua.
Tingkat bumi dikhususkan bagi pendekar yang hafal semua gerakan dasar dan kuda-kuda pendekar.
Kepala desa dan pasukan Elang Hitam lain masih ada di tingkatan pendekar langit. Mereka hanya menguasai beberapa jurus yang sering digunakan dalam pertarungan. Gelar itu juga disematkan pada mereka yang menguasai aliran senjata tertentu, seperti pedang, pisau, panah, dan sebagainya.
Wusasena merupakan pendekar tingkat kahyangan. Kekuatannya jauh melampaui pendekar langit. Konon, dibutuhkan waktu 20 tahun agar bisa mencapai tingkatan itu. Tidak sembarang orang bisa mencapainya.
Terakhir, ada pendekar tingkat naga, tingkatan tertinggi dari semua pendekar di dunia.
Mereka adalah pendekar dengan kekuatan dahsyat yang bisa menghancurkan desa dalam satu gerakan. Mereka memiliki energi super dahsyat. Bahkan kedahsyatannya bisa mengguncang langit dan bumi.
Sebenarnya ada satu tingkat lagi, tapi sejauh ini yang bisa meraihnya hanya Bhagawad Gita. Tingkatan khusus bagi mereka yang terpilih menjadi anak dalam ramalan.
Karena itulah, para warga rela mengorbankan semua yang mereka punya demi melindungi Asoka Basundara. Mereka tahu akan ramalan itu dan sudah menunggunya dalam waktu yang sangat lama.
Darmono diminta kepala desa membawa anaknya kabur. Darmono mengangguk pelan. “Mereka tahu anakku memiliki kelebihan yang tidak dimiliki pendekar lain. Mereka mengincar kekuatannya.”
Kepala desa mulai sesenggukan. “Berjanjilah padaku kau akan membawanya ke tempat aman!”
“Aku dan warga desa lain akan berusaha sekuat mungkin menahan pasukan musuh. Kami tahu kemungkinan menangnya nol persen. Tapi itu lebih baik karena kami bisa mengulur waktu agar anakmu bisa melarikan diri ke tempat yang lebih aman!”
Darmono meneteskan air mata. Dia terharu melihat perjuangan warga. “Kalian sangat baik…”
“Cepatlah pergi, sudah tidak ada waktu lagi!” ucap kepala desa.
“Kalian akan menjadi bagian terbaik dalam hidupku. Anakku akan terus mengingatnya. Jasa kalian tidak akan pernah dia lupakan. Terima kasih karena telah mengorbankan diri demi anakku. Selamat berjuang, semoga Dewata memberkati kalian.”
“Anggap saja ini permintaan terakhir kami setelah 13 tahun yang indah Asoka, juga semua keberuntungan yang dia bawa. Kumohon, cepatlah pergi!”
Darmono mengangguk, menarik tangan anaknya dan mengajaknya lari ke ujung desa. Dia bingung, kenapa desanya diserang dan dia dipaksa ikut bersama orang-orang Elang Hitam.
Peperangan antar warga desa Buncitan dan orang-orang Elang Hitam berlangsung sengit.
Suara desingan besi terdengar nyaring di telinga. Belasan burung gagak sudah bertengger di ranting-ranting pohon, sedang asyik memantau calon makanan mereka. Nampaknya gagak itu paham, pertempuran ini menimbulkan banyak korban jiwa.
Tangis dan tawa bercampur menjadi satu. Desa yang dulunya tenteram berubah menjadi lautan darah. Mayat berjatuhan di mana-mana. Beberapa bahkan mati dengan kondisi mengenaskan. Tangan terpisah dari badan, atau bahkan badan mereka terbelah jadi dua.
Dalam waktu singkat, Wusasena berhasil membunuh belasan warga yang melawan dengan tombak dan pedang. Permainan pedangnya yang sulit ditebak membuat para warga kewalahan menghadapinya.
Padahal itu baru permainan pedang, belum melawan jurus-jurus Wusasena!
Kepala desa duduk bersila di balai desa, memfokuskan energinya di mulut. Telepati dilakukan untuk memanggil Waluyo, pendekar penjaga desa yang sedang bertapa di goa sebelah Utara desa.
“Waluyo, kemarilah! Desa sedang membutuhkan bantuanmu!”
“Baik, Kisanak, aku berangkat saat ini juga.”
“Terima kasih.”
Waluyo melesat dengan bantuan ilmu meringankan tubuh. Ilmu itu bisa menghilangkan beban di tubuh kita hingga kita bisa bergerak belasan kali lebih cepat dari manusia pada umumnya.
Ilmu meringankan tubuh bisa dikuasai oleh semua pendekar, namun hanya pendekar tertentu yang berhasil menguasainya sampai tahap akhir. Rumornya, sudah ribuan pendekar mati karena memaksakan diri menempuh ujian demi bisa menguasai ilmu meringankan tubuh tingkat akhir.
Tidak sampai satu menit, Waluyo sudah sampai di desa. Energinya banyak terkuras karena dia terus-terusan menggunakan ilmu meringankan tubuh.
Wusasena melihat pendekar ikat kepala merah itu dari kejauhan. “Akhirnya kau pulang ke kampung halamanmu. Lama tidak bersua. Apa kau masih lupa bagaimana pertarungan kita dulu?”
Waluyo hanya tertawa. “Aku tidak malu mengakui bahwa kau jauh lebih kuat dariku. Tapi itu dulu, sekarang aku sudah belajar banyak hal. Kanuraganku meningkat drastis. Aku sudah menguasai jurus-jurus baru setelah latihan tiga tahun lamanya.”
“Jangan gegabah! Mustahil pendekar tingkat langit sepertimu sanggup melawan pendekar tingkat kahyangan sepertiku!”
“Kita buktikan saja,” ujar Waluyo dengan entengnya.
Melihat beberapa warga yang berhasil dikalahkan, Waluyo semakin marah dan mengeluarkan semua energi yang meluap-luap dalam tubuhnya. Kulitnya memerah karena panas yang dihasilkan. Bola-bola api keluar dari ujung jemari Waluyo.
Usai meratakan belasan pasukan Elang Hitam yang mengincar nyawa kepala desa, Waluyo segera naik ke bukit dan menantang Wusasena, mantan gurunya sendiri.
“Langit dan bumi akan jadi saksi siapa yang terkuat di Perguruan Elang Hitam!”
Pertarungan yang mampu membuat langit bumi bergetar itu berlangsung singkat. Tenaga Waluyo semakin terkuras karena harus menahan gempuran pisau api dan serangan kombinasi pedang Wusasena.
Waluyo akhirnya gugur di tangan Wusasena, lalu mayatnya dibuang ke tengah-tengah warga.”Lihat, pendekar yang selama ini kalian bangga-banggakan bisa aku kalahkan dengan mudah! Kalian tidak punya pelindung lagi. Tamatlah riwayat kalian!”
***
Sebuah kepala dilempar keras-keras menggunakan lemparan energi. Kepala itu mengenai sepasang lelaki yang berlari menjauhi desa.
“Ke-kepala siapa ini?” Asoka menutup matanya karena takut. Dia tidak berani melihat kepala yang masih mengucurkan darah segar di pangkal lehernya. “Bapak, aku takut. Itu kepala siapa?”
Darmono menghentikan langkahnya. “Ke-kepala desa sudah tiada.”
Darmono menangis sembari memangku tubuh Asoka yang masih berusia tiga belas tahun. Pria itu menangis sejadi-jadinya karena tidak tega melihat putra tunggalnya menjadi korban pembantaian.
Mengikatkan kalung berukiran elang itu ke leher Asoka, Darmono sedih karena tahu ini adalah pelukan terakhir yang akan dia berikan pada Asoka.
Erat sekali.
Asoka merasakan kesedihan yang sama. Dia melepas pelukan itu dan berdiri di samping bapaknya. Asoka ikut menangis saat tahu dia dan bapaknya tidak bisa hidup bersama lagi.
Darmono menatap anaknya lekat-lekat. “Bapak rasa kau sudah paham apa yang terjadi dan kau pasti tahu apa yang harus dilakukan di saat-saat seperti ini. Pergilah temui ibumu di ujung desa. Peluk dia, lalu pergilah ke parit yang pernah Bapak tunjukkan waktu kita berburu macan kumbang!”
Mereka berdua berpelukan di lapangan desa. Tak berselang lama, ratusan anak panah dilesatkan menuju lapangan.
“Sekarang musim hujan ya, Pak? Asokaingin hujan-hujan, tapi Asokaharus pergi dari sini. Asokasedih harus pisah sama Bapak saat hujan seperti ini.”Yang di atas memanglah hujan, tapi bukan hujan biasa. Ratusan anak panah melesat bagai air hujan. Darmono yang mengetahui hal tersebut, langsung melingkarkan tubuhnya ke tubuh anaknya.Crat!Darah mengucur begitu sebuah anak panah menusuk punggung Darmono hingga tembus sampai ke perut. Ada cairan hijau di ujung panah, menandakan panah ini sudah dilumuri racun mematikan.“Pergilah temui ibumu!” kata Darmono, suaranya semakin lemah. “Bapak sudah tidak kuat lagi. Hanya ini yang bisa Bapak lakukan untuk melindungimu. Pengorbanan Bapak jangan kau sia-siakan, Asoka!”“Tapi Bapak dulu pernah bilang ingin melihatku jadi pendekar sejati. Kenapa Bapak malah melukai diri seperti ini?”“Nak, dengarkan Bapak! Kamu harus pergi sekarang. Tem
Fajar menyongsong. Hujan turun dengan derasnya. Air hujan menyapu bersih darah yang berserakan di desa Buncitan, mengalirkannya lewat parit misterius di dekat pohon beringin.Asokaterbangun saat genangan air mengelilingi tubuhnya. Dia membuka mulutnya lebar-lebar demi bisa mengais serpihan air hujan. Kepalanya terlampau pening. Tubuhnya terbaring di sebuah kubangan yang airnya berwarna cokelat kemerahan.“Di mana ini?” tanyanya kebingungan.“Apa aku sudah mati? Apa sudah waktuku menyusul bapak dan ibu ke alam baka? Jika memang begitu, aku bisa bersyukur. Aku mati tanpa rasa sakit. Tulang-tulangku juga tidak ada yang bermasalah.”“Tapi sebentar, ini bukan mimpi, ini nyata! Apa yang terjadi denganku?”Bingung membuat Asokamengedarkan pandangan ke sekeliling. Hutan belantara. Tidak ada rumah ataupun jejak kaki yang nampak. Asokasadar dia masih hidup walau badannya penuh dengan luka. Saat menoleh ke
Asoka berteriak kesakitan. Pedang kecil yang dibawa si kakek berhasil melukai leher Asoka. Darah keluar dari leher Asoka, mengalir lumayan deras. Jika terus dibiarkan, Asoka bisa mati kehabisan darah."Sialan kau!" Asoka menendang Ki Seno Aji dan berlari menyusuri hutan.Ki Seno hanya tersenyum. Dia sengaja membuat goresan di leher Asoka meskipun tidak terlalu dalam. Untuk sementara waktu, Ki Seno membiarkan Asoka melarikan diri ke dalam hutan.Asoka kecil sering dididik agar tidak takut pada siapapun. Manusia sama-sama makan nasi dan minum air. Darmono bahkan melarang Asoka sujud pada siapapun, kecuali pada orang tua dan guru yang mengajarkan ilmu. Sebesar apapun kekuatan yang dimiliki manusia, itu semua tak lepas dari kehendak Dewata.Asoka tahu yang menolongnya adalah Ki Seno Aji, pendekar terkuat yang namanya terkenal di seluruh daratan Jawa, bahkan seluruh dunia. Tapi ketika dia merasa terancam, dia berhak untuk melawan tanpa takut mati sedikitpun.
Bersama Ki Seno Aji, Asoka menghabiskan waktunya hingga dia berhasil mencapai tingkat pendekar bumi awal. Sejauh ini tidak ada latihan fisik yang diajarkan Ki Seno Aji.Asoka hanya disuruh mencari kayu bakar di hutan, berburu hewan dengan panah dan tombak, serta memanjat pohon-pohon tinggi untuk mengasah kekuatan tangan dan kakinya. Kadang Asoka bertanya pada dirinya sendiri, kenapa dia mau disuruh-suruh seperti ini. Bahkan Asoka diperlakukan seperti pembantu, sedangkan Ki Seno hanya duduk menunggu di gubuk.Memasak, berburu, mencari buah, bahkan menimba dua gentong besar air di sungai yang letaknya sangat jauh dari gubuk, semua dilakukan Asoka.Hingga suatu hari, Asoka bertanya pada Ki Seno."Apa ini yang disebut latihan, Kek? Aku harus melakukan pekerjaan seperti pembantu?""Sepertinya tulangmu bertambah kuat," lirih Ki Seno, tidak menghiraukan pertanyaan Asoka. Ki Seno mengajak Asoka duduk, menikmati kopi panas di bawah mentari senja. "Sudah tig
Asoka menggigit bibirnya kuat-kuat, menahan sakit yang amat menyiksa di punggungnya. Keringat mengucur dari pori-pori Asoka, mengalir membersihkan darah di sobekan bibirnya. Panasnya semakin terasa kala air sungai makin mendidih.Panas luar akibat uap air sungai, panas di dalam akibat energi yang dialirkan dari telapak tangan Ki Seno.Ingin rasanya Asoka menyerah menghadapi penderitaan ini, tapi ingatannya kembali memutar pembantaian beberapa minggu lalu. Seketika ucapan bapaknya terngiang di telinganya."Asoka janji memenuhi cita-cita Bapak. Asoka akan jadi pendekar sejati!"Pemindahan energi serta pembenahan detak nadi selesai dilakukan. Ki Seno lemas tak berdaya. Tubuhnya sempoyongan, lalu ambruk begitu saja.Menjelang sore, Ki Seno sadar dan melihat Asoka duduk di atas batu besar tadi. "Apa yang kau pikirkan?" tanya Ki Seno."Aku tidak memikirkan apa-apa, Kek, hanya menunggumu siuman. Di sebelah goa ada ikan bakar untuk Kakek, aku tadi m
Semakin lama Asoka memandangi batu itu, nyala cahayanya semakin membesar. Asoka tidak kuat menatapnya terlalu lama. Dia khawatir cahaya itu bisa membutakan kedua matanya.Asoka menggeliat dan pergi ke sungai untuk membersihkan tubuhnya. Dia menguap lebar karena tadi malam tidak bisa tidur. Sambil bersiul kecil, dia masuk ke goa untuk mengambil kayu yang biasa dia gunakan menombak ikan.Lumayan lama Asoka menunggui ikan di sungai, sampai dia bosan dan tertidur. Nampaknya tidak ada ikan yang selamat akibat ledakan energi yang terjadi semalam.Asoka membangunkan Ki Seno, minta diajari ilmu meringankan tubuh."Untuk apa?" tanya Ki Seno singkat."Aku ingin pergi ke atas mencari buah-buahan yang bisa kita makan."Ki Seno mengajari Asoka ilmu meringankan tubuh."Untuk pemula sepertimu, kau harus bisa memusatkan energi di bagian paha dan punggung. Letakkan kedua tanganmu di atas lutut, pastikan telapak tanganmu terbuka. Tegakkan punggung dan
Asokamenderita luka bakar di lengan kanannya. Rasanya panas sekali. Untung saja bukan api hitam yang digunakan Gatra.Pertarungan itu berlangsung cukup lama hingga membuat seperlima hutan terbakar. Asokaterus-terusan menghindar tanpa melayangkan satu serangan pun. "Gunakan pedang itu untuk melawanku!" teriak Gatrayang terbang agak tinggi di udara. "Gitu dong, mbok ya ngomong kalau aku boleh makai pedang ini buat ngelawanmu." Ki Senomenepuk jidatnya sendiri. Ternyata ada orang yang lebih bodoh darinya dulu waktu pertarungan pertama melawan Gatra. "Terapkan apa yang kuajarkan padamu, Asoka!" teriak Ki Senodari atas gua. "Kakek sialan! Udah nggak mau bantu malah marah-marah tanpa solusi!" "Siapa yang marah, Setan!" Semburan api Gatrakembali mengenai baju Asokadan membuat pemuda itu lari kocar-kacir. Karena apinya sangat panas, Asokaterpaksa memotong bajunya dan membuangnya di su
Dengan cepat, Ki Senomelesat menggunakan Ajian Sepuh Angin dan menyelamatkan Asokadari bebatuan sungai. Telat sepersekian detik saja tubuh Asokasudah hancur. “Byuh, syukurlah aku masih sempat,” lirih Ki Seno, lalu membaringkan Asokadi dekat goa. Di sisi lain, Gatramasih belum percaya kalau teriakan itu muncul begitu saja dari mulut Asoka. Dia mengepakkan sayap dan bertengger di atas goa. Ki Senomenyibak pakaian Asokadan Gatrapun melihat tato gagak hitam yang ada di leher pemuda itu. Tatonya menyala dan mengeluarkan cahaya keemasan. Mulai saat itu, Gatramengikuti kemana pun Asokapergi. Pada saat mencari pisang di keesokan harinya, Ki Senoterkejut karena tato gagak hitam milik Asokahilang. Dia bertanya serius, tapi Asokamenjawabnya dengan enteng. “Ya mana Asokatahu, ngelihat leher sendiri saja tidakbisa!” “Ooo bocah semprul! Aku tanya serius malah s