Share

Retrocognition (Melihat Masa Lalu)
Retrocognition (Melihat Masa Lalu)
Penulis: A.R. Ubaidillah

Jl. Pemuda 88

“Permisi, paket....”

Seorang perempuan muda berhijab lebar sampai ke pinggang keluar dari gerai makanan waralaba. Ia terlihat seperti banyak pembeli yang akan tersenyum saat paket yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba. Ia bisa saja menerima paket dari balik booth makanannya, tapi perempuan itu lebih memilih keluar. Sebuah hal kecil yang membuat kurir seperti Wira merasa dihargai.

“Atas nama Aisya, betul?” tanya Wira meminta konfirmasi.

“Betul, Mas.”

Wira menyerahkan paket kepada perempuan muda itu sembari mengakses aplikasi kamera di gawainya. Jaman sekarang semua sudah serba daring dan digital. Laporan pengiriman bisa di kirim saat itu juga di manapun kurir berada. Para pemilik paket pun sudah paham, kurir pasti akan mengambil gambar mereka sebagai dokumentasi pengiriman.

“Terima kasih, Mas....” ujar perempuan itu sambil memastikan bahwa paket yang ia terima memang benar miliknya.

“Sama-sama, Mbak,” jawab Wira. Ia tutup form pengiriman atas nama Aisya di aplikasi kurir miliknya. “Mmm ... Mbak ini, Mbak Aisya ya?” tanya Wira.

“Iya, betul. Kenapa ya, Mas?” tanya Aisya, ia berbalik kembali lagi setelah hampir masuk ke dalam outletnya.

“Mbak dulu pernah ngajar ngaji di Mushola Nurul Iman kan?” tanya Wira lagi.

“Betul, kok Masnya tau?”

“Saya dulu ngaji di situ, Mbak.”

“Lho, saya kan ngajar akhwat, kok Mas bisa tau saya?”

Aisya mulai memperhatikan wajah Wira, ciri-cirinya. Lalu ia coba cocokkan dengan memori belasan tahun lalu. Tentang wajah-wajah anak laki-laki yang mengaji di Mushola Nurul Iman. Tapi percuma karena ikhwan dan akhwat dipisahkan oleh tabir kain putih sekaligus pembatas jamaah sholat. Ia tak memiliki memori tentang itu.

“Mmm ... anu, Mbak ... saya kaya pernah lihat aja wajah Mbaknya. Makanya saya beraniin tanya tadi,” kilah Wira.

Wajah Wira memerah, untung ia mengenakan helm. Kalau tidak ia tentu tak bisa lagi menyembunyikan rasa malunya. Kini ia tertunduk, berpura-pura memeriksa gawai dan tumpukan paket di atas pijakan kaki sepeda motor maticnya. Sesekali ia melirik ke arah Aisya yang seolah menanti jawaban masuk akal dari mulut Wira.

“Ya sudah, makasih ya, Mbak. Saya lanjut antar paket dulu....”

Aisya mengangguk sambil tersenyum. Wira hanya sesekali mencuri pandang tak ingin melewatkan senyum manis perempuan yang lima tahun lebih tua darinya itu. Ia menjalankan sepeda motornya, namun masih dapat melihat Aisya yang beranjak masuk ke dalam gerainya dari kaca spion. Bibir Wira berdecak kagum. Sama seperti dua belas tahun lalu saat ia lihat Aisya dari balik tabir yang tersingkap oleh hembusan kipas angin mushola.

Ah, tentu masih ada kesempatan untuk bertemu lagi dengan Aisya. Dia menjaga gerai makanan, mungkin juga ia pemiliknya. Lain waktu Wira akan mampir untuk membeli. Sambil mencari peluang, apa Aisya masih sendiri atau sudah berkeluarga. Angan-angan masa kecil dulu bisa saja menjadi nyata. Wira tersenyum sendiri, setitik air di tengah gurun. Ia lihat lagi tumpukan paket dalam kantung besar yang menanti diantarkan.

Masih ada dua belas rumah lagi yang harus dikunjungi. Ini sudah pukul lima sore. Biasanya Wira sudah mengantar semua paket tugasnya. Berkisar dua puluh sampai tiga puluh lima paket sehari. Ia beredar di dua kecamatan yang bersebelahan dengan empat zona. Namun hanya di sebelah utara saja, karena akan cukup jauh dan memerlukan waktu lama untuk berkendara dari batas wilayah satu ke wilayah lain.

Wira meraih catatan alamat paket yang sudah ia urutkan sesuai jarak di lapangan. Rata-rata hanya berjarak tak lebih dari lima ratus meter antar rumah, meski harus memasuki gang-gang berliku. Lelaki bertubuh kurus itu terus mencoba meyakinkan diri ia bisa menyelesaikan tugasnya. Meski harus pulang hingga lebih dari pukul sembilan malam. Itu lebih baik dari pada insentifnya hari ini tidak dibayarkan karena gagal memenuhi target.

Rintik gerimis membasahi wajah Wira. Cuaca yang dibenci banyak kurir karena harus memberikan usaha ekstra untuk melindungi paket-paket yang ia bawa. Ia kemudikan sepeda motornya dengan kecepatan sedang. Meski hanya titik hujan, rasanya cukup sakit apalagi bila mengenai kelopak mata. Ia berhenti dan menekan bel di pagar rumah berwarna hitam dengan atap kecil di atas gerbangnya.

“Permisi! Pakeeet!” teriak Wira.

Lampu di carport tiba-tiba menyala. Meski belum malam, tapi mendung membuat kondisi carport menjadi gelap. Terdengar anak kunci diputar dua kali. Pintu rumah tipe kupu-kupu dengan dua daun pintu itu terbuka. Seorang lelaki mengenakan sarung dan kopiah keluar dan langsung menghampiri Wira. Ia tersenyum dan menggeser sedikit pagar rumahnya.

“Permisi ... paket, Pak.”

“Untuk siapa, Mas?” tanya lelaki itu.

“Atas nama Indira, Pak,” jawab Wira sambil memperhatikan nama penerima di kemasan paket.

“Oh, iya itu istri saya, Mas.”

Wira menyerahkan paket untuk Indira kepada lelaki itu. Ia lalu meminta ijin untuk mengambil gambar penerima paket. Lelaki itu tampak tersenyum sambil menunjukkan paket dan ibu jari tangan kirinya. Wira mengernyitkan kening, Lelaki itu terlihat berbeda di aplikasi kameranya.

“Kenapa, Mas?” tanya lelaki itu setelah Wira tak kunjung selesai mengambil gambarnya.

Wira tak menjawab. Ia memperhatikan lelaki itu bergantian dengan bayangannya di aplikasi kamera beberapa kali. Lelaki itu melongokkan wajahnya ke arah Wira. Wira menatap wajah itu. Tiba-tiba pandangan Wira meredup seperti televisi yang kehilangan signal, kelabu dengan titik-titik hitam yang hilang muncul bergantian.

Perlahan warna kelabu dan titik-titik hitam itu seolah berputar. Semakin lama semakin cepat, dan terbuka di tengah-tengah seiring dengan penglihatan Wira yang kembali. Namun mengapa yang ia lihat amat berbeda dengan sebelum penglihatannya hilang tadi? Ia tak bisa menemukan warna di penglihatannya. Pagar rumah berwarna hitam itu hilang. Bahkan rumah itu tak lagi sama.

“Mas? Sehat?” lelaki itu melambai-lambaikan tangannya di depan mata Wira.

Wira memperhatikan lelaki itu lekat-lekat. Sarung dan kopiah tak lagi ia kenakan. Ia hanya mengenakan celana pendek dan kaus putih berlumuran darah. Wajahnya tampak lebih muda, namun lebih lusuh. Kesedihan terlihat sekali dari raut wajahnya. Wira mengusap-usap matanya beberapa kali.

“Mas? Udah ambil fotonya?”

“Maaf ... sudah, Pak,” jawab Wira gugup setelah mengecek foto lelaki itu ada di gawainya.

Wira tertegun, Ia masih tak bisa percaya dengan penglihatannya. Lelaki yang menerima paket atas nama Indira sudah masuk kembali ke dalam rumah. Wira masih bisa mendengar suara pintu rumah ditutup dan anak kunci yang diputar. Ia naik lagi ke atas jok sepeda motornya. Ada apa dengan dirinya? Hal ini baru pertama kali ia alami.

Wira menjalankan sepeda motornya perlahan, ia pegang paket berikutnya yang akan diantarkan. Dengan nama jalan yang sama namun berbeda nomor rumah seharusnya mudah untuk menemukan. Wira menoleh ke kanan dan kiri, mencari rumah dengan nomor 88. Lalu ia fokus pada deretan rumah sebelah kiri, nomor genap ada di sana.

Wira menghentikan kendaraannya di depan rumah nomor 90. Ia mundur lagi beberapa meter. Tertera jelas di pagar rumah, sebelum rumah bernomor 90 adalah 86. Beberapa kali dipastikan, memang benar tidak ada rumah bernomor 88 di sini. Wira memeriksa lagi alamat dalam bungkus paket. Ia lalu berinisiatif untuk menghubungi nomor telepon yang tertera.

Suara panggilan tersambung terdengar jelas di telinga Wira. Ia menyelipkan gawainya diantara helm dan telinga kiri. Tidak ada jawaban. Wira mencobanya kembali.

“Halo, selamat sore,” sapa Wira.

“Selamat sore,” jawab seorang perempuan dari seberang.

“Mbak, saya mau antarkan paket atas nama Melati. Jl. Pemuda nomor 88, betul ya?”

“Betul, aku Melati.”

“Begini, Mbak. Saya sudah di depan rumah nomor 90, tapi sebelum rumah nomor 90 kok 86 ya? Nggak ada rumah nomor 88 lho,” terang Wira.

“Ah, masa? Ya udah aku keluar dulu, Mas.” Sambungan telepon terputus.

Wira mengusap kedua matanya. Memang benar tidak ada nomor 88. Ia menoleh ke seberang jalan, di sana hanya ada deretan nomor ganjil. Tak mungkin nomor 88 terselip diantara nomor ganjil lain. Lagi pula kompleks ini adalah perumahan, biasanya pengembanglah yang memberikan nomor pada tiap kavling yang dikelola.

“Mas!” seseorang menepuk bahu kiri Wira, dari suaranya perempuan.

Wira menoleh, di hadapannya berdiri seorang perempuan mengenakan gaun putih sepanjang lutut tersenyum menatapnya. Sudah lama Wira tidak melihat model gaun seperti itu. Perempuan itu tampak cantik meski gaun dan model rambutnya seperti tak berasal dari masa kini. Ia mengulurkan tangan bersiap menerima paket dari tangan Wira.

“Mbak Melati ya?” tanya Wira.

“Iya,” jawab Melati singkat. Ia tersenyum lagi dan menggamit paketnya di tangan kiri. “Wah, akhirnya paket ini sampe juga.” Melati kembali tersenyum. Wira mengambil gambar perempuan itu di aplikasi kamera gawainya.

“Emang udah berapa lama nggak sampe-sampe, Mbak?” tanya Wira iseng saja.

“Huh, udah lama banget, Mas.”

“Mungkin karena nggak ketemu alamatnya, Mbak. Itu nomor 88 di paketnya, saya cari dari tadi nggak ada nomor....”

Kata-kata Wira terhenti. Rumah berpagar putih dengan nomor 88 terbuat dari kayu berada tepat di belakang Melati. Wira seperti tak percaya, ia mengusap matanya beberapa kali. Padahal tadi ia tak bisa menemukannya. Tiba-tiba tampak jelas ada rumah lain dintara rumah nomor 86 dan 90. Ia tak bisa menemukan alasan logis untuk hal ini.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status