Mamak menarik kursi plastik dan ia dekatkan pada tempat tidur Wira. Ia tinggalkan makan siang nasi padang lauk rendang yang baru ia kunyah beberapa suap. Matanya nanar memandang arloji dalam genggaman tangannya. Wanita paruh baya itu duduk, beberapa kali bolak balik bola matanya beralih dari arloji ke anak semata wayangnya itu. Ada banyak hal yang tampaknya sudah seharusnya Wira tahu.
“Ini beneran punya Bapak, Mak?” tanya Wira. Ia meraih rantai arloji namun Mamak menahan Arloji dalam genggamannya.
“Benar, Wir. Kamu dapat dari mana?” tanya Mamak datar. Wira menyadari ada yang tak beres dengan ibunya.
“Dari orang yang aku anter paketnya, Mak. Namanya Melati, dia seneng banget katanya paketnya udah lama nggak sampe. Makanya begitu aku anterin, dia kasih aku hadiah arloji ini,” tutur Wira.
“Melati katamu?”
“Iya, Mak. Kenapa ya?”
Mamak mengusap keningnya, beberapa anak rambut yang menjuntai ia selipkan lagi di telinganya. Ia ragu atas apa yang dialami Wira. Tapi pengakuannya bisa melihat masa lalu, sama dengan kemampuan mendiang suaminya. Lalu arloji ini, ini milik suaminya. Ada inisial nama suaminya yang diukir di belakang arloji. Kebetulan seperti apa yang amat presisi seperti ini.
“Kamu beneran bisa liat masa lalu, Wir?” tanya Mamak beralih topik.
“Mmm ... aku sebenarnya nggak begitu yakin, Mak. Soalnya banyak yang aku sangsikan, bisa jadi ini cuma halusinasi. Lagian aku nggak bisa ngendaliin, tiba-tiba aja ada gambaran yang bisa aku lihat tapi aku nggak bisa dengar atau interaksi dengan yang aku lihat,” terang Wira.
“Apa aja yang pernah kamu lihat?”
“Waktu itu aku nganter paket, yang nerima bapak-bapak gitu. Terus pas mau di foto, di hape sama aslinya beda tuh. Orangnya sama lingkungannya beda banget. Aku lihatnya juga cuma item putih, Mak,” sambung Wira.
“Terus?”
“Terus aku ni abis nganter paket, tapi tiba-tiba kondisi sekitar berubah jadi hutan jati. Ada tentara Belanda, desa di bakar, orang-orang ditembakin. Terakhir lagi sholat di masjid tau-tau lantai masjidnya berubah, sampingku yang tadinya bapak-bapak jadi anak kecil semua,” lanjut Wira antusias.
Mamak menatap wajah Wira yang begitu antusias menceritakan pengalaman yang diakuinya sebagai melihat masa lalu. Wira memang begitu dekat dengannya, karena tak ada lagi anggota keluarga lain setelah Bapaknya meninggal. Saat itu Wira baru kelas satu Sekolah Dasar. Ia sudah mengerti bahwa Bapaknya meninggal dan tak akan kembali. Namun ia belum mengerti betapa itu terlalu berat untuk Mamaknya.
“Terus kamu nggak inget apa-apa lagi? Sadar-sadar udah di sini?”
“Betul, Mak. Mamak tahu sesuatu?” Wira merasa ada yang paham kondisinya.
“Bapakmu dulu juga punya kemampuan yang sama,” ujar Mamak datar.
“Serius, Mak? Terus-terus?” Wira terbelalak, ia begitu antusias.
“Panjang, Wir kalau mau diceritain. Keburu kamu keluar dari sini,” seloroh Mamak. Ia tertawa kecil demi mengalihkan fokus Wira yang terlanjur meninggi.
“Ah, Mamaaak ... aku pengen tahu gimana cara ngendaliin ini,” rengek Wira seperti anak kecil. Ia memang selalu begitu pada orang tua tunggalnya ini. Tak peduli ia sudah berusia 25 tahun kini.
“Wir ... sekarang kamu tatap mata Mamak.”
Wira menghentikan rengekannya. Ia turuti perintah Mamak. Dua pasang mata ibu dan anak itu saling beradu. Wira tercengang, senyum kecil tersungging di bibirnya. Ia masih saja pada tempatnya meski kini Mamak sudah berpindah posisi. Mamak kini ada di sisi ranjang lainnya. Memperhatikan Wira tengah menyaksikan masa lalu orang tuanya.
“Apa yang kamu lihat?” Wira terperanjat.
Suara Mamak dan tepukannya di bahu mengagetkan dan membuyarkan penglihatan hitam putihnya. Pandangannya kembali berwarna, namun ia tak menemukan Mamaknya di posisinya tadi. Mamak tertawa geli melihat Wira kebingungan.
“Hoy! Mamak di sini!” Tawa Mamak meledak juga, lumayan mengerjai pemula ini.
“Mamak iseng banget!” gerutu Wira.
“Nah, apa yang tadi kamu lihat?”
“Pernikahan Mamak dan Bapak kan?” Mamak mengangguk.
“Jadi, apa kesimpulannya?”
“Kesimpulan?”
“Hadeh, Wirabumi! Pikir sendiri! Jangan semuanya Mamak yang kasih tau, ya? Mamak mau lanjutin makan dulu,” celoteh Mamak kembali meraih dan melahap nasi padangnya.
Wira meraih arloji kuno yang konon milik bapaknya itu. Ia bolak-balik dan ia tekan beberapa kali tonjolan seperti tombol dan penutupnya terbuka. Ia coba mencerna apa yang sebenarnya coba ditunjukkan Mamak tadi. Wira pesimis, lulusan SMK otomotif apakah bisa menganalisa hal semacam ini. Ia merasa kesal, mengapa tak Mamak jelaskan saja semuanya agar lebih mudah.
“Mak,”
“Hmm?”
“Apa benar aku hanya bisa lihat masa lalu orang waktu saling tatap mata?”
“Nah, itu tau! Apa lagi?” seru Mamak girang masih dengan mulut penuh makanan.
“Mmm ... yang bisa kulihat cuma masa lalu yang lagi dipikirin sama orang itu? Makanya tadi yang aku liat Mamak Bapak lagi di pelaminan.”
“Cocok! Apa lagi?” Wira menggeleng. Mamak menelan nasi terkahir dalam mulutnya. Ia lalu meneguk habis segelas air mineral kemasan. “Mamak ada satu pesan buatmu, Wir,”
“Apa tuh, Mak?”
“Jangan kamu cerita pada siapa pun tentang kemampuanmu ini. Sekarang kamu nggak boleh percaya sama orang lain selain Mamak. Mereka mungkin teman, tapi jika suatu saat kemampuanmu ini membahayakan, mereka akan menganggapmu musuh.”
Wira tercengang, apa sebenarnya yang ingin disampaikan Mamak padanya. Setelah berkata-kata tadi Mamak tak memandangnya lagi. Ia sibuk membereskan bekas makan dan beberapa barang miliknya dan Wira. Mamak lalu menghindar dengan mengatakan akan ke kamar kecil. Apa yang coba disembunyikan Mamak padanya? Gawai Wira bergetar, telepon dari Jaka, teman kerjanya.
“Halo, Jek?” sapa Wira.
“Halo, Wir. Udah sehat? Masih di rumah sakit kan?” Jawab Jaka dari seberang.
“Masih, Jek. Kenapa? Emang mau jenguk?” tanya Wira.
“Iya, ini gue sama Ario baru aja sampe parkiran. Lu di ruang apa ya?”
“Nah, gue kurang paham, Jek. Mak gue masih di toilet. Entar gue chat aja ya?” jawab Wira.
“Oh, oke-oke.”
Sambungan telepon terputus. Rupanya gawainya dalam mode sunyi, ternyata Jaka sudah beberapa kali menghubungi. Wira tersenyum, akhirnya ada teman yang menjenguknya. Ia bisa melihat masa lalu siapa yang lebih menarik, Jaka atau Ario. Mereka bertiga amat akrab, hampir tak ada rahasia diantara mereka.
“Mak, ini kita di ruang apa ya?” tanya Wira setelah Mamaknya kembali.
“Ruang Anggrek 14, bilik paling ujung. Ada yang mau datang, Wir?”
“Iya, Mak. Jaka sama Ario, mereka udah di parkiran,” jawab Wira sambil mengetik dan mengirim pesan pada Jaka.
Satu hal yang kini membuat Wira penasaran. Sejak ia tahu bahwa penglihatan masa lalunya hanya berlaku saat matanya bertemu, Mamak sama sekali belum menatap mata Wira. Ia yakin ada rahasia Mamak yang tak boleh Wira tahu. Tapi sebenarnya banyak yang ingin Wira tanyakan pada ibunya ini. Ia merasa Mamak sudah memiliki pengalaman berinteraksi dengan orang yang memiliki kemampuan serupa dengannya. Mamak pasti tahu banyak hal.
“Inget ya, Wir. Jangan bilang siapa-siapa termasuk Jaka dan Ario tentang kemampuanmu.”
“Iya, Mak.”
“Dan kamu harus bisa menahan diri kalo ternyata ada masa lalu dari Jaka atau Ario yang ternyata merugikanmu atau menyebabkan kamu mendapatkan masalah di masa sekarang, oke?” sambung Mamak. “Kamu pasti bisa, kamu harus lebih kuat dari pada Bapakmu.” Wira mengangguk.
“Menikah? Besok? Gimana mungkin?” cecar Wira via sambungan telepon. Bukannya tak mau, tapi menikah dalam kondisi seperti ini benar-benar tak ideal. Dua hari lalu baru saja ia selesai diinterogasi sebagai saksi. Lalu ia harus wajib lapor. Membujuk Mamak agar mau mendonorkan darah untuk Firman. Dan besok harus menikah.Pemuda itu mengangguk beberapa kali dan menggumam. Semuanya sudah diatur Aisya. Pernikahan secara siri akan dilakukan di rumah sakit, di ruang Pak Aziz dirawat. Padahal pria itu dalam kondisi baik. Wira tak mengerti mengapa pernikahan harus segera dilakukan secepatnya. Bahkan bisa-bisanya Aisya sudah berdiskusi dengan Mamak dan Mamak menyetujuinya.Wira tersenyum menatap pantulan dirinya di cermin. Perdebatan dengan Aisya kemarin tentu saja dimenangkan oleh perempuan cantik itu. Ya, siapa yang menyangka hidupnya berubah secepat ini. Seorang yatim tak pernah dekat dengan perempuan, tapi kini seolah dikejar untuk menikah perempuan cantik solihah.“Saya terima nikahnya Aisya
Ruang serba putih itu begitu sepi. Hanya ada suara alat deteksi detak jantung dan gerakan detik jam dinding. Hembusan pendingin ruangan sesekali menggerakkan tirai yang sebagian terbuka. Setelah mengaku sebagai keluarga, Mamak dapat dengan mudah masuk ke ruangan ini. Ruang yang dijaga setidaknya dua orang polisi bergantian setiap waktu.Mamak sampai di ujung ranjang. Seorang pria mengenakan masker oksigen terpejam di sana. Cairan infus menggantung di sisi kanannya. Dan beberapa kabel yang terhubung pada alat-alat yang Mamak tak tahu apa namanya. Semuanya penopang hidup Firman saat ini.“Sebenarnya aku merasa berdosa, Firman,” lirih Mamak seraya melangkah dan sampai di sisi kanan tubuh pria itu.Perempuan paruh baya menatap lekat wajah tak berdaya pria yang dahulu pernah meminta cintanya. Pria yang terus berupaya menjauhkannya dari Barata. Juga dalang dibalik pembunuhan suaminya itu.“Darahku kini mengalir di tubuhmu. Sungguh aku tak sudi kalau bukan dengan alasan memberatkan hukuman S
“Peluru jika ditembakkan dalam jarak sedekat ini, besar kemungkinan tembus! Jarak Wira denganmu terlalu dekat!” ucap Suryo begitu pongah.Pak Aziz terperangah memegangi dada kirinya. Sekali ia melihat telapak tangannya yang sudah berwarna merah. Pria itu panik setengah mati. Ia tak tahu mengapa tak segera merasakan timah panas itu. Tubuhnya kini terasa lemah. Napasnya mulai tersengal. Pria itu luruh ke lantai tepat di sebelah calon menantunya yang berlumuran darah.“Lagi pula kamar semewah ini sudah pasti kedap suara,” sambung pria tambun itu.Suryo melangkah mendekat. Bukan untuk memberikan tembakan lanjutan. Namun untuk mengambil gawai Pak Aziz yang masih terpasang di tripod. Rekaman video ia hentikan, lalu beberapa detik menggores-goreskan jemari pada layar pipih 6 inchi itu.“Begini kalau hidupmu penuh keteraturan!” desis Suryo seraya meninggalkan gawai Pak Aziz beserta tripodnya. Ia lalu menghampiri Wira, menyepak beberapa kali wajah pemuda yang telungkup tak berdaya.“Masih ada
Seorang pria tambun mengenakan tongkat berjalan diapit oleh dua orang berbadan besar. Di belakangnya seorang berpakaian safari berambut ikal mengikuti langkahnya dengan menenteng sebuah tas hitam. Ia berhenti dan mengetuk pintu dengan nomor A001.“Anda Pak Suryo?” tanya Pak Aziz, seorang yang membukakan pintu.“Benar, dengan Bapak Abdul Aziz?” tanya Suryo ramah. Hal yang tak biasa ia lakukan entah sudah berapa lama.“Selamat datang, Pak. Maaf mengubah tempat pertemuan. Tiba-tiba saya merasa sedikit lelah. Mari, silahkan masuk!” sambut Pak Aziz dengan santun.Suryo membalas keramahan Pak Aziz dengan segera membuka kacamata hitam yang selalu ia kenakan. Kamar president suite itu tampak luas dan mewah. Didominasi warna gading, Suryo diarahkan untuk duduk di sofa tepat di sebelah kiri pintu.“Maaf, Pak, apa boleh hanya kita berdua atau dengan orang kepercayaan Bapak saja?” pinta Pak Aziz setelah dua pria bertubuh besar itu turut serta masuk.“Tentu saja boleh, Pak,” jawab Suryo singkat. I
Permadi hanya bisa menuruti apa perintah pemuda di hadapannya. Sebagai seorang yang berpengalaman, meski panik ia masih bisa menyembunyikannya. Ia justru tertawa sinis setelah file yang diminta Wira terbuka.“Pak Wira, ini adalah file mentah. Data yang saya paparkan tadi adalah data yang sudah diolah dan dilakukan revisi dan penyesuaian,” kilah Permadi.“Revisi? Penyesuaian?” tanya Pak Aziz mulai menangkap adanya kejanggalan.“Maksud saya, ini file mentah yang masih harus diperiksa dan direvisi apa bila ada kekeliruan,” kilah Permadi lagi.“Lalu mengapa file mentah ini sudah mendapatkan approval?” potong Wira.“Approval?” Permadi tertawa mendengar pertanyaan Wira. “Pak Wira, bagaimana mungkin Anda mengetahui bahwa file ini sudah disetujui sedang ini hanya lah soft file?”“Saya tidak sedang membicarakan soft file ini, Pak. Tapi dokumen hard copy yang disimpan oleh Sekretaris Bapak!” tandas Wira.“Sekretaris?”“Ya, lelaki yang menyambut kami tadi, Sekretaris Bapak, bukan?” desak Wira.“
Pukul 08:50 Pak Aziz dan Wira sudah sampai di Hotel Nusantara. Pak Aziz segera menghampiri receptionist untuk menanyakan letak ruang meeting yang dimaksud. Setelahnya pria paruh baya itu segera berjalan menuju lift untuk naik ke lantai delapan. Wira hanya mengekori calon mertuanya itu saja.“Seorang pemimpin tak berjalan menunduk, Wira,” ucap Pak Aziz memecahkan keheningan dalam lift yang bergerak naik itu.“Gimana, Pak?” tanya Wira tak mengerti. Pak Aziz mendekat dan membenarkan posisi kemeja slim fit yang dikenakan Wira.“Untuk dihormati kau harus membangun kesan lebih dahulu. Setelah penampilan, tentu perilaku. Tampilanmu sudah baik, Aisya sudah memilihkan pakaian yang tepat. Tapi harus kamu dukung juga dengan bahasa tubuh yang baik,” terang Pak Aziz sambil terus tersenyum.“Saya mengerti, Pak. Aisya sudah suruh saya ikut kelas kepemimpinan,” jawab Wira ragu. Pak Aziz tersenyum lalu mengangkat wajah pemuda di hadapannya dengan mendorong dagu.“Mulai sekarang kamu nggak boleh lihati