Aku dibawa ke belakang gedung Depatemen. Aku sudah bisa tebak apa yang akan terjadi. Ternyata, hal-hal seperti ini tidak hanya terjadi di duniaku. Sifat dan perilaku manusia karena buta oleh kecemburuan ternyata sama saja.
“Apa yang Anda bicarakan dengan Steein,” tanya Olivia.
Wahh, ternyata sekaran Olivia secara terang-terangan langsung menyebut nama Steein tanpa embel-embel apa pun di depanku.
“Apa aku harus melaporkannya padamu?” jawabku.
“Heh… kamu tidak tahu ya, kalau Olivia ini adalah tunangannya Tuan Kepala!” bentak salah satu pengikutnya terh
Steein kemudian mendekat ke arah kami. Aku yang hanya menatapnya, terkejut karena Steein menarik pergelangan tanganku sehingga pegangan tanganku terhadap Karl terlepas.“Bisakah Anda bersikap lembut sedikit? Anda tidak lihat kalau Lissa sedang sakit?” ucap Karl.Perkataan Karl itu membuat Steein tersentak. Steein menoleh kepadaku. Ia memandangi semua tubuhku dengan ekspresi yang sulit kuartikan. Mungkin ia marah, sedih, kesal, atau khawatir, aku tidak tahu.“Apa Anda baik-baik saja?” tanya Steein.Sebelum aku sempat menjawab, Karl langsung berkata, “Apakah menurutmu ia baik-baik saja?”Steein dan Karl sekarang saling menatap dengan ekspresi seakan ingin melakukan perang.“Sudahlah, kalian berdua. Aku baik-baik saja, kok. Aku melakukannya dengan sengaja,” ucapku.Karl dan Steein langsung menatapku dengan ekspresi tidak percaya.“Hahhh… “ A
Aku terdiam di tempatku setelah mendengar hal itu. Aku tidak menyangka kalau Steein bahkan sampai berbuat sejauh ini. Hal ini sangat menguntungkanku. Aku bahkan tidak perlu menjelaskan apa-apa kepada orang-orang ini.“Lalu, apa yang terjadi kepada Olivia dan teman-temannya?” tanyaku. Aku menanyakannya dengan ekspresi dan nada khawatir, namun sebenarnya isi hatiku sangat penasaran dengan akhir mereka agar aku tahu bagaimana mempersiapkan diri jika bertemu dengan mereka di kemudian hari.“Kamu tidak perlu khawatir, Lissa. Wajah Olivia sangat pucat begitu tahu kalau kami menyaksikan dirinya dan teman-temannya yang telah menyiksamu. Setelah itu, Steein bahkan memanggilnya dengan ekspresi marah. Begitu keluar dari ruangan Steein, Olivia dan teman-temannya langsung berlari keluar dan pulang ke rumahnya. Kurasa, ia tidak akan berani untuk menampakkan wajahnya besok,” ucap mereka secara bergantian untuk memberi penjelasan kepadaku.
Aku melihat dokumen yang dipegang oleh Karl. “Bukankah dokumen itu harusnya berada di kamarku? Kenapa sekarang malah ada di tanganmu?” tanyaku bingung, Karl memalingkan wajahnya dan menolak berbicara. Kemudian, aku memandang Steein. Steein juga melakukan hal yang sama, ia menghindari pandangan mataku. “Apakah salah satu dari kalian mencurinya?” tanyaku dengan penuh curiga. Steein menjadi panik mendengar pertanyaanku, sehingga ia membuat pembelaan untuk dirinya sendiri. “Bukan saya … Eh … Maksudnya, memang benar saya yang menggunakan sihir untuk mengambil dokumen itu dari kamarmu.” Selama Steein berbicara, aku terus menatapnya tajam.Hal itu membuatnya gugup. “Na-Namun, emm… Benar! Karl yang memaksa saya melakukannya. Ia tadi datang ke ruanganku dan menyuruhku untuk melakukan itu.” Aku menoleh untuk melihat Karl. “Karl... benarkah itu?” tanyaku dengan mengalihkan tatapanku dari Steein ke Karl. Karl yang dari tadi memalingkan wajahnya
“Baiklah. Terima kasih, Steein,” ucapku.“Tiga tahun lalu, ada terjadi perluasan pemukiman di daerah ini,” lanjutku sambil menandakan sebuah lokasi yang berada di dataran rendah. “Beberapa bulan setelah perluasan pemukiman dilakukan, ternjadi banjir. Dan itu masih berlangsung sampai sekarang. Orang-orang di sana saling menyalahkan satu sama lain dengan mengatakan kalau itu adalah kutukan. Namun, sebenarnya sangat tidak dianjurkan untuk membuat pemukiman di dataran rendah ataupun di pinggir sungai. Karena, jika debit air bertambah ... Ehh ... maksudnya, jika terjadi banjir di wilayah lain yang merupakan dataran tinggi, maka dataran rendah dan pinggir sungai otomatis juga akan terkena banjir.”Kata-kata itu mengakhiri penjelasanku.“Hmm … ternyata begitu,” ucap Karl dan Steein bersamaan. Aku tersenyum puas mereka bersikap kompak, dan mengerti akan penjelasanku.“J
“Belum. Aku masih mempertimbangkannya. Aku belum memberikan jawaban apa pun. Lagi pula, bukan aku yang memutuskan, karena ini adalah hubungan antar keluarga,” jelas Stella.Aku lupa kalau budaya di sini seperti itu. Aku pernah membaca novel seperti itu. Rata-rata, para kaum bangsawan kaya, ataupun orang kelas atas di jaman modern menikah bukan karena mencintai satu sama lain. Melainkan karena perjodohan atau karena hubungan diplomatik. Mereka akan mencari dan memilih pasangan yang selevel dengan mereka atau menguntungkan kedudukan mereka. Itulah sebabnya ada pepatah yang mengatakan kalau yang kaya akan semakin kaya, dan yang miskin akan semakin miskin. Hukum kasta itu tidak akan bisa berubah jika pernikahan dengan sistem seperti itu terus terjadi.“Baiklah, tetap semangat ya, Stella. Pilihlah mana yang terbaik untukmu,” ucapku kepada Stella.“Baik, Lissa. Terima kasih,” balas Stella.Tok, tok.
Namun, aku kembali memfokuskan pikiranku dan membaca proposal itu. Alasan yang ditulis di proposal itu adalah karena dampak yang diberikan oleh banjir. Jadi, Kepala Daerah mengeluarkan cukup banyak dana untuk perbaikan wilayah.“Di saat daerah itu memiliki tambang, tetapi terjadi banjir?” batinku bingung.Dengan sigap, aku mengambil dokumen dari tasku dan memeriksa data lokasi banjir yang telah aku catat. Dan, benar saja. Wilayah Desia sama sekali bukan wilayah yang pernah mengalami banjir. “Jadi, kamu mau menipu, ya?” ucapku sambil tersenyum licik.“Jadi, kamu sudah menemukan jawabannya?” tanya Steein.“Sudah, Tuan. Saya akan menyusun laporannya dulu,” ucapku. Steein hanya membalasku dengan tersenyum.Pekerjaanku sudah selesai, namun sekarang belum waktunya jam pulang. Aku langsung menyerahkan laporan yang telah aku susun kepada Steein.“Aku sudah me
“Astaga, Lissa. Lukanya semakin parah. Kenapa kamu melepaskan perbanmu jika lukamu masih separah ini?” tanya Karl.“Karena merepotkan,” jawabku sambil tertawa canggung.“Sial. Seandainya aku punya kekuatan sihir untuk menyembuhkan,” gumam Steein.Aku menatap wajah Steein yang menunjukkan kekesalan. Bukan rasa kesal kepada orang lain, namun kepada dirinya sendiri.“Steein, apakah kekuatan penyembuhan yang dimiliki Saintess bisa menyembuhkan luka seperti ini?” tanyaku kepada Steein.“Benar, Lissa,” jawab Steein. Ia tampak bingung karena aku tiba-tiba mengungkit tentang hal ini.“Lalu, apakah kekuatan penyembuhan yang dimiliki Saintess juga bisa menyembuhkan diri mereka sendiri?” tanyaku lagi.“Benar, Lissa,” kali ini ekspresi Steein tampak semakin kebingungan.Aku menatap langsung ke mata Steein di balik kacamatanya itu. &ldquo
“Tidak, Lissa. Ini adalah hasil pekerjaanmu. Kamu pasti bisa melakukannya. Lagi pula, anggap saja ini pelatihan. Ayo kita pergi,” ucap Steein dan langsung beranjak dari tempat duduknya dan berjalan keluar tanpa menunggu responku.“Tunggu saya, Tuan,” teriakku panik sambil mengambil semua keperluan yang aku butuhkan dan membawanya.Sepanjang perjalanan, aku hanya memperhatikan isi dokumen yang aku bawa dan membacanya di dalam kerete sambil bergumam. Selama waktu itu, Steein hanya tersenyum melihatku.Sekarang saatnya aku sampai di istana. Kemegahan Istana ini masih saja membuatku bergidik karena rasanya menyeramkan.Steein masuk ke dalam Istana dan menghadap Raja Edgar. Sementara aku hanya mengikutinya dari belakang. Selain kami dan Raja Edgar yang berada di ruangan ini, aku ada melihat beberapa bangsawan lain. Di antara bangsawan itu, salah satunya pastilah pemimpin wilayah Desia. Aku melirik m