Share

PART 7

 Hari minggu pagi kulihat Metta sudah bersiap akan pergi. Tak lupa dia juga sudah menyiapkan Ibas untuk diajaknya serta. 

 

 "Jadi pergi, Mah?" tanyaku basa basi. Padahal sebenarnya betapa inginnya aku mendengarnya membatalkan acaranya itu hingga aku bisa meredakan amarah Linda dengan mangajak jalan-jalan bersama Tiara hari ini. 

 

 "Jadi, Pah," jawabnya singkat tanpa menengok ke arahku. 

 

 "Eh tunggu, itu matamu kenapa, Mah?" Saat sekilas tadi memperhatikan seperti ada sedikit bengkak di mata Metta, aku pun bertanya dengan keheranan. 

 

 "Nggak apa-apa, Pah," sahutnya cepat seolah ingin menghindar dariku. Lalu dia pun segera melangkah sambil memanggil-manggil anak kami.

 

 "Bas, ayok berangkat! Udah siap belum?" tanyanya. 

 

 "Udah, Mah." 

 

 Tak berapa lama terlihat Ibas keluar dari kamarnya dengan pakaian rapinya.

 

 "Mah, tunggu dulu." Aku nekat ingin melihat matanya tadi yang sedikit bengkak. Perasaanku mengatakan bahwa sepertinya dia habis menangis. Tapi kenapa? Sudah agak lama rasanya tak pernah melihat wanitaku ini menangis. 

 

 "Kamu habis nangis ya?" tanyaku kemudian saat akhirnya sudah berhasil memegang bahunya untuk kuhadapkan ke arahku. 

 

 "Enggaaak. Kelilipan semalem," ujarnya sedikit ketus. 

 

 Semalam? Apa semalam dia menangis? Memikirkan hal itu aku jadi merasa bersalah sampai-sampai tak tahu bahwa istrinya sedang menangis entah karena apa. 

 

 Seperti baru tersadar dari tidur panjang, seingatku dulu Metta adalah orang yang selalu rajin bercerita apa saja yang dialaminya seharian setiap kali aku pulang dari toko. Dia akan bercerita panjang lebar hingga kadang membuatku sangat bosan, karena yang diceritakannya selalu hanya itu-itu saja. Kalau bukan tukang sayur kompleks, ibu-ibu tetangga yang meresahkan, atau tingkah lucu si Ibas selama aku tak ada di rumah. 

 

 Namun rasanya sudah sangat lama aku tak lagi mendengarnya bercerita seperti itu. Dahiku berkerut mencoba mengingat-ingat kapan terakhir kalinya aku mendengar cerita recehnya itu. Tapi rupanya akau sudah tak ingat lagi. Sepertinya sudah lebih dari sebulan yang lalu. Apakah itu sejak dia berubah?

 

 Saat tersadar dari pikiranku tentang Metta, rupanya istri dan anakku itu telah tak ada lagi di depanku. Mobil kami juga sudah melaju pelan meninggalkan garasi. Rupanya aku tadi tidak mendengar waktu mereka berpamitan saking sibuknya aku memikirkan Metta. 

 

 Saat rumah menjadi sepi, tiba-tiba wajah Linda kembali terbayang. Kuraih ponsel di saku celanaku dengan cepat dan kucoba untuk menghubunginya lagi. Kali ini nada panggilannya sudah tak tersambung. Lalu aku beralih ke aplikasi perpesanan dan mencoba mengiriminya pesan, namun masih juga seperti kemarin siang, ceklis satu. Apakah semarah itu Linda padaku hingga nomerku dia blokir sampai sekarang?

 

 Tanpa pikir panjang lagi, aku pun segera bersiap meninggalkan rumah. Apa boleh buat, aku akan menemuinya naik motor saja daripada membiarkannya lama-lama dalam keadaan marah. Pasti nanti justru jadi semakin runyam masalahnya.

.

.

.

 Sesampainya di sana, aku keheranan karena melihat rumah dalam keadaan sepi. Praktis aku pun tak bisa masuk karena kunci cadangan yang kubawa tersimpan di mobil. 

 

 Sekali lagi aku mencoba menghubungi ponsel Linda. Namun tetap saja, panggilanku tak tersambung. Kemana dia?

 

 "Pak Bimo, nyari bu Linda?" tanya seorang ibu kompleks yang kebetulan melintas di depan rumah kami.

 

 "Iya, Bu," jawabku singkat. Lalu dia pun menghampiriku dengan raut penuh selidik. 

 

 "Tadi pagi bu Linda keluar, Pak. Dijemput sama laki-laki," ujarnya.

 

Apa? Linda keluar dengan laki-laki? Siapa dia?

 

 "Oooh, benarkah, Bu? Kalau begitu terima kasih informasinya." Aku berusaha tak terpancing dengan perkataan si ibu yang sepertinya memang sedang ingin memperkeruh suasana. 

 

 "Iya, Pak. Tadi yang jemput laki-laki gagah lho Pak, masih muda juga. Bawa mobil bagus. Lha ini pak Bimo kok tumben ke sini bawa motor? Mobilnya kemana, Pak?" tanya ibu itu penuh tanya. Sepertinya jiwa keponya meronta melihatku datang tak naik mobil seperti biasa. 

 

 Kuhela nafas panjang sebelum menjawab pertanyaannya. Rupanya dia memang sedang memancing-mancing perkara dengan mengatakan bahwa Linda dijemput oleh lelaki muda dengan mobil bagus. 

 

 "Iya, Bu, saya lupa tadi kalau Linda sudah pamit mau keluar sama adik sepupunya," kataku sekenanya. Hanya agar wanita di depanku ini diam dan tak mengumbar gosip kemana-mana."

 

 "Oh, masa sih Pak itu tadi sepupunya bu

 Linda? Tapi maaf sebelumnya lho Pak, bukannya saya mau ikut campur. Bu Lindanya tadi terlihat sangat akrab dan mesra lho sama laki-laki tadi."

 

DEG!!

 

 Apa lagi ini? Benarkah apa yang dikatakan si ibu rese ini? Tapi siapa lelaki yan menjemput Linda? Dan kenapa Linda sampai pergi dengannya? Apakah sekarang dia sudah berani bermain-main denganku?

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
seharusnya si meta itu ikut mengurus toko. orang yg namanya punya toko biasanya berdua sama pasangan mengelolanya. bukannya jadi babu dan penunggu rumah
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status