Lastri meradang, menjatuhkan tatapan nyalang pada beberapa para ibu-ibu yang sedang berkumpul di depan rumahnya.
"Lastri, sudah cukup lama kamu menjadi benalu di kampung ini dan sepertinya kami sudah cukup memberikan kamu toleransi selama ini." Bu Wati menaikan nada suaranya. Sorot matanya membalas tajam pada Lastri yang nampak juga sedang marah.
"Betul itu!" balas Ibu-ibu yang lainnya dengan wajah tidak kalah kesalnya pada Lastri.
"Kami masih membiarkan kamu mengambil pesugihan di lereng Semeru. Tapi untuk berzina, kami tidak akan membiarkannya lagi!" cetus Ibu Diana membeliakan matanya.
"Memangnya siapa yang sudah berzina!" desis Lastri semakin kesal. Sedari tadi ia hanya mampu terdiam dan membiarkan pada penyebar berita itu memfitnahnya.
"Haha ... Lastri, Lastri, sekalipun kamu mengenakan baju karung, kehamilan kamu akan tetap terlihat. Itu apa namanya kalau bukan zina!"
Semeru 1 Agustus 2010, Tiga Tahun kemudianRintik hujan masih membahasi dedaunan dan pohon-pohon yang berada di sekitar lereng Semeru. Meskipun tak sederas beberapa waktu yang lalu. Namun hujan sudah mampu membuat beberapa pendaki menghentikan langkah mereka. Selain medan yang cukup licin dan rawan sekali insiden, pemimpin pendaki memutuskan untuk menghentikan perjalanan mereka. Karena sebentar lagi, malam pun akan segera menjelang."Baiklah, lebih baik kita bermalam di sini saja dulu! Besok pagi-pagi sekali kita akan melanjutkan perjalanan sampai puncak Semeru untuk menikmati keindahan matahari terbit di sana," seru lelaki berwajah tampan, pemimpin pendakian kali ini."Wah, ini tidak seru sekali!" gerutu lelaki yang mengandalkan kupluk kepala itu berdecak kesal. "Harusnya kita lanjutkan saja pendakian, lagi pula ini kan hanya gerimis kecil," protesnya lagi."Zaki, apakah kamu tadi tidak dengar apa k
Zaki terpelanting. Tiba-tiba saja lelaki bertubuh tegap itu menghujani Zaki dengan tinjuan."Zaki!" Hanum yang melihat segera berhambur menolong kekasihnya. Bagitu juga dengan Rani dan Siska yang terkejut."Apa maksud kamu, Angga?" Zaki meradang, menyeka sudut bibirnya yang terasa perih."Siapa yang menyuruh kamu mengambil ikan di Ranu Kumbolo?" Angga meradang menatap tajam pada Zaki."Ikan!" Zaki mengeryitkan dahi menatap keheranan pada Angga.Angga mendengus berat, "Tolong! Tolong, berapa kali aku mengingatkan pada kalian untuk mematuhi peraturan yang ada di tempat ini. Ini bukan tempat kita, bersikaplah sopan dan jangan pernah mengusik apapun milik mereka," cetus Angga menaikkan ada suaranya dengan penuh penekanan. Netranya memicing pada Zaki.Mendengar keramaian yang sedang terjadi Dimas dan Yuda pun keluar dari dalam tenda."Tapi aku
"Memangnya apa yang kamu lihat, Yuda?" Angga menatap penasaran kepada Yuda yang berdiri di belakang punggung Dimas.Wajah pemuda dengan gaya rambut belah pinggir itu tercekat untuk sesaat. "Aku melihat po-pohon!" ucapnya dengan nada terbata.Angga menghela nafas panjang, bagitu juga dengan Siska dan Rani."Sudah-sudah! Ayo kita lanjutkan perjalanan lagi!" seru Angga.Tubuh Dimas semakin bergetar, dengan berat, lelaki itu melangkahkan kakinya mengikuti rombongan pendaki. Kedua lelaki yang mengenakan baju kerajaan itu terus mengawasinya saat Dimas melintasinya. Sorot matanya tajam melihat pada Dimas dan Yuda."Sudah, ayo jalan!" seru Yuda yang berada di belakang Dimas, sedikit memberikan dorongan kecil pada Dimas untuk mempercepat langkah kakinya._____Kampung Ranu Pani tidak seramai dulu. Semenjak pembunuhan masal Lastri yang dilakukan oleh pada warga. Hanya ada beberapa kepala keluarga yang masih tetap tinggal di kampung itu. Rumah-rum
Dimas sudah terbaring di atas ranjang. Mungkin saja lelaki berkacamata itu sedang tertidur saat ini atau bahkan tidak sadarkan diri. Sementara Rani hanya mematung di ambang pintu dengan wajah ketakutan."Biarkan dia beristirahat. Sepertinya ada hantu dari hutan yang iseng mengikuti teman kalian ini." Pak Parlin menyapu pandangannya pada Angga dan Zaki yang masih mematung di samping ranjang tempat Dimas di baringkan. Pak Parlin kemudian beringsut berjalan menuju ke arah pintu.Dengan cepat Rani menggeser tubuhnya menjauh dari ambang pintu. Sesaat lelaki berkumis tebal itu meleparkan senyuman kepada Rani saat melewati depan gadis itu."Huf!" Rani menghela nafas panjang setelah kepergian Pak Parlin."Kenapa Ran?" tanya Hanum yang sedari tadi berdiri di dalam pintu melihat pada Rani."Enggak apa-apa, kok!" balas Rani dengan wajah lega, kemudian menoleh kepada Dimas dengan wajah iba.
Senja nampak menguning di langit barat. Birunya langit perlahan menghilang di tepi langit. Rani, Hanum dan Angga sudah kembali ke tempat penginapan. Warung Pak Parlin pun juga sudah dibuka. Tapi Siska, Zaki dan Yuda belum juga kembali.Hanum bergegas menuju pintu kamar. Setelah beberapa kali ia mencoba menghubungi nomor ponsel Zaki yang tidak aktif."Mau kemana, Hanum?" tanya Rani yang baru menyelesaikan sholat magrib."Nomor Zaki tidak bisa dihubungi!" Wajah Hanum terlihat khawatir.Rani melepaskan mukenah yang ia kenakan. "Benarkah?" tanya Rani."Iya!" seru Hanum, dengan cepat keluar dari dalam kamar.Rani masih tidak bergeming melihat pada kepergian Hanum. Gadis dengan kerudung berwarna biru itu duduk di bibir ranjang dengan wajah berpikir. Ia masih teringat dengan kejadian yang dialaminya saat melakukan observasi di kampung Ranupani.&n
Hanum bergegas masuk ke dalam kamar. Menyembunyikan dirinya di balik selimut. Dari balik selimut tubuh Hanum nampak menggigil ketakutan."Hanum, apa yang kamu lihat!" tanya Rani mengekori, penasaran. Gadis itu duduk tepat di bibir ranjang Hanum."Su-sudah, Ran, lupakan saja!" seloroh Hanum tanpa membuka sedikitpun selimut yang menutupi tubuhnya."Tapi aku ingin tahu, apa yang kamu lihat, Hanum!" desak Rani."Besok saja, Ran! Aku takut," sahut Hanum.Rani terdiam dengan wajah berpikir. Sesaat kemudian gadis itu beringsut bangkit dari bibir ranjang Hanum dan kembali ke ranjangnya yang terletak bersebelahan dengan ranjang Hanum._____Rani tidak lagi menanyakan tentang kejadian semalam kepada Hanum. Gadis itu lebih pura-pura diam dan membiarkan Hanum sendiri untuk menceritakannya."Ran, kami tahu nggak semalaman itu ada apa?" Wajah Ha
"Maksud bapak, apa?" decak Hanum penasaran."Bukan kampung mati sih, hanya tidak terlalu banyak penduduk yang tinggal di tempat itu. Tapi masih ada kok beberapa penduduk yang tinggal di sana," seloroh pemilik toko seketika membuat wajah Hanum dan Rani terlihat lega."Iya Pak, memang di kampung itu sangat sepi sekali. Bahkan jarang sekali ada kendaraan yang melintas di sana. Mungkin tempatnya yang terlalu pelosok juga," ucap Hanum seraya memilah eletronik yang akan ia beli."Dulu kampung Ranu Pani itu adalah desa yang sangat padat penduduk. Tapi itu dulu, sebelum kejadian pembunuhan itu terjadi.""Pembunuhan?" sergah Rani dengan wajah tercekat. Hanum yang sedang memilih barang elektronik pun seketika menoleh pada pemilik toko.Pemilik toko itu mengalihkan tatapannya kepada Rani. "Iya, dulu ada seorang pemuja iblis yang tinggal di kampung itu dan konon katanya wanita itu samp
Perlahan Rani turun dari atas ranjang, saat suara ketukan yang terdengar memburu itu berhenti. Jantung Rani seperti hampir terlepas dari tempatnya. Dengan berat, Rani melangkahkan kakinya menuju pintu dan perlahan menarik gagang pintu kamar."Hanum!"Rani terkejut melihat Hanum sudah berdiri di luar pintu kamar. Membawa sebuah mangkuk di tangannya dengan kepulan asap putih di udara."Mau kemana, Ran?" Hanum buru-buru menyerobot masuk, tangannya merasa sangat kepanasan."Aku- tidak! Aku hanya ingin melihat kamu saja, kenapa lama sekali!" jawab Rani seperti orang yang sedang kebingungan kemudian mengakhiri kalimatnya dengan wajah meringis. Rani memutar tubuhnya mengikuti langkah Hanum menuju nakas."Kamu tahu, selain Pak Parlin itu baik, dia juga dermawan loh. Lihatlah, dia memberikan aku gratis nasi dan semangkuk mie rebus," ucap Hanum berbinar. Ia mengaduk-aduk makanan yang