Share

Perguruan

Hari belum beranjak siang, di Perguruan Mata Angin di pinggir Sendang Saradan, Lintang Abang terlihat sedang menemui gurunya. Tak biasanya Dewa Penjuru Angin memanggilnya untuk berbicara empat mata di ruang khusus latihan Sang Guru.

"Lintang Abang, hari ini engkau kuberi anugerah untuk mempelajari kitab sakti Tapak Liman. Jika Tapak Liman dipadukan secara bersamaan di empat penjuru mata angin, maka kekuatannya akan sangat dahsyat. Empat pasang Tapak Liman akan menghasilkan ajian pamungkas; Bayu Segara Murka," Dewa Penjuru Angin menyerahkan sebuah kitab lusuh kepada Lintang Abang.

Sudah tiga hari sejak kematian Jakaprana, kondisi Begal Barat yang terluka parah belum membaik. Begal Barat yang lemah ditinggalkan begitu saja di rumah seorang tabib di dusun sebelah Wingitan, Dusun Demulur. Demi menyempurnakan ajian pamungkas; Bayu Segara Murka di Perguruan Mata Angin, Lintang Abang ditugaskan untuk mempelajari Tapak Liman. Ia akan menggantikan posisi Begal Barat.

"Maaf beribu maaf, guru, saya merasa belum sanggup menerima tugas ini," ujar Lintang Abang tertunduk.

"Ini bukan tugas, tapi anugerah dariku! Walaupun hatimu lemah, kau punya bakat untuk menjadi murid utama. Pergunakan waktumu sebaik mungkin untuk mempelajarinya. Bulan depan kita bertemu lagi di sini untuk mempraktikkannya," perintah Dewa Penjuru Angin.

Sorot mata tajam Dewa Penjuru Angin yang seakan menembus sampai ke ulu hati sudah tentu tak bisa ditolak Lintang Abang. Ia mengerti jika sudah seperti itu, permintaan apapun dari Sang Guru tak bisa ditentang. Ia menganggukkan kepala dan lalu mohon diri.

Dewa Penjuru Angin menatap nanar kepergian Lintang Abang. Ia ingat beberapa puluh tahun lalu saat masih seusia Lintang Abang, ia tak kalah lugunya dengan muridnya itu. Bahkan kala itu tubuhnya jauh lebih kurus.

Sejak kecil, lelaki dengan nama asli Cukring ini hidup serbakekurangan sebagai anak petani miskin di dusun terpencil. Ayahnya telah lama meninggal saat wabah kelaparan melanda dusun. Ia tinggal dengan ibunya yang renta dan sakit-sakitan. Kemiskinan membuat tak seorang pun memandang keberadaan Cukring dan ibunya. Seperti antara ada dan tiada.

Hingga akhirnya ibu Cukring meninggal dunia pun, sikap warga dusun biasa saja. Warga memang turut mengubur ibu Cukring. Tapi hanya sekadar itu. Warga seakan menganggap kejadian itu seperti angin lalu.

Lantaran tak mau disepelekan terus dan ingin keberadaannya dianggap, tekad Cukring begitu kuat. Ia ingin mengubah nasib. Ia ingin menjadi pendekar pilih tanding dan dikenal banyak orang. Ia ingin orang-orang menghormati keberadaannya. Karena itu ia memberanikan diri melamar menjadi prajurit di Singasari yang kala itu di bawah kekekuasaan Wisnuwardhana.

Ternyata tak hanya Cukring. Ada ratusan pemuda yang mencoba mengubah nasib dengan melamar menjadi prajurit Singasari. Semua dibagi dalam kelompok kecil berisi dua puluh orang. Satu sama saling harus saling berhadapan untuk menunjukkan siapa yang terkuat. Cukring yang hanya punya ambisi namun tak punya ilmu kanuragan jelas saja menjadi bulan-bulanan. Ia sama sekali tak pernah menang setiap diadu dengan calon prajurit lainnya. Ia selalu berada di posisi paling buncit sehingga menjadi bahan tertawaan.

Cukring diperolok dan dihinakan para prajurit Singasari lantaran fisiknya yang kurus, ringkih, dan tak punya ilmu kanuragan.

"Heheh...bocah kurus kering, lemah, nggak bisa pegang senjata apa-apa, mau jadi prajurit, jangan ngimpiii!" sorak sorai para prajurit Singasari mengejek Cukring yang berjalan gontai meninggalkan arena pendederan prajurit.

Cukring pulang kampung dengan membawa kekecewaan mendalam dan dendam. Ia bertekad berlatih keras dan membuktikan diri layak menjadi pendekar hebat. Bertahun-tahun ia berlatih di dusunnya. Ia memperkuat tubuhnya terutama tapak tangannya.

Cukring mengamati di dusunnya tumbuh begitu banyak tumbuhan liar di sisi jalan setapak. Tumbuhan itu jenis rumput-rumputan yang muncul sepanjang tahun, berdiri tegak, berdaun hijau-tua. Akar tumbuhan ini besar, kuat, dan menghujam di tanah.

Kekuatan tumbuhan itu menginspirasi Cukring untuk berlatih memperkokoh tapak tangannya dengan membenturkannya ke tanah. Setiap waktu. Setiap saat. Lambat laun jari jemarinya kian kuat. Kekuatan tapak tangannya bahkan sanggup merobohkan pohon beringin raksasa.

Cukring mencatat semua tahapan latihannya dalam lembaran daun lontar kering. Ketika ajiannya telah sempurna, lembaran daun lontar itu pun menjadi kitab. Ia menamakan ajiannya sesuai nama tumbuhan liar yang menjadi inspirasinya, Tapak Liman.

Beberapa tahun kemudian, berbekal latihan amat keras dan ajian Tapak Liman, Cukring kembali melamar menjadi prajurit di Singasari. Di sana ternyata Singasari tak lagi dipimpin Wisnuwardhana. Anak Wisnuwardhana, Kertanegara, kini menjadi raja.

Kali ini tak sulit bagi Cukring untuk menjadi prajurit di sana. Kedigdayaan dan kedahsyatan Tapak Liman menggemparkan seluruh prajurit Singasari. Ia pun tak butuh waktu lama menjadi laskar utama Singasari.

Beberapa bulan setelah menjadi laskar utama Singasari, Cukring kemudian pamit pada Kertanegara untuk mendirikan perguruan kanuragan di tepi Sendang Saradan. Ia tak mau terus aktif di dunia kemiliteran karena ingin memperdalam ilmu kanugaran.

Cukring yang menjuluki dirinya sendiri sebagai Dewa Penjuru Angin ingin menjadi pendekar pilih tanding. Ia berambisi memiliki kekuatan layaknya dewa sehingga tak ada satu orang pun yang menghinanya lagi.

Tapi jika sewaktu-waktu Kertanegara membutuhkan Cukring, ia siap untuk turun gunung. Ia siap melakukan apa saja untuk Kertanegara yang telah membuka tangannya untuk dirinya. Selain itu, ia berambisi tersohor sebagai pendekar yang paling perkasa di tanah Jawa.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status